Showing posts with label Catatan Tesis. Show all posts
Showing posts with label Catatan Tesis. Show all posts

Thursday, April 23, 2015

The Great Good Place: Antara Rawon Paidi, Perpustakaan Koper BMI-HK, dan Starbucks

'Rawon Paidi.' Bila seorang pengamat budaya ingin mengadakan studi etnografi virtual di milis Keluarga Unesa, mungkin nama ini adalah tempat nongkrong yang paling banyak disebut para miliser. Setiap kali ada gagasan bagus dilempar ke milis, maka nama rawon Paidi hampir selalu disebut. Seolah-olah tempat ini akan menjadi saksi gagasan mentah menjadi sebuah proposal yang siap dijalankan.

Bagi yang belum tahu apa itu rawon Paidi, nama ini merujuk ke sebuah warung pojok di dekat pintu gerbang kampus Ketintang Universitas Negeri Surabaya. Lokasinya di Ketintang PTT, tapi saya lupa nama gangnya. Warung ini sangat legendaris bagi mahasiswa, mulai sejak jaman IKIP Surabaya sampai sekarang menjadi Unesa. 

Tak heran teman-teman alumni suka janjian ketemuan di sana bila mau kangen-kangenan. Dua orang sohib di milis, Mas Eko dan mas Habe, bisa saja 'memilih' nama ini demi sebuah nostalgia. Namun sebenarnya, warung ini bisa jadi adalah bagian dari apa yang disebut Ray Oldenburg sebagai the great good place


Front Cover

Dalam bukunya berjudul The Great Good Place (1999), Oldenburg menyebut tempat-tempat publik seperti cafe, warung kopi, toko buku, bar, salon, dan tempat-tempat lain sebagai Third Place, 'home away from home.' Di tempat-tempat inilah sekelompok orang bertemu untuk berbagai tujuan. Mulai dari sekedar kangen-kangenan sampai obrolan tentang sebuah ide besar. 

Lalu apa bedanya rapat di kantor dengan ngobrol tentang hal yang sama di warung kopi? Kalimat dalam bahasa Inggris, 'let's discuss this over a cup of coffee' barangkali bisa mewakilinya.

Salah satu karakter dari Third Place, atau Tempat Ketiga ini adalah suasananya yang 'santai.' Banyak orang meyakini bahwa obrolan serius bila dilakukan dalam situasi yang santai justru akan memberikan hasil yang lebih bernas. Barangkali karena dalam hal mood, mereka yang hadir sudah membawa mood yang menyenangkan. Mau ngopi je, masak sambil mbedodok atine. Beda kan bila mau hadir rapat? Sepertinya serius banget.

Saya dan beberapa PhD mommies kadang-kadang hang out juga ke cafe.Setelah antar anak sekolah, kami bertemu di cafe di sekitar Sydney Road di Brunswick. Tempatnya berpindah-pindah. Dan kami sebenarnya cuma minum kopi atau hot chocolate, plus muffin atau banana bread yang dicuwil bareng-bareng. Nongkrong kurang lebih 1 jam sambil ngobrol tentang progress masing-masing, atau masalah akademik yang sama-sama dialami. Nama grup kami, Srikandi PhD, memang menggambarkan tantangan yang harus kami hadapi sebagai ibu dan mahasiswa. Multitasking tiap hari. Nah, ngobrol santai lintas bidang ilmu membuat kami bisa berbagi solusi. Biasanya, begitu buyar dan balik ke pekerjaan masing-masing, pikiran jadi lebih jernih. Dapat semangat baru. I'm not alone

Saya menyebut konsep Third Place untuk menjelaskan salah satu fungsi perpustakaan koper di kalangan buruh migran di Hong Kong. It's a home away from home. Di tengah tuntutan pekerjaan yang menguras tenaga dan perasaan, perpustakaan koper yang digelar tiap minggu secaran lesehan di pelataran Victoria Park di Hong Kong menjadi 'tempat teduh.' 

Bagi sebagian buruh migran, perpustakaan koper menjadi katalisator untuk rasa haus ilmu pengetahuan. Dan pada dasarnya, membaca adalah kebutuhan siapa saja, tak ada kaitannya dengan kelas sosial, usia, dan gender. Tempat ini juga menjadi hub atau penghubung, yang mempertemukan para pegiat literasi di kalangan buruh migran. Dengan kata lain, perpustakaan koper menawarkan sebuah fungsi demokratis tanpa sekat.

                                                    

Nah, akan menarik untuk disimak apakah perpustakaan di kota Surabaya atau taman baca komunitas sudah berfungsi sebagai Tempat Ketiga. 

Mas Habe, salah seorang miliser bilang bahwa budaya nongkrong di warung kopi ini 'dicuri' oleh Starbucks. Menurutnya, meski kopi di Starbucks harganya mahal dan kopinya gak enak, ternyata pelanggannya banyak. Tapi saya kok tidak terlalu yakin Starbucks 'mencuri' kesempatan di tengah-tengah budaya warung kopi di Indonesia. 

Fenomena coffee house adalah budaya global, sesuai dengan konteks budaya masing-masing negara. Tempat publik seperti ini (dan biasanya untuk laki-laki) berkembang sejalan dengan dinamika ranah publik untuk diskusi dan 'debat' masalah sosial dan politik. Menurut Habermas, filsuf dari Jerman, coffee house adalah simbol demokrasi di ranah publik, yang bisa jadi menjadi 'perlawanan' terhadap penguasa. 

Saya memang tidak suka minum kopi. Tapi saya lihat keberadaan Starbucks di Melbourne tidak mampu mengalahkan pamor cafe yang bertebaran di seluruh penjuru kota dan daerah pinggiran. Ini bukan karena sama-sama negara Barat, tapi barangkali lebih karena Melbourne terkenal dengan budaya kopinya. Di pagi hari ketika orang-orang berangkat kerja atau ke kampus, cafe dipastikan salah satu tempat usaha yang sudah buka. Ini bisa dilihat dari seringnya saya temui orang menunggu tram atau train sambil nyruput kopi atau hot chocolate. Kemungkinan besar itu take-away coffee

Budaya masing-masing negara punya peran penting juga dalam menentukan keberhasilan sebuah warung kopi. Di Australia, orang butuh kopi secara take away, buat sangu berangkat kerja. Itu sebabnya cafe buka sejak pagi. Tidak banyak orang nongkrong di cafe pagi-pagi. Sama halnya dengan Starbucks yang dibentuk seperti itu di negara asalnya di Amrik. Take away service menentukan jalan bisnis Starbucks. 

Lain lagi di sore hari, ketika para profesional muda pulang kerja. Dine-in service menjadi pilihan. Bukan karena butuh minum kopinya, tapi lebih pada fungsi Third Place. A place between home and work

Di Brunswick, tempat tinggal saya, cafe juga menjadi Third Place buat emak-emak yang butuh ngopi (meski pesannya hot chocolate). Tujuannya adalah ketemuan dengan teman sambil momong anak di pagi setengah siang. Tak heran ada cafe di dekat rumah, Crafternoon cafe, yang ramah ibu-anak, dengan menyediakan menu peralatan menggambar dan prakarya. Emak-emak ngobrol sambil menemani para krucil mewarnai, 

Mengapa Starbucks berhasil menancapkan bisnisnya di banyak negara Asia. Salah satu kuncinya adalah kemampuan mereka beradaptasi dengan selera lokal. Di Cina misalnya, Starbucks cukup sukses, padahal Cina kental dengan budaya minum tehnya. Banyak yang pesimis Starbucks bisa sukses di sana. Toh malah meraup keuntungan berlipat-lipat. Apa yang mereka lakukan? Ternyata Starbucks menawarkan minuman coklat rasa green tea, dan mengurangi rasa kopi model Barat (jangan tanya, saya bukan peminum kopi). Selain itu, di Cina, Starbucks juga memulai bisnisnya di siang/sore hari, karena orang Cina dinilai tidak memiliki budaya take-away tea/coffee. Dengan demikian yang lebih didorong adalah dine-in service. Sekali lagi, Third Place menjadi jawabannya. 

Bagaimana dengan di Indonesia? Saya pikir warung kopi tidak akan kalah bersaing dengan Starbucks. Selain pangsa pasarnya beda, nuansanya tidak bisa dibandingkan. Ada kekhasan warung kopi di pinggir jalan yang tidak akan bisa ditemui di Starbucks. Okelah, para lelaki butuh ngopi karena mau cari teman ngobrol tentang bola atau harga BBM yang merangkak naik. Tapi sensasi sapaan bu Atun dan suara gelas beradu dengan sendok, saat bu Atun mengaduk campuran kopi dan gula dalam air panas, tidak akan mungkin ditemukan di cafe-cafe model Starbucks. 

Kecuali bu Atun dapat kredit UKM dari cak Samsul untuk beli coffee machine. Mbuh apa ini bisa membuat cak Slamet masih mau mampir ngopi?

Jadi, apa tempat nongkrong favorit Anda?

Tuesday, September 30, 2014

MENJELANG REVIEW TAHUN KETIGA

Pagi ini saya baru saja bertemu untuk konsultasi rutin 3 mingguan dengan Fran Martin, supervisor saya yang cantik. Kami membahas draf pertama bab saya tentang Literacy and Capitalism. Di bab ini saya akan menggunakan data wawancara yang saya peroleh dengan 'pembaca' dari berbagai kalangan dan posisi sosial. Bab ini akan menjadi bab analisis terakhir. Setelah itu saya bisa melihat kembali semua bab secara utuh, sebelum masuk ke Conclusion.

Sebelum itu, bulan lalu saya baru saja merampungkan bab tentang para penulis BMI. Bab tersebut lumayan alot selesainya. Hampir 6 bulan saya habiskan untuk menyelesaikannya. Tapi supervisor saya selalu saja mengatakan bahwa progress saya lancar-lancar saja. Maklumlah, dari 6 bulan itu, 2 bulan saya gunakan untuk menata kembali kajian teori yang sedikit berubah haluan ke arah Literacy and Modernity.

Itulah yang kemudian membuat ide awal pengembangan bab yang terakhir ini tidak lagi melulu berbicara tentang pemberdayaan diri dan rekonstruksi identitas, sebagaimana ide awal. Dengan mengemas bab resepsi pembaca ke dalam konsep kapitalisme, saya bisa melihat bagaimana pembaca dari berbagai posisi menunjukkan persepsi yang berbeda terhadap praktik literasi para BMI. Perbedaan persepsi itu, dalam argumen saya, terkait dengan urusan 'capital.' Ada yang melihat literasi BMI sebagai modal untuk masuk ke writer-preneurship, ada yang menilainya sebagai 'gangguan' terhadap stabilitas bisnis 'buruh migran transnational', dan ada pula yang khawatir literasi akan digunakan sebagai komoditi, dengan mengorbankan kualitas tulisan BMI.

Bervariasinya pendekatan dan gaya tiap bab yang sudah saya rampungkan membuat saya berpikir bagaimana mengemas bab terakhir ini. Supervisor saya menyarankan agar saya menggunakan gaya naratif saja. Seperti bercerita tentang perjalanan saya bertemu dengan para responden. Apa yang kami obrolkan. Bagaimana latar-belakang sosial para responden itu. Dari situ kerangka teori bisa dimasukkan sebagai justifikasi.

Dalam rancangan timeline saya, maunya bab ini bisa rampung akhir tahun, menjelang progress review tahun ketiga. Tahun lalu saya menjalani review tahun kedua pada tanggal 20 Desember 2013, hanya 2 minggu setelah kemoterapi terakhir, Itupun sudah diundur 2 pekan, menunggu saya pulih dulu. Dalam perhitungan saya, review tahun ini juga akan jatuh pada bulan Desember.

Ternyata asumsi saya salah. Minggu lalu saya menerima pemberitahuan bahwa review tahun ketiga harus dilakukan paling lambat tanggal 15 November. Alamak. Bab ini baru saja dimulai, sudah harus berhadapan dengan reviewer. Maka saat konsultasi tadi saya sekalian minta masukan apa yang harus saya ajukan untuk review tahun ini. 

Di Unimelb, review tahunan mensyaratkan kandidat PhD untuk menyetorkan sampel tulisan. Bila pada tahun pertama panjangnya 10.000 kata, pada tahun kedua 20.000 kata, dan pada tahun ketiga ini 30.000 kata. Untuk thesis submission sendiri syaratnya 80.000 kata. Acapkali sampel tulisan yang disetorkan adalah bentuk compressed dari bab yang sudah jadi. Seperti saat confirmation seminar di tahun pertama. Proposal saya sudah mencapai sekitar 15.000 kata, tapi untuk review harus dipotong sana sini tanpa mengurangi substansi.

Bila melihat jumlah kata yang sudah saya hasilkan, sebenarnya syarat yang ditetapkan untuk tahun ketiga sudah saya penuhi. Tapi kan ya pointless, menyetor yang sudah pernah disetor sebelumnya. Jadi sebaiknya menyerahkan garapan baru. Nah, saya punya modal sekitar 15.000 kata dari bab yang baru saja selesai. Sementara bab yang baru mau jalan ini dirancang sepanjang itu juga. Namanya juga baru mulai, saya hanya punya modal 2000 kata.

Itung-itungan jumlah kata memang lebih penting di sini. Sementara di Indonesia kita lebih sering menggunakan ukuran banyaknya halaman. Tulisan sebanyak 15.000 kata itu kira-kira 40-45 halaman, dengan spasi 1.5 font 12 kertas A4. Itu artinya tesis sebanyak 80.000 sama dengan 200-an halaman. Perlu dipertimbangkan juga persyaratan jumlah kata untuk skripsi/tesis/disertasi di Unesa, agar ada standard yang lebih ajeg.

Dengan progress yang menurut supervisor saya cukup mulus ini (meski sebenarnya membuat saya jungkir balik), dalam waktu 5 minggu ini saya perlu ngebut untuk menghasilkan analisis sepanjang minimal 10.000 kata. Ini diskon dari yang seharusnya. Pertimbangannya, Kan saya sudah menyetor 30.000 kata sebelumnya dalam dua tahun. Garapan aslinya malah lebih panjang dari itu. Saking harus dikompress untuk pengajuan review (di sini setor lebih panjang daripada persyaratan malah tidak dianjurkan).

Ya sudah, maunya jeda sebentar selama liburan sekolah anak-anak tidak jadi. Harus tancap gas lagi untuk memenuhi target.

Saat membangun visualiasi bahwa saya akan bisa submit tesis pertengahan tahun depan, sms mas Prapto mengingatkan: "atur waktu n jaga kesehatan." Ingatan saya melayang ke rayuan Adzra tadi pagi saat saya antar ke Day Care: "Pick me up at 2 o'clock, mommy. Don't break your promise." Juga 'protes' Ganta bila menu makanan di dapur menjadi terlalu sederhana: "Kok gak tahu mangan enak maneh yo."

Cucian masih menumpuk dan belum sempat dilipat. Masih terngiang pertanyaan Adzra: "what's for dinner, Mommy?" Janji mengajak anak-anak liburan. Materi tutorial dan tugas-tugas mahasiswa yang perlu saya siapkan dan koreksi. Dan data penelitian yang menunggu segera dibedah. Bersama menjalani target One Day Half Juz dengan segenap sahabat. Sesekali ikut menyemarakkan aktivitas di komunitas Indonesia di Melbourne. Betapa aktivitas saya sehari-hari berada di spektrum yang luas, dari studi ke domestik ke komunitas. 

Ah, ini sebenarnya normal-normal saja. Sebagian besar teman Indonesia yang saya kenal di Melbourne juga melakoni pola hidup yang tidak jauh berbeda. Kadang kala terdengar 'keluhan' tentang tugas atau tenggat waktu, tapi acara kumpul-kumpul pengajian, BBQ-an, atau sekedar buka kotak 'mbontot' dan makan siang bareng di bawah sinar matahari tetap lancar-lancar saja. Atau barangkali inilah penyeimbangnya.

Syukur Alhamdulillah tetap diberi kesehatan lahir batin sampai sekarang. Semoga tetap semangat dalam menjalani semuanya. Amiin YRA.


Monday, July 07, 2014

Humanity-driven Knowledge

Barangkali ini yang Meaghan Morris maksud dengan humanity-driven knowledge. Profesor Cultural Studies dari Sydney University ini menekankan pentingnya upaya mencari ilmu atas dasar kemanusiaan. Bukan sekedar pemenuhan diri, namun berorientasi pada manfaat buat kemanusiaan.
Hari ini kami, peserta IACS Summer School dijadwalkan melakukan field trip. Kelompok C, di mana saya berada, dan F, akan mengunjungi kantor Taiwan International Workers' Association (TIWA) di Taipei. Sejak awal memang saya sudah mengajukan diri untuk ikut kunjungan ini. Amat relevan dengan penelitian saya. Kelompok lain (A dan B) diarahkan ke asosiasi pekerja seks, sedangkan kelompok D dan E pergi ke kelompok pekerja seni.Pengelompokan ini sesuai dengan minat masing-masing peserta.
Naik bus sekitar 1 jam dari Hsinchu ke Taipei, akhirnya kami sampai di markas TIWA. Di kantornya yang sederhana, saya menangkap suasana Filipina yang kental. Pengumuman dalam bahasa Tagalog dan Mandarin nempel di sepanjang dinding. Foto-foto kegiatan rally dan budaya. Gereja Katolik, di mana TKW Filipina sering bertemu, berada tidak jauh dari kantor TIWA.
Jingru, aktivis buruh dan pengurus TIWA, menyambut kami, dan membuka pertemuan dengan presentasinya. Sempat saya tanya di mana BMI berada. Ternyata memang TKW Indonesia lebih banyak berkumpul di daerah yang lain. Meski mereka juga sering terlibat dalam kegiatan TIWA.
Selama presentasi Jingru, kami disuguhkan jejak-jejak perjuangan TIWA menyuarakan hak-hak buruh migran. Di sinilah emosi saya terasa diaduk-aduk. Sesak mengetahui bahwa ternyata pemerintah Taiwan tidak/belum memiliki peraturan buruh migran yang jelas untuk memberikan perlindungan hukum.

Tiga tahun bergulat dengan berbagai hasil penelitian dan data lapangan, saya paham bahwa kondisi di Hong Kong cukup memihak buruh migran. Ada peraturan gaji minimum, kewajiban majikan memberi hari libur. Bila tidak diberikan, maka majikan wajib memberikan kompensasi. Yang lebih penting lagi, buruh migran mendapatkan kebebasan berorganisasi.

Tidak heran muncul puluhan komunitas di kalangan BMI Hong Kong dengan berbagai aktivitas positif. Dan kondisi yang kondusif ini saja masih memberikan peluang pelanggaran di lapangan. Buruh migran yang masih baru dan naif cenderung tidak memiliki posisi tawar ketika hak-hak itu tidak mereka dapatkan. Karena memang tidak tahu (dan tidak pernah diberitahu oleh pihak agen).
Kondisi di Taiwan belum sebaik Hong Kong. Hak hari libur ternyata belum pernah tertulis di peraturan. Jadi bila buruh migran di Taiwan bisa libur di hari minggu, itu lebih karena 'belas kasihan' majikan. Itu juga bila mereka berani bertanya atau negosiasi dengan majikan. Dan kebanyakan hanya mendapatkan libur 1 kali/1 bulan. Ditambah lagi dengan beban kerja yang berat, yang bisa menguras kondisi fisik dan psikologis.
Ketika fieldwork di Hong Kong, saya sempat datang ke beberapa shelter yang menampung BMI bermasalah. Mendengarkan cerita mereka. Mengapa mereka lari dari majikan. Upaya asosiasi pekerja migran Indonesia berjuang di ranah hukum. Kali ini, di Taiwan, saya dihadapkan dengan pekerja Filipina yang juga lari dari majikannya. Tentang kontrak yang tidak sama dengan kenyataan. Tentang kekerasan yang dialami. Tak terasa mata saya berkaca-kaca. Membayangkan bangsa saya sendiri juga mengalami hal yang sama.
Itu barangkali alasan mengapa para buruh migran mencari pelarian di hari libur mereka. Memenuhi pertokoan yang hanya buka di akhir pekan. Little Manila. Itu julukan area ini. Serasa tidak berada di Taiwan. Penjual makanan. Salon. Kios kirim uang. Warnet. Penjual baju. Semuanya berbau Filipina. Persis dengan nuansa Kampung Jawa di area Causeway Bay dan Victoria Park di Hong Kong. Bedanya, di Little Manila ini, ada gang di mana tempat karaoke dan pub bertebaran. Bau bir dan asap rokok menyeruak dari ruangan yang temaram. Mengapa jadi seperti nuansa Dolly yang baru ditutup bu Risma ya?
Saya tidak tahu bagaimana suasana Kampung Jawa di sini. Kami tidak sempat ke area di mana BMI sering berkumpul. Dalam hati saya berharap tidak seperti Little Manila.
Kami juga berkesempatan menonton film dokumenter tentang perjuangan buruh migran Filipina yang bekerja di pabrik yang terancam ditutup. Sementara mereka belum menerima 3 bulan gaji. Plus terancam harus pulang tanpa hasil apa-apa. Tapi di antara perjuangan itu, terkuak fenomena lesbianisme di antara mereka. Itulah mengapa judulnya adalah The Lesbian Factory.
Saya sebenarnya sudah menonton film ini 3 tahun yang lalu. Supervisor saya, Fran Martin, memutarnya di kelas. Saat itu saya masih dalam tahap memperhalus proposal. Saat menonton kembali, saya merasakan koneksi yang lebih kental. Tentu saja karena saya sudah melihat sendiri fenomena yang sama dan cerita senada di kalangan BMI HK.
Dunia ini memang sempit. Jingru-lah yang ternyata memberikan film ini ke Fran. Dan bahkan buku Our Stories: Migration and Labour in Taiwan, karangan Ku Yu-Ling,  fiksi yang berdasarkan kisah BMI dan BMF di Taiwan, saya temukan di sini. Tahun lalu, Fran menyarankan saya mencari buku ini sebagai referensi. Tidak ketemu di perpustakaan di seluruh penjuru Australia. Siapa nyana ternyata TIWA-lah penggagasnya. Buku ini, versi Mandarinnya, meraih penghargaan sastra Taiwan di tahun 2007, dan baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 2011.

Di antara 18 peserta yang datang ke TIWA, saya satu-satunya yang sedang meneliti isu buruh migran. Di antara serunya sesi diskusi dan tanya jawab, tak pelak saya lumayan banyak tanya dan berbagi cerita tentang kondisi BMI di Hong Kong. Tentang kegiatan penulisan yang cukup berhasil menyuarakan aspirasi mereka. Melihat kondisi Taiwan yang tidak sebagus Hong Kong, Bila buku Our Stories ditulis oleh aktivis buruh berdasarkan testimoni para buruh migran, BMI HK justru menulis sendiri kisah mereka.
Sebenarnya komunitas penulis di kalangan BMI Taiwan juga ada, meski lebih sedikit jumlahnya. Sayang saya tidak sempat bertemu dengan mereka. Padahal ini salah satu tujuan saya ke Taiwan.  

Tapi saya sempat bertemu dengan seorang BMI yang berada di shelter TIWA. Ririn namanya, dari Malang. Menyalami saya sambil mengendong bayi yang mungkin baru berusia 3 bulan. Pertemuan yang singkat. Hanya 10 menit, sebelum dia pamit. Nampaknya siap-siap mau pulang ke Indonesia. Saya tidak sanggup bertanya apa masalahnya. Suara saya tercekat. Saya hanya sanggup merangkulnya, menepuk bahunya. "Ati-ati yo mbak."
Dalam perjalanan pulang di bus, pikiran saya sudah membayangkan akan memasukkan beberapa hasil pengamatan selama field trip ke dalam tesis saya. Mengulas sedikit buku Our Stories yang baru saja saya beli dari TIWA. Namun jauh di lubuk hati, ada rasa perih bagai tertusuk duri. Saya akan amat berdosa bila hanya tesis yang bisa saya hasilkan.
Sebagai peneliti, saya memang harus bisa menjaga jarak psikologis dengan isu yang saya angkat. Namun nurani saya tetap perlu menyuarakan keberpihakan. Bagaimana caranya?

Bisa jadi saya sedikit membantu mengedit tulisan teman-teman BMI HK. Mungkin saya sempat puas menterjemahkan kumpulan cerpen BMI HK ke dalam Bahasa Inggris. Tapi nampaknya itu belum akan cukup membantu menyuarakan perjuangan mereka. Semoga sebuah buku populer bisa saya persembahkan untuk mengangkat derajat para pahlawan devisa negara. Para perempuan tegar yang sudah menjadi bagian perjalanan hidup saya. Memberi inspirasi pada saya untuk tak pernah patah semangat. Semoga ini cara yang tepat untuk menyuarakan hati nurani saya.

Wednesday, July 02, 2014

GOING INTER-ASIA, GOING GLOBAL

Menarik sekali mengamati mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat lain, dan dari satu negara ke negara lain. Pastilah banyak alasan secara politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sebagainya. Salah satu pendorong mobilitas ini adalah keinginan untuk lebih mengenal ‘tetangga.’ Tak kenal maka tak sayang. Semakin dekat, semakin kita merasa menjadi bagian di dalamnya.

Saat ini saya berada di Hsinchu, Taiwan. Mengikuti Inter-Asia Cultural Studies Summer School selama 2 minggu. “Kuliah intensif”nya diadakan di National Chiao Tung University. Sedangkan akomodasi peserta di asrama mahasiswa National Tsing Hua University. Kedua universitas besar ini bertetangga. Bahkan ada jalan ‘butulan’ dari asrama NTHU ke kampus NTCU.

Ada 45 peserta, mahasiswa S2 dan S3 dari berbagai negara. Hari pertama ini belum ada kuliah. Kami semua dapat giliran memperkenalkan diri. Darimana asal kami dan sedang meneliti apa. Dan di sinilah cerita Inter-Asia dimulai.

Ada peserta perempuan dari Taiwan yang sedang menempuh PhD di salah satu Pusat Kajian Budaya di India. Ketika dia berbicara, kentara sekali dia sudah mulai terpengaruh aksen India, dengan ‘th’ yang medok. Dengan guyon dia bilang bahwa Taiwan adalah salah satu propinsi negara India.
Sementara itu, Zayid, peserta Bangladesh, belajar di Korea, dan mendalami gerakan aktivis dan representasi budaya Korea.

Ada beberapa wajah bule di antara peserta. Peserta dari Baltimore, Maryland, AS, Ira Roberts namanya (Ira nama laki-laki) adalah mahasiswa PhD di McGill University, Canada. Dan yang dia teliti adalah budaya Cina daratan. Untuk itu dia sedang belajar bahasa Cina untuk bisa membaca arsip-arsip sejarah saat melakukan studi lapangan di Cina nantinya.

Ada lagi Thiti, anak muda dari Thailand, yang cukup bagus bahasa Indonesianya. Saat perkenalan formal, saya baru tahu bahwa dia baru mulai studi PhD di the University of California-Berkeley. Usut punya usut, bahasa Indonesianya didapatkan karena dia sedang meneliti novel-novel Pramudya Ananta Tur. Thiti sangat terkesan dengan gambaran gerakan politik di sastra Indonesia. Dia akan melakukan studi komparatif dengan sastra Thai. Lancar sekali dia bicara tentang Manifesto Kebudayaan dan Pancasila.

Lain lagi dengan Miriam. Perempuan Mexico yang mengaku easy going dan suka pesta ini terbang ke Malaysia. Belajar tentang Asia di University of Nottingham, Malaysia. Salah satu alasannya adalah untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya karakter Asia. Stereotip negative tentang Asia cukup kental di kalangan orang Mexico. Harapannya, saat pulang ke Mexico nanti, dia bisa mendekonstruksi stereotip orang Asia.

Ada lagi Risa Tokugawa. Gadis Jepang funky dengan bandananya. Dia kuliah di salah satu universitas di Jepang, belajar tentan Malaysia. Dan logat Malay cukup kentara saat dia berbicara dalam Bahasa Inggris.

Ada juga Nubar Gurbanova, atau Zizi. Gadis cantik dari Azerbayzan ini adalah teman sekamar saya. Bahasa Indonesianya lancar sekali. Saat saya datang dan masuk kamar, saya dengar dia sedang ber-skype. Teman-temannya berbahasa Indonesia dengan logat Surabaya. Ternyata dia adalah mahasiswa S2 di Unair.

Banyak sekali cerita unik dan menarik. Salah satunya adalah ‘dibukanya’ pintu buat mahasiswa dari Cina daratan untuk datang dan belajar di Taiwan. Salah satu peserta bilang, saat rehat, Cina dan Taiwan tidak lagi memandang satu sama lain sebagai ‘musuh.’ Ya mungkin tetangga jauh tapi dekat, dekat tapi jauh begitulah. Yang penting sudah mulai mengakui eksistensi masing-masing dalam konteks hubungan internasional di tingkat kultural. Belum sampai ke hubungan diplomatik.

Dan pastinya ada saya. Orang Indonesia, belajar di Melbourne, meneliti tentang TKW, yang membawa saya ke Hong Kong. Saya sempat pamerkan salah satu antologi cerpen hasil karya FLP HK.

Perjalanan akademik yang unik inilah yang membawa saya dan peserta lain akhirnya bertemu di Taiwan. Negara yang juga unik dalam hal hubungan diplomatik dengan negara lain. Profesor Chen dari NCTU mengatakan bahwa kami semua yang notabene tidak kenal dengan Taiwan akan ‘dipaksa’ memahami dan merespon tentang sastra, budaya, politik Taiwan.

Peserta yang saya temui hari ini adalah sosok-sosok yang tinggi motivasi belajarnya. Nekad belajar tentang budaya yang tidak mereka pahami sebelumnya. Meaghan Morris, professor dari University of Sydney, menyebutkan prinsip yang menarik. Kita semua dalam pencarian ilmu demi kemanusiaan. Humanity-driven knowledge.

Saya pikir itulah yang menyatukan kami. Kami belajar bukan sekedar untuk selembar ijazah atau sertifikat. Keluar dari zona nyaman, masuk ke ‘area berbahaya.’ Namun karena kami ingin mengenal ‘tetangga’ lebih dekat, dan menjadikannya bagian cerita hidup kami.

Hari ini saya belajar bahwa menjadi Asia bukanlah satu pandangan/pemikiran tunggal. Menjadi Asia berarti siap untuk saling terhubung dan bekerja bersama untuk saling memahami. Itulah makna Inter-Asia.
Going Inter-Asia is really going global.

Salam,

Tiwik
Dorm Ching, lantai 10, NTHU
(Hsinchu yang amat gerah)

Wednesday, March 12, 2014

MELEK LITERASI = MENJADI MODERN?

Saya lagi sedikit galau. Setelah hampir dua bulan berkutat dengan bab tentang proses kreatif para buruh migran Indonesia di Hong Kong yang aktif menulis, entah darimana asalnya, saya tiba-tiba mengarahkan bab ini ke tema Literacy and Modernity. Sebenarnya bukan muncul tiba-tiba ding. Supervisor saya pernah menyelipkan komentar tentang konsep modernity di bab sebelumnya tentang 'suitcase libraries' yang sementara saya anggap kelar.

Jadilah saya intip-intip lagi referensi tentang Modernity. Semakin bersemangat ketika supervisor malah mengusulkan tema ini untuk keseluruhan tesis. Namun sisi lain otak saya bicara, "waduh, ini akan jadi a big overhaul." Tesisnya akan lebih kompleks, meski tak berubah haluan seperti dugaan awal saya. Toh akhirnya saya terima 'tantangan' ini. 

Semakin banyak baca, saya jadi semakin ragu dengan argumen saya. Saya coba kaitkan antara literasi dengan modernitas, dan yang muncul adalah pandangan bahwa literasi adalah bagian dari proses modernisasi. Dalam konsep masyarakat modern, literasi adalah salah satu aspek yang menjadi tolok ukur terjadinya transformasi sosial. Tujuan peningkatan kemampuan literasi dalam tataran ini adalah adalah social mobility, advanced cognition, modern individuals (and community)

Sebenarnya tidak ada yang salah. Siapa pula yang akan menolak anggapan bahwa literasi tidak penting untuk arah modernisasi seperti yang saya katakan di atas? Masalahnya, saya sudah terlanjur menyatakan sejak awal tesis bahwa saya mengikuti ideological model of literacy. Dalam model ini, literasi adalah praktik sosial yang sarat dengan relasi kekuasaan dan amat dipengaruhi oleh konteks sosial budaya. Sedangkan pandangan tentang literasi sebagai jalan menuju modernisasi adalah inti dari 'autonomous model of literacy.' Bertolak belakang dengan model ideologis, model otonomi dinilai netral dari nilai-nilai sosial budaya.

Tentu saja saya tidak ingin mengubah model. Bagaimanapun, penelitian saya adalah literasi sebagai praktik sosial, terutama pada komunitas buruh migran. Lalu apa kemudian saya tidak bisa mengatakan bahwa literasi mereka adalah bagian dari proses menjadi 'lebih modern?'

Di sinilah saya mulai melek lagi dengan adanya berbagai lapisan konsep modernitas. Membaca lagi referensi ternyata membuat pikiran jadi lebih teliti dan kritis (hikks, kemana aja selama ini?). Modernitas yang diusung konsep literasi model otonomi adalah modernitas a la Barat. Proses menjadi modern dianggap sebagai proses yang linier, yang ditandai dengan prosedur, keteraturan, dan berbagai aspek yang membuktikan terjadinya transformasi sosial. Model ini mengacu pada dunia Barat (khususnya AS) sebagai tolok ukur. Negara (atau komunitas) lain bisa dianggap modern bila memenuhi ciri-ciri yang bisa ditemukan di masyarakat modern di berbagai belahan dunia (terutama 'negara berkembang').

Konsep modernitas yang tunggal ini sudah lama menjadi sasaran kritik para sosiolog dan pakar budaya. Alasan utamanya, modernitas tidaklah berarti 'kebarat-baratan.' Setiap negara dan komunitas masyarakat memiliki jalan sendiri-sendiri dalam mencapai masyarakat modern, dengan proses yang tidak linier. Lebih dari itu, makna modern itu beda di mata masyarakat lain. 

Maka muncullah konsep 'alternative modernity,' dan kemudian ada lagi 'multiple modernities.' Belum lagi 'varieties of modernity.' Asli saya sempat bingung mau yang mana (Emang lagi shopping?) Tapi ternyata saya bisa saja memadukan mana yang pas dengan argumen saya. Yang jelas sekarang saya sudah menemukan jawabannya (untuk sementara). Literasi para BMI adalah bagian dari proses modernisasi dalam perspektif 'multiple modernities.'

Lalu apa sebenarnya makna modern itu? Mungkin selama ini kita cenderung berasumsi bahwa kata modern memiliki aspek spatial. Maksudnya merujuk pada satu tempat. Surabaya itu modern, dan sebuah desa terpencil bernama A itu belum modern. Itu kalau kita pakai kacamata modernitas yang singular. 

Modern bukanlah semata-mata dilihat dari baju apa yang kita kenakan, HP merek apa yang kita genggam, di mana kita tinggal, di warung mana kita makan? Modern lebih tepat terarah pada apa yang ada di benak kita. Apakah kita senantiasa mempertanyakan realita yang ada di sekitar kita? Apakah kita mampu melakukan koreksi diri? Apakah kita mampu memainkan peran lain di luar yang sudah ditempelkan pada kita? Baik secara individu maupun kolektif. Bila jawabannya YA, maka di situlah sosok manusia modern ditemukan.

Kembali ke literasi dan modernitas. Apabila keterlibatan para BMI di dunia literasi mampu mengubah peran mereka dari 'sekedar' pekerja rumah tangga, saya berani mengangkat tema modernitas untuk keseluruhan tesis saya. Dan nyatanya, para BMI penulis yang saya kenal itu mampu berperan jamak. Mereka memang domestic helper, namun sekaligus penulis, jurnalis, editor, penggerak perpustakaan, blogger. Lebih dari itu, mereka menggerakkan literasi untuk pemberdayaan komunitas. 

Saya jadi bertanya pada diri sendiri. Untuk apa praktik literasi saya selama ini? Apakah saya membaca dan menulis hanya untuk kepentingan diri sendiri? Apakah bacaan dan tulisan saya membuat saya berperan lebih dari sekedar mahasiswa PhD atau dosen yang sedang tugas belajar? Pendeknya, apakah saya boleh memasang label 'modern' pada diri saya sendiri? 

Inilah sementara curhat saya tentang literasi (sambil membayangkan 3-4 minggu ke depan menata ulang kerangka teori*:| straight face).

Sunday, September 15, 2013

MITOS LITERASI

Saya bangun pagi dengan kebingungan. Keraguan akan arah tesis saya. Apakah argumen saya bahwa para buruh migran menjadi sosok yang lebih smart, educated, dan tech-savvy melalui praktik literasi berterima secara ideologis. Jangan-jangan argumen ini malah menghasilkan sebuah sub-teks, di mana TKW yang tidak membaca dan menulis, yang tidak kenal dengan perpustakaan lesehan, yang tidak ikut berdiskusi tentang sastra, adalah TKW yang dungu, terbelakang, dan akibatnya, menjadi sasaran empuk kekerasan majikannya.

Rasa sangsi ini juga dipicu oleh obrolan di milis Keluarga Unesa tentang buku Jangan Tinggalkan Kami. Buku ini adalah kumpulan kisah perjuangan paa guru SM-3T Unesa di Sumba. Mas Satria Dharma, teman milis, memberikan ulasan tentang buku ini (selengkapnya bisa dibaca di sini). Tulisan ini kemudian dikomentari Habe Arifin, yang menganggap bahwa ulasan mas Satria Dharma memberikan gambaran bahwa buku itu ditulis dengan perspektif Jakarta. Amat tidak ramah dengan konteks Sumba dan daerah SM-3T lainnya. Seolah-olah pembelajaran yang dibawa para pendidik SM-3T mengajak siswa untuk berbondong-bondong ke Jawa, yang dianggap sebagai pusat peradaban di Indonesia.

Sebenarnya saya tahu bahwa Habe tidak hanya sekedar paham akan pentingnya pendidikan. Yang dia kritisi adalah pandangan bahwa model pendidikan yang betul adalah yang berpusat di daerah urban. Pendidikan yang seperti ini memang menjadi tidak kontekstual, yang berpotensi menempatkan siswa daerah di posisi subordinat. 

Sama halnya dengan pandangan umum bahwa literasi adalah tiket untuk menjadi masyarakat beradab. Literasi yang menempel erat pada pendidikan formal akan meningkatkan mobilitas sosial seseorang. Dari orang miskin menjadi terpandang di mata masyarakat. Orang yang berpendidikan dan melek literasi adalah sosok yang percaya diri, lebih mandiri, dan lebih siap terjun ke masyarakat.

Tentu saja tidak ada yang salah dengan pandangan itu. Namun nampaknya kita perlu awas untuk tidak terpeleset ke dalam mitos literasi. Konsep di atas cenderung membuat kita membayangkan bahwa literasi adalah proses yang linier, universal, dan satu warna. Pandangan ini pada akhirnya akan bermuara pada ekspektasi kuat dan nilai positif pada individu dan masyarakat. 

Di dalam perdebatan teori literasi, ada yang disebut sebagai The Great Divide. Literasi sebagai model kognitif dan autonomous cenderung diusung bidang-bidang pedagogi dan psikologi. Berbagai teori literasi di kelompok ini menghasilkan gambaran 'the triumph of literacy,' yang ujung-ujungnya adalah mitos literasi. Ada jurang pemisah antara orang yang melek aksara dengan yang buta huruf, yang suka baca dengan yang tidak, yang sekolah tinggi dengan yang lulusan SD. Itu karena literasi dipandang sebagai aksi penyelamatan atas nasib individu dan masa depan masyarakat atau suatu bangsa. 

Di sisi seberang, literasi dilihat sebagai model ideologis, sebagai praktik sosial yang amat kompleks. Di dalamnya tersimpan berbagai jenis literasi yang diasosiasikan dengan berbagai domain kehidupan. Praktik literasi juga dipola oleh institusi sosial dan hubungan kekuasaan, dan dengan demikian sebagian literasi lebih dominan daripada literasi yang lain. Praktik literasi juga memiliki berbagai tujuan yang melekat erat pada tujuan sosial dan praktik budaya, selalu berlangsung dalam konteks sejarah. Yang tak kalah pentingnya adalah bahwa praktik literasi selalu berubah, dan bentuk literasi yang baru diperoleh melalui proses pembelajaran dan pembentukan makna yang informal.

Melihat begitu dinamis dan cairnya praktik literasi di masyarakat, konsekuensinya adalah mengubah arah studi tentang literasi dari setting ruang kelas saja menjadi lebih lebar ke domain lain di masyarakat. 

Bagaimana saya baru mengalami kesadaran ini, sementara secara teoritis sudah saya pahami hampir dua tahun ini? Kemungkinan besar saya terjebak dalam subjektivitas saya sendiri. Bahwa mitos literasi itu bukanlah mitos di mata saya. Secara tidak sadar, kalimat-kalimat di tesis saya selalu ingin bermuara ke sana. Padahal di depan mata saya berkeliaran banyak data yang menyatakan bahwa literasi dipandang sebagai ancaman, literasi bukanlah tujuan di HK. Secara tidak sadar, di mata para TKW yang menulis juga terbentuk dikotomi TKW penulis dan non penulis, yang berpeluang menghasilkan subordinasi di komunitas sendiri. 

Atas kesadaran ini, saya ingin lebih berhati-hati untuk tidak memberikan kesan keliru. Jangan sampai agenda keberpihakan saya terhadap TKW malah menimbulkan keberpihakan pada kelompok tertentu. Para TKW yang tidak berpraktik literasi (baca: menjadi penulis) bisa jadi amat literate dalam kewirausahaan, berkesenian, bermain saham. Sama halnya dengan TKW yang menjadi blogger, TKW yang juga pemain saham mampu merekonstruksi identitas mereka dan memberdayakan komunitasnya dengan cara yang berbeda. Sama halnya dengan sosok-sosok di masyarakat yang di mata kita, dinilai belum melek aksara atau tidak terlalu suka membaca dan menulis. Mereka adalah orang-orang yang bisa jadi amat literate di domain lain. 

Bagaimana kita bisa menghapus iliterasi tanpa 'menghapus' sosok-sosok yang tidak literate? Nampaknya saya harus berharap pada dunia pendidikan. Pembelajaran kontekstual yang sudah lama didengungkan di dunia pendidikan kita perlu menengok kepada kearifan lokal pada tataran yang lebih praktis. Di sekitar kita ada begitu banyak sosok masyarakat yang mungkin buta huruf, namun sangat literate dalam membaca alam, paham bagaimana alam menawarkan remedi untuk penyakit jasmani dan rohani, menguasai life skills yang bahkan tidak diajarkan di ruang kelas, bijak dan menjadi panutan dalam budi pekerti. Pada sosok-sosok inilah anak didik kita perlu belajar. 

Friday, June 07, 2013

Catatan Literasi BMI: Memecah Kebisuan

Enam bulan berlalu, sejak kedatangan saya ke Hong Kong untuk mengamati praktik literasi para buruh migran Indonesia pada bulan Januari 2013 yang lalu. Sampai detik ini, lomba demi lomba bergulir, dan agenda literasi serasa tak berhenti berdenyut di kalangan BMI. Pada paruh pertama tahun ini saja, saya sudah ditarik untuk nyemplung ke berbagai peristiwa literasi BMI. Ini di luar tugas utama menulis tesis saya sendiri. Tak lama setelah balik ke Melbourne, saya memulai proses penterjemahan antologi cerpen Bauhinia Ungu karya Arista Devi ke dalam Bahasa Inggris, yang disponsori oleh organisasi migrant care dari masyarakat lokal Hongkong. Pekerjaan ini hasil dari obrolan selama saya berinteraksi dengan Arista Devi di HK, dan kemudian ditindak-lanjuti oleh Doris Lee, pengurus migrant care

Agenda berlanjut dengan menjadi juri lomba penulisan cerpen yang diadakan oleh FLP-HK. Melalui Dhieny Megawati, ketuanya, FLP-HK juga mengajak saya menulis puisi untuk antologi Senandung Mimpi Hawa yang baru launching bersamaan dengan antologi cerpen The Miracle of Life. Untuk karya yang kedua ini, saya dijawil untuk memberikan kata pengantar. 

Baru saja jeda 2 minggu, dan kembali fokus ke tugas utama saya, gantian Fera Nuraini, seorang BMI blogger/Kompasianer  meminta kesediaan saya untuk menjadi juri lomba penulisan surat. Kali ini, giliran organisasi BMI-HK yang  bernama Pilar (Persatuan BMI Tolak Overcharging) yang mengadakan lomba Surat dari Seberang. Selama 1 minggu, saya selesaikan pembacaan 57 surat dari buruh migran Hong Kong. Temanya bukan sekedar penyampaian kabar kepada keluarga di kampung halaman. Lebih dari itu, Pilar ingin mengajak para BMI-HK untuk 'mendidik' sanak keluarga tentang isu-isu ketenaga-kerjaan transnasional.

Lomba ini mengingatkan saya pada kegiatan serupa pada tahun 2010. Lomba Surat kepada Presiden SBY yang diadakan oleh Dompet Dhuafa Hong Kong mengantarkan Daniella Jaladara menjadi pemenang, melalui suratnya 'Surat Berdarah kepada Bapak Presiden.' Kumpulan surat yang terbaik juga dari lomba itu juga sudah dibukukan dengan judul yang sama. Antologi ini bahkan membawa nilai politis, ketika migrant care di Surabaya membawa buku ini sebagai simbol perjuangan, diserahkan kepada Pakde Karwo dan SBY. Meski orang-orang penting ini belum tentu membacanya, tak urung liputan media mendongkrak nilai politisnya. Cerita 'Surat Berdarah' bahkan berulang-kali dibaca dalam demo perburuhan, dan peragawati kondang Ratih Sanggarwati sempat menjadi pembaca surat itu di depan publik. 

Apakah lomba Surat dari Seberang ini nantinya akan bermuara sama, saya tidak tahu pasti. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa semangat perlawanan memang menjadi nafas berbagai agenda organisasi perburuhan. Nama Pilar sendiri sudah mewakilinya, Tolak Overcharging. Ini untuk menyuarakan perlawanan terhadap praktik-praktik pemerasan, sebagai hasil 'konspirasi ' agen tenaga-kerja di Indonesia, pemerintah Indonesia sendiri, agen di HK, dan juga para majikan. 

Meski mengusung semangat perlawanan seperti itu, toh para BMI yang berpartisipasi memaknai lomba ini secara bervariasi. Cerita beraneka warna tertuang. Isu-isu dari negeri hutan beton diwakili oleh kisah-kisah sedih tentang majikan yang pelit, menahan gaji, underpayment, tidak ada libur. Banyak juga cerita manis seperti persahabatan dengan warga lokal Hong Kong dan aktivitas menulis yang diikuti penulis surat. Di sisi lain, luapan emosi yang bergerak dari kerinduan terhadap anak, suami, dan orang-tua berlomba dengan kekecewaan dan kemarahan atas sikap konsumtif keluarga dan bahkan ketidak-setiaan pasangan. Ungkapan-ungkapan seperti 'apa kalian tidak bisa ikut memikirkan perasaanku, selain minta uang dan uang terus,' 'pikirkan ulang untuk mentalakku,' sampai permintaan cerai bisa ditemui di sebagian surat. 

Tentu saja semangat perjuangan tak lepas dari isi tiap surat. Seperti yang saya duga, dari hasil pengamatan dan wawancara selama ini, dorongan untuk terus mengedukasi diri inilah yang membuat para BMI berani menyuarakan hatinya. Gayatri Spivak, pakar postcolonial studies, melontarkan pertanyaan yang fenomenal, 'Can Subaltern Speak?' Para buruh migran adalah figur 'subaltern,' baik dari sisi gender, ras, maupun kelas. Saya berani memastikan bahwa lomba Surat dari Seberang ini menjawab pertanyaan Spivak. Melalui literasi, sekali lagi BMI meneguhkan bahwa mereka juga punya suara. 

Batas spasial bukan lagi tantangan. Dengan literasi digital yang sudah mereka kuasai, batas darat dan air semakin kabur di udara. Para BMI tak henti berupaya sampai berdarah-darah untuk membuktikan bahwa suara mereka layak didengar. 

Ketika kebisuan harus dipecah, wahana apa yang lebih abadi daripada menuliskan kata-katamu sendiri? 

Monday, May 20, 2013

Krisis Literasi di Era 2.0

Ada yang sudah pernah nonton film The ReaderDalam film ini, Kate Winslet melakonkan peran sebagai Hanna, seorang wanita yang terancam dihukum berat dalam kasus pembantaian ratusan orang di kamp Nazi Jerman. Michael, mahasiswa hukum yang pernah ditolongnya dan sempat menjadi teman dekatnya meyakini ada satu kondisi yang akan membebaskan Hanna dari vonis berat. Sayangnya, Hanna sendiri menolak mengungkapkan ini, karena dia anggap sebagai aib moral. Aib itu adalah kenyataan bahwa dia tidak bisa membaca. Pengakuan ‘krisis literasi’ dalam hidupnya ini diyakini Hanna sebagai sumber jatuhnya harga dirinya di mata masyarakat. Itulah sebabnya Hanna melakukan serangkaian defence mechanism untuk menjaga harga dirinya sebagai orang yang tidak bisa membaca. Dalam perjalanan cerita, Hanna memang akhirnya belajar membaca selama di tahanan. Salah satu mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris pernah menggunakan novel The Reader karya Bernard Schlink (1995) dan mengangkat tema pentingnya membaca dalam kaitannya dengan self-esteem. Saya hafal karena saya ikut dalam tim pengujinya. 

Besarnya dampak  ‘krisis literasi’ secara individu sudah sering dibahas di dunia sastra. Celie dalam The Color Purple (1982) karya Alice Walker menemukan literasi sebagai kekuatan untuk pemberdayaan diri. Dalam versi filmnya, tokoh Celie dimainkan apik oleh Whoopi Goldberg. Novel dan filmnya termasuk yang paling sering saya bahas di kelas-kelas saya dulu. Masih banyak lagi karya sastra yang membahas pentingnya literasi dalam kehidupan sosial.

Di sisi lain, kita tahu bahwa krisis literasi sebenarnya bukanlah sekedar masalah pribadi, namun adalah tantangan sosial yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Di negara kita sendiri, praktis tiap hari kita mengungkapkan keprihatinan kita terhadap rendahnya budaya membaca menulis di masyarakat Indonesia. Bolehlah kita berpendapat bahwa bangsa kita tengah, atau bahkan sudah lama mengalami krisis literasi. Di seluruh dunia, perhatian terhadap perkembangan literasi memang semakin meningkat, dengan anggapan bahwa di mana-mana sedang terjadi krisis literasi. Apakah krisis yang kita bayangkan ini memang ada, dan bila iya, apakah dimaknai sama? Sebenarnya definisi krisis ini amat beragam, bergantung di mana krisis itu dianggap terjadi. Dalam buku Literacy and Motivation (2001), Ludo Verhoeven dan Catherine E. Snow memberikan beberapa contoh krisis literasi. Di negara-negara berkembang misalnya, istilah krisis literasi mengacu pada pentingnya peran literasi dalam pembangunan ekonomi, namun dihadapkan pada kondisi keterbatasan ketrampilan literasi di kalangan masyarakat, akses pendidikan, dan tantangan dalam menerapkan sistem pendidikan secara universal bersamaan dengan program literasi untuk orang dewasa. Bila melihat ciri-cirinya, kita harus mengakui bahwa bangsa Indonesia masuk dalam kategori ini.  Sulitnya kondisi pendidikan seperti terbatasnya jumlah guru, minimnya fasilitas, dan sulitnya menjangkau lokasi sekolah di daerah-daerah binaan program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3-T) menjadi bukti lebarnya disparitas pendidikan di negara kita.

Di negara-negara maju, dengan tingkat literasi yang tinggi, termasuk di dalamnya adalah Amerika bagian utara (AS dan Canada) dan Eropa, krisis literasi berarti terdapatnya ketimpangan dalam distribusi ketrampilan literasi. Hal ini disebabkan oleh lebarnya jurang penguasaan ketrampilan literasi dalam konteks pendidikan formal antara masyarakat imigran dan kelompok minoritas dengan populasi negara-negara tersebut secara keseluruhan. Bahkan di negara-negara maju yang boleh dikatakan sudah mencapai tingkat literasi yang merata, krisis literasi juga terjadi, dalam konteks ketidak-mampuan kelompok masyarakat angkatan kerja untuk menjawab tantangan teknologi canggih yang digunakan di peralatan-peralatan pekerjaan untuk jenis pekerjaan kasar sekalipun. Dengan kata lain, literasi digital di kalangan masyarakat pekerja di negara maju ada pada tingkat mengkhawatirkan.

Makna lain dari krisis literasi adalah kondisi di mana orang-orang yang secara teknis sangat ‘literate,’ dalam artian mampu membaca buku-buku yang kompleks, malah menunjukkan gejala aliterasi. Misalnya, anak-anak sekolah yang berprestasi terbukti menghabiskan waktu lebih sedikit untuk membaca dibandingkan dengan anak-anak di usia sama pada 50 tahun yang lalu; buku-buku ‘best-seller’ untuk orang dewasa tidak lagi berupa sastra berkelas, namun adalah how-to books atau fiksi murahan; dan diskusi atau obrolan bermutu tentang pengarang besar dan karya-karyanya sudah digeser oleh obrolan tentang program televisi dan software komputer.  Jujur saja, kondisi aliterasi seperti ini juga terjadi di masyarakat urban di Indonesia, dengan variasi yang lain. Yang terjadi bukanlah penurunan tingkat membaca atau pergeseran topik obrolan, namun rendahnya kebiasaan membaca di kalangan masyarakat terdidik, terutama di sekolah. Kalau karya sastra anak bangsa sendiri saja hampir tidak pernah disentuh, bagaimana mau terlibat dalam obrolan cerdas tentang sastra.

Menyedihkan memang menyadari bahwa semua makna krisis literasi di atas terjadi pada bangsa kita, mulai hulu hingga hilir, dari daerah tertinggal hingga rumah-rumah mentereng di kota besar. Krisis literasi yang terjadi di dunia ternyata lengkap tersedia di masyarakat kita, mulai tingkat functional literacy yang dibutuhkan untuk sekedar baca tulis untuk kehidupan sehari-hari dan untuk belajar di bangku sekolah, digital literacy untuk meningkatkan posisi tawar di dunia kerja, sampai critical literacy untuk mengasah sensitivitas dan kesadaran berkehidupan yang manusiawi.

Upaya untuk mengembangkan literasi memerlukan redefinisi literasi itu sendiri. Literasi bukan hanya pencapaian kognitif, dalam arti bahwa seseorang mampu membaca dan menulis. Pandangan ini akan cenderung membawa kita pada keyakinan bahwa literasi adalah tanggung-jawab sekolah. Kita perlu menyadari bahwa literasi membutuhkan komitmen secara afektif. Hanya dengan melihat makna literasi secara holistik ini kita bisa mencetak ‘pembaca aktif,’ yang punya motivasi internal untuk membaca, memahami kenikmatan dan manfaat yang diperoleh dari kegiatan membaca, dan menyediakan waktunya untuk membaca dalam keseharian. Literasi yang bernafaskan komitmen afektif sebenarnya adalah bagian dari pemikiran bahwa literasi adalah praktik sosial, yang mengandung nilai-nilai, perasaan, dan perilaku individu/masyarakat. Literasi sebagai praktik sosial, sebagai vernacular practice memiliki berbagai fungsi, untuk mengatur kehidupan sehari-hari, komunikasi personal, kesenangan pribadi, dokumentasi kehidupan pribadi, pemaknaan diri dan lingkungan, dan partisipasi sosial.  Hanya dengan melihat literasi sebagai satu praktik sosial kita bisa menemukan faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi motivasi baca-tulis, untuk kemudian bisa membentuk (kembali) peran literasi untuk meningkatkan kualitas hidup bermasyarakat.      

Kehadiran media dalam kehidupan sehari-hari memang mengubah hidup kita secara drastis. Lalu bagaimana kita menyiasati krisis literasi , sementara dalam keseharian kita terpapar pada media? Dunia berbasis web 2.0 seperti sekarang ini sebenarnya malah membuka banyak peluang. Sebagai orang yang sering mengamati karya seni dalam bentuk film dan dan artefak budaya lain seperti iklan dan acara TV, saya termasuk yang percaya bahwa ada konvergensi antar praktik literasi. Konsep literasi sekarang ini sudah masuk ke third wave, dengan istilah New Literacy Studies (NLS). Literasi tidak hanya terbatas pada printed form, namun juga dalam bentuk media digital. Itulah yang kemudian membuat Cultural dan Media Studies semakin beririsan dengan Literacy Studies. 

Pemanfaatan media untuk critical engagement justru sangat dianjurkan dalam proses belajar mengajar sekarang ini, terutama dengan kondisi bahwa mayoritas siswa sekolah (terutama di masyarakat urban) sudah menjadi digital natives. Di sisi lain, guru-gurunya masuk dalam golongan digital immigrants. Untuk bisa memenangkan hati mereka, memotivasi mereka untuk cinta literasi, satu-satunya cara adalah memahami cara berpikir 'digital' mereka, bukan sebaliknya, memaksa siswa masuk ke dunia 'primitif' guru-gurunya. Bukankah akan sangat menarik bila siswa/mahasiswa diajak berdiskusi tentang film atau media apapun dan melatih mereka menuliskan pandangan kritis mereka. Tidak masalah nantinya mau dituangkan bentuk print atau digital (mis. blogging). 

Media dan teknologi hadir tidak untuk mengganti buku dalam bentuk cetak, namun melengkapi pengalaman pembelajaran tatap muka. Ini juga untuk merespon kebutuhan tiap anak dalam gaya belajar yang pasti berbeda. Pemahaman guru tentang kecerdasan majemuk akan bisa memperkaya metode dan strategi pembelajaran yang dilakukan di kelas. Contoh yang saya amati di kelas English di sekolah Ganta, versi novel dan film sama-sama dinikmati dan dibahas di kelas. Pada akhirnya, siswa tetap dituntut menghasilkan sesuatu dalam bentuk tulisan. 

Dalam kaitannya dengan digital literacy, di lapangan sebagian guru/dosen sebenarnya malah membukakan pintu teknologi bagi sebagian (maha)siswa. Semua bergantung pada masanya. Setidaknya itu yang saya alami dulu. Saya pertama kali menggunakan milis untuk forum diskusi kelas sastra saya pada tahun 2005. Tidak terlalu jalan, karena banyak yang masih belum punya email, dan tidak ngeh dengan forum milis. Pada tahun-tahun berikutnya, saya mulai pakai blog untuk posting bahan kuliah dan forum diskusi. Lumayan lancar dan engaging, meski sebagian tidak punya akun, sehingga harus nunut akun temannya bila mau posting. Saat penggunaan Facebook menjamur, saya menambah jalur, dengan menggunakan FB group khusus untuk forum diskusi. Pada titik ini, rasanya lumayan lancar jaya dan interaktif. Saya kira karena model mahasiswanya sudah beda banget. Model yang terakhir ini nampaknya yang sudah digital natives. Bahan obrolan di FB group malah kemudian bisa memperkaya diskusi di kelas, atau sebaliknya, menjadi tindak lanjut pembahasan di kelas yang belum tuntas. 

Sebagai guru, kita memang harus merangkul model pembelajaran konvensional dengan model digital. Seberapa cinta saya dengan penggunaan teknologi dalam pembelajaran, saya  masih menikmati romantisme memegang novel untuk mengajar kelas Prose misalnya. Rasanya nikmat ketika bisa memegang bukunya, membaca kalimat-kalimat indah dan imajinatif untuk menghidupkan suasana dramatis dan  memancing diskusi, serta tidak ribet dengan powerpoint. 

Pembelajaran yang holistik sudah menjadi keniscayaan. Pertanyaannya, siapkah kita sebagai guru menjawab tantangan ini? 

Saturday, January 26, 2013

MENGENTAS KEMISKINAN MELALUI PENDIDIKAN: SEBUAH RESEPSI FILM HONG KONG HELPER NGAMPUS


Jumat pagi yang lalu saya menerima kiriman CD film Hong Kong Helper Ngampus (HHN) dari Ani Ema Susanti. Seperti yang sudah pernah saya ceritakan di tulisan saya sebelumnya, Ani adalah mantan buruh migran yang sukses menyelesaikan kuliahnya di bidang psikologi. Saat ini Ani lebih menekuni bidang penyutradaraan film.

Film HHN sendiri adalah film dokumenter pertama Ani. Digarap bersama dengan rekannya, Yuni Dhevie Hapsari,  HHN menjadi finalis dalam Eagle Award 2007 yang diadakan Metro TV.

HHN yang berdurasi sekitar 17 menit ini berkisah tentang dua mantan TKW Hong Kong. Subiantini bekerja di HK selama 8 tahun, sedangkan Acik Saadah hanya bekerja selama 1 tahun 4 bulan. Tidak sampai finish kontrak. Dari hasil kerjanya , Tini memiliki cukup dana untuk membayar hutang orang-tua dan membeli sawah, sedangkan Acik hanya memegang cukup uang untuk membantu pengobatan ibunya dan membayar hutang bapaknya. Dengan sisa dana terbatas dan dorongan orang-tua, Acik bertekad merealisasikan cita-citanya kuliah di perguruan tinggi.

Sebagai media yang tidak terlalu panjang, HHN cukup utuh memotret lika-liku TKW dari sudut pandang yang berbeda. Dari kacamata Tini dan Acik misalnya, penonton disuguhi persepsi bahwa TKW bukanlah pekerjaan yang memiliki martabat tinggi di mata masyarakat.

“Tahu sendirilah apa pekerjaan TKW. Tidak seperti guru yang sangat dihormati, TKW atau petani itu sama, kayak orang biasa,” begitu penuturan Acik.

Meski demikian, Tini menganggap bahwa pekerjaan TKW memberi penghidupan bagi orang lain yang merasa lebih tinggi statusnya. Itu dia ungkapkan ketika seorang pengusaha PJTKI (sekarang PPTKIS) merendahkannya.” Kamu tahu nggak, kamu itu cuman babu.” begitu tirunya. Tini menimpali perlakuan itu dengan cerdas, “Lho, bapak ini jangan seenaknya menghina babu, bapak ini bisa makan juga dari babu.”
HHN juga tak lupa mengambil sudut pandang pengusaha PJTKI. Situasi Balai Latihan Kerja milik PJTKI, di mana calon TKW yang belajar tentang pengasuhan anak, belajar bahasa, dan saat proses pemberangkatan menjadi bagian beberapa scene. Pelatihan seperti ini diperlukan untuk menyiapkan calon TKW dengan kompetensi yang diperlukan sesuai kontrak kerja. Pak Welem, sang pengusaha, mengatakan bahwa dia dan beberapa koleganya juga menerapkan strategi pelatihan yang sama untuk pembekalan. “Saya berharap sebagai pengusaha, mereka tidak hanya berorientasi pada keuntungan. Namun juga ada pertimbangan kemanusiaan dan kepentingan sosial. Itu harusnya jadi tujuan utama”

Potret pelatihan ini mengingatkan saya pada suasana balai latihan kerja di kawasan Gempol di Jawa Timur. Sehari sebelum saya terbang ke Hong Kong pada awal Januari 2013 yang lalu, saya mendapat ijin untuk melihat sendiri kondisinya yang bersih dan cukup nyaman. Ada ruang pelatihan bahasa, pengasuhan anak, perawatan orang-tua, dapur, ruang makan untuk praktek penyajian makanan, dan mesin cuci berbagai model. Salah seorang managernya, sebut saja Bu Puji, menyatakan bahwa sebelum kontrak kerja turun, semua calon TKW memperoleh semua jenis pelatihan. Begitu kontrak kerja turun, mereka akan dilatih lebih khusus sesuai dengan jenis pekerjaan yang tercantum di kontrak kerja. Bu Puji sempat bercerita bahwa di kalangan PPTKIS memang ada pengusaha yang cenderung profit-oriented. Bu Puji malah mengaku bahwa dia bisa hidup dari para TKW juga. Itu sebabnya secara pribadi, sebutan TKW atau buruh justru kurang dia sukai. Bu Puji lebih suka menyebutkan mereka siswi Hong Kong atau Taiwan, bergantung pada negara yang akan dituju. Setidaknya kode etik ini yang dia coba terapkan di antara para stafnya.

Dengan judul HHN, sosok Acik memang menjadi sorotan film ini. Meski tidak sampai menyelesaikan kontraknya, gara-gara majikannya dipecat dan tidak mampu lagi membayar gaji, Acik tetap mempertahankan keinginannya kuliah. Acik mengingat kembali masa-masa di mana dia selalu merasa minder bila melihat sosok mahasiswa. Di matanya, mahasiswa adalah figur yang cerdas. Keinginan ini tersampaikan ketika dia bisa duduk di bangku kuliah di Fakultas Tarbiyah di salah satu universitas Islam swasta di Jawa Timur. Sambil kuliah, dia juga mengajar SD di desanya di Jombang. Status guru di desa amat dihargai, dan ini memberikannya identitas diri yang lebih berdaya. “Bila saya jadi TKW lagi, maka selamanya ya akan tetap jadi TKW. Beda dengan kalau saya kuliah.” Dengan memperoleh ilmu dari bangku kuliah, Acik melihat masa depan yang lebih cerah. Dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, dan tidak perlu menjadi TKW lagi. “Orang jadi TKW itu kan karena tidak ada lapangan pekerjaan di Indonesia.”

Sebagai sebuah film dokumenter, HHN cukup berhasil mengajak pemirsanya mengubah persepsi bahwa buruh migran adalah sosok yang tidak berdaya.  Acik sendiri menuturkan bahwa teman-teman kuliahnya tahu statusnya sebagai mantan TKW. Bagi mereka, tidak ada masalah dengan pekerjaan itu. Bahkan ketika mereka tahu bahwa Acik menggunakan hasil kerjanya untuk membiayai kuliahnya dan adiknya, mereka sangat mengapresiasi tekad dan semangat Acik.  Sementara itu, Tini bertekad mengupayakan agar anaknya yang berusia balita nanti dapat mengenyam pendidikan tinggi, agar tidak bernasib sama seperti orang-tuanya. Kalau untuk itu dia harus berangkat lagi menjadi TKW, asalkan suaminya mengijinkan, dia mungkin akan berangkat lagi.

Pemberdayaan masyarakat membutuhkan banyak pihak untuk berperan sebagai katalisator. Tentunya diperlukan peran PPTKIS yang berorientasi kemanusiaan dan pemberdayaan perempuan. PPTKIS yang mau membuka diri terhadap kalangan di luar, agar mereka juga bisa menjalankan perannya dengan baik. Dalam hal ini, Ani, sang sutradara, menilik pengusaha PJTKI yang membuka pintu perusahaannya menjadi tempat shooting. Sang pengusaha ini akhirnya malah mengajak Ani untuk terlibat dalam pembekalan calon TKW. Film HHN menjadi andalan Ani sebagai media informasi. Atas ijin Ani, saya sendiri berharap bisa memberikan copy CD film ini ke kalangan PPTKIS, bila mereka tertarik menggunakannya untuk pembekalan. Berangkat ke luar negeri dengan misi jelas akan menjadi suntikan semangat luar biasa bagi para calon TKW.

Di mata saya, Acik mewakili suara Ani sendiri. Sebagai mantan BMI yang berhasil lulus kuliah, Ani (dan Acik) menorehkan harapan bagi teman-temannya yang masih bekerja di Hong Kong atau negara lain, dan juga para calon TKW yang berada di pembekalan. “Janganlah menyia-nyiakan kerja kerasmu. Kalau kamu punya impian, apapun itu, kejarlah sampai dapat. Setiap orang yang mau berusaha, pasti bisa.”
Ani, Acik, dan banyak mantan buruh migran yang sudah membuktikannya. Sebagaimana pernyataan di awal film, “Bye bye Hong Kong, I'm a teacher now.”

Friday, January 11, 2013

Kisah-kisah yang Tertinggal di Hong Kong


Di antara hari-hari saya menguntit buruh migran penulis, sebenarnya ada banyak kisah yang tak ada hubungannya dengan penelitian saya. Cerita yang tak akan masuk dalam disertasi saya, namun lebih banyak memaksa saya untuk merenungi alasan saya di sini.

Tempat saya menginap adalah sebuah apartemen yang disewakan oleh sebut saja Ramon, seorang BMI yang stay out. Selama seminggu saya tinggal di unit di daerah hiruk pikuk Causeway Bay, praktis tiap hari penghuninya keluar masuk. Kalau bukan orangnya, minimalnya kopernya. Ya, unit ini memang multi-fungsi. Tempat BMI stay out pulang selepas kerja, transit sementara BMI yang sudah finish kontrak dan menunggu visa, dan penginapan sementara mereka yang siap-siap mau pulang. Ada lebih banyak lagi yang hanya ditandai dengan keberadaan kopernya. Baik milik mereka yang tidak boleh menyimpan banyak barang di rumah majikan, maupun yang tiba-tiba datang malam-malam karena di-terminate oleh majikannya.

Bayangkan sendiri kondisi tempatnya. Unit ini terletak di lantai 6 bangunan yang tidak bisa dikatakan modern, meski juga tidak sampai harus dikatakan tua. Jauh dari kesan kumuh. Dua kamar yang tidak terlalu luas saat ini disewa oleh pak Edi, seorang aktivis LSM dari Tulungagung, dan saya sendiri. Property yang sangat mahal di Hong Kong membuat saya dan pak Edi masing-masing harus merogoh HK $ 350/malam. Itu sekitar 400 ribu rupiah lebih sedikit. Tidak usah dibayangkan kamar hotel yang nyaman. Praktis kondisinya seperti kos-kosan. Itupun sudah termasuk murah sekali, daripada tinggal di hotel. Lalu bagaimana dengan para BMI yang juga tinggal di sini? Ada Ramon si bos, Rani dan Nia yang sama-sama stay-out. Mereka bertiga bekerja untuk majikan bule. Ada Yufi yang baru finish kontrak dan sedang menunggu visa turun untuk pindah majikan. Ada lagi Nuri yang akan terbang ke tanah air besok pagi untuk pulang seterusnya. Mereka semua tidur di lantai ruang tamu, dengan kasur yang digelar bila sudah saatnya tidur. Di tengah-tengah ruang tamu penuh dengan tumpukan koper, dan belum lagi sela-sela ruang yang bisa dislempiti koper. Untuk bisa tidur model pindang ini, penyewa cukup membayar 40 dolar/malam.

Meski sempat terhenyak dengan kondisi penginapan seperti ini, pada akhirnya saya malah bersyukur. Saya tidak usah jauh-jauh menyelami secuil kehidupan para BMI. Hampir tiap malam ada saja BMI yang datang menitipkan koper. Saya biasanya masih cangkrukan dengan anak-anak sambil lesehan di kasur mereka. Lilik misalnya, datang 2 hari yang lalu, sambil membawa 2 koper besar.

"Titip ya bos," katanya.
Aku ikut nimbrung. "Lapo mbak kok bengi-bengi?"
"Interminit mbak," jawab Lilik. Itu istilah anak-anak untuk contract termination oleh majikan. Bila buruh migrannya yang memutus kontrak, istilahnya adalah nge-break kontrak. Bila interminit terjadi dengan mendadak, maka menit itu juga si BMI harus ringkes-ringkes keluar dari rumah majikan. Tak peduli jam berapapun.

"Lha nyapo kok interminit," tanya Rani yang juga baru pulang kerja.
"Cemburu kayake mbak," jawab Lilik dengan logat Kendal yang medok.
Semua ketawa. Apalagi setelah Rani menimpali. "Lha wong awakmu yo ora ayu-ayu banget, apane sing dicemburoni?" Rani suka ceplas-ceplos. untungnya Lilik juga tenang saja menanggapi. "Lha mbuh, wong bos wedok kuwi ayu banget. Ora duwe duit nggo mbayar babu ketoke."

"Terus tidur di mana nanti?" tanya yang lain.
"Di tempat agent, sambil cari majikan. Pingin stay out aja, cari yang bule."

Selama seminggu lebih tinggal di sini, saya sering keluar cari makan bareng dengan beberapa teman BMI yang juga tinggal di situ. Kami menelusuri warung-warung Indonesia yang cukup banyak di sekitar situ. Sambil makan, saya nanggap kisah-kisah mereka. Pemilik warung dan buruh migran lain yang sama-sama makan di situ pasti menganggap saya bagian dari mereka juga. Dari situlah cerita-cerita lain meluncur deras. Yufi ternyata underpaid selama 2 tahun. Dia digaji cuma 2000 dolar, dari standar gaji 3920. Yang lain setengah menggoblok-goblokkan Yufi yang masih lugu. Setengahnya salut atas kesabarannya, atau tepatnya, kepasrahannya. Banyak BMI yang paham akan hak-haknya, dan bisa saja menuntut ke pengadilan, agar majikan memberikan kompensasi. Cukup banyak yang berhasil membuat majikan nego supaya tidak kena denda tinggi dari pemerintah. Untunglah Yufi sudah memperoleh majikan baru. Kali ini dengan gaji yang standar. Dia tersenyum lebar. Begitu visa turun, dia sudah langsung bekerja, tanpa potongan gaji seperti saat kontrak pertama. Dan langsung dapat hari libur juga. Yufi yang paling muda di antara kami banyak mendapatkan nasehat untuk tidak ikut neko-neko nanti.

Ada lagi cerita Nia, anak Yogya berwajah Manado. Menjelang tengah malam, bosnya yang masih muda meng-interminit dia. Gara-garanya, si bos menyukainya, tapi cinta bertepuk sebelah tangan. Mungkin sang majikan jengkel sudah keluar duit buat membelikan gadget canggih dan macam-macam, tapi Nia tak menanggapi cintanya. Cemburu mewarnai kasus ini, karena saat itu Nia sedang dekat dengan bule dari Amerika. Orang-tua si majikan sampai nangis-nangis nggondheli Nia. Tugasnya memang melayani kedua orang tua si bos. Nia yang memang pemberani menuding-nuding si bos yang tidak punya perasaan. Tapi tetap saja dia harus menggeret koper-kopernya. Naik taksi mencari penginapan dari satu tempat ke tempat lain. Sebelum akhirnya terdampar di tempat Ramon. "Aku ya gengsi turu nang shelter, wong aku ya duwe dhuwit." Tempat kami tinggal memang dekat dengan beberapa shelter di kawasan Causeway Bay. Shelter ini biasanya jadi jujugan mereka yang berkasus dan tidak ada dana.

Cerita hidup Nia membuat saya mengernyitkan dahi, ketika dengan santainya dia bercerita tentang 'bos'nya sekarang yang orang Eropa. Saat kami makan, memang Nia beberapa kali ngobrol dalam Bahasa Inggris dengan bos-nya. Dengan percakapan yang lebih pas dianggap sebagai bentuk kedekatan. "Timbangane munafik sok bersih, mending kaya aku iki jujur apa anane." Yufi dan Nuri suka cekikikan bila Nia sudah bilang begitu.

Cerita Nia mirip dengan seorang BMI stay-out lain yang juga sama-sama makan saat itu. Sebut saja Lisa namanya. Bahasa Inggrisnya mahir. Sedikit agak show off ketika ngobrol dengan temannya. Ketika Nia mengenalkan bahwa aku dari Australia, aku mendelik sama dia. "Halah apa to yo'. Dari Surabaya kok dik." Ternyata pancingan itu membuat Lisa bercerita lebih panjang. Dia stay out dengan majikan bule. Sama seperti Nia, dia juga berani memaki majikan ketika di-interminit. Gara-garanya, setiap libur Lisa suka berdandan sexy. Majikan tidak suka, dan dengan entengnya Lisa bilang, "It's my holiday, right. I can do whatever I want and wear whatever I like." Itulah salah satu alasan akhirnya dia di-terminate. Dengan kondisi sekarang, Lisa merasa nyaman karena majikan bulenya memperlakukan dia seperti teman. Saat libur mereka bisa hang out bareng. "We drink together, smoke together. When I got hangover, he would cook for me." Saya perhatikan Lisa lebih jeli. Bajunya terlalu tipis untuk winter, bahkan angin akan mudah menerobos kaos hitam you-can-see nya.

Kisah-kisah sebagian BMI ini membuat perasaan saya bergerak seperti pendulum. Dikasihani, wong mereka kelihatan menikmati hidup. Setidaknya, gadget-gadget canggih mereka menjadi penanda. Mulai IPhone, IPad 3, Samsung Galaxy Note, dan Mac akrab dengan diri mereka. Dan sepanjang yang saya tahu, teman-teman saya ini juga berinvestasi dengan uang mereka. Berhadapan dengan Ramon dan Rani, misalnya, adalah bicara dengan sosok perempuan profesional yang mandiri dengan visi masa depan yang jelas.

Rasa prihatin lebih layak diarahkan ke mereka yang tinggal di shelter. Seperti mbak Tari yang patah tangannya karena dianiaya majikan sehingga dia kabur. Atau Sa'adah yang di-terminate karena menampar anak majikannya demi pembelaan diri. BMI seperti merekalah yang perlu pendampingan saat kasus maju ke pengadilan. Saat saya keluar dari shelter Kothiko, saya tidak tahan untuk tidak menangis. Saya akan merasa malu bila kehadiran saya di HK ini hanya untuk mengeksploitasi cerita hidup mereka.

Ketika saya kembali ke Surabaya dalam beberapa hari lagi, teman-teman saya ini masih akan berjuang untuk keluarganya. Entah untuk berapa kali kontrak lagi. Banyak yang ragu kapan akan berhenti. Meskipun begitu, seberapapun nyamannya kehidupan sebagian BMI di HK, tak seorangpun berfikir untuk menghabiskan sisa hidupnya jauh dari keluarga. Andai saja negara hadir untuk mereka.