Showing posts with label Catatan Budaya. Show all posts
Showing posts with label Catatan Budaya. Show all posts

Sunday, August 22, 2021

CONNECTING DOTS WITH BUDI DARMA


Kepergian sosok sepenting Prof. Budi Darma adalah sebuah kehilangan yang tak tergambarkan. Waktu terasa berhenti dan hanya tangis yang mengisi. Tiba-tiba ingatan masa lalu seolah berjajar bak foto-foto yang membawa kenangan. Betapa tanpa saya sadari Pak Budi Darma telah menggoreskan warna kuat dalam perjalanan karir saya.

Saya termasuk yang percaya bahwa dalam kehidupan ini tidak ada yang kebetulan. Kejadian yang kita alami atau orang yang kita temui adalah bagian dari takdir. Termasuk di antara bagaimana sosok Budi Darma menjadi tanda dalam peta kehidupan saya. Serpihan kisah rendezvous saya dengan Pak Budi adalah titik-titik yang suatu saat terhubung. Connecting dots

1) Di sekitar tahun 1985-1990, ketika saya menjadi mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP     Surabaya, Pak Budi Darma adalah Rektor IKIP Surabaya mulai tahun 1984-1988. Karena beliau menjadi Rektor, maka saya belum pernah masuk ke kelas beliau sampai tahun 1989. Peran beliau sebagai Rektor saya rasakan kalau saya wira-wiri dari Sekretariat Himapala di Kampus Ketintang ke Rektorat yang waktu itu ada di Jalan Kayun. Maklum, sebagai anggota Himapala, saya ikut sok sibuk mengurus surat perijinan atau pengajuan dana kegiatan. Tapi saya lebih banyak masuk ke ruangan Pembantu Rektor III yang memang mengurusi bidang Kemahasiswaan. 

Pendek kata, saya hanya tahu bahwa dosen saya, yang sastrawan, adalah Rektor. Dan saya baru pada tahap berangan-angan ingin diajar beliau sebelum saya lulus. 

Sampai suatu saat saya diberi tugas menyerahkan pemukul gong kepada Rektor untuk membuka acara Pentas Seni Himapala di tahun 1986. Tidak tanggung-tanggung, saya harus turun dengan tali dari dinding Gedung Gema dengan ketinggian kurang lebih 10 meter.  Bersama dengan rekan saya, mas Agus Guo, kami turun saat lampu gedung yang dimatikan. Spotlight mengarah ke dua anak muda yang sedang rappling dari atap gedung dan kemudian beratraksi melompat ke kiri dan ke kanan sambil membalikkan badan. Entah dari mana saya mendapatkan kenekadan ini. Kenekadan yang direncanakan karena latihan hampir tiap hari. Saat itu adrenaline saya mungkin sedang puncak-puncaknya. Seandainya ini terjadi di masa kini, mungkin foto-fotonya sudah memenuhi akun medsos saya. 

Sesampai di bawah, saya berlari ke arah Rektor dan menyerahkan pemukul gong yang tergantung di carabiner di celana jeans saya. Lamat-lamat saya mendengar pembawa acara menyebut nama saya sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. 

Hampir empat tahun kemudian, saya duduk di sofa Jurusan, di depan tiga dosen senior Jurusan. Pak Budi Darma, Pak Santiko Budi, dan Pak Djoko Soeloeh Marhaen. Saya tengah menghadapi ujian skripsi. Pak Budi Darma menjadi penguji saya. Beliau bertanya sambil tersenyum, “masih suka naik-naik atap gedung?” 

Saya terpana. Terpesona. Bagaimana mungkin ulah anak picisan ini diingat oleh sosok VIP seperti beliau. Saya lupa apa jawaban saya. Yang saya ingat hanyalah gelengan saya dengan wajah tersipu malu. 

2) Tapi itu bukan pertama kalinya saya merasa dekat dan dikenal oleh beliau. Ketika Pak Budi sudah tidak lagi menjabat sebagai Rektor, beliau kembali mengajar ke Jurusan. Di akhir semester saya di semester 8, beruntunglah saya dapat duduk di kelas Literary Appreciation. Sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan, kami tidak banyak mendapatkan mata kuliah murni. Hanya ada Introduction to Literature yang kurang sukses membuat saya mencintai sastra. Tapi saya sering meminjam novel-novel di ruang baca Jurusan dan memfotocopynya. Membaca untuk dinikmati. Bukan untuk dikritisi. 

Kelas kami membahas novel Ernest Hemingway, The Sun Also Rises. Semua mahasiswa memegang fotocopyan novel, mencoba mencari kalimat yang dibacakan Pak Budi. Tak kunjung ketemu. Saya perhatikan wajah beliau. Baru kemudian saya tersadar bahwa sebenarnya beliau sedang menganalisis dengan gaya berkisah. Ah, kalimat-kalimat yang tertata rapi dan runtut ini muncul terucap tanpa script. Menghipnotis. Meski pemahaman saya tidak sampai separuhnya. 

Merasa kuliah ini standar tinggi dan saya tidak mudeng, saya mencoba mencari cara agar paham isi novel ini. Bayangkan kuliah di tahun-tahun 80-90an, ketika referensi harus dicari di perpustakaan yang masih terbatas koleksinya. Saya belani mencari referensi ke perpustakaan di atas toko buku di jalan Tunjungan. Saya lupa apakah namanya Sari Agung atau sudah berganti menjadi Gramedia. Toko ini adalah jujugan saya sejak kecil. Tapi baru tahu belakangan saat kuliah bahwa di atasnya ada perpustakaan kecil. Di situ akhirnya saya menemukan buku-buku sastra yang tebal dan menyuguhkan kritik sastra karya-karya Hemingway. 

Eureka

Ketika masa UTS datang, kami diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan yang bersifat analisis novel The Sun Also Rises. UTS yang open book. Kami tentunya dapat mengutip baris-baris dari novel sebagai bukti. Saya mengambil tempat duduk di belakang. Agar dapat fokus menulis analisis. Tidak pakai tengok kiri kanan. Karena teman-teman saya juga sedang sibuk berpikir. Mau nulis apa. Atau mungkin tidak tahu apa yang mau ditulis. Saya sendiri juga tidak yakin. Pokoknya nulis saja. 

Dua minggu kemudian, beliau memanggil nama kami satu-persatu. Memberikan hasil UTS. Sambil memberikan umpan balik. Rata-rata dikomentari karena kebanyakan menulis analisis seperti menulis daftar menu. Hanya point-point saja. Saya mendengar nama saya disebut. Deg-degan. Takut jawaban saya juga tidak memuaskan. “Pratiwi, would you please come here and read your answer?”

Dengan sangat groggy, karena tidak tahu mengapa saya diminta maju ke depan, saya berjalan ke depan kelas dan menerima kertas jawaban dari tangan beliau. Saya bacakan jawaban saya yang panjangnya kira-kira 2 halaman kertas folio bergaris. Setelah saya selesai membaca, barulah kemudian beliau menyampaikan bahwa analisis sastra seharusnyalah deskriptif seperti itu. Bukan seperti daftar menu atau belanjaan. 

Pengalaman ini sangat membekas di benak saya. Ternyata saya bisa menganalisis karya sastra yang masterpiece. Ternyata begitu caranya interpretasi sastra. Sejak itu saya merasa jatuh cinta pada sastra. Tepatnya, Pak Budi membuat saya mencintai sastra dan mensyukuri pentingnya menulis. Saya punya kebiasaan menulis di buku harian atau surat berpanjang-panjang halamannya. Mungkin saja tulisan saya ada emosinya. Buktinya beberapa coretan yang saya tulis menghasilkan patah hati. 

(bersambung)





Sunday, October 18, 2020

WFH, Pecel, dan Identitas Budaya

Sudah beberapa bulan terakhir ini saya meminta Abay, ART saya untuk tidak datang terlalu pagi. Dia kos di kampung sekitar Kebraon. Saya melihat tidak lagi ada urgencynya untuk menyiapkan sarapan pagi-pagi ketika saya sendiri praktis WFH tiap hari.
Bekerja menatap laptop dan melakoni zoom sessions beruntun dan sering simultan hampir tiap hari membuat saya mengalami zoom fatigue. Saya butuh relaksasi memecah rutinitas pekerjaan berlapis yang sebenarnya malah jadi tidak fokus.
Rutinitas baru di pagi hari adalah menyiapkan sarapan. Terutama buat Mas Prapto yang WFO terus. Dia biasanya berangkat ke kantor sekitar pukul 7. Jadi saya menyediakan waktu maksimal 1 jam untuk umeg di dapur. Biasanya pukul 6 semua sudah tersaji di meja makan Ganta, Adzra, dan saya bisa sarapan jam berapa saja karena kami tidak ke luar rumah.
Menyediakan waktu bekerja di dapur di pagi hari ternyata menjadi relaksasi dan inspirasi. Sembari minum kopi, Mas Prapto menemani saya. Ngobrol ringan. Membayar waktu us time yang kadang terlewat di hari sebelumnya. Berdua saja. Anak-anak masih di kamar di lantai atas, cenderung kembali memeluk guling seusai shalat Shubuh.
WFH membawa model kerja baru. Batas hari libur dan hari kerja jadi tidak jelas. Setidaknya buat saya Mau bagaimana lagi, saat suami pulang kerja lepas maghrib, saya masih di depan laptop. Sering sampai lewat pukul 9 malam. Kapan dulu dia bilang begini ke Adzra. "Dzra, ibuk itu ya. Ayah pulang sore, di depan laptop. Pulang malam, sik ngezoom. Itu laptopnya apa gak protes ya." Saya nyengir saja. Wong saya ya pingin mengurangi screen time, dan belum berhasil.
Kompensasi saya adalah waktu masak di pagi hari. Ngobrol berdua dengan suami sembari masak jadi quality time yang saya tunggu tiap pagi. Sering juga saat masak, saya malah dapat wangsit atau troubleshooting untuk tugas-tugas yang belum kelar.
Ini mengingatkan saya pada hari-hari di Melbourne dulu. Waktu memasak menjadi waktu mencari inspirasi menulis tesis. Tiba-tiba saja 'tuing', dan langsung cari buku catatan dan orer-oret (lalu tiba-tiba ada bau gosong).
Minggu pagi identik dengan pecel. Ditambah dengan tempe goreng dan omelette (my signature dish). Cuma gitu aja. Sederhana. Tidak ada yang istimewa. Yang spesial adalah karena Ibu dan Bapak saya lagi nginep di rumah. Semoga hidangan anak sulung bisa berfaedah. Meski dari segi rasa, masakan ibu saya selalu juara satu. Saya mah tidak kecipratan bakatnya.
Inspirasi pagi yang 'tuing' saat menggoreng omelette adalah: buat rekaman video untuk kelas besok karena akan ada rangkaian rapat offline di kampus. Video diunggah di YouTube dan share link ke Google Classroom. Topik di kelas Intercultural Communication besok adalah Cultural Identity and Diaspora. Mungkin saya bisa unggah foto hidangan pecel ini dan bertanya: apakah Indonesian diaspora masih suka menghadirkan pecel di meja makan? Kalau pas di Melbourne dulu, cara saya menghidangkan pecel adalah dengan mengakali sayurnya. Apa saja yang lagi 'sale'. Yang penting ada bumbu pecelnya. Saya harus punya bumbu pecel di rumah (apartemen). Entah dengan beli di Asian Store atau stock bumbu gunting. Itu sebutan saya untuk bumbi instant. Setiap kali suami datang dari Indonesia, dia selalu bawa berbagai bumbu satu koper.

Lain lagi cerita sohib ya yang pinter dan manis, dik Yuseva Wardhana. Dia lagi studi PhD di Ohio State University di Columbus, OH. Baca postingan saya di FB, dia ikut komentar seperti ini:
    Beberapa hari yang lalu saya habis mecel lho Bu 
Pratiwi Retnaningdyah
. Kecambahnya nunggu 4     hari "thukul" dulu, daun katesnya saya ganti Kale yang rasanya cukup saudaraan, plus kobis, wortel,     timun, kacang panjang. Lauknya cukup krupuk bulet beli di Asian Market. Sambil makan sambil             
berefleksi untuk lebih menghargai apa yang dulu mudah sekali di dapat di Indonesia, di sini musti 
    usaha ekstra.

Penuturan dik Yuseva ini bukti bahwa makanan menjadi satu cara untuk menjaga identitas budaya ketika kita berada jauh dari tanah air. Jadi pingin segera buka laptop untuk buat materi perkuliahannya. Eh...berarti hari Minggu ini saya tetap kerja dong? 😁





Sunday, February 10, 2019

Kembalinya Sang Sarung

Perjalanan hidup manusia pada dasarnya mengikuti siklus atau tahap layaknya seorang pahlawan. Kan setiap orang pada hakikatnya adalah pahlawan dalam perjuangan hidup masing-masing. Konsep Monomyth yang diusung Joseph Campbell di bukunya The Hero with a Thousand Faces gamblang menggambarkan 12 tahap perjalanan seorang pahlawan. 


Tengok saja perjalanan Wiro Sableng, Spiderman, Wonder Woman, atau pendeta Tong di kisah Sun Go Kong. Bila dibuat perbandingan, semua tokoh fiktif dan kehidupan nyata awalnya akan melalui tahap kehidupan normal yang serba nyaman, sebelum kemudian menemui tantangan atau cobaan hidup. Si tokoh akan berusaha menghindar dari tantangan karena banyak keraguan dan ketakutan akan terjadinya ini itu.  Meskipun begitu, akhirnya si tokoh akan nyemplung juga di dunia petualangan. Wujudnya bisa macam-macam. Perjalanan mencari kitab suci a la pendeta Tong, upaya membuang cincin rame-rame lewat gunung terjal seperti yang dilakukan Frodo dan Sam, atau keputusan untuk studi S2/S3. Semuanya adalah bagian dari tahap Call to Adventure.
Biasanya keberanian muncul karena bertemu orang pintar tur wigati. Bahasa kerennya, ada peran the wise old man/woman. Kalau di kisah Wiro Sableng, sang guru Sito Gendeng bisa jadi adalah the wise old woman. Sementara itu, Frodo punya mbah Gandalf. Spiderman terpanggil menyelamatkan kota New York karena mengingat pesan almarhum pakdenya. With great power comes great responsibility
Namanya petualangan pasti akan banyak rintangan dan musuh. Lihat saja peran the Green Goblin, the Joker, atau Rahwana. Mereka adalah the villain. Si antagonis. Tokoh semacam ini dibutuhkan agar sang protagonis dapat dinilai sebagai manusia yang baik hati dan tidak sombong. Layaknya oposisi biner. Warna putih jadi kelihatan jelas bila dijejerkan dengan warna gelap yang kontras. Dalam kenyataan, acapkali peran antagonis menempel pada diri sendiri. Hanya orang yang rutin melakukan refleksi diri yang dapat merunut sisi-sisi gelap dalam diri. Mungkin Anakin Skywalker tidak mampu berkontemplasi sehingga bertransformasi menjadi Darth Vader. Luke Skywalker, sang protagonis, harus berhadapan dengan ayah sendiri.
Dalam menjalani petualangan, sang pahlawan mungkin akan kalah dulu. Dia harus mundur sebentar untuk mengumpulkan kesaktian, sebelum kemudian balik lagi ke medan perang. Tantangan terkuat bisa saja ditemui di gua tergelap yang hanya bisa dicapai melalui sungai bawah tanah (dan tidak ada perahu untuk rafting), atau di laut terdalam. Untungnya Aquaman jago berenang (sayang tidak ikut olimpiade). Mas ganteng berotot kawat tulang besi ini hanya beda tipis dengan Gatotkaca, yang jago terbang, tapi tidak bisa menyelam. Aquaman menemukan trisula dewa Neptunus di gua Atlan. Tak seorangpun pernah lolos keluar sebelumnya. 
Di moment ini, sang tokoh akan menghadapi ordeal, life-or-death crisis. Mahasiswa yang lagi menulis skripsi/tesis/disertasi mungkin mengalami tahap ordeal dalam bentuk revisi tiada henti yang dituntut dosen pembimbingnya, sementara masa studi semakin mepet. Dalam situasi krisis seperti ini, seringkali pandangan mahasiswa menjad kabur. Susah melihat apakah dosennya berubah peran menjadi the biggest enemy atau the wise old man/woman. (Hayoo yang suka ngrasani dosennya ngaku!)
Cobaan yang bisa membuat si tokoh sekarat ini pada akhirnya berhasil dilalui, dan membuahkan imbalan besar. Bisa harta karun, jadi raja, menemukan kitab terhebat di dunia persilatan, bertemu dengan seseorang yang amat dinanti, membawa ramuan awet muda, atau dapat meraih gelar PhD misalnya😉.
Nah, sang pahlawan sudah menyelesaikan misinya, dengan membawa ilmu kedigdayaan dan menjadi sosok yang sakti mandraguna. Maka saatnya untuk kembali ke dunia nyata (sebelumnya hanya fantasi???), dengan hati yang lebih bersih dan niat tulus untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Di dunia sastra dan mitologi, tahap ini kerap disebut sebagai tahap RETURN WITH THE ELIXIR (jadi ingat iklan obat batuk). 
Jadi kalau Anda menemukan judul film ...RETURNS atau RETURN OF ..., siap-siap saja melihat apakah sang tokoh utama kembali dengan sifat yang lebih bijak dan menyejukkan hati. Menjadi qurrota a'yun bagi masyarakat. Jangan-jangan ini akal-akalan berbau kapitalisme produsernya yang berharap mencetak box office kembali. 
Minggu lalu pas libur Imlek saya main ke Borobudur. Tahu nggak? Ternyata ada mitos yang belum pernah dikenal siapapun. Bukan tentang kisah hidup Sang Buddha, yang bisa dibaca melalui relief candi. Di salah satu tenda menjelang pintu keluar terpampang tulisan RETURN OF SARUNG. Mak deg! Kisah fenomenal apa lagi ini? Apakah sarung yang dipakai suami saya karena dia mengenakan celana pendek di atas lutut membawa misi besar daripada sekedar menutupi aurat (baca: lutut dan paha)? Sama halnya dengan pesona betis Ken Dedes yang bercahaya gara-gara jaritnya tersingkap dan membutakan mata hati Ken Arok. 



Saya menengok ke belakang. Mencari suami saya. "Mas, sarunge wis dibalekno ta?😜


Kebraon, 9 Februari 2019

P.S. Mungkin perlu ada mahasiswa PKL di sana dan membantu membenahi penggunaan Bahasa Inggris di tempat wisata.


Thursday, April 23, 2015

The Great Good Place: Antara Rawon Paidi, Perpustakaan Koper BMI-HK, dan Starbucks

'Rawon Paidi.' Bila seorang pengamat budaya ingin mengadakan studi etnografi virtual di milis Keluarga Unesa, mungkin nama ini adalah tempat nongkrong yang paling banyak disebut para miliser. Setiap kali ada gagasan bagus dilempar ke milis, maka nama rawon Paidi hampir selalu disebut. Seolah-olah tempat ini akan menjadi saksi gagasan mentah menjadi sebuah proposal yang siap dijalankan.

Bagi yang belum tahu apa itu rawon Paidi, nama ini merujuk ke sebuah warung pojok di dekat pintu gerbang kampus Ketintang Universitas Negeri Surabaya. Lokasinya di Ketintang PTT, tapi saya lupa nama gangnya. Warung ini sangat legendaris bagi mahasiswa, mulai sejak jaman IKIP Surabaya sampai sekarang menjadi Unesa. 

Tak heran teman-teman alumni suka janjian ketemuan di sana bila mau kangen-kangenan. Dua orang sohib di milis, Mas Eko dan mas Habe, bisa saja 'memilih' nama ini demi sebuah nostalgia. Namun sebenarnya, warung ini bisa jadi adalah bagian dari apa yang disebut Ray Oldenburg sebagai the great good place


Front Cover

Dalam bukunya berjudul The Great Good Place (1999), Oldenburg menyebut tempat-tempat publik seperti cafe, warung kopi, toko buku, bar, salon, dan tempat-tempat lain sebagai Third Place, 'home away from home.' Di tempat-tempat inilah sekelompok orang bertemu untuk berbagai tujuan. Mulai dari sekedar kangen-kangenan sampai obrolan tentang sebuah ide besar. 

Lalu apa bedanya rapat di kantor dengan ngobrol tentang hal yang sama di warung kopi? Kalimat dalam bahasa Inggris, 'let's discuss this over a cup of coffee' barangkali bisa mewakilinya.

Salah satu karakter dari Third Place, atau Tempat Ketiga ini adalah suasananya yang 'santai.' Banyak orang meyakini bahwa obrolan serius bila dilakukan dalam situasi yang santai justru akan memberikan hasil yang lebih bernas. Barangkali karena dalam hal mood, mereka yang hadir sudah membawa mood yang menyenangkan. Mau ngopi je, masak sambil mbedodok atine. Beda kan bila mau hadir rapat? Sepertinya serius banget.

Saya dan beberapa PhD mommies kadang-kadang hang out juga ke cafe.Setelah antar anak sekolah, kami bertemu di cafe di sekitar Sydney Road di Brunswick. Tempatnya berpindah-pindah. Dan kami sebenarnya cuma minum kopi atau hot chocolate, plus muffin atau banana bread yang dicuwil bareng-bareng. Nongkrong kurang lebih 1 jam sambil ngobrol tentang progress masing-masing, atau masalah akademik yang sama-sama dialami. Nama grup kami, Srikandi PhD, memang menggambarkan tantangan yang harus kami hadapi sebagai ibu dan mahasiswa. Multitasking tiap hari. Nah, ngobrol santai lintas bidang ilmu membuat kami bisa berbagi solusi. Biasanya, begitu buyar dan balik ke pekerjaan masing-masing, pikiran jadi lebih jernih. Dapat semangat baru. I'm not alone

Saya menyebut konsep Third Place untuk menjelaskan salah satu fungsi perpustakaan koper di kalangan buruh migran di Hong Kong. It's a home away from home. Di tengah tuntutan pekerjaan yang menguras tenaga dan perasaan, perpustakaan koper yang digelar tiap minggu secaran lesehan di pelataran Victoria Park di Hong Kong menjadi 'tempat teduh.' 

Bagi sebagian buruh migran, perpustakaan koper menjadi katalisator untuk rasa haus ilmu pengetahuan. Dan pada dasarnya, membaca adalah kebutuhan siapa saja, tak ada kaitannya dengan kelas sosial, usia, dan gender. Tempat ini juga menjadi hub atau penghubung, yang mempertemukan para pegiat literasi di kalangan buruh migran. Dengan kata lain, perpustakaan koper menawarkan sebuah fungsi demokratis tanpa sekat.

                                                    

Nah, akan menarik untuk disimak apakah perpustakaan di kota Surabaya atau taman baca komunitas sudah berfungsi sebagai Tempat Ketiga. 

Mas Habe, salah seorang miliser bilang bahwa budaya nongkrong di warung kopi ini 'dicuri' oleh Starbucks. Menurutnya, meski kopi di Starbucks harganya mahal dan kopinya gak enak, ternyata pelanggannya banyak. Tapi saya kok tidak terlalu yakin Starbucks 'mencuri' kesempatan di tengah-tengah budaya warung kopi di Indonesia. 

Fenomena coffee house adalah budaya global, sesuai dengan konteks budaya masing-masing negara. Tempat publik seperti ini (dan biasanya untuk laki-laki) berkembang sejalan dengan dinamika ranah publik untuk diskusi dan 'debat' masalah sosial dan politik. Menurut Habermas, filsuf dari Jerman, coffee house adalah simbol demokrasi di ranah publik, yang bisa jadi menjadi 'perlawanan' terhadap penguasa. 

Saya memang tidak suka minum kopi. Tapi saya lihat keberadaan Starbucks di Melbourne tidak mampu mengalahkan pamor cafe yang bertebaran di seluruh penjuru kota dan daerah pinggiran. Ini bukan karena sama-sama negara Barat, tapi barangkali lebih karena Melbourne terkenal dengan budaya kopinya. Di pagi hari ketika orang-orang berangkat kerja atau ke kampus, cafe dipastikan salah satu tempat usaha yang sudah buka. Ini bisa dilihat dari seringnya saya temui orang menunggu tram atau train sambil nyruput kopi atau hot chocolate. Kemungkinan besar itu take-away coffee

Budaya masing-masing negara punya peran penting juga dalam menentukan keberhasilan sebuah warung kopi. Di Australia, orang butuh kopi secara take away, buat sangu berangkat kerja. Itu sebabnya cafe buka sejak pagi. Tidak banyak orang nongkrong di cafe pagi-pagi. Sama halnya dengan Starbucks yang dibentuk seperti itu di negara asalnya di Amrik. Take away service menentukan jalan bisnis Starbucks. 

Lain lagi di sore hari, ketika para profesional muda pulang kerja. Dine-in service menjadi pilihan. Bukan karena butuh minum kopinya, tapi lebih pada fungsi Third Place. A place between home and work

Di Brunswick, tempat tinggal saya, cafe juga menjadi Third Place buat emak-emak yang butuh ngopi (meski pesannya hot chocolate). Tujuannya adalah ketemuan dengan teman sambil momong anak di pagi setengah siang. Tak heran ada cafe di dekat rumah, Crafternoon cafe, yang ramah ibu-anak, dengan menyediakan menu peralatan menggambar dan prakarya. Emak-emak ngobrol sambil menemani para krucil mewarnai, 

Mengapa Starbucks berhasil menancapkan bisnisnya di banyak negara Asia. Salah satu kuncinya adalah kemampuan mereka beradaptasi dengan selera lokal. Di Cina misalnya, Starbucks cukup sukses, padahal Cina kental dengan budaya minum tehnya. Banyak yang pesimis Starbucks bisa sukses di sana. Toh malah meraup keuntungan berlipat-lipat. Apa yang mereka lakukan? Ternyata Starbucks menawarkan minuman coklat rasa green tea, dan mengurangi rasa kopi model Barat (jangan tanya, saya bukan peminum kopi). Selain itu, di Cina, Starbucks juga memulai bisnisnya di siang/sore hari, karena orang Cina dinilai tidak memiliki budaya take-away tea/coffee. Dengan demikian yang lebih didorong adalah dine-in service. Sekali lagi, Third Place menjadi jawabannya. 

Bagaimana dengan di Indonesia? Saya pikir warung kopi tidak akan kalah bersaing dengan Starbucks. Selain pangsa pasarnya beda, nuansanya tidak bisa dibandingkan. Ada kekhasan warung kopi di pinggir jalan yang tidak akan bisa ditemui di Starbucks. Okelah, para lelaki butuh ngopi karena mau cari teman ngobrol tentang bola atau harga BBM yang merangkak naik. Tapi sensasi sapaan bu Atun dan suara gelas beradu dengan sendok, saat bu Atun mengaduk campuran kopi dan gula dalam air panas, tidak akan mungkin ditemukan di cafe-cafe model Starbucks. 

Kecuali bu Atun dapat kredit UKM dari cak Samsul untuk beli coffee machine. Mbuh apa ini bisa membuat cak Slamet masih mau mampir ngopi?

Jadi, apa tempat nongkrong favorit Anda?

Saturday, February 14, 2015

Belum Sadar Hilang, Sudah Ditemukan

Saya lagi asyik di depan desktop ketika HP saya berbunyi. Ada telpon dari mbak Dharma. "Assalamu'alaikum bude, di rumah nggak?"


Saya jawab salamnya, sembari bilang bahwa saya di rumah sejak tadi pagi. "Kenapa itu suaranya kok gitu," tanya saya. Mbak Dharma seperti habis menangis. "Budeee, mobilku ilaaaang."
Mak deg hati saya. "Astaghfirullah. Wis bentar, aku ke sana ya." 

Ingatan saya melayang ke pagi tadi. Jam 8 pagi saya sudah lewat Warr Park, membeli croissant untuk bekal makan siang Adzra di sekolah. Seperti biasa, saya selalu menengok ke building 45. Siapa tahu kelihatan wajah mbak Dharma dari jendela dapur. Pagi itu, saya lihat garasinya sudah kosong. Eh, kemana pagi-pagi sudah keluar rumah.

Balik dari Pamukkale Bakery, saya ketemu dengan Faqih, putra mbak Dharma yang sulung, yang mau berangkat sekolah.
"Where's your mom? I didn't see the car." 

Saya jadi merasa bersalah, mengapa tadi pagi saya tidak menelpon, sekedar tanya kabar. Sekembalinya dari mengantar Adzra ke sekolah, saya praktis tenggelam di meja kerja. Kalau saja saya telpon tadi pagi...

Sesampai di rumah mbak Dharma, saya sarankan untuk segera telpon 000 untuk melaporkan kehilangan. Mbak Dharma mohon polisi untuk datang ke rumah. Tapi tak sampai 1 menit setelah menutup telpon, akhirnya mbak Dharma memutuskan untuk langsung ke Police Station. Kebetulan saya tahu kantor polisi terdekat di dekat stop 25 di Sydney Road. 

Di sela-sela waktu melapor itulah mulai jelas kronologi mobil hilang. Ketika Faqih pulang sekolah dan mendapati garasi kosong, dia telpon mamanya. Mamanya bilang kalau di rumah sejak pagi.
"But the car is not in the garage, Mommy."
Mbak Dharma sempat memarahi Faqih karena dianggap guyon kelewatan. Tapi setelah dicek turun ke bawah, ternyata memang benar.

Ella, tetangga sebelah mbak Dharma, merasa heran mengapa garasi sudah kosong sekitar jam 9 pagi, saat dia berangkat kerja. Kebetulan ada tukang yang sedang mengerjakan garasi Ella. Menurut si tukang, sejak dia mulai kerja pagi itu, garasi memang sudah kosong. 

Saat lapor ke polisi, diberitahukan bahwa bila ketemu, pelapor akan segera dihubungi pihak kepolisian. Mbak Dharma juga memutuskan menanda-tangani consent kepada polisi untuk towing, alias menderek mobil. Artinya, bila mobil ditemukan, di lokasi manapun, mobil akan diderek, dan si pemilik mobil sanggup menanggung biayanya. Tanpa consent, mobil harus diambil sendiri ke lokasi. Bayangkan kalau mobil ditemukan di luar kota di pinggir hutan.

Dalam kasus kehilangan seperti ini, tidak banyak yang bisa dilakukan pelapor kecuali menunggu perkembangan. Dalam masa penantian plus upaya mbak Dharma untuk ikhlas, berkembanglah berbagai asumsi. Ibu-ibu di grup Paisyah mengirimkan rasa empati beserta doa agar bisa ditemukan bila memang masih rejekinya. Ternyata banyak juga cerita kehilangan mobil dan motor yang dishare teman-teman. Yang menenangkan dari info-info itu, kendaraan yang hilang ternyata bisa ditemukan kembali, meski dalam jangka waktu antara 1-3 bulan lebih. 

---

Tanpa mobil, mbak Dharma menyiapkan diri dengan rutinitas lama. Naik public transport ke mana-mana. Maka sore hari berikutnya, saat dalam perjalanan pulang dari kampus, mbak Dharma menelpon saya. Memberitahukan bahwa Faqih dan Fakhry diminta menunggu di rumah saya sepulang sekolah. Si 2F, begitu saya menyebut mereka, memang sudah menganggap rumah saya seperti rumah sendiri. Kebetulan juga sore itu, Galuh, putri mbak Hani, juga sedang menikmati after-school playdate dengan Adzra. Jadinya rumah cukup ramai dengan suara 4 anak. Si 2F main PS, dan gadis-gadis kecil sudah sibuk bermain dengan boneka-boneka kecil.

Mbak Dharma masih di tram. Beberapa kali mbak Dharma telpon saat saya masih di dapur. 
Kring pertama: "bude, aku sudah di rumah. Anak-anak suruh pulang aja ya."

Saya lihat 2F menggeleng. PS 3 terlalu sayang untuk ditinggalkan nampaknya. "Please," pinta mereka.

Kring kedua: "bude, anak-anak belum shalat Ashar." Saya bilang bahwa anak-anak sudah shalat dan sedang makan mie ayam.

Kring ketiga: "budeee, mobilku ditemukan. Di Brunswick West. Aku disuruh ke sana."

Suara mbak Dharma terdengar bercampur perasaan antara lega dan tidak percaya. Maka saya putuskan untuk ke rumah mbak Dharma, menunggui Faisal yang masih tidur, sambil mengajak Adzra dan Galuh. Sementara Faqih dan Fakhry masih ingin di rumah saya. Kebetulan ada Ganta, anak sulung saya, yang baru pulang kerja dari Vicmart.


Bergegas mbak Dharma mencatat alamat dan nomor HP yang diberikan polisi, dan kemudian berangkat ke TKP, dengan diantar mas Bayu dan mbak Dewi. Sebagai warga Brunswick West, pasutri asal Solo ini pastinya cukup mengenal medan.

Di antara waktu menunggu mbak Dharma mengurusi pengambilan mobil itulah cerita seru bagaikan CSI seakan digelar. Gambaran cerita detektif seperti di TV dimulai dengan postingan yang dikirim mbak Dewi ke whatsapp group ibu-ibu PAisyah.
"Saya di dalam mobil, mbak Dharma dan mas Bayu sedang di-interview."


Tim forensik di TKP (courtesy: mbak Dewi)
                                                           
Hampir 3 jam berlalu sejak mereka berangkat ke TKP. Faqih dan Fakhry sudah balik ke rumah. Galuh sudah dijemput mamanya. Tinggallah saya, Adzra, Faqih, Fakhry, dan Faisal. Si bayi 9 bulan yang lucu ini manis banget, tanpa ada kerewelan sedikitpun selama ditinggal mamanya.

Dan akhirnya semua cerita tumpah saat mbak Dharma pulang. Mbak Dharma, mas Bayu, dan mbak Dewi merekam berbagai episode dari kacamata masing-masing. 

---

Siapa mengira bahwa mobil Nissan Pulsar warna maroon berplat nomor PH**** itu sebenarnya sudah dilaporkan berada di garasi orang di seputaran Eggington Street, pada pukul 9 Rabu malam. Dan mbak Dharma baru sadar kehilangan mobil hilang 20 jam kemudian. Pihak polisi bahkan sudah mengecek ke alamat pemilik mobil. Eh, usut punya usut, alamat mobil masih di alamat lama mbak Dharma di Donald Street. Sementara mbak Dharma sudah pindah ke area De Carle Street, bertetangga dengan saya. Tentu saja pemilik baru di Donald Street tidak merasa kehilangan mobil. 

Jangan meremehkan hubungan baik dengan tetangga. Kenal baik dengan tetangga nampaknya jadi modal besar untuk menguak kriminalitas. Ini terbukti dari kisah bagaimana mobil itu dilaporkan ditemukan. Alkisah, si pemilik garasi d Paddington Street keluar rumah sekitar pukul 6 sore ke High Point, dan memberitahu tetangga sebelahnya. Tak lama kemudian, terdengar ribut-ribut di bawah, di garasi orang yang baru pergi tadi. Maka turunlah si tetangga. Di situ ada orang sedang parkir mobil. Ditanya siapa, jawabannya mencurigakan. Si pembawa mobil mengaku teman pemilik garasi. Ketika diberitahu bahwa si tetangga kenal baik dengan si pemilik garasi, dan mengancam akan menelpon polisi, tak disangka, si pembawa mobil bergegas mengambil backpacknya di dalam mobilLari lintang pukang. Ketika sii pemilik garasi pulang dan mendapati sebuah mobil bertengger di garasinya, laporlah dia ke polisi. Ada mobil curian di garasinya.

Mungkinkah seseorang mencuri mobil untuk niat senang-senang dan kemudian meninggalkan mobil tersebut? Tukang yang mengerjakan garasi tetangga mbak Dharma membuka kemungkinan itu. "Maybe somebody took the car for a joyride and will leave it somewhere."

Asumsi ini bisa jadi ada benarnya. Barang bukti di dalam mobil bisa menguak berbagai kemungkinan. Memang, saat di TKP, tim forensik mengecek isi mobil, mengambil foto dan sidik jari. Dari ujung depan sampai belakang. Dengan kamera dan peralatan yang OK banget. Barang bukti dimasukkan satu-persatu ke paper bag terpisah, dicatat waktunya jam berapa setiap barang bukti masuk ke tiap kantong. Amat profesional. Kayak nonton film detektif beneran pokoknya. 


Mobil di TKP  (courtesy: mbak Dharma)
Tim forensik memeriksa bagian dalam mobil dan mengambil sidik jari (courtesy: mbak Dharma)
                                                 
Tim forensik mengambil barang-barang bukti (courtesy: mbak Dharma)
             
Kalimat pertama yang diucapkan mbak Dharma saat masuk rumah adalah, 
"the good news is...mobilku jadi rapi." Lho kok bisa?

Ternyata kepribadian pencuri bisa dilihat dari caranya memperlakukan mobil mbak Dharma. Ini kutipan langsung dari kalimat mbak Dharma, yang nampak terkesan dengan kerapian si pencuri.

     Mobilku jadi rapi banget dalamnya. Mainan baby terkumpul rapi, kertas-kertas yang berserakan
     masuk rapi ke dashboard. Sandal yang terpisah disandingkan dengan pasangannya. Payung yang
     terbuka dan nyempil di tengah, ditutup rapat dan dirapikan, masuk ke bagasi. Botol air mineral di
     jok dinaikkan ke atas dashboard. Tissue dirapikan. 

Ini pencuri niat banget mencuri mobilnya, mencari garasi kosong untuk memarkir mobil, dan merapikannya. Suara dia yang berisik saat merapikan itulah yang mengundang kecurigaan pemilik rumah di atas garasi.

Apa sebenarnya motifnya? Di dalam mobil yang menjadi rapi itu, ternyata tim forensik menemukan barang-barang 'aneh' yang mbak Dewi sebenarnya tidak tega menyebutnya. Di antaranya ada pheromone spray dan 'alat-alat aneh' yang hanya bisa dibeli di toko XXX. Hasil browsing Mas Bayu di internet menunjukkan bahwa spray itu untuk menarik perempuan, dan membuatnya terangsang secara seksual.

"Papa kok tahu kalau itu untuk tujuan begituan," tanya mbak Dewi.
"Lha aku pernah dengar dan baca sebelumnya," tukas mas Bayu.

Spray ini boleh dikata seperti pelet. Membuat perempuan yang membauinya akan terkiwir-kiwir.

Ada alat pancing, gambar alat kelamin, spray untuk pelet, mobil rapi jali, menjelang Valentine's day. Nah, bila Anda jadi detektif, kira-kira apa bagaimana Anda menguak niat si pencuri? Plot cerita yang ditawarkan mas Bayu amat mengesankan bagi saya. Ini dia plot  yang disusun mas Bayu, yang nampaknya punya bakat jadi penulis skenario:

     Si pencuri mau mengajak perempuan berpiknik sambil mancing, untuk merayakan Valentine's    
     day. Dengan daya pelet Pheromone spray yang tidak bisa terdeteksi baunya, namun langsung
     mempengaruhi alam bawah sadar perempuan, harapan si pencuri untuk mencari kepuasan akan
     tercapai. Bila si perempuan orang yang baru dikenal, mungkin kemudian dia akan lapor telah
     diperkosa, dan memberikan detil si pelaku beserta mobilnya. Padahal mobil nantinya akan
     ditinggal begitu saja di suatu tempat.


Tahu efek Pheromone yang 'mengerikan' ini, mbak Dharma takut juga. Kuatir kena pengaruh. Siapa tahu spray sempat disemprotkan di dalam mobil. "Nggak ada lawan nih, bahaya." Sambil ketawa. Maklum, mas Arif, suami mbak Dharma memang berada di Indonesia. Balada LDR, seperti saya juga. Dalam hati, saya lega melihat mbak Dharma kembali lepas dan ceria. Bagaikan sebuah cerita, klimaksnya sudah lewat, dan sekarang adalah resolusinya. Mendekati ending cerita. 

Alhamdulillah. Satu hari yang cukup mengharu-biru bagi kami semua, komunitas PAisyah, yang sudah seperti saudara. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari kekuatan persaudaraan yang senantiasa memberikan doa dan support untuk satu sama lain. Saya menyitir kalimat mbak Dewi yang mengutip pernyataan polisi. "Bila orang lain lapor kehilangan mobil dan masih banyak yang belum ditemukan, mbak Dharma beruntung karena justru polisi mencari alamat pemilik mobil, yang sebenarnya tidak sadar bahwa mobilnya hilang."

Hikmahnya, mbak Dharma langsung mengurus penggantian alamat di VicRoads tadi siang. Begitu alamat sudah terupdate otomatis, maka pihak kepolisian langsung bergerak. Tanpa alamat yang benar, polisi tidak akan mengambil tindakan, karena menjaga kemungkinan adanya penipuan dengan alamat palsu. Ini pelajaran pertama.


Pelajaran kedua: perlu disyukuri bahwa mobil tidak hanya ditemukan dalam waktu cepat, namun juga tidak jadi digunakan untuk maksiat. Insya Allah ini mobil yang dipakai untuk jihad seorang ibu dengan 3 anak, di tengah-tengah tantangan studi S3, sementara suami jauh di Makassar sana. Doa semua keluarga dan sahabat dikabulkan oleh Allah.


Pelajaran kedua: profesionalisme tim kepolisian patut diacungi jempol. Barangkali ini kasus pencurian mobil yang tercepat ditangani tidak lebih dari 48 jam, sejak mobil pertama kali dilaporkan (oleh si pemilik garasi yang dinunuti mobil curian), sampai kembali ke tangan pemilik sah. Bisa jadi kasus ini memecahkan Guinness World Record, bila ada kategori kasus pencurian tercepat ditangani.

Saat tulisan ini dibuat, saya membayangkan mbak Dharma mungkin sudah tidur dengan lebih nyenyak, sambil memeluk si kecil Faisal. Belum Sadar Hilang, Sudah Ditemukan.*



Brunswick, 14 Februari 2015

01:00 am

----


*Terima kasih kepada pemilik mobil yang sah, atas sumbangan judulnya.

* Terima kasih kepada mbak Dharma, mbak Dewi dan mas Bayu, atas cerita seru yang sudah saya kutip di atas.   





Monday, December 22, 2014

MENIKMATI DISKON PERJALANAN BUAT MAHASISWA

Tahukah Anda bahwa memegang status mahasiswa di luar negeri banyak keuntungannya? Berbagai fasilitas ke tempat wisata maupun transportasi sering menawarkan diskon, dan kadang malah gratis. Salah satunya adalah diskon untuk menikmati perjalanan naik kereta New South Wales Link (NSW TrainLink).

Ya, liburan natal kali ini saya dan keluarga memilih main ke Sydney. Sekali-sekali ikut alur mudik orang Australia. Sama seperti halnya lebaran buat kita, natal untuk sebagian masyarakat Australia adalah saat mudik untuk berkumpul dengan keluarga. Kebetulan mas Prapto juga akan datang di hari pertama liburan sekolah di minggu ketiga Desember 2014. Maka satu bulan sebelumnya saya sudah mencari tiket ke Sydney. Setelah mencari informasi penerbangan (dan ternyata sedang tidak ada yang murah), maka saya memutuskan untuk mencoba naik kereta saja. Ini juga setelah saya mendengar cerita dari beberapa teman di Melbourne, Sydney, maupun Canberra yang sudah merasakan fasilitas NSW Link. Bagaimana tidak, ternyata anak di bawah usia 15 tahun hanya bayar 2 dolar untuk perjalanan pulang pergi.

Maka sayapun meluncur ke Southern Cross Station, stasiun kota yang juga melayani perjalanan kereta dan bus antar kota/negara bagian. Sebenarnya saya bisa saja membeli tiket secara online di sini, tapi saya putuskan langsung ke ticket counter.saja. Berbekal student ID punya saya dan Ganta, saya berharap dapat diskon tambahan. Sebagai siswa SMA di negara bagian Victoria, Ganta memegang concession card, kartu diskon separo harga untuk perjalanan di dalam dan luar kota di negara bagian Victoria. Meski Ganta sudah lulus SMA, student ID dan concession card-nya masih berlaku sampai bulan Februari 2015. Masih bisa dimanfaatkan. Dan ternyata kartu ini sakti juga untuk perjalanan ke negara bagian New South Wales. Ganta hanya bayar $130, separo harga untuk perjalanan pp.

Bagaimana dengan saya? Sebenarnya saya sudah antisipasi bayar penuh, karena di website NSW TrainLink tidak ada informasi tentang diskon untuk mahasiswa. Tapi saat di ticket counter, saya ditanya apakah saya juga student. Maka saya sodorkan student ID saya. Voila, dapatlah potongan 15%. Saya sudah senang sekali bisa berhemat berkat potongan berlipat-lipat. Saya dapat 15%, Ganta 50%, dan Adzra cuma bayar 2 dolar. Praktis cuma mas Prapto yang bayar penuh.

Dua minggu kemudian, ndilalah pas ngobrol dengan Lita, teman dari Yogya, yang juga mau ke Sydney naik kereta dengan keluarga, saya dapat info bahwa suaminya, mahasiswa S2 di Unimelb, cuma bayar 50%. Lho kok bisa? Usut punya usut, ternyata suaminya mbelani mengurus International Student Card ke travel agent. Bayar 30 dolar sih, tapi keuntungannya berlipat untuk diskon perjalanan ke mana saja selama 1 tahun.

Namanya student pingin selalu dapat murah untuk bisa pergi ke mana-mana, maka meluncurlah saya ke STA travel di Union House, gedung kampus Unimelb, tempat cafe dan unit kegiatan mahasiswa mangkal. Berbekal student ID dan bayar 30 dolar, difoto di tempat, tak sampai 5 menit kartu bernama International Student Identity Card (ISIC) sudah di tangan. Ini nih model kartunya.


Dengan penuh harap tiket yang sudah terlanjur saya bayar bisa diubah harganya, saya meluncur lagi ke Southern Cross Station. Saya tunjukkan kartu ISIC dan tiket yang sudah saya bayar. Setengah merayu. "Teman saya dapat diskon dengan kartu ini, boleh nggak saya minta tambahan diskon, please, aku mohooon," Hmm, petugasnya kok malah gak yakin. "I'm not sure I can refund this, but.. let me give it a try." Dengan senyum ramah dia langsung menelpon untuk konsultasi. Kalimat yang dia pakai di telpon rada asumtif. "There's a student here who's asking about International student discount for the ticket she already paid. I can't change that, can I? ...I can? Good. Thank you."  Gak penting siapa yang ditelpon, tapi senyumnya yang mengembang memberi tanda bahwa duit saya akan kembali beberapa puluh dolar. Horeee, teriak saya dalam hati.

Dengan tetap tersenyum seraya meminta saya sabar menunggu, si petugaspun membatalkan tiket saya yang lama, dan mengeluarkan tiket baru dengan diskon 50% dari harga penuh. Alhamdulillah. Dengan riang saya sodorkan debet card saya, agar duit yang sudah terlanjur saya bayar bisa di-refund. 2-3 detik kemudian saldo saya sudah bertambah 90 dolar, dari selisih harga diskon 15% ke 50%.

Gembira banget dengan penghematan besar yang berhasil saya lakukan ini. Saya langsung sms Lita, yang sudah berbaik hati berbagi tips. "Lit, tiketnya bisa di-refund. Duitku balik 90 dolar. Makasih yo." Jawab Lita, "wah sip mbak, lumayan, iso nggo maem."

Liburan sekolah telah tiba. Tiket baru sudah di tangan, Rencana perjalanan ke Sydney sudah disiapkan, Suami sudah datang. Ayo kita jalan-jalan.

Melbourne- Sydney NSW Train, 22 Desember 2014

Monday, July 07, 2014

Humanity-driven Knowledge

Barangkali ini yang Meaghan Morris maksud dengan humanity-driven knowledge. Profesor Cultural Studies dari Sydney University ini menekankan pentingnya upaya mencari ilmu atas dasar kemanusiaan. Bukan sekedar pemenuhan diri, namun berorientasi pada manfaat buat kemanusiaan.
Hari ini kami, peserta IACS Summer School dijadwalkan melakukan field trip. Kelompok C, di mana saya berada, dan F, akan mengunjungi kantor Taiwan International Workers' Association (TIWA) di Taipei. Sejak awal memang saya sudah mengajukan diri untuk ikut kunjungan ini. Amat relevan dengan penelitian saya. Kelompok lain (A dan B) diarahkan ke asosiasi pekerja seks, sedangkan kelompok D dan E pergi ke kelompok pekerja seni.Pengelompokan ini sesuai dengan minat masing-masing peserta.
Naik bus sekitar 1 jam dari Hsinchu ke Taipei, akhirnya kami sampai di markas TIWA. Di kantornya yang sederhana, saya menangkap suasana Filipina yang kental. Pengumuman dalam bahasa Tagalog dan Mandarin nempel di sepanjang dinding. Foto-foto kegiatan rally dan budaya. Gereja Katolik, di mana TKW Filipina sering bertemu, berada tidak jauh dari kantor TIWA.
Jingru, aktivis buruh dan pengurus TIWA, menyambut kami, dan membuka pertemuan dengan presentasinya. Sempat saya tanya di mana BMI berada. Ternyata memang TKW Indonesia lebih banyak berkumpul di daerah yang lain. Meski mereka juga sering terlibat dalam kegiatan TIWA.
Selama presentasi Jingru, kami disuguhkan jejak-jejak perjuangan TIWA menyuarakan hak-hak buruh migran. Di sinilah emosi saya terasa diaduk-aduk. Sesak mengetahui bahwa ternyata pemerintah Taiwan tidak/belum memiliki peraturan buruh migran yang jelas untuk memberikan perlindungan hukum.

Tiga tahun bergulat dengan berbagai hasil penelitian dan data lapangan, saya paham bahwa kondisi di Hong Kong cukup memihak buruh migran. Ada peraturan gaji minimum, kewajiban majikan memberi hari libur. Bila tidak diberikan, maka majikan wajib memberikan kompensasi. Yang lebih penting lagi, buruh migran mendapatkan kebebasan berorganisasi.

Tidak heran muncul puluhan komunitas di kalangan BMI Hong Kong dengan berbagai aktivitas positif. Dan kondisi yang kondusif ini saja masih memberikan peluang pelanggaran di lapangan. Buruh migran yang masih baru dan naif cenderung tidak memiliki posisi tawar ketika hak-hak itu tidak mereka dapatkan. Karena memang tidak tahu (dan tidak pernah diberitahu oleh pihak agen).
Kondisi di Taiwan belum sebaik Hong Kong. Hak hari libur ternyata belum pernah tertulis di peraturan. Jadi bila buruh migran di Taiwan bisa libur di hari minggu, itu lebih karena 'belas kasihan' majikan. Itu juga bila mereka berani bertanya atau negosiasi dengan majikan. Dan kebanyakan hanya mendapatkan libur 1 kali/1 bulan. Ditambah lagi dengan beban kerja yang berat, yang bisa menguras kondisi fisik dan psikologis.
Ketika fieldwork di Hong Kong, saya sempat datang ke beberapa shelter yang menampung BMI bermasalah. Mendengarkan cerita mereka. Mengapa mereka lari dari majikan. Upaya asosiasi pekerja migran Indonesia berjuang di ranah hukum. Kali ini, di Taiwan, saya dihadapkan dengan pekerja Filipina yang juga lari dari majikannya. Tentang kontrak yang tidak sama dengan kenyataan. Tentang kekerasan yang dialami. Tak terasa mata saya berkaca-kaca. Membayangkan bangsa saya sendiri juga mengalami hal yang sama.
Itu barangkali alasan mengapa para buruh migran mencari pelarian di hari libur mereka. Memenuhi pertokoan yang hanya buka di akhir pekan. Little Manila. Itu julukan area ini. Serasa tidak berada di Taiwan. Penjual makanan. Salon. Kios kirim uang. Warnet. Penjual baju. Semuanya berbau Filipina. Persis dengan nuansa Kampung Jawa di area Causeway Bay dan Victoria Park di Hong Kong. Bedanya, di Little Manila ini, ada gang di mana tempat karaoke dan pub bertebaran. Bau bir dan asap rokok menyeruak dari ruangan yang temaram. Mengapa jadi seperti nuansa Dolly yang baru ditutup bu Risma ya?
Saya tidak tahu bagaimana suasana Kampung Jawa di sini. Kami tidak sempat ke area di mana BMI sering berkumpul. Dalam hati saya berharap tidak seperti Little Manila.
Kami juga berkesempatan menonton film dokumenter tentang perjuangan buruh migran Filipina yang bekerja di pabrik yang terancam ditutup. Sementara mereka belum menerima 3 bulan gaji. Plus terancam harus pulang tanpa hasil apa-apa. Tapi di antara perjuangan itu, terkuak fenomena lesbianisme di antara mereka. Itulah mengapa judulnya adalah The Lesbian Factory.
Saya sebenarnya sudah menonton film ini 3 tahun yang lalu. Supervisor saya, Fran Martin, memutarnya di kelas. Saat itu saya masih dalam tahap memperhalus proposal. Saat menonton kembali, saya merasakan koneksi yang lebih kental. Tentu saja karena saya sudah melihat sendiri fenomena yang sama dan cerita senada di kalangan BMI HK.
Dunia ini memang sempit. Jingru-lah yang ternyata memberikan film ini ke Fran. Dan bahkan buku Our Stories: Migration and Labour in Taiwan, karangan Ku Yu-Ling,  fiksi yang berdasarkan kisah BMI dan BMF di Taiwan, saya temukan di sini. Tahun lalu, Fran menyarankan saya mencari buku ini sebagai referensi. Tidak ketemu di perpustakaan di seluruh penjuru Australia. Siapa nyana ternyata TIWA-lah penggagasnya. Buku ini, versi Mandarinnya, meraih penghargaan sastra Taiwan di tahun 2007, dan baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 2011.

Di antara 18 peserta yang datang ke TIWA, saya satu-satunya yang sedang meneliti isu buruh migran. Di antara serunya sesi diskusi dan tanya jawab, tak pelak saya lumayan banyak tanya dan berbagi cerita tentang kondisi BMI di Hong Kong. Tentang kegiatan penulisan yang cukup berhasil menyuarakan aspirasi mereka. Melihat kondisi Taiwan yang tidak sebagus Hong Kong, Bila buku Our Stories ditulis oleh aktivis buruh berdasarkan testimoni para buruh migran, BMI HK justru menulis sendiri kisah mereka.
Sebenarnya komunitas penulis di kalangan BMI Taiwan juga ada, meski lebih sedikit jumlahnya. Sayang saya tidak sempat bertemu dengan mereka. Padahal ini salah satu tujuan saya ke Taiwan.  

Tapi saya sempat bertemu dengan seorang BMI yang berada di shelter TIWA. Ririn namanya, dari Malang. Menyalami saya sambil mengendong bayi yang mungkin baru berusia 3 bulan. Pertemuan yang singkat. Hanya 10 menit, sebelum dia pamit. Nampaknya siap-siap mau pulang ke Indonesia. Saya tidak sanggup bertanya apa masalahnya. Suara saya tercekat. Saya hanya sanggup merangkulnya, menepuk bahunya. "Ati-ati yo mbak."
Dalam perjalanan pulang di bus, pikiran saya sudah membayangkan akan memasukkan beberapa hasil pengamatan selama field trip ke dalam tesis saya. Mengulas sedikit buku Our Stories yang baru saja saya beli dari TIWA. Namun jauh di lubuk hati, ada rasa perih bagai tertusuk duri. Saya akan amat berdosa bila hanya tesis yang bisa saya hasilkan.
Sebagai peneliti, saya memang harus bisa menjaga jarak psikologis dengan isu yang saya angkat. Namun nurani saya tetap perlu menyuarakan keberpihakan. Bagaimana caranya?

Bisa jadi saya sedikit membantu mengedit tulisan teman-teman BMI HK. Mungkin saya sempat puas menterjemahkan kumpulan cerpen BMI HK ke dalam Bahasa Inggris. Tapi nampaknya itu belum akan cukup membantu menyuarakan perjuangan mereka. Semoga sebuah buku populer bisa saya persembahkan untuk mengangkat derajat para pahlawan devisa negara. Para perempuan tegar yang sudah menjadi bagian perjalanan hidup saya. Memberi inspirasi pada saya untuk tak pernah patah semangat. Semoga ini cara yang tepat untuk menyuarakan hati nurani saya.

Saturday, July 05, 2014

SINAUO BOSOMU DHEWE

Wingi aku ambek konco-konco sing melok Summer School dike'i kesempatan mlaku-mlaku nang Tunjungan. Eh, maksudku nang tengah kota Hsinchu. Tepakan pancene wingi kuliahe dipindah nang Museum Gambar ndhik tengah kota.

Yi Hong, arek ayu, panitia Summer School, sing arep mulai PhD nang Hawaii, Amerika, ngeke'i woro-woro:

"Rek, panitia nyediakno bis loro. Kelas buyar jam 6. Nek koen pingin ndelok-ndelok kota, tak ke'i 3 jam ya. Sak karepmu ate nang endi. Pokoke mbaliko nang Museum sak durunge jam 9. Bis ate nyusul rene jam sak mono. Nek koen telat, aku gak melok-melok. Tapi nek koen wis pingin ndang turu ngiler nang asrama, isok melok bis panitia sing jam 6."

Ya jelas aku milih mlaku-mlaku. Lha wong aku selak kudu buko. Telung ndino wingi buko menu teko panitia. Kotak mangan awan tak gawe buko.  Cek angele golek sing tepak nang ilat. Mau awan, Christen, arek Ostrali sing kuliah PhD nang Universitas Sydney, ngandhani aku. "Onok restoran Indonesia, Wik. Gak adoh kok. Engkok tak duduhi nggone."

Buyaran kuliah, arek-arek wis podo ribut. Terutama sing pingin mlaku-mlaku. "Nang endi enake, rek?" "Wis nurut sikil ae. Pokoke golek mangan." "Aku pingin golek oleh-oleh." Padha cemruwit kabeh.

Aku ambek konco-konco akhire sepakat mlaku nang arah kuil Cino. Jarene onok pasar malem ndhik sekitare. Dalane ya sak arah karo restoran Indonesia sing atene diduduhno Kristen. 

Mlaku-mlaku nang tengah kutho sing bek tulisan pager, apa maneh gak iso ngomong Mandarin. Rasane koyok Lost in Translation. Pancene kudu duwe strategi. Paling gampang sih nempel konco sing iso dadi penterjemah.

Pas ndhik pasar malem jelase akeh wong dodol mie. Martabak Taiwan. Bakso. Tapi ambu babi kabeh. Mulek rasene wetengku.

Tak delok Ellen, arek UI sing njupuk S2 Kajian Budaya, ngadeg nang ngarepe bakul martabak.

"Apa iku Len?" takonku.
"Koyoke cuma endhog mbak. Ditambahi sayur, trus kerang. Aman ketoke gawe sampeyan. Coba' takono."

Aku takon onok babine apa gak. Nggawe boso Inggris. Bakule kangelan njelasno. Tapi ndelok gerak-gerike, jarene gak onok babine.

"Ya wis aku pesen nggawe endhog loro. Gak athik kerang yo." Aku ngomong ngono ambek tanda 'Salam 2 Jari.' Bakule paling ya gak mungkin mikir aku ndukung Jokowi. Paling-paling aku ya kudu golput maneh, wong alamat gak iso nyoblos nang kene. Asline yo aku sik bingung.

Ngenteni bakule nggoreng, aku kok gak enak ati. Ellen iki sakjane ngono keturunan Tionghoa. Tapi kok yo gak isok Mandarin blas. Aku ambek Ellen tolah-toleh. Nggoleki konco peserta sing teka Cino daratan utowo Taiwan.

La kok tiba'e Christen sing dadi penyelamat. Arek sitok iki lanyah pol ngomong 'cang cing cung.' Lha wong pancene lagek neliti tentang budaya Cina gawe tesis S3-ne.

"Kris, takokno ono babine apa gak. Lengone kok meragukan ngono."

Embuh apa sing diomongno Kristen nang bakule. Tapi dheweke langsung ngandhani aku. "Iku lengo babi, rek."

Jam 6.40 sore. Kurang 9 menit maneh wis meh mlebu jam Maghrib. Iki ngono wetengku wis kosong mulai jam 4 isuk. "Wis aku tak mbalik nang depot Indonesia ae," jareku nang konco-konco sing wis mulai golek enggon lungguh.

Ellen melok. Kristen sempat bingung. "aku yok opo iki enake?" Tapi akhire ngomong, "Wis aku melok pisan. Pingin ngrasakno panganan Indonesia."

Mbalik dalan arah nang museum, aku, Ellen karo Kristen sik sempat longak-longong ndelok wong dodolan. Ellen ngiler pingin tuku sosis babi. Nyekel-nyekel daster, pingin nawar regane. Weleh weleh, pancen lucu kok donya iki. Onok arek Indonesia keturunan Tionghoa sing gak isok boco Cino. Kudu ngandhalno arek bule njelasno karepe.

Mangkane yo rek, mumpung sik podho isok boso Jowo, belajaro nulis nggawe boso Jowo. Sak durunge ilang kabur kanginan. Ojok sampek awake dhewe kudu nggoleki wong Leiden nang Londo kono, nek kene pingin sinau budayane dhewe.

                                                 Aku ambek Christen Cornell

                                            Aku, Ellen, pak Nando (sing duwe depot Karimantan)


Salam bonek teko Hsinchu, Taiwan

Monday, March 24, 2014

A BACKYARD CONVERSATION

Monday, 24 March 2014, 11 am. It was cloudy outside, but with no more drizzle. I thought I wanted to steal some breeze to dry my laundry.

I was hanging some pairs of jeans and two jackets at the backyard of my apartment building, when a man walked towards me and asked:"Is there a water tap around here?" I saw him carrying a small water tank. So I said, "well, there a toilet there. Hope the tap works." I pointed to an outside toilet just next to where my son puts his bike.

The man checked inside the unlocked toilet, then told me. "It's not working. But you speak lovely English."

I was startled for a moment, not knowing how to respond. He continued, "I thought, 'oh this lady wouldn't speak English.' His smile was sincere, implying his apology for having been mistakenly thinking that I was just some sort of a woman who may have migrated from her country for a better economy or escape from a political turmoil.

"Where are you from?" he asked me again.Back from my musing, I told him, "I'm from Indonesia. I'm a student here.""Oh, cool," he said. Then he repeated his incorrect judgement, as if to show me that it was stupid for looking down on me like that. "You speak lovely English to me." (Wondered what he would say if I told him I'm doing PhD here).

So here is why a white Aussie man could have acted that way. He was looking at a tiny woman with a loose veil and a sweater that was apparently too big, doing the hanging at the backyard at almost noon. Sounds very domestic, huh. 

 One could say, 'don't judge the book by its cover.' Others might have thought so far as 'him being racist (at least in his mind).' But this is not the first time people see me 'differently' because of how I look. Just to mention a few, a check-in attendant at Juanda airport spoke a bit rude to me, as I was checking in for my flight to Hong Kong. "Paspornya mana mbak?" (Where's your passport?). I knew she thought I was a migrant worker. No need to get offended in my part. Doing my research on migrant workers, I kind of anticipated this. I just smiled at her, and handed her my official passport. Not a moment too soon, she changed her tone. "Ada tugas ke Hong Kong, bu?" (On duty to Hong Kong, ma'am?).

I just find it funny that my current readings on alternative modernities are reflected on to these 'incidents.' It seems clear how falsely people think that being modern can be represented by what you wear (or my bad for looking 'too modest.'?). Although I eventually 'won' as I produced my social capitals (my 'so-called lovely English' and official passport), it is apparent that in this widely claimed global world, many things are still skin-deep. 

Yet, knowing that being modern is more about having the habit of self-questioning, there's really no need to be overacted. There's certainly another better way to strike back.