Sunday, August 22, 2021

CONNECTING DOTS WITH BUDI DARMA


Kepergian sosok sepenting Prof. Budi Darma adalah sebuah kehilangan yang tak tergambarkan. Waktu terasa berhenti dan hanya tangis yang mengisi. Tiba-tiba ingatan masa lalu seolah berjajar bak foto-foto yang membawa kenangan. Betapa tanpa saya sadari Pak Budi Darma telah menggoreskan warna kuat dalam perjalanan karir saya.

Saya termasuk yang percaya bahwa dalam kehidupan ini tidak ada yang kebetulan. Kejadian yang kita alami atau orang yang kita temui adalah bagian dari takdir. Termasuk di antara bagaimana sosok Budi Darma menjadi tanda dalam peta kehidupan saya. Serpihan kisah rendezvous saya dengan Pak Budi adalah titik-titik yang suatu saat terhubung. Connecting dots

1) Di sekitar tahun 1985-1990, ketika saya menjadi mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP     Surabaya, Pak Budi Darma adalah Rektor IKIP Surabaya mulai tahun 1984-1988. Karena beliau menjadi Rektor, maka saya belum pernah masuk ke kelas beliau sampai tahun 1989. Peran beliau sebagai Rektor saya rasakan kalau saya wira-wiri dari Sekretariat Himapala di Kampus Ketintang ke Rektorat yang waktu itu ada di Jalan Kayun. Maklum, sebagai anggota Himapala, saya ikut sok sibuk mengurus surat perijinan atau pengajuan dana kegiatan. Tapi saya lebih banyak masuk ke ruangan Pembantu Rektor III yang memang mengurusi bidang Kemahasiswaan. 

Pendek kata, saya hanya tahu bahwa dosen saya, yang sastrawan, adalah Rektor. Dan saya baru pada tahap berangan-angan ingin diajar beliau sebelum saya lulus. 

Sampai suatu saat saya diberi tugas menyerahkan pemukul gong kepada Rektor untuk membuka acara Pentas Seni Himapala di tahun 1986. Tidak tanggung-tanggung, saya harus turun dengan tali dari dinding Gedung Gema dengan ketinggian kurang lebih 10 meter.  Bersama dengan rekan saya, mas Agus Guo, kami turun saat lampu gedung yang dimatikan. Spotlight mengarah ke dua anak muda yang sedang rappling dari atap gedung dan kemudian beratraksi melompat ke kiri dan ke kanan sambil membalikkan badan. Entah dari mana saya mendapatkan kenekadan ini. Kenekadan yang direncanakan karena latihan hampir tiap hari. Saat itu adrenaline saya mungkin sedang puncak-puncaknya. Seandainya ini terjadi di masa kini, mungkin foto-fotonya sudah memenuhi akun medsos saya. 

Sesampai di bawah, saya berlari ke arah Rektor dan menyerahkan pemukul gong yang tergantung di carabiner di celana jeans saya. Lamat-lamat saya mendengar pembawa acara menyebut nama saya sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. 

Hampir empat tahun kemudian, saya duduk di sofa Jurusan, di depan tiga dosen senior Jurusan. Pak Budi Darma, Pak Santiko Budi, dan Pak Djoko Soeloeh Marhaen. Saya tengah menghadapi ujian skripsi. Pak Budi Darma menjadi penguji saya. Beliau bertanya sambil tersenyum, “masih suka naik-naik atap gedung?” 

Saya terpana. Terpesona. Bagaimana mungkin ulah anak picisan ini diingat oleh sosok VIP seperti beliau. Saya lupa apa jawaban saya. Yang saya ingat hanyalah gelengan saya dengan wajah tersipu malu. 

2) Tapi itu bukan pertama kalinya saya merasa dekat dan dikenal oleh beliau. Ketika Pak Budi sudah tidak lagi menjabat sebagai Rektor, beliau kembali mengajar ke Jurusan. Di akhir semester saya di semester 8, beruntunglah saya dapat duduk di kelas Literary Appreciation. Sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan, kami tidak banyak mendapatkan mata kuliah murni. Hanya ada Introduction to Literature yang kurang sukses membuat saya mencintai sastra. Tapi saya sering meminjam novel-novel di ruang baca Jurusan dan memfotocopynya. Membaca untuk dinikmati. Bukan untuk dikritisi. 

Kelas kami membahas novel Ernest Hemingway, The Sun Also Rises. Semua mahasiswa memegang fotocopyan novel, mencoba mencari kalimat yang dibacakan Pak Budi. Tak kunjung ketemu. Saya perhatikan wajah beliau. Baru kemudian saya tersadar bahwa sebenarnya beliau sedang menganalisis dengan gaya berkisah. Ah, kalimat-kalimat yang tertata rapi dan runtut ini muncul terucap tanpa script. Menghipnotis. Meski pemahaman saya tidak sampai separuhnya. 

Merasa kuliah ini standar tinggi dan saya tidak mudeng, saya mencoba mencari cara agar paham isi novel ini. Bayangkan kuliah di tahun-tahun 80-90an, ketika referensi harus dicari di perpustakaan yang masih terbatas koleksinya. Saya belani mencari referensi ke perpustakaan di atas toko buku di jalan Tunjungan. Saya lupa apakah namanya Sari Agung atau sudah berganti menjadi Gramedia. Toko ini adalah jujugan saya sejak kecil. Tapi baru tahu belakangan saat kuliah bahwa di atasnya ada perpustakaan kecil. Di situ akhirnya saya menemukan buku-buku sastra yang tebal dan menyuguhkan kritik sastra karya-karya Hemingway. 

Eureka

Ketika masa UTS datang, kami diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan yang bersifat analisis novel The Sun Also Rises. UTS yang open book. Kami tentunya dapat mengutip baris-baris dari novel sebagai bukti. Saya mengambil tempat duduk di belakang. Agar dapat fokus menulis analisis. Tidak pakai tengok kiri kanan. Karena teman-teman saya juga sedang sibuk berpikir. Mau nulis apa. Atau mungkin tidak tahu apa yang mau ditulis. Saya sendiri juga tidak yakin. Pokoknya nulis saja. 

Dua minggu kemudian, beliau memanggil nama kami satu-persatu. Memberikan hasil UTS. Sambil memberikan umpan balik. Rata-rata dikomentari karena kebanyakan menulis analisis seperti menulis daftar menu. Hanya point-point saja. Saya mendengar nama saya disebut. Deg-degan. Takut jawaban saya juga tidak memuaskan. “Pratiwi, would you please come here and read your answer?”

Dengan sangat groggy, karena tidak tahu mengapa saya diminta maju ke depan, saya berjalan ke depan kelas dan menerima kertas jawaban dari tangan beliau. Saya bacakan jawaban saya yang panjangnya kira-kira 2 halaman kertas folio bergaris. Setelah saya selesai membaca, barulah kemudian beliau menyampaikan bahwa analisis sastra seharusnyalah deskriptif seperti itu. Bukan seperti daftar menu atau belanjaan. 

Pengalaman ini sangat membekas di benak saya. Ternyata saya bisa menganalisis karya sastra yang masterpiece. Ternyata begitu caranya interpretasi sastra. Sejak itu saya merasa jatuh cinta pada sastra. Tepatnya, Pak Budi membuat saya mencintai sastra dan mensyukuri pentingnya menulis. Saya punya kebiasaan menulis di buku harian atau surat berpanjang-panjang halamannya. Mungkin saja tulisan saya ada emosinya. Buktinya beberapa coretan yang saya tulis menghasilkan patah hati. 

(bersambung)