Beberapa waktu yang lalu saya menerima postingan dari bu Lies Amin di milis Keluarga Unesa. Yang paling saya suka adalah ketika bu Lies membagi pandangan pak Santiko Budi tentang sastra dan budaya. Dosen senior ini adalah salah satu yang paling saya kagumi kedalaman berpikirnya. Amat filosofis. Tapak langkah saya menempuh S2 di UGM, S2 di Texas dan sekarang ini di Melbourne, tidak lepas dari campur tangan beliau.
Beberapa bulan yang lalu pak Santiko menuliskan tanggapan terhadap tulisan saya tentang Literasi dan Budaya Pop di sini. Sekarang muncul lagi sambungannya, Kali ini lebih dekat dengan dunia sastra. Ini dia ulasannya.
=======
Postingan bu Lies:
Tadi siang ada acara halbil di FBS. Semua dosen dan karyawan, termasuk yang sudah pensiun diundang. Hadir dalam acara itu p jonohudijono, p soerono martorahardjo, ibu joharni harjono, p budi darmo, p hendra, b kutsi, p mas moeliono, p djoko soeloeh, ibu harjoso, ibu titoet soa sofia, p soenarjo, dekan fik, p budi djatmiko, p sugimin, bu totong, dan banyak pensiunan lain termasuk suami atau istri mereka. Selain para pensiunan, tentu dosen dan karyawan yang masih aktif termasuk tenaga honorer dan cleaning service juga hadir.
Saya tentu tidak sempat berhaha hihi dengan semua orang saking banyaknya yang hadir, tetapi dari beberapa yang sempat berbincang dengan saya ada beberapa yang menarik. B joharni menanyakan draft buku b thea, b titoet yang sudah tidak ingat kepada saya (maklum mahasiswa tanpa identitas khusus waktu itu), p budi darma seperti biasa menanyakan kabar terakhir saya dan anak-anak, dan lain-lain. Ketika saya berbincang dengan p santiko (karena saya harus memberikan inflight magazine wings air yang memuatvreportase putra beliau tentang dalang wayang potehi), beliau saya tanya mengapa kok catatan beliau tentang literacy tidak dilanjutkan. Beliau hanya tersenyum. Tapi sore ini saya mendapatkan email dari beliau sbb:
Ulasan pak Santiko:
Dalam obrolan yang lalu, saya mengatakan kita tidak punya tradisi literasi sebab pada dasar- nya kita (masih) merupakan komunitas dengan tradisi oral, Tapi mungkin bisa juga dicoba dilihat dari sisi lain, terutama dari cara pandang kita. Sebagai bangsa, kita lebih hidup di masa kini, di saat ini, dan keadaan ini diperparah oleh kegandrungan kita akan budaya instan. Sebagian mengatakan sebagai bangsa, kita memiliki ingatan pendek, cepat lupa. Sebenarnya ini merupakan wujud nyata sikap sesaat dan kekinian kita. Kita abai terhadap "national heritage" kita. Kita baru tahu kita punya La Galigo, konon epic terpanjang di dunia mengenai asal usul manusia dan banyak hal lain mengenai kehidupan dan makna hidup, lewat orang Barat.
La Galigo merupakan suatu karya monumental, tapi kemudian kita terlantarkan sehingga hilang dari ingatan. Kita ciptakan Borobudur, suatu monumen beneran yang monumental, tapi lalu kita terlantarkan hingga akhirnya tertimbun tanah untuk kemudian hilang dari kesadaran kita sampai ditemukan dan digali orang Barat. Kita hancurkan gedung-gedung bersejarah dan di atas reruntuhannya kita bangun pusat perbelanjaan. Kita pemilik gamelan, tapi orang Barat lebih getol mempelajari dan menggubah gending-gending. Kita tidak memiliki jiwa dan pandangan yang berkesinambungan. Kita adalah manusia tanpa masa lampau. (Bandingkan dengan ujaran: "What is us, without our past?") Secara sederhana literasi bisa dimaknai melek huruf, mampu membaca. Tapi kiranya tidak sesederhana itu. Maknanya adalah memelekkan manusia sebagai suatu bangsa. budaya Barat dikenal memiliki/mewarisi tradisi Greco-Judeo-Roman, artinya diwarnai budaya Yunani, Kristiani, dan Romawi. Pilihan bacaan dalam upaya me-literasi-kan bangsa didasarkan atas lteratur-literatur yang mengandung unsur-unsur di atas. Hal ini berlaku turun-temurun sehingga "heritage" tersebut masuk ke dalam kesadaran/ketidaksadaran mereka.
Untuk identitas bangsa, orang Inggris misalnya, menggunakan materi 'lokal', misalnya kisah-kisah "Beowulf", "King Arthur", "Canterbury Tales", karya-karya Shakespeare, Charles Dickens, Thackery, serta karya-karya besar lainnya. Karena itu ada kisah-kisah dan tokoh-tokoh yang kemudian seakan menjadi "currency", kadang ditemukan dalam percakapan sehari-hari tanpa perlu penjelasan karena sudah merupakan milik bersama, milik umum, ada di dalam ranah kesadaran/ketidksadaran masing-masing. Misalnya kalau dalam percakapan ada orang menyebut si Anu adalah Falstaff, atau Scrooge, atau Miss Havisham, maka yang diajak bicara memahami apa yang dimaksud pembicara. Di dalam karya sastra fenomena ini bisa dilihat dari penggunaan alusi. Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan proses literasi di Indonesia. Tampaknya kita baru pada tahap memelek-hurufkan manusia, belum sampai ke tahap memelekkan manusia sebagai bangsa. Dan, kita belum memiliki "currency." Mungkin.
Each and every minute counts if you always try to look around and see that even a falling leaf or a small drop of rain means something. But its meaning may fade quickly, unless you make an effort to keep the track.
Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts
Friday, August 16, 2013
Sunday, July 14, 2013
Bahasa, Literasi, dan Sastra
Hari Kamis lalu saya kembali menyusuri rak-rak perpustakaan kampus. Karena fokus saya tentang literasi, yang paling sering saya tuju adalah Giblin Eunson Library. Di sini ratusan buku literasi ditata berderet-deret. Saking seringnya saya ndoprok di karpet, saya jadi hafal letak buku, dan juga bila ada buku baru. Dan hari itu saya nemu buku baru. Terbitan 2013. Masih kinyis-kinyis. Mungkin saya peminjam pertamanya. Soalnya 1 bulan yang lalu, buku ini belum ada. Judulnya seksi banget buat saya. Language, Literacy & Literature.
Ketika Anda mendengar atau membaca istilah literasi, apa yang ada di benak Anda? Apakah istilah ini lebih dekat dengan ranah kebahasaan, sastra, atau pembelajaran bahasa? Bila kita memunculkan pertanyaan ini, sebenarnya kita masih terkungkung pada pikiran yang terkotak-kotak.
Pada posting terdahulu, mas Eko pernah mengungkapkan komentar guru-guru yang hadir dalam satu pelatihan literasi. "ah, istilah literasi kurang seksi, mas?" Komentar ini menunjukkan bahwa di kalangan pendidik di tanah air, literasi belum menjadi bagian penting dalam dunia belajar mengajar.
Selama ini saya bertanya-tanya mengapa topik literasi masih kurang mendapat tempat di tanah air, bahkan di kalangan pendidik sendiri. Sebagian menganggap bahwa ini adalah bagiannya orang linguistik. Sebagian lain melihatnya dari kacamata sastra. Terutama bila terkait dengan penulisan kreatif. Pikiran yang terkotak-kotak ini sering membuat saya galau. Sejujurnya, saya malah melihat literasi sebagai titik yang akan menggandengkan rumpun linguistik, sastra, dan pendidikan.
Buku ini seakan menjawab kegalauan saya. Ditulis oleh Alyson Simpson dan Simone White, buku terbitan Oxford UP ini menggunakan analogi three-legged stool, atau dingklik berkaki tiga. Bila patah satu, atau timpang tingginya, maka kursi itu tidak akan seimbang dan tidak nyaman diduduki, atau malah membuat orang jatuh. Meskipun buku ini jelas mengarah pada Bahasa Inggris, pastilah sangat bisa diterapkan untuk bahasa apapun. Nah, kursi itu adalah dunia pembelajaran bahasa. Ketiga kakinya adalah Bahasa, Literasi, dan Sastra. Pendidikan bahasa tidak akan bisa berjalan maksimal bila salah satu ranah lebih dominan, sementara satu atau bahkan dua kaki lainnya lebih pendek (atau bahkan belum terpasang).
Mari kita melakukan refleksi ke dalam dunia pembelajaran bahasa (Indonesia dan Inggris) di tanah air. Kaki mana yang masih timpang. Saya kok yakin jawabannya seragam. Cuma ada 1 kaki, yakni Bahasa. Itupun tidak sempurna. Di tingkat perguruan tinggi, bisa jadi kita sudah memiliki bahan untuk dudukan kursinya. Ketiga kaki juga sudah terasah. Sayangnya belum dipaku dan dipadu menjadi kursi yang kuat. Setidaknya, ini adalah otokritik terhadap jurusan saya sendiri.
Apakah analogi kursi dengan tiga kaki ini hanya berlaku untuk pembelajaran bahasa? Kita harus siap menjawab TIDAK, bila tekad untuk mengimplementasikan kurikulum 2013 sudah bulat. Syarat keberhasilan pembelajaran tematik adalah dengan memasukkan nafas literasi dalam kolaborasi antar disiplin.
Mari kita coba bayangkan siswa tengah belajar tentang cuaca dan hujan. Siswa dari berbagai tingkat sekolah bisa dilatih memproses informasi dari sisi Bahasa, Literasi, dan Sastra. Di ranah Bahasa, siswa SD misalnya, akan dikenalkan dengan kosa kata baru seperti awan, angin, embun, kabut, hujan, dsb. Mereka dibimbing untuk mendeskripsikan masing-masing fenomena alam, dan mungkin membuat kalimat berdasarkan gambar. Siswa di tingkat lebih tinggi akan belajar tentang jenis-jenis awan, mengenal istilah baru seperti awan cumulus, cumulonimbus, dan cirrus untuk memahami sebuat teks tentang cuaca.
Kunci keberhasilan untuk perkembangan literasi yang produktif adalah penggunaan ketrampilan praktis untuk mengkomunikasikan ide ke kelompok pembaca tertentu. Pemahaman tentang literasi adalah bagian bahasa yang diperlukan siswa untuk menggunakan pengetahuan mereka sebelumnya (prior knowledge) dan jenis komunikasi yang dibutuhkan untuk mengungkapkan ide. Siswa SD bisa menulis hasil pengamatan atau ingatan mereka tentang hujan dalam 1-2 kalimat, disertai dengan lukisan sederhana karya mereka sendiri. Siswa SMP bisa membuat laporan tentang proses terjadinya awan dan hujan berdasarkan hasil pengamatan. Dan laporan ditulis dengan menggunakan kerangka teks procedure atau report, bergantung pada tugas yang diberikan.
Bagaimana dengan sastra? Apakah tema sains seperti awan dan hujan bisa bergandengan dengan dunia imajinasi. Fakta dan fiksi adalah seperti dua sisi koin. Sama halnya dengan sains dan sastra (Kalau ini asumsi saya sendiri). Mengapa tidak? Pengalaman tentang hujan menjadi indah, sarat dengan sentuhan emosi yang personal, ketika puisi atau lagu diberi ruang. Simak saja lagu masa kecil kita,
Tik tik tik bunyi hujan di atas genting
Airnya turun tidak terkira
Cobalah tengok dahan dan ranting
Pohon dan kebun basah semua.
Bukanlah lagu yang nampaknya amat sederhana ini terdengar indah karena ada rimanya, baik di tengah maupun akhir baris (genting, ranting; hujan, dahan; turun, kebun; terkira, semua). Atau kalau suka dengan versi Bahasa Inggrisnya:
Rain, rain, go away
Come again another day
Adzra's friends all want to play
Rain, rain, go away.
Bayangkan siswa SD menyanyi bersama, sambil menengadahkan tangan, berharap hujan akan reda. Sentuhan sastrawi seperti inilah yang perlu lebih banyak mewarnai pembelajaran tematik. Tema sains bisa dipelajari tanpa harus melulu hanya menggunakan materi berbasis fakta.
Atau mau mengajarkan alur (plot) dalam film atau novel? Baik film Indonesia maupun asing nampaknya punya gambaran universal tentang hujan dan ketakutan. Ini yang kita kenal dengan collective consciousness a la Jungian criticism. Manfaatkan nuansa ini dengan menayangkan film bergenre horor atau misteri di kelas-kelas sekolah menengah. Kenalkan mereka tentang foreshadowing. Gambaran hujan deras, petir menyambar, dan pintu jendela terbuka-tutup dengan keras adalah pertanda bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk dalam cerita.
Atau ajaklah siswa SMA di kelas Bahasa Inggris membaca cerpen "The Man who Send Rain Clouds" karya Leslie Marmon Silko. Bawalah mereka pada gambaran cultural clash antara tradisi masyarakat Indian dan praktik agama Kristen dalam menghadapi kematian. Dan ajak mereka merefleksikan kisah itu pada kondisi di tanah air. Pasti banyak pengalaman senada. Bagaimana Islam mengajarkan doa dan shalat minta hujan, dan bagaimana tradisi budaya sebagian masyarakat dalam mengharapkan kemarau panjang segera berakhir. Jangan kaget kalau kemudian malah 'jatuh' pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Dunia akademik memang penuh dengan disiplin berbagai warna. Sekolah memang penuh dengan deretan mata pelajaran. Tugas kita sebagai pendidik adalah mengajak mereka melihat keterkaitan satu sama lain. Nah, sudah saatnya kita menanggalkan kepongahan disiplin dan 'ilmu sempit' yang kita punya. Mari mulai bergandengan untuk menciptakan masyarakat melek literasi di tanah air tercinta.
Rujukan:
Simpson, Alyson & White, Simone. Language, Literacy & Literature. Melbourne: Oxford University Press, 2013.
Friday, June 07, 2013
Catatan Literasi BMI: Memecah Kebisuan
Enam bulan berlalu, sejak kedatangan saya ke Hong Kong untuk mengamati praktik literasi para buruh migran Indonesia pada bulan Januari 2013 yang lalu. Sampai detik ini, lomba demi lomba bergulir, dan agenda literasi serasa tak berhenti berdenyut di kalangan BMI. Pada paruh pertama tahun ini saja, saya sudah ditarik untuk nyemplung ke berbagai peristiwa literasi BMI. Ini di luar tugas utama menulis tesis saya sendiri. Tak lama setelah balik ke Melbourne, saya memulai proses penterjemahan antologi cerpen Bauhinia Ungu karya Arista Devi ke dalam Bahasa Inggris, yang disponsori oleh organisasi migrant care dari masyarakat lokal Hongkong. Pekerjaan ini hasil dari obrolan selama saya berinteraksi dengan Arista Devi di HK, dan kemudian ditindak-lanjuti oleh Doris Lee, pengurus migrant care.
Agenda berlanjut dengan menjadi juri lomba penulisan cerpen yang diadakan oleh FLP-HK. Melalui Dhieny Megawati, ketuanya, FLP-HK juga mengajak saya menulis puisi untuk antologi Senandung Mimpi Hawa yang baru launching bersamaan dengan antologi cerpen The Miracle of Life. Untuk karya yang kedua ini, saya dijawil untuk memberikan kata pengantar.
Baru saja jeda 2 minggu, dan kembali fokus ke tugas utama saya, gantian Fera Nuraini, seorang BMI blogger/Kompasianer meminta kesediaan saya untuk menjadi juri lomba penulisan surat. Kali ini, giliran organisasi BMI-HK yang bernama Pilar (Persatuan BMI Tolak Overcharging) yang mengadakan lomba Surat dari Seberang. Selama 1 minggu, saya selesaikan pembacaan 57 surat dari buruh migran Hong Kong. Temanya bukan sekedar penyampaian kabar kepada keluarga di kampung halaman. Lebih dari itu, Pilar ingin mengajak para BMI-HK untuk 'mendidik' sanak keluarga tentang isu-isu ketenaga-kerjaan transnasional.
Lomba ini mengingatkan saya pada kegiatan serupa pada tahun 2010. Lomba Surat kepada Presiden SBY yang diadakan oleh Dompet Dhuafa Hong Kong mengantarkan Daniella Jaladara menjadi pemenang, melalui suratnya 'Surat Berdarah kepada Bapak Presiden.' Kumpulan surat yang terbaik juga dari lomba itu juga sudah dibukukan dengan judul yang sama. Antologi ini bahkan membawa nilai politis, ketika migrant care di Surabaya membawa buku ini sebagai simbol perjuangan, diserahkan kepada Pakde Karwo dan SBY. Meski orang-orang penting ini belum tentu membacanya, tak urung liputan media mendongkrak nilai politisnya. Cerita 'Surat Berdarah' bahkan berulang-kali dibaca dalam demo perburuhan, dan peragawati kondang Ratih Sanggarwati sempat menjadi pembaca surat itu di depan publik.
Apakah lomba Surat dari Seberang ini nantinya akan bermuara sama, saya tidak tahu pasti. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa semangat perlawanan memang menjadi nafas berbagai agenda organisasi perburuhan. Nama Pilar sendiri sudah mewakilinya, Tolak Overcharging. Ini untuk menyuarakan perlawanan terhadap praktik-praktik pemerasan, sebagai hasil 'konspirasi ' agen tenaga-kerja di Indonesia, pemerintah Indonesia sendiri, agen di HK, dan juga para majikan.
Meski mengusung semangat perlawanan seperti itu, toh para BMI yang berpartisipasi memaknai lomba ini secara bervariasi. Cerita beraneka warna tertuang. Isu-isu dari negeri hutan beton diwakili oleh kisah-kisah sedih tentang majikan yang pelit, menahan gaji, underpayment, tidak ada libur. Banyak juga cerita manis seperti persahabatan dengan warga lokal Hong Kong dan aktivitas menulis yang diikuti penulis surat. Di sisi lain, luapan emosi yang bergerak dari kerinduan terhadap anak, suami, dan orang-tua berlomba dengan kekecewaan dan kemarahan atas sikap konsumtif keluarga dan bahkan ketidak-setiaan pasangan. Ungkapan-ungkapan seperti 'apa kalian tidak bisa ikut memikirkan perasaanku, selain minta uang dan uang terus,' 'pikirkan ulang untuk mentalakku,' sampai permintaan cerai bisa ditemui di sebagian surat.
Tentu saja semangat perjuangan tak lepas dari isi tiap surat. Seperti yang saya duga, dari hasil pengamatan dan wawancara selama ini, dorongan untuk terus mengedukasi diri inilah yang membuat para BMI berani menyuarakan hatinya. Gayatri Spivak, pakar postcolonial studies, melontarkan pertanyaan yang fenomenal, 'Can Subaltern Speak?' Para buruh migran adalah figur 'subaltern,' baik dari sisi gender, ras, maupun kelas. Saya berani memastikan bahwa lomba Surat dari Seberang ini menjawab pertanyaan Spivak. Melalui literasi, sekali lagi BMI meneguhkan bahwa mereka juga punya suara.
Batas spasial bukan lagi tantangan. Dengan literasi digital yang sudah mereka kuasai, batas darat dan air semakin kabur di udara. Para BMI tak henti berupaya sampai berdarah-darah untuk membuktikan bahwa suara mereka layak didengar.
Ketika kebisuan harus dipecah, wahana apa yang lebih abadi daripada menuliskan kata-katamu sendiri?
Sunday, May 26, 2013
Towards a Literate Society
Tahukah
beda antara masyarakat yang berbudaya lisan dan tulis? Walter Ong menuliskan
dengan gamblang betapa jauhnya disparitas antara orality dan literacy dalam
bukunya Orality and Literacy: The Technologizing of the World (1982).
Dalam masyarakat lisan, tidak ada istilah ungkapan seperti ‘coba dicek di
buku,’ atau kalau dalam bahasa Inggris dengan idiom ‘look up something.’
Itu karena kata-kata memang tidak pernah divisualisasikan, dan hanya berupa
bunyi. Dan karena hanya bunyi, maka akan cepat punah bila tidak dilestarikan.
Kalaupun diabadikan, masyarakat lisan harus bergantung pada 'para tetua' yang
dianggap lebih bijak dan berpengetahuan.
Dalam masyarakat lisan, pemikiran (dalam bentuk tulisan) cenderung
dianggap kurang penting, karena asumsi-asumsi sebagai berikut:
Ekspresi
dan pemikiran yang dituangkan dalam tulisan dianggap hanya tambahan saja, bukan
subordinatif. Saya memaknainya sebagai cara berpikir di mana masyarakat lisan
cenderung mengabaikan tulisan. Kalaupun ada, tidak terlalu dianggap
keberadaannya, karena mereka lebih percaya ‘kata orang’ daripada ‘menurut
buku.’ Sebaliknya, pemikiran yang subordinatif melihat tulisan sebagai rujukan
yang diperlukan untuk memastikan kebenaran akan sesuatu.
2. It is aggregative rather
than analytic.
Masyarakat
lisan cenderung membawa kebenaran kolektif, apa kata kebanyakan orang, dan
tidak membuka peluang untuk dikritisi. Itulah yang kemudian mengapa masyarakat
lisan cenderung menjadi ‘follower,’ bukan ‘pioneer.’
3. It tends to be redundant or
"copious."
Apa
yang terungkap dari benak masyarakat lisan tidak terekam dalam teks, sehingga
akan cenderung kabur dan gampang hilang. Teks itu sendiri berada ‘di luar’
benak, yang bisa senantiasa dirujuk bila pemikiran perlu dicek kembali
kebenarannya. Teks yang dibaca akan membawa pikiran lebih lambat memproses
informasi, dan memungkinkan masukkan pertanyaan-pertanyaan kritis.
Masyarakat lisan tidak memiliki ritual seperti ini.
4. There is a tendency for it
to be conservative.
Pengetahuan
yang tidak diulang-ulang akan mudah hilang, dan untuk itu, masyarakat lisan
berupaya keras mengingatnya. Ini membawa konsekuensi cara yang konservatif,
dengan mengandalkan ‘para tetua’ yang dianggap lebih bijak dan berilmu sebagai
sumber informasi. Akibatnya adalah tertutupnya peluang ‘bereksperimen.’
Sementara itu, masyarakat tulis menempatkan ilmu keluar dari pikiran dan
menuangkannya di teks, dan merevolusi anggapan bahwa yang senior adalah yang
lebih paham. ‘Repeaters of the past’ digantikan perannya oleh mereka yang lebih
muda dan berani berinovasi.
5. Out of necessity, thought
is conceptualized and then expressed with relatively close reference to the
human lifeworld.
Pemikiran
yang dianggap tidak ada kaitannya dengan kehidupan nyata atau yang dialami
langsung pada saat itu cenderung dianggap tidak bermanfaat. Barangkali ini
alasannya mengapa dunia literasi (baca-tulis) dianggap tidak popular atau
penting bagi sebagian orang-tua. Buku tidak membuat kenyang, dan tidak nampak
hasilnya secara langsung.
6. Expression is agonistic
ally toned.
Dalam
masyarakat lisan, orang-orang yang ‘literate’ cenderung dianggap memicu
perilaku agonistik. Perilaku ini lebih dari sekedar agresif, dan mengacu pada
pergulatan dan persaingan. Jangan heran bila kemudian kita melihat reaksi
masyarakat terhadap sebuah buku atau pemikiran yang controversial atau dianggap
keluar dari pakem sosial. Tulisan tidak dilawan dengan tulisan tanding, namun
dengan kebrutalan yang bahkan melibatkan konflik fisik.
7. It is empathetic and
participatory rather than objectively distanced.
Dalam
masyarakat lisan, pengetahuan baru dilihat sebagai sarana untuk identifikasi
komunal dan menimbulkan kedekatan emosional. Sebaliknya, dalam masyarakat
tulis, pemikiran yang didapat dari proses pembacaan memungkinkan mereka untuk
mengambil jarak antara diri dengan pemikiran baru tersebut. Membaca pemikiran
Karl Marx bukan berarti setuju dengan Marxisme. Namun bagi masyarakat lisan,
mengenal pemikiran Karl Marx bisa dianggap sebagai pendukung komunisme.
8. It is Homeostatic.
Masyarakat
lisan hidup pada jaman kekinian, dan mengambil makna ujaran atas dasar apa yang
ditangkap pada saat itu. Sementara itu, tulisan tak lekang dimakan waktu, dan
membuka peluang berlapis-lapis pemaknaan. Karena masyarakat lisan tidak
memiliki kamus, maka makna sebuah kata atau konsep bergantung pada kondisi
‘sekarang dan di sini.’
9. It is situational
rather than abstract.
Tanpa
tulisan, konsep pemikiran akan bergantung pada situasi di mana satu kejadian
berlangsung.
Kita
lihat sekarang betapa dahsyatnya kebodohan dan pembodohan berlangsung bila
literasi tidak menjadi nafas masyarakat kita. Jalan satu-satunya adalah
mentransformasi diri dan memberdayakan masyarakat kita menjadi bangsa yang
‘literate.’ Sejujurnya, Islam adalah agama yang sangat advanced dalam hal
pentingnya tulisan. Lima ayat Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad SAW menjadi dasar yang tidak bisa dibantah. Menurut Yedullah
Kazmi, dalam artikelnya, "The Rise and Fall of Culture of Learning in
Early Islam (Islamic Studies 44, no. 1 (2005)), posisi ayat-ayat
ini begitu berdaya untuk mentransformasikan masyarakat dari yang berbasis orality menuju literacy.
Masyarakat lisan adalah mereka yang terkungkung dalam mitos, dan Allah
menurunkan Al-Qur’an, mewajibkan manusia untuk tidak hanya membaca dan membaca
kembali, namun juga untuk menciptakan kondisi yang mendorong masyarakat
meninggalkan mitos dari kebiasaan hidupnya. Sebagai gantinya, mereka harus
menumbuhkan kebiasaan berpikir melalui pembacaan terhadap dunia dengan cara
yang ilmiah, dengan tetap berpegang pada Allah sebagai pencipta alam semesta.
Jadi,
apalagi yang kita tunggu? Ayo menuju masyarakat berbasis literasi. Sekarang!
Monday, May 20, 2013
Krisis Literasi di Era 2.0
Ada yang sudah pernah nonton film The Reader? Dalam film ini, Kate Winslet melakonkan peran sebagai Hanna, seorang wanita yang terancam dihukum berat dalam kasus pembantaian ratusan orang di kamp Nazi Jerman. Michael, mahasiswa hukum yang pernah ditolongnya dan sempat menjadi teman dekatnya meyakini ada satu kondisi yang akan membebaskan Hanna dari vonis berat. Sayangnya, Hanna sendiri menolak mengungkapkan ini, karena dia anggap sebagai aib moral. Aib itu adalah kenyataan bahwa dia tidak bisa membaca. Pengakuan ‘krisis literasi’ dalam hidupnya ini diyakini Hanna sebagai sumber jatuhnya harga dirinya di mata masyarakat. Itulah sebabnya Hanna melakukan serangkaian defence mechanism untuk menjaga harga dirinya sebagai orang yang tidak bisa membaca. Dalam perjalanan cerita, Hanna memang akhirnya belajar membaca selama di tahanan. Salah satu mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris pernah menggunakan novel The Reader karya Bernard Schlink (1995) dan mengangkat tema pentingnya membaca dalam kaitannya dengan self-esteem. Saya hafal karena saya ikut dalam tim pengujinya.
Besarnya dampak ‘krisis literasi’ secara individu sudah sering dibahas di dunia sastra. Celie dalam The Color Purple (1982) karya Alice Walker menemukan literasi sebagai kekuatan untuk pemberdayaan diri. Dalam versi filmnya, tokoh Celie dimainkan apik oleh Whoopi Goldberg. Novel dan filmnya termasuk yang paling sering saya bahas di kelas-kelas saya dulu. Masih banyak lagi karya sastra yang membahas pentingnya literasi dalam kehidupan sosial.
Di sisi lain, kita tahu bahwa krisis literasi sebenarnya bukanlah sekedar masalah pribadi, namun adalah tantangan sosial yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Di negara kita sendiri, praktis tiap hari kita mengungkapkan keprihatinan kita terhadap rendahnya budaya membaca menulis di masyarakat Indonesia. Bolehlah kita berpendapat bahwa bangsa kita tengah, atau bahkan sudah lama mengalami krisis literasi. Di seluruh dunia, perhatian terhadap perkembangan literasi memang semakin meningkat, dengan anggapan bahwa di mana-mana sedang terjadi krisis literasi. Apakah krisis yang kita bayangkan ini memang ada, dan bila iya, apakah dimaknai sama? Sebenarnya definisi krisis ini amat beragam, bergantung di mana krisis itu dianggap terjadi. Dalam buku Literacy and Motivation (2001), Ludo Verhoeven dan Catherine E. Snow memberikan beberapa contoh krisis literasi. Di negara-negara berkembang misalnya, istilah krisis literasi mengacu pada pentingnya peran literasi dalam pembangunan ekonomi, namun dihadapkan pada kondisi keterbatasan ketrampilan literasi di kalangan masyarakat, akses pendidikan, dan tantangan dalam menerapkan sistem pendidikan secara universal bersamaan dengan program literasi untuk orang dewasa. Bila melihat ciri-cirinya, kita harus mengakui bahwa bangsa Indonesia masuk dalam kategori ini. Sulitnya kondisi pendidikan seperti terbatasnya jumlah guru, minimnya fasilitas, dan sulitnya menjangkau lokasi sekolah di daerah-daerah binaan program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3-T) menjadi bukti lebarnya disparitas pendidikan di negara kita.
Di negara-negara maju, dengan tingkat literasi yang tinggi, termasuk di dalamnya adalah Amerika bagian utara (AS dan Canada) dan Eropa, krisis literasi berarti terdapatnya ketimpangan dalam distribusi ketrampilan literasi. Hal ini disebabkan oleh lebarnya jurang penguasaan ketrampilan literasi dalam konteks pendidikan formal antara masyarakat imigran dan kelompok minoritas dengan populasi negara-negara tersebut secara keseluruhan. Bahkan di negara-negara maju yang boleh dikatakan sudah mencapai tingkat literasi yang merata, krisis literasi juga terjadi, dalam konteks ketidak-mampuan kelompok masyarakat angkatan kerja untuk menjawab tantangan teknologi canggih yang digunakan di peralatan-peralatan pekerjaan untuk jenis pekerjaan kasar sekalipun. Dengan kata lain, literasi digital di kalangan masyarakat pekerja di negara maju ada pada tingkat mengkhawatirkan.
Makna lain dari krisis literasi adalah kondisi di mana orang-orang yang secara teknis sangat ‘literate,’ dalam artian mampu membaca buku-buku yang kompleks, malah menunjukkan gejala aliterasi. Misalnya, anak-anak sekolah yang berprestasi terbukti menghabiskan waktu lebih sedikit untuk membaca dibandingkan dengan anak-anak di usia sama pada 50 tahun yang lalu; buku-buku ‘best-seller’ untuk orang dewasa tidak lagi berupa sastra berkelas, namun adalah how-to books atau fiksi murahan; dan diskusi atau obrolan bermutu tentang pengarang besar dan karya-karyanya sudah digeser oleh obrolan tentang program televisi dan software komputer. Jujur saja, kondisi aliterasi seperti ini juga terjadi di masyarakat urban di Indonesia, dengan variasi yang lain. Yang terjadi bukanlah penurunan tingkat membaca atau pergeseran topik obrolan, namun rendahnya kebiasaan membaca di kalangan masyarakat terdidik, terutama di sekolah. Kalau karya sastra anak bangsa sendiri saja hampir tidak pernah disentuh, bagaimana mau terlibat dalam obrolan cerdas tentang sastra.
Menyedihkan memang menyadari bahwa semua makna krisis literasi di atas terjadi pada bangsa kita, mulai hulu hingga hilir, dari daerah tertinggal hingga rumah-rumah mentereng di kota besar. Krisis literasi yang terjadi di dunia ternyata lengkap tersedia di masyarakat kita, mulai tingkat functional literacy yang dibutuhkan untuk sekedar baca tulis untuk kehidupan sehari-hari dan untuk belajar di bangku sekolah, digital literacy untuk meningkatkan posisi tawar di dunia kerja, sampai critical literacy untuk mengasah sensitivitas dan kesadaran berkehidupan yang manusiawi.
Upaya untuk mengembangkan literasi memerlukan redefinisi literasi itu sendiri. Literasi bukan hanya pencapaian kognitif, dalam arti bahwa seseorang mampu membaca dan menulis. Pandangan ini akan cenderung membawa kita pada keyakinan bahwa literasi adalah tanggung-jawab sekolah. Kita perlu menyadari bahwa literasi membutuhkan komitmen secara afektif. Hanya dengan melihat makna literasi secara holistik ini kita bisa mencetak ‘pembaca aktif,’ yang punya motivasi internal untuk membaca, memahami kenikmatan dan manfaat yang diperoleh dari kegiatan membaca, dan menyediakan waktunya untuk membaca dalam keseharian. Literasi yang bernafaskan komitmen afektif sebenarnya adalah bagian dari pemikiran bahwa literasi adalah praktik sosial, yang mengandung nilai-nilai, perasaan, dan perilaku individu/masyarakat. Literasi sebagai praktik sosial, sebagai vernacular practice memiliki berbagai fungsi, untuk mengatur kehidupan sehari-hari, komunikasi personal, kesenangan pribadi, dokumentasi kehidupan pribadi, pemaknaan diri dan lingkungan, dan partisipasi sosial. Hanya dengan melihat literasi sebagai satu praktik sosial kita bisa menemukan faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi motivasi baca-tulis, untuk kemudian bisa membentuk (kembali) peran literasi untuk meningkatkan kualitas hidup bermasyarakat.
Kehadiran media dalam kehidupan sehari-hari memang mengubah hidup kita secara drastis. Lalu bagaimana kita menyiasati krisis literasi , sementara dalam keseharian kita terpapar pada media? Dunia berbasis web 2.0 seperti sekarang ini sebenarnya malah membuka banyak peluang. Sebagai orang yang sering mengamati karya seni dalam bentuk film dan dan artefak budaya lain seperti iklan dan acara TV, saya termasuk yang percaya bahwa ada konvergensi antar praktik literasi. Konsep literasi sekarang ini sudah masuk ke third wave, dengan istilah New Literacy Studies (NLS). Literasi tidak hanya terbatas pada printed form, namun juga dalam bentuk media digital. Itulah yang kemudian membuat Cultural dan Media Studies semakin beririsan dengan Literacy Studies.
Pemanfaatan media untuk critical engagement justru sangat dianjurkan dalam proses belajar mengajar sekarang ini, terutama dengan kondisi bahwa mayoritas siswa sekolah (terutama di masyarakat urban) sudah menjadi digital natives. Di sisi lain, guru-gurunya masuk dalam golongan digital immigrants. Untuk bisa memenangkan hati mereka, memotivasi mereka untuk cinta literasi, satu-satunya cara adalah memahami cara berpikir 'digital' mereka, bukan sebaliknya, memaksa siswa masuk ke dunia 'primitif' guru-gurunya. Bukankah akan sangat menarik bila siswa/mahasiswa diajak berdiskusi tentang film atau media apapun dan melatih mereka menuliskan pandangan kritis mereka. Tidak masalah nantinya mau dituangkan bentuk print atau digital (mis. blogging).
Media dan teknologi hadir tidak untuk mengganti buku dalam bentuk cetak, namun melengkapi pengalaman pembelajaran tatap muka. Ini juga untuk merespon kebutuhan tiap anak dalam gaya belajar yang pasti berbeda. Pemahaman guru tentang kecerdasan majemuk akan bisa memperkaya metode dan strategi pembelajaran yang dilakukan di kelas. Contoh yang saya amati di kelas English di sekolah Ganta, versi novel dan film sama-sama dinikmati dan dibahas di kelas. Pada akhirnya, siswa tetap dituntut menghasilkan sesuatu dalam bentuk tulisan.
Dalam kaitannya dengan digital literacy, di lapangan sebagian guru/dosen sebenarnya malah membukakan pintu teknologi bagi sebagian (maha)siswa. Semua bergantung pada masanya. Setidaknya itu yang saya alami dulu. Saya pertama kali menggunakan milis untuk forum diskusi kelas sastra saya pada tahun 2005. Tidak terlalu jalan, karena banyak yang masih belum punya email, dan tidak ngeh dengan forum milis. Pada tahun-tahun berikutnya, saya mulai pakai blog untuk posting bahan kuliah dan forum diskusi. Lumayan lancar dan engaging, meski sebagian tidak punya akun, sehingga harus nunut akun temannya bila mau posting. Saat penggunaan Facebook menjamur, saya menambah jalur, dengan menggunakan FB group khusus untuk forum diskusi. Pada titik ini, rasanya lumayan lancar jaya dan interaktif. Saya kira karena model mahasiswanya sudah beda banget. Model yang terakhir ini nampaknya yang sudah digital natives. Bahan obrolan di FB group malah kemudian bisa memperkaya diskusi di kelas, atau sebaliknya, menjadi tindak lanjut pembahasan di kelas yang belum tuntas.
Sebagai guru, kita memang harus merangkul model pembelajaran konvensional dengan model digital. Seberapa cinta saya dengan penggunaan teknologi dalam pembelajaran, saya masih menikmati romantisme memegang novel untuk mengajar kelas Prose misalnya. Rasanya nikmat ketika bisa memegang bukunya, membaca kalimat-kalimat indah dan imajinatif untuk menghidupkan suasana dramatis dan memancing diskusi, serta tidak ribet dengan powerpoint.
Pembelajaran yang holistik sudah menjadi keniscayaan. Pertanyaannya, siapkah kita sebagai guru menjawab tantangan ini?
Thursday, April 11, 2013
Sekilas Pendidikan Karakter di Australia
Beberapa bulan terakhir para pelaku pendidikan di tanah air ramai berwacana tentang Kurikulum 2013. Pro dan kontra mewarnai obrolan di berbagai milis dan tulisan di media massa. Ada yang mengatakan bahwa kurikulum baru ini 'mengantarkan siswa ke surga' karena saking saratnya muatan etika dan budi pekerti di dalam sebagian besar kompetensi dasar. Sikap-sikap yang banyak disebut antara lain adalah jujur, peduli, patuh, bertanggung-jawab, proaktif, responsif, dan lain-lain.
Bahwa pendidikan karakter sangat penting mewarnai proses belajar mengajar, tidak ada yang menyangkal. Namun seringkali kita, para pendidik, lupa bahwa pemilihan materi dan metode pembelajaran yang kita gunakan sebenarnya amat penting untuk menanamkan budi pekerti. Saya mempertanyakan seberapa perlu sebuah kurikulum menyebutkan sederetan karakter untuk dicapai dalam daftar kompetensi dasarnya. Dilihat dari kacamata orang awam saja, susah membayangkan bagaimana cara mengukur pencapaian sikap-sikap luhur di atas. Namun anggap saja ini sebuah kerangka yang bagus. Pertanyaan berikutnya adalah seberapa upaya pelaku pendidikan memastikan bahwa kerangka itu diterjemahkan dalam materi dan proses belajar mengajar. Tentu saja kita belum memperoleh jawabannya, karena buku pegangan yang disusun Kemendikbud juga belum bisa dinikmati isinya.
Ada beberapa hal menarik saat saya membaca draft kurikulum 2013, terutama untuk tingkat SMA/MA. Di mata pelajaran Sejarah Indonesia, misalnya, berkali-kali disebutkan Kompetensi Dasar "Berlaku jujur dan bertanggung-jawab dalam mengerjakan tugas-tugas pembelajaran sejarah." Kira-kira kalau kita tanyakan makna KD ini kepada 10 guru, apakah kita akan memperoleh interpretasi yang senada? Apakah ini berarti siswa tidak mencontek, tidak lirak-lirik, tidak mau menerima bocoran kunci jawaban pada ujian apapun? Ataukah ini bisa diartikan bahwa siswa bisa jujur dalam mengungkap kebenaran fakta sejarah, meski mungkin versinya berbeda dari buku teks? Apakah gurunya sendiri juga jujur dan terbuka dalam menyampaikan materi dari berbagai sudut pandang, ataukah mengikuti kebenaran sejarah versi buku teks? Pertanyaan-pertanyaan menggelitik ini layak dicobakan dalam sebuah survey atau bahkan penelitian.
Contoh satu KD di atas menyiratkan bahwa dunia pendidikan adalah gelanggang politik budaya. Kurikulum bisa dipandang sebagai produk budaya. Dengan sendirinya, produk itu dihasilkan, direpresentasikan, diresepsi, dan diregulasi secara berbeda. Di sini kita bisa jelas melihat bahwa hubungan kekuasaanpun ikut bermain dalam dunia pendidikan, tidak hanya pada tataran kurikulum, namun bahkan pada tataran materi mana yang layak diberikan menurut versi pemerintah. Tidak ada yang salah memang, karena penguasa di manapun akan selalu berupaya untuk melakukan regulasi. Pertanyaannya berikutnya adalah, seberapa upaya guru menjadi agen yang bisa menyiasati regulasi itu. Kalau misalnya ada fakta-fakta sejarah yang disembunyikan kebenarannya di dalam buku teks, seberapa upaya guru untuk memberikan informasi yang berimbang di depan kelas? Tanpa sadar, KD yang nampaknya indah itu bisa menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri.
Di milis Ganesa, mas Eko Prasetyo termasuk yang getol menulis cerita sejarah dari versi yang berbeda. Kisah yang bergulir sebenarnya tertulis dalam buku-buku yang beredar di pasaran. Tapi apakah pemerintah mendorong kisah-kisah ini diungkapkan dalam buku sejarah versi yang resmi. History is His Story after all. Sejarah adalah benar menurut versi yang mengungkapkannya.
Ada satu pengamatan tentang pembelajaran Sejarah di SMA di Australia, yang menurut saya layak ditiru. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi, saya lihat ada perbedaan mendasar di sistem pendidikan Indonesia dan Australia dalam menanamkan pendidikan karakter. Kejujuran, misalnya, bisa tercermin dari materi pelajaran Sejarah. Tahun lalu, saat Ganta masih di year 10, dia belajar tentang sejarah orang-orang Aborigine. Dunia tahu bahwa suku Aborigine adalah lembaran hitam sejarah Australia. Dalam materi yang diberikan, saya tidak melihat upaya guru menyodorkan sejarah dalam satu versi saja. Materi diambil dari berbagai sumber yang mewakili perjalanan sejarah, termasuk konflik dan pro-kontranya. Ada artikel di media yang mengkritisi kebijakan pemerintah, cuplikan kebijakan pemerintah, produk budaya berupa novel, film, dan lagu, yang menyuarakan jeritan suku Aborigine. Ada isu tentang bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengintegrasikan anak-anak mixed blood (Aborigin + white race) ke white culture mainstream sebelum tahun 1960an. Namun upaya intergrasi ini dilihat sebagai upaya mencerabut anak-anak tersebut dari akar budayanya. Ada gambaran tentang perlakuan diskriminatif birokrasi terhadap orang-orang Aborigine. Tersaji pula perubahan kebijakan pemerintah Australia setelah tahun 1970an dengan memberikan prioritas terhadap Aborigine dalam hal akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial yang lain. Saya ikut menikmati hampir semua materi pelajaran Ganta. Ikut menonton filmnya (Rabbit-Proof Fence), dan melihat rekaman video Ganta dan teman-temannya kita menyanyikan lagu bertema Aboriginal identity. Kesan saya: ada semangat kejujuran yang jelas dalam mengajarkan sejarah hitam bangsanya sendiri, tidak malu menunjukkan kesalahan bangsa, namun disertai upaya untuk memperbaiki kesalahan masa lalu.
Dengan materi dan cara penyampaian seperti itu, ketika kemudian siswa belajar sejarah bangsa lain, yakni American slavery dan Nazi, ada perspektif berlapis yang bisa ditangkap oleh siswa, bahwa tiap bangsa punya lembaran hitam yang perlu diakui dan disertai upaya memperbaiki.
Ganta menikmati pelajaran History, meski di year 11 sekarang ini dia tidak memilihnya sebagai bagian dari VCE. Kata dia, belajar History di sini seperti membaca cerita, dan tidak pakai hafalan nama dan tahun. Meski tes-tes yang diberikan selalu dalam bentuk essay, dia juga cukup menikmati, karena jawaban dinilai berdasarkan pemahaman konsep dan critical and reflective thinking.
Bagaimana dengan pelajaran Sejarah di Indonesia? Dalam banyak hal, lembaran hitam bangsa kita masih jarang diajarkan dengan semangat kejujuran. Materi yang sekiranya tidak sesuai dengan sejarah versi penguasa akan ditarik dari peredaran. Tes yang diberikan jarang sekali menggugah siswa untuk kritis.
Dalam hal pendidikan pekerti, ada hal menarik yang saya lihat dari anak-anak sesama teman Indonesia yang duduk di Primary School. Setiap minggu selalu saja ada siswa yang mendapatkan penghargaan Pupil of the Week untuk kategori the most helpful, the most responsible, dsb. Tapi saya belum pernah melihat pengumuman nilai atau ranking akademik terpampang di dinding. Dan rapotpun sebenarnya lebih dalam bentuk deskriptif, tentang kekuatan, progress, dan hal-hal yang perlu diperbaiki (tidak disebut sebagai kelemahan). Efeknya, anak merasa memperoleh penghargaan atas kemampuannya sendiri, dan tidak dibanding-bandingkan dengan temannya. Ada yang menarik dalam komentar tentang 'kekurangan' siswa. Misalnya, Ganta dinilai cukup bagus dalam menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan. Tapi akan jauh lebih baik bila tidak terburu-buru dalam mengerjakan tugas. Saya tahu model Ganta yang suka mepet bila mengerjakan PR. Intinya sebenarnya: jangan suka menunda tugas, krn hasilnya kurang maksimal. Tapi cara penyampaian yang positif membuat siswa tetap dihargai.
Saya jadi mengingat kembali saat mengambil rapot Ganta di SMA nya di Surabaya dulu. Wali kelasnya menunjukkan nilai sikap 'Tanggung-jawab' yang cuma C, dengan wajah yang kurang ramah. Gara-garanya, ada beberapa tugas mata pelajaran yang belum dikumpulkan. Kalau tugasnya dikumpulkan, nilainya bisa diperbaiki jadi B. Pikir saya saat itu, begitu mudahnya memberikan label pada siswa. Karakter direduksi menjadi huruf A, B, C yang bisa diganti dalam waktu singkat. Agaknya terlupa bahwa label 'kurang bertanggung-jawab' masih akan melekat di benak anak meski nilai di rapot sudah diubah.
Sebagai pendidik, saya melihat banyak hal yang perlu dibenahi dalam praktek pendidikan di Indonesia. Diperlukan perubahan sistem pendidikan, namun yang lebih penting lagi, perlu perubahan revolusioner dalam proses belajar mengajar di kelas. Di sinilah interaksi guru dan siswa amat berperan dalam membentuk karakter siswa. Apakah Kurikulum 2013 akan mampu menjawab tantangan ini?
Bahwa pendidikan karakter sangat penting mewarnai proses belajar mengajar, tidak ada yang menyangkal. Namun seringkali kita, para pendidik, lupa bahwa pemilihan materi dan metode pembelajaran yang kita gunakan sebenarnya amat penting untuk menanamkan budi pekerti. Saya mempertanyakan seberapa perlu sebuah kurikulum menyebutkan sederetan karakter untuk dicapai dalam daftar kompetensi dasarnya. Dilihat dari kacamata orang awam saja, susah membayangkan bagaimana cara mengukur pencapaian sikap-sikap luhur di atas. Namun anggap saja ini sebuah kerangka yang bagus. Pertanyaan berikutnya adalah seberapa upaya pelaku pendidikan memastikan bahwa kerangka itu diterjemahkan dalam materi dan proses belajar mengajar. Tentu saja kita belum memperoleh jawabannya, karena buku pegangan yang disusun Kemendikbud juga belum bisa dinikmati isinya.
Ada beberapa hal menarik saat saya membaca draft kurikulum 2013, terutama untuk tingkat SMA/MA. Di mata pelajaran Sejarah Indonesia, misalnya, berkali-kali disebutkan Kompetensi Dasar "Berlaku jujur dan bertanggung-jawab dalam mengerjakan tugas-tugas pembelajaran sejarah." Kira-kira kalau kita tanyakan makna KD ini kepada 10 guru, apakah kita akan memperoleh interpretasi yang senada? Apakah ini berarti siswa tidak mencontek, tidak lirak-lirik, tidak mau menerima bocoran kunci jawaban pada ujian apapun? Ataukah ini bisa diartikan bahwa siswa bisa jujur dalam mengungkap kebenaran fakta sejarah, meski mungkin versinya berbeda dari buku teks? Apakah gurunya sendiri juga jujur dan terbuka dalam menyampaikan materi dari berbagai sudut pandang, ataukah mengikuti kebenaran sejarah versi buku teks? Pertanyaan-pertanyaan menggelitik ini layak dicobakan dalam sebuah survey atau bahkan penelitian.
Contoh satu KD di atas menyiratkan bahwa dunia pendidikan adalah gelanggang politik budaya. Kurikulum bisa dipandang sebagai produk budaya. Dengan sendirinya, produk itu dihasilkan, direpresentasikan, diresepsi, dan diregulasi secara berbeda. Di sini kita bisa jelas melihat bahwa hubungan kekuasaanpun ikut bermain dalam dunia pendidikan, tidak hanya pada tataran kurikulum, namun bahkan pada tataran materi mana yang layak diberikan menurut versi pemerintah. Tidak ada yang salah memang, karena penguasa di manapun akan selalu berupaya untuk melakukan regulasi. Pertanyaannya berikutnya adalah, seberapa upaya guru menjadi agen yang bisa menyiasati regulasi itu. Kalau misalnya ada fakta-fakta sejarah yang disembunyikan kebenarannya di dalam buku teks, seberapa upaya guru untuk memberikan informasi yang berimbang di depan kelas? Tanpa sadar, KD yang nampaknya indah itu bisa menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri.
Di milis Ganesa, mas Eko Prasetyo termasuk yang getol menulis cerita sejarah dari versi yang berbeda. Kisah yang bergulir sebenarnya tertulis dalam buku-buku yang beredar di pasaran. Tapi apakah pemerintah mendorong kisah-kisah ini diungkapkan dalam buku sejarah versi yang resmi. History is His Story after all. Sejarah adalah benar menurut versi yang mengungkapkannya.
Ada satu pengamatan tentang pembelajaran Sejarah di SMA di Australia, yang menurut saya layak ditiru. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi, saya lihat ada perbedaan mendasar di sistem pendidikan Indonesia dan Australia dalam menanamkan pendidikan karakter. Kejujuran, misalnya, bisa tercermin dari materi pelajaran Sejarah. Tahun lalu, saat Ganta masih di year 10, dia belajar tentang sejarah orang-orang Aborigine. Dunia tahu bahwa suku Aborigine adalah lembaran hitam sejarah Australia. Dalam materi yang diberikan, saya tidak melihat upaya guru menyodorkan sejarah dalam satu versi saja. Materi diambil dari berbagai sumber yang mewakili perjalanan sejarah, termasuk konflik dan pro-kontranya. Ada artikel di media yang mengkritisi kebijakan pemerintah, cuplikan kebijakan pemerintah, produk budaya berupa novel, film, dan lagu, yang menyuarakan jeritan suku Aborigine. Ada isu tentang bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengintegrasikan anak-anak mixed blood (Aborigin + white race) ke white culture mainstream sebelum tahun 1960an. Namun upaya intergrasi ini dilihat sebagai upaya mencerabut anak-anak tersebut dari akar budayanya. Ada gambaran tentang perlakuan diskriminatif birokrasi terhadap orang-orang Aborigine. Tersaji pula perubahan kebijakan pemerintah Australia setelah tahun 1970an dengan memberikan prioritas terhadap Aborigine dalam hal akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial yang lain. Saya ikut menikmati hampir semua materi pelajaran Ganta. Ikut menonton filmnya (Rabbit-Proof Fence), dan melihat rekaman video Ganta dan teman-temannya kita menyanyikan lagu bertema Aboriginal identity. Kesan saya: ada semangat kejujuran yang jelas dalam mengajarkan sejarah hitam bangsanya sendiri, tidak malu menunjukkan kesalahan bangsa, namun disertai upaya untuk memperbaiki kesalahan masa lalu.
Dengan materi dan cara penyampaian seperti itu, ketika kemudian siswa belajar sejarah bangsa lain, yakni American slavery dan Nazi, ada perspektif berlapis yang bisa ditangkap oleh siswa, bahwa tiap bangsa punya lembaran hitam yang perlu diakui dan disertai upaya memperbaiki.
Ganta menikmati pelajaran History, meski di year 11 sekarang ini dia tidak memilihnya sebagai bagian dari VCE. Kata dia, belajar History di sini seperti membaca cerita, dan tidak pakai hafalan nama dan tahun. Meski tes-tes yang diberikan selalu dalam bentuk essay, dia juga cukup menikmati, karena jawaban dinilai berdasarkan pemahaman konsep dan critical and reflective thinking.
Bagaimana dengan pelajaran Sejarah di Indonesia? Dalam banyak hal, lembaran hitam bangsa kita masih jarang diajarkan dengan semangat kejujuran. Materi yang sekiranya tidak sesuai dengan sejarah versi penguasa akan ditarik dari peredaran. Tes yang diberikan jarang sekali menggugah siswa untuk kritis.
Dalam hal pendidikan pekerti, ada hal menarik yang saya lihat dari anak-anak sesama teman Indonesia yang duduk di Primary School. Setiap minggu selalu saja ada siswa yang mendapatkan penghargaan Pupil of the Week untuk kategori the most helpful, the most responsible, dsb. Tapi saya belum pernah melihat pengumuman nilai atau ranking akademik terpampang di dinding. Dan rapotpun sebenarnya lebih dalam bentuk deskriptif, tentang kekuatan, progress, dan hal-hal yang perlu diperbaiki (tidak disebut sebagai kelemahan). Efeknya, anak merasa memperoleh penghargaan atas kemampuannya sendiri, dan tidak dibanding-bandingkan dengan temannya. Ada yang menarik dalam komentar tentang 'kekurangan' siswa. Misalnya, Ganta dinilai cukup bagus dalam menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan. Tapi akan jauh lebih baik bila tidak terburu-buru dalam mengerjakan tugas. Saya tahu model Ganta yang suka mepet bila mengerjakan PR. Intinya sebenarnya: jangan suka menunda tugas, krn hasilnya kurang maksimal. Tapi cara penyampaian yang positif membuat siswa tetap dihargai.
Saya jadi mengingat kembali saat mengambil rapot Ganta di SMA nya di Surabaya dulu. Wali kelasnya menunjukkan nilai sikap 'Tanggung-jawab' yang cuma C, dengan wajah yang kurang ramah. Gara-garanya, ada beberapa tugas mata pelajaran yang belum dikumpulkan. Kalau tugasnya dikumpulkan, nilainya bisa diperbaiki jadi B. Pikir saya saat itu, begitu mudahnya memberikan label pada siswa. Karakter direduksi menjadi huruf A, B, C yang bisa diganti dalam waktu singkat. Agaknya terlupa bahwa label 'kurang bertanggung-jawab' masih akan melekat di benak anak meski nilai di rapot sudah diubah.
Sebagai pendidik, saya melihat banyak hal yang perlu dibenahi dalam praktek pendidikan di Indonesia. Diperlukan perubahan sistem pendidikan, namun yang lebih penting lagi, perlu perubahan revolusioner dalam proses belajar mengajar di kelas. Di sinilah interaksi guru dan siswa amat berperan dalam membentuk karakter siswa. Apakah Kurikulum 2013 akan mampu menjawab tantangan ini?
Wednesday, March 20, 2013
Tanggapan atas tulisan 'Literasi dan Budaya Pop,' dan jawaban saya
Saya merasa mendapatkan kehormatan memperoleh tanggapan kritis dari seseorang yang saya kagumi. Senang sekali bisa sedikit memancing diskusi kritis tentang budaya. Banyak juga tanggapan-tanggapan lain yang saya terima di milis. Untuk yang ini, sengaja saya tidak cantumkan namanya (Entar deh, kalau ybs sudah memberi ijin, hehe). Ini dia tanggapan beliau yang beredar di milis Ganesa. Di bawah tulisan beliau saya sertakan juga jawaban saya. Mudah-mudahan beliau sempat membaca juga.
Mohon maaf, saya sadar bahwa saya tidak memiliki kompetensi ngomong mengenai literasi, budaya pop, dan Cultural Studies. Tetapi, karena lagi nganggur, dorongan ngomong saya saya salurkan lewat e-ngomong.
Mohon maaf, saya sadar bahwa saya tidak memiliki kompetensi ngomong mengenai literasi, budaya pop, dan Cultural Studies. Tetapi, karena lagi nganggur, dorongan ngomong saya saya salurkan lewat e-ngomong.
Literasi, sepanjang pemahaman saya adalah membikin orang melek. Dalam arti sempit, atau arti awal, adalah melek huruf. Proses bikin melek huruf ini berlangsung di ranah apa yang disebut pendidikan, baik formal mau pun kasual. Tujuan bikin melek ini lebih menyiapkan anak untuk menghadapi tantangan hidup kelak. sebab dengan melek anak akan lebih dapat melihat, lebih dapat memahami apa yang dia hadapi. Tentu saja literasi dalam pengertian melek huruf ini hanya merupakan bagian kecil apa yang harus dimiliki anak untuk menjalani hidup.
Marilah kita coba bayangkan masyarakat di jaman lampau, misalnya masyarakat pemburu. Dalam proses pertumbuhan, seorang anak masyarakat pemburu menjalani serangkaian pembelajaran mengenai dunia buru-berburu. Dia dikenalkan kepada alat berburu, apakah panah atau tombak. Dia diajari mencari kayu yang tepat untuk busur, dan serat kayu yang baik untuk tali busur, diajari membuat anak panah dan mata anak panah. Lalu dia belajar membidik sasaran, sasaran diam, baru kemudian sasaran bergerak. Itulah proses memelekkan anak akan alat utama berburu. Kemudian dia mulai diajak masuk hutan. di situ dia diajar mengenal karakteristik hutan, dan mengenal arah di dalam hutan. Dalam pada itu dia pun belajar karakteristik dan tingkah laku binatang buruan, sehingga dia tahu ke arah mana anak panah harus dilesatkan.
Itulah proses (the rite of passage) yang harus dia lalui sebelum dia diwisuda sebagai anggota masyarakat pemburu. Apakah dia nantinya akan menjadi pemburu handal atau hanya sedang-sedang saja sangat tergantung kepada kemampuan melek masing-masing individu, sebagaimana halnya di bidang akademik 'moderen', ada sarjana beneran, ada sarjana karena namanya tercantum dalam diploma dan buku wisuda.
Kembali ke literasi seperti apa yang saya tangkap dalam tulisan Bu Pratiwi. Kayaknya secara tradisi bangsa Indonesia adalah bangsa 'lisan.' Tahun 1945 kita baru lepas dari status dijajah, status kasta yang tidak jauh dari kaum budak. Dan budak tidak seharusnya dibikin literate sebab mereka akan melek, sadar, dan menuntut kebebasan. Berbahaya bagi penjajah. Kalau saya boleh mengatakan, sekian lama bangsa Indonesia tidak dimelekkan, sehingga literasi pada hakekatnya belum dan tidak masuk ke dalam ranah kesadaran, apalagi ketidaksadaran manusia Indonesia.
Dengan demikian wajar saja bila literasi tidak atau belum muncul dalam produk budaya bangsa. Bangsa ini lahir saat dunia sudah begitu 'maju.' sehingga menyebabkan bangsa ini kaget, setelah mengalami perubahan status mendadak, dari bangsa budak menjadi bangsa merdeka. Keinginan untuk bisa dikatakan sederajat dengan bangsa lain menyebabkan seringkali kita lebih terpana akan hal-hal yang kasat mata, yang bersifat fisik, material dan mewujud (mengejar ijasah, misalnya), ketimbang hal-hal yang lebih hakiki.
Sebagai penutup, saya pengin mengingatkan bahwa penolakan atas literasi sudah lama pula ada. Ada sajak, sayang saya lupa judulnya dan juga pengarangnya, yang mengajak menjungkirbalikkan meja (belajar) dan membuang buku-buku agar terbebas dan keluar ke alam. Juga Emerson menganjurkan para cendekiawan untuk bisa melepaskan diri dari pengaruh buku, mencari jalan sendiri dan menumbuhkan apa yang dia katakan sebagai "self-reliance." (kayaknya ini bertentangan dengan tradisi akademik: yang dinamakan ilmuwan adalah orang yang berkutat di atas teori dan gagasan pakar lain, dan tidak diharuskan menelurkan teori sendiri).
====
Ini dia jawaban saya untuk menanggapi tulisan di atas:
Mari kita bersepakat dulu bahwa literasi yang sedang kita perbincangkan di sini adalah literasi dalam tataran ideologis, bukan proses psikologis tentang bagaimana otak memproses kata menjadi bermakna. Pandangan yang kedua ini cenderung netral dan bebas nilai. Yang ini biarlah diurusi oleh para pakar psikolinguistik. Dalam tataran ideologis, literasi dilihat sebagai praktik sosial, dan tentunya membawa nilai-nilai komunitas atau masyarakat di mana literasi itu berjalan. Dari tanggapan di atas, saya meyakini bahwa pijakan awal saya dan beliau sudah sama, yakni literasi sebagai praktik sosial.
Tidak ada yang akan menyanggah bahwa sebagai sebuah negara, Indonesia masih dianggap remaja, apalagi dibandingkan dengan Amerika Serikat yang merdeka di tahun 1776. Jauh sebelum itu, nenek moyang bangsa Amerika yang bermigrasi dari daratan Eropa-pun sudah membawa 'dunia' literasi dengan mereka. Dengan analogi ini, maka Indonesia sebagai bangsa sebenarnya juga punya jejak-jejak literasi. Ini terbukti dari tulisan-tulisan kuno para Empu di jaman Singasari dan Majapahit. Serat Pararaton, misalnya, membuat kita yang hidup pada jaman digital ini bisa tetap menikmati legenda Ken Arok dan Ken Dedes dalam bentuk pdf.
Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa 'lisan,' saya juga sependapat. Sedikitnya budaya pop yang memotret peristiwa literasi dalam adegan-adegan film dan sinetron menjadi secuil buktinya. Ini setidaknya juga sejalan dengan konsep bahwa 'literacy is historically situated.' Bagaimanapun, karya seni dan sastra (kanon maupun klasik) memang berperan sebagai cermin sosial. Apa yang kita lihat di karya tersebut, sedikit banyak memang seperti itulah kenyataannya. Ini sebenarnya bisa diperdebatkan juga lebih jauh, karena acara-acara 'reality show' mengedepankan 'imagined reality,' sebagai kenyataan sebagaimana kita bayangkan kebenarannya (yang belum tentu benar).
Di sisi lain, budaya pop sebagai artefak budaya sebenarnya juga berfungsi membawa peran untuk transformasi sosial. Dalam proses produksinya, yang melibatkan penulis skenario, sutradara, artis, dan pastinya produser, budaya pop tidak luput juga dari nilai-nilai. Di sinilah kita boleh berharap, andaikan aktor di belakang layar memiliki sedikit kepedulian, sedikit saja, terhadap nasib anak-anak bangsa, mestinya mereka juga bisa menyelipkan pesan 'gerakan literasi' dalam adegannya. Saya bayangkan dengan kacamata saya yang polos, menunjukkan adegan anak-anak usia sekolah di sinetron sedang membaca buku cerita di atas pohon jambu (ini sih kelakuan saya di masa kecil) tentunya tidak sesulit memaksakan iklan 'Kacang Garuda' muncul di adegan film Di Bawah Lindungan Ka'bah yang bersetting tahun 1920-an.
Sampai di titik ini saja, kita sebenarnya baru berbicara tentang ada tidaknya adegan literasi, belum sampai bagaimana literasi direpresentasikan. Di sinilah kita bisa mengamini pendapat bahwa ada masa dalam sejarah Amerika di mana literasi ditolak. Tentunya pernyataan itu harus kita maknai lebih mendalam., karena memang ada pemikiran yang mendasarinya. Saya akan sangat bodoh bila menganggap bahwa Emerson 'menolak gerakan literasi.' Ketika Emerson menganjurkan para akademisi untuk melepaskan diri dari buku-buku, pada dasarnya ini adalah simbol penolakan Emerson terhadap apapun yang berbau konvensional dan ritual. Emerson mengajak masyarakat untuk menjadi non-conformist dan berjiwa 'self-reliant.' Emerson sendiri pernah menyatakan bahwa menjadi pendeta yang baik bisa jadi ditempuh dengan cara meninggalkan gereja (beserta ajarannya). Ini juga yang dilakukan Emerson, yang kemudian dikenal sebagai 'The Father of Transcendentalism.' Secara singkat, pemikiran ini memandang bahwa manusia bisa menemukan realitas melalui proses berpikir, bukan pengalaman, dan kedekatan dengan alam akan membawa manusia 'bertemu' dengan penguasa alam spiritual yang dia sebut sebagai Over-Soul.
Lalu apakah Emerson tidak suka buku? Jangan salah teman-teman, cari saja di google, berapa banyak memorable quotes dari Emerson yang berbicara tentang pentingnya literasi. Ini beberapa yang saya suka:
"Books are the best of things if well used; if abused, among the worst. They are good for nothing but to inspire. I had better never see a book than be warped by its attraction clean out of my own orbit, and made a satellite instead of a system."
"If we encounter a man of rare intellect, we should ask him what books he reads."
Pemikiran Emerson tetap bisa diperbincangkan sampai sekarang karena dia meninggalkan warisannya. Essay dan jurnal harian Emerson dianggap sebagai karya sastra, yang membuat kita paham bagaimana konteks budaya pada masa itu. Salah satu pertanyaan Emerson yang mempengaruhi Henry David Thoreau, teman baik dan 'murid'nya adalah 'do you keep a journal?'
Maka kita punya contoh James Bond yang menolak membaca manual sebagai simbol penolakannya terhadap conventional kind of literacy, kita memahami Emerson yang mengusung pemikiran 'non-conformist,' dengan institusi (agama dan sekolah) yang dianggap mengekang kebebasan berpikir. Dengan demikian, saya bisa simpulkan dari pernyataan pemberi tanggapan di atas, bahwa penolakan terhadap literasi di sini adalah literasi yang dianggap sebagai alat pemasung kreativitas dan kebebasan berpikir, bukan literasi yang dimaknai sebagai kegiatan membaca dan menulis semata.
Saturday, February 18, 2012
Gambaran Ibu dalam Soal Bahasa Indonesia kelas 1 SD: Masyarakat Urban sudah Berubah
Seorang teman mengirimkan sebuah posting di milis. Ada attachment yang isinya scan butir soal tes formatif untuk anak kelas 1 SD untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Di situ ada gambar seorang anak didampingi perempuan berkebaya yang membantunya bersiap-siap untuk bersekolah. Gambar anak diberi label 'aku,' sedangkan perempuan berkebaya menjadi bagian dari pertanyaan. Siswa diminta mengidentifikasi sosok perempuan itu. Pilihan jawaban yang disediakan adalah: Ibu; Pembantu; Ayah; dan Guru. Yang mengejutkan, hasil scan jawaban menunjukkan bahwa si siswa yang bersangkutan memilih jawaban "Pembantu." Guru menyalahkan jawaban ini, karena kisi-kisi menentukan jawaban yang benar adalah "Ibu."
Adakah yang salah dalam soal ini?
Kasus ini menarik dikaji, karena sifatnya multi-interpretatif. Dari sisi kaidah asesmen pembelajaran, pembuatan soal dengan disertai gambar tersebut merepresentasikan pikiran pembuatnya yang masih tradisional dan konvensional. Ini terlihat dari pakaian 'si ibu' yang memakai kebaya. Bukankah secara tidak sadar, pikiran kita sudah terkonstruksi oleh image ibu ideal yang seperti ini. Si pembuat soal lupa bahwa dunia nyata tidaklah seperti itu. Secara kultural, pikiran pembuat soal bisa dikatakan mewakili sebagian masyarakat kita yang menggambarkan sosok ibu yang tradisional itu. Secara asesmen, butir soal tersebut kurang bagus. Kata 'ayah' sebagai pilihan bukanlah distractor jawaban yang baik, karena sosok yang ditanyakan jelas-jelas seorang perempuan. Soal ini mungkin dianggap bagus di masyarakat yang 'neutral gender.' Namun di dalam konteks masyarakat Indonesia, ini rasanya tidak mungkin.
Bagaimana dengan pilihan yang diambil si siswa sebagai jawabannya? Ketika si siswa memilih jawaban 'pembantu,' ini juga sama sekali tidak salah. Pilihan yang diambil si siswa mengindikasikan persepsi anak tentang sosok pembantu, yang sering kita stereotipikan sebagai orang dari desa, dan ini ditunjukkan dari pakaian kebayanya. Di satu sisi, ini juga menunjukkan spatial setting lingkungan di mana anak tumbuh. Besar kemungkinan dia anak kota, punya pembantu yang tipikal seperti itu, atau setidak-tidaknya, melihat lingkungannya. Mamanya kemungkinan besar tidak pernah pakai kebaya juga.
Kalau kita baca soal ini lebih dalam di deep structure-nya, pilihan siswa atas jawaban pembantu menunjukkan perubahan nilai tentang nurturing. Surrogate mothering, yang diwakili si pembantu, betul-betul refleksi transformasi sosial tentang peran perempuan sebagai ibu dan wanita karir. Semakin banyaknya ibu yang berkarir, sebagai dampak dari global demand, membuat banyak rumah tangga memerlukan sosok 'pengasuh.' Banyaknya waktu yang dihabiskan bersama oleh si anak dan 'mbok'nya, dan kehangatan yang didapatkan dari si mbok juga refleksi dari berubahnya nilai tentang 'motherhood.' ketika ibu kurang memiliki waktu untuk fungsi ini.
Nah, jujur ya, sebagian dari kita yang menjadi ibu, ketika kita kaget dengan kasus di dunia pendidikan kita ini, sebenarnya di alam bawah sadar, kita sedang mengalami pergolakan, adanya contestation antara ibu dan pembantu dalam 'mendapatkan' perhatian anak. Ini refleksi perasaan insecure bahwa kita takut kehilangan peran sebagai ibu. Itu makanya banyak ibu yang berupaya untuk menjadi supermom, tetap berkarir, tapi tidak mau 'kalah' dengan si 'mbok'. It's power hegemony of class, ethnicity, and gender, dalam bahasa Antonio Gramsci. Tapi tekanan dunia global seringkali akhirnya mengubah contestation tadi menjadi negotiation, sehingga terjadi kerjasama antara ibu dan si mbok dalam pengaturan tugas-tugasnya, yang secara tradisional, masih dianggap menjadi bagian dari domestic, immaterial labor.
Masalah ini tidaklah kasuistis, tapi sudah menjadi fenomena global, tentang negotiation of public/private space and surrogate mothering. Berbagai studi sosiologis tentang TKW Filipina dan Indonesia di Hong Kong, Taiwan, dan Singapore mengindikasikan fenomena yang sama.
Sebuah butir soal ternyata bisa mengungkap fenomena transformasi budaya yang terjadi di masyarakat urban di Indonesia. Pisau Cultural Studies yang telah membuatku lebih melek terhadap praktek-praktek budaya yang nampaknya sepele di lingkungan kita. Aku harus berterima kasih kepada bu Dian Rivia, kolega yang telah memberikan pancingan akademik dan personal dalam postingannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)