Showing posts with label Belajar di Luar Negeri. Show all posts
Showing posts with label Belajar di Luar Negeri. Show all posts

Wednesday, July 01, 2015

Don't tell me how I miss everything in Surabaya!

Saya sebenarnya sudah nekad mau pulang lebih awal untuk berlebaran dengan keluarga dan menyelesaikan tesis dari rumah saja. Tinggal dikit, dan pingin berhemat. Maklum tidak ada lagi beasiswa buat hidup. Meski tuition masih tetap bebas sampai akhir semester di bulan November nanti. Bahkan aku sudah booking one-way ticket. Maunya sih, begitu supervisor okay, tiket akan langsung aku confirm.

Apa daya, Chris, supervisor membujuk saya (eh..memberi pertimbangan) untuk tetap tinggal saja di Melbourne. "It's only a month, Tiwi." Ayolah, kurang sak crit. Sabar ya, toh akhir Juli kamu pasti akan pulang juga buat conference di Unair. Kami yang akan belikan kamu tiket pulang nanti. Would that help? 

Jadi begitulah hari-hari saya saat ini. Setelah anak-anak pulang for good akhir Mei lalu, saya praktis sendirian mengejar waktu agar segera selesai. Alhamdulillah completion seminar saya lalui dengan amat memuaskan pada awal Juni lalu. Sekarang dalam proses pembenahan dan penyempurnaan tesis. Sejak pagi sampai malam, waktu saya habiskan di kantor, baca dan nulis di depan desktop. Penyeimbang hidup adalah sesekali nongol di rumah teman, cari makan gratis, curhat, ngaji, telpon atau skype dengan keluarga. 

Di bulan puasa ini, saya malah sudah menutup dapur saya. Cuma masak nasi saja, dan beli lauk dan sayur take-away di resto Indonesia. Yang menyenangkan, tiap hari Jumat-Minggu, selalu ada iftar di Surau Kita, masjid komunitas Indonesia. Pada akhir pekan, jamaahnya bisa melebihi 100 orang. Jadilah sejak menjelang Maghrib saya sudah berada di tengah para sahabat. Iftar bareng, shalat Maghrib, Isya, dan Tarawih bareng. Ceramah dari para ustadz keren yang didatangkan langsung dari Indonesia. Urusan sahur bisa diatasi dengan sisa makanan iftar yang sudah dipack dan dijual murah untuk infaq. 

Seberapa besarpun rasa kangen saya pada keluarga dan tanah air, saya harus bersabar untuk mendapatkan hasil yang selama ini diperjuangkan. Syukurlah, Ganta dan ayahnya justru menginginkan saya tetap focus ke tesis dan tidak mengkhawatirkan hal-hal yang remeh di rumah. Kalau Adzra sih, namanya juga anak kecil, selalu bilang 'I miss you, mommy.' Untungnya juga bila diajak ngobrol, apakah ingin ibunya segera pulang atau selesaikan tesis dulu, dia selalu jawab, 'I want you to finish your thesis, mommy.'


Bismillah, semoga Allah memberi kemudahan urusan dan kekuatan pada pada kita semua. Aamiin.

Tuesday, September 30, 2014

MENJELANG REVIEW TAHUN KETIGA

Pagi ini saya baru saja bertemu untuk konsultasi rutin 3 mingguan dengan Fran Martin, supervisor saya yang cantik. Kami membahas draf pertama bab saya tentang Literacy and Capitalism. Di bab ini saya akan menggunakan data wawancara yang saya peroleh dengan 'pembaca' dari berbagai kalangan dan posisi sosial. Bab ini akan menjadi bab analisis terakhir. Setelah itu saya bisa melihat kembali semua bab secara utuh, sebelum masuk ke Conclusion.

Sebelum itu, bulan lalu saya baru saja merampungkan bab tentang para penulis BMI. Bab tersebut lumayan alot selesainya. Hampir 6 bulan saya habiskan untuk menyelesaikannya. Tapi supervisor saya selalu saja mengatakan bahwa progress saya lancar-lancar saja. Maklumlah, dari 6 bulan itu, 2 bulan saya gunakan untuk menata kembali kajian teori yang sedikit berubah haluan ke arah Literacy and Modernity.

Itulah yang kemudian membuat ide awal pengembangan bab yang terakhir ini tidak lagi melulu berbicara tentang pemberdayaan diri dan rekonstruksi identitas, sebagaimana ide awal. Dengan mengemas bab resepsi pembaca ke dalam konsep kapitalisme, saya bisa melihat bagaimana pembaca dari berbagai posisi menunjukkan persepsi yang berbeda terhadap praktik literasi para BMI. Perbedaan persepsi itu, dalam argumen saya, terkait dengan urusan 'capital.' Ada yang melihat literasi BMI sebagai modal untuk masuk ke writer-preneurship, ada yang menilainya sebagai 'gangguan' terhadap stabilitas bisnis 'buruh migran transnational', dan ada pula yang khawatir literasi akan digunakan sebagai komoditi, dengan mengorbankan kualitas tulisan BMI.

Bervariasinya pendekatan dan gaya tiap bab yang sudah saya rampungkan membuat saya berpikir bagaimana mengemas bab terakhir ini. Supervisor saya menyarankan agar saya menggunakan gaya naratif saja. Seperti bercerita tentang perjalanan saya bertemu dengan para responden. Apa yang kami obrolkan. Bagaimana latar-belakang sosial para responden itu. Dari situ kerangka teori bisa dimasukkan sebagai justifikasi.

Dalam rancangan timeline saya, maunya bab ini bisa rampung akhir tahun, menjelang progress review tahun ketiga. Tahun lalu saya menjalani review tahun kedua pada tanggal 20 Desember 2013, hanya 2 minggu setelah kemoterapi terakhir, Itupun sudah diundur 2 pekan, menunggu saya pulih dulu. Dalam perhitungan saya, review tahun ini juga akan jatuh pada bulan Desember.

Ternyata asumsi saya salah. Minggu lalu saya menerima pemberitahuan bahwa review tahun ketiga harus dilakukan paling lambat tanggal 15 November. Alamak. Bab ini baru saja dimulai, sudah harus berhadapan dengan reviewer. Maka saat konsultasi tadi saya sekalian minta masukan apa yang harus saya ajukan untuk review tahun ini. 

Di Unimelb, review tahunan mensyaratkan kandidat PhD untuk menyetorkan sampel tulisan. Bila pada tahun pertama panjangnya 10.000 kata, pada tahun kedua 20.000 kata, dan pada tahun ketiga ini 30.000 kata. Untuk thesis submission sendiri syaratnya 80.000 kata. Acapkali sampel tulisan yang disetorkan adalah bentuk compressed dari bab yang sudah jadi. Seperti saat confirmation seminar di tahun pertama. Proposal saya sudah mencapai sekitar 15.000 kata, tapi untuk review harus dipotong sana sini tanpa mengurangi substansi.

Bila melihat jumlah kata yang sudah saya hasilkan, sebenarnya syarat yang ditetapkan untuk tahun ketiga sudah saya penuhi. Tapi kan ya pointless, menyetor yang sudah pernah disetor sebelumnya. Jadi sebaiknya menyerahkan garapan baru. Nah, saya punya modal sekitar 15.000 kata dari bab yang baru saja selesai. Sementara bab yang baru mau jalan ini dirancang sepanjang itu juga. Namanya juga baru mulai, saya hanya punya modal 2000 kata.

Itung-itungan jumlah kata memang lebih penting di sini. Sementara di Indonesia kita lebih sering menggunakan ukuran banyaknya halaman. Tulisan sebanyak 15.000 kata itu kira-kira 40-45 halaman, dengan spasi 1.5 font 12 kertas A4. Itu artinya tesis sebanyak 80.000 sama dengan 200-an halaman. Perlu dipertimbangkan juga persyaratan jumlah kata untuk skripsi/tesis/disertasi di Unesa, agar ada standard yang lebih ajeg.

Dengan progress yang menurut supervisor saya cukup mulus ini (meski sebenarnya membuat saya jungkir balik), dalam waktu 5 minggu ini saya perlu ngebut untuk menghasilkan analisis sepanjang minimal 10.000 kata. Ini diskon dari yang seharusnya. Pertimbangannya, Kan saya sudah menyetor 30.000 kata sebelumnya dalam dua tahun. Garapan aslinya malah lebih panjang dari itu. Saking harus dikompress untuk pengajuan review (di sini setor lebih panjang daripada persyaratan malah tidak dianjurkan).

Ya sudah, maunya jeda sebentar selama liburan sekolah anak-anak tidak jadi. Harus tancap gas lagi untuk memenuhi target.

Saat membangun visualiasi bahwa saya akan bisa submit tesis pertengahan tahun depan, sms mas Prapto mengingatkan: "atur waktu n jaga kesehatan." Ingatan saya melayang ke rayuan Adzra tadi pagi saat saya antar ke Day Care: "Pick me up at 2 o'clock, mommy. Don't break your promise." Juga 'protes' Ganta bila menu makanan di dapur menjadi terlalu sederhana: "Kok gak tahu mangan enak maneh yo."

Cucian masih menumpuk dan belum sempat dilipat. Masih terngiang pertanyaan Adzra: "what's for dinner, Mommy?" Janji mengajak anak-anak liburan. Materi tutorial dan tugas-tugas mahasiswa yang perlu saya siapkan dan koreksi. Dan data penelitian yang menunggu segera dibedah. Bersama menjalani target One Day Half Juz dengan segenap sahabat. Sesekali ikut menyemarakkan aktivitas di komunitas Indonesia di Melbourne. Betapa aktivitas saya sehari-hari berada di spektrum yang luas, dari studi ke domestik ke komunitas. 

Ah, ini sebenarnya normal-normal saja. Sebagian besar teman Indonesia yang saya kenal di Melbourne juga melakoni pola hidup yang tidak jauh berbeda. Kadang kala terdengar 'keluhan' tentang tugas atau tenggat waktu, tapi acara kumpul-kumpul pengajian, BBQ-an, atau sekedar buka kotak 'mbontot' dan makan siang bareng di bawah sinar matahari tetap lancar-lancar saja. Atau barangkali inilah penyeimbangnya.

Syukur Alhamdulillah tetap diberi kesehatan lahir batin sampai sekarang. Semoga tetap semangat dalam menjalani semuanya. Amiin YRA.


Wednesday, July 02, 2014

GOING INTER-ASIA, GOING GLOBAL

Menarik sekali mengamati mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat lain, dan dari satu negara ke negara lain. Pastilah banyak alasan secara politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sebagainya. Salah satu pendorong mobilitas ini adalah keinginan untuk lebih mengenal ‘tetangga.’ Tak kenal maka tak sayang. Semakin dekat, semakin kita merasa menjadi bagian di dalamnya.

Saat ini saya berada di Hsinchu, Taiwan. Mengikuti Inter-Asia Cultural Studies Summer School selama 2 minggu. “Kuliah intensif”nya diadakan di National Chiao Tung University. Sedangkan akomodasi peserta di asrama mahasiswa National Tsing Hua University. Kedua universitas besar ini bertetangga. Bahkan ada jalan ‘butulan’ dari asrama NTHU ke kampus NTCU.

Ada 45 peserta, mahasiswa S2 dan S3 dari berbagai negara. Hari pertama ini belum ada kuliah. Kami semua dapat giliran memperkenalkan diri. Darimana asal kami dan sedang meneliti apa. Dan di sinilah cerita Inter-Asia dimulai.

Ada peserta perempuan dari Taiwan yang sedang menempuh PhD di salah satu Pusat Kajian Budaya di India. Ketika dia berbicara, kentara sekali dia sudah mulai terpengaruh aksen India, dengan ‘th’ yang medok. Dengan guyon dia bilang bahwa Taiwan adalah salah satu propinsi negara India.
Sementara itu, Zayid, peserta Bangladesh, belajar di Korea, dan mendalami gerakan aktivis dan representasi budaya Korea.

Ada beberapa wajah bule di antara peserta. Peserta dari Baltimore, Maryland, AS, Ira Roberts namanya (Ira nama laki-laki) adalah mahasiswa PhD di McGill University, Canada. Dan yang dia teliti adalah budaya Cina daratan. Untuk itu dia sedang belajar bahasa Cina untuk bisa membaca arsip-arsip sejarah saat melakukan studi lapangan di Cina nantinya.

Ada lagi Thiti, anak muda dari Thailand, yang cukup bagus bahasa Indonesianya. Saat perkenalan formal, saya baru tahu bahwa dia baru mulai studi PhD di the University of California-Berkeley. Usut punya usut, bahasa Indonesianya didapatkan karena dia sedang meneliti novel-novel Pramudya Ananta Tur. Thiti sangat terkesan dengan gambaran gerakan politik di sastra Indonesia. Dia akan melakukan studi komparatif dengan sastra Thai. Lancar sekali dia bicara tentang Manifesto Kebudayaan dan Pancasila.

Lain lagi dengan Miriam. Perempuan Mexico yang mengaku easy going dan suka pesta ini terbang ke Malaysia. Belajar tentang Asia di University of Nottingham, Malaysia. Salah satu alasannya adalah untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya karakter Asia. Stereotip negative tentang Asia cukup kental di kalangan orang Mexico. Harapannya, saat pulang ke Mexico nanti, dia bisa mendekonstruksi stereotip orang Asia.

Ada lagi Risa Tokugawa. Gadis Jepang funky dengan bandananya. Dia kuliah di salah satu universitas di Jepang, belajar tentan Malaysia. Dan logat Malay cukup kentara saat dia berbicara dalam Bahasa Inggris.

Ada juga Nubar Gurbanova, atau Zizi. Gadis cantik dari Azerbayzan ini adalah teman sekamar saya. Bahasa Indonesianya lancar sekali. Saat saya datang dan masuk kamar, saya dengar dia sedang ber-skype. Teman-temannya berbahasa Indonesia dengan logat Surabaya. Ternyata dia adalah mahasiswa S2 di Unair.

Banyak sekali cerita unik dan menarik. Salah satunya adalah ‘dibukanya’ pintu buat mahasiswa dari Cina daratan untuk datang dan belajar di Taiwan. Salah satu peserta bilang, saat rehat, Cina dan Taiwan tidak lagi memandang satu sama lain sebagai ‘musuh.’ Ya mungkin tetangga jauh tapi dekat, dekat tapi jauh begitulah. Yang penting sudah mulai mengakui eksistensi masing-masing dalam konteks hubungan internasional di tingkat kultural. Belum sampai ke hubungan diplomatik.

Dan pastinya ada saya. Orang Indonesia, belajar di Melbourne, meneliti tentang TKW, yang membawa saya ke Hong Kong. Saya sempat pamerkan salah satu antologi cerpen hasil karya FLP HK.

Perjalanan akademik yang unik inilah yang membawa saya dan peserta lain akhirnya bertemu di Taiwan. Negara yang juga unik dalam hal hubungan diplomatik dengan negara lain. Profesor Chen dari NCTU mengatakan bahwa kami semua yang notabene tidak kenal dengan Taiwan akan ‘dipaksa’ memahami dan merespon tentang sastra, budaya, politik Taiwan.

Peserta yang saya temui hari ini adalah sosok-sosok yang tinggi motivasi belajarnya. Nekad belajar tentang budaya yang tidak mereka pahami sebelumnya. Meaghan Morris, professor dari University of Sydney, menyebutkan prinsip yang menarik. Kita semua dalam pencarian ilmu demi kemanusiaan. Humanity-driven knowledge.

Saya pikir itulah yang menyatukan kami. Kami belajar bukan sekedar untuk selembar ijazah atau sertifikat. Keluar dari zona nyaman, masuk ke ‘area berbahaya.’ Namun karena kami ingin mengenal ‘tetangga’ lebih dekat, dan menjadikannya bagian cerita hidup kami.

Hari ini saya belajar bahwa menjadi Asia bukanlah satu pandangan/pemikiran tunggal. Menjadi Asia berarti siap untuk saling terhubung dan bekerja bersama untuk saling memahami. Itulah makna Inter-Asia.
Going Inter-Asia is really going global.

Salam,

Tiwik
Dorm Ching, lantai 10, NTHU
(Hsinchu yang amat gerah)

Thursday, October 03, 2013

KETIKA ADZRA MENGENAL INDONESIA

"Mommy, is Indonesia a big country?" begitu tanya Adzra, ketika kami sekeluarga  berkunjung ke Melbourne Museum kemarin siang. Minggu ini minggu kedua liburan sekolah term 3 di Victorian schools. Di depan saya terbentang peta Pacific Islands, bagian dari negara Australia. Indonesia, meski bukan termasuk wilayahnya, terpampang lebar di peta tersebut. 

Saya menunjukkan mana benua Australia, yang Adzra buru-buru bilang, "I know Australia. I'm asking about Indonesia." Saya tunjukkan wilayah Indonesia, mana Jawa, mana Surabaya, di mana kami berasal. "You see, we flew all the way from Surabaya to Melbourne."

Mendapatkan begitu banyak pertanyaan tentang negara sendiri, oleh anak sendiri, di negara orang lain, membuat saya terbangun. Ketika saya mengira bahwa anak seusia Adzra belum saatnya dikenalkan tentang seluk-beluk negeri, ternyata sekolahnya malah mengangkat Indonesia sebagai tema pembelajaran di term 3 kemarin. Introducing Indonesia from an Australian perspective. Kira-kira begitu saya menangkapnya.

Tentu bukan tanpa tujuan bahwa Moreland Primary School mengangkat tema Indonesia dalam pembelajaran mulai Preps-Grade 6. Tidak perlu saya ulas bagaimana kepentingan politik budaya ekonomi yang melatar-belakanginya. Di lingkup MPS sendiri, setidaknya ada sekitar 50an siswa asal Indonesia, dari 350an siswanya. Mayoritas anak-anak yang orang-tuanya sedang studi S2/S3 di berbagai kampus di Melbourne. Di Preps sendiri saja ada 7 siswa Indonesia dari total 45 siswa.  

Apa yang Adzra ketahui tentang negaranya sendiri di kelas? Kapan dulu dia bercerita, "Mommy, do you know that Indonesia has a lot of mountains. With fire. What do you call it, Mommy?" Saya mencoba menebak-nebak yang dia maksud dengan memberikan nama gunung. Merapi? Krakatao? Semeru? Sampai akhirnya nyambung juga ketika dia bilang, "You know, this afternoon Ben made a mountain with fire at Preps' sandpit. It was cool, Mommy." Seraya menggambarkan bagaimana gurunya membuat gunung berapi dengan lelehan lahar panas berwarna merah. "Oh, you mean volcano?"

Saya tanya darimana dia tahu tentang volcano. "We're talking about Indonesia at school. Ben said Indonesia is a beautiful country." Kali lain dia bercerita, "We drew Sumatran tiger in Mrs. Martyzack's arts class." Dan minggu ini, di masa liburan sekolah, dia bersemangat mau membuat 'kongklak' dan bermain bersama saya. "What's kongklak?" tanya saya. Meluncurlah keceriwisannya menggambarkan permainan pakai papan, dengan tujuh lubang di tiap sisi, dan tiap lobang diisi batu. "We made the board at school, from eggs' cardboard." "Oh, that's congklak. or dakon," jawab saya seraya geli membayangkan bagaimana dia mengenal permainan congklak dari perspektif seberang. Eksotik. 

Maka jadilah salah satu school holiday project kali ini. Pagi tadi saya kosongkan karton telur dengan 5 lubang di tiap sisi. Saya berikan ke Adzra. Dibantu ayahnya, Adzra membuat papan dakon, berbekal gunting, cellotape. Setelah sarapan, dia keluar ke Warr Park dekat rumah. Mencari kerikil untuk isian lubang. Dan sepagian ini kami berdua seru bermain dakon. Saya ikut excited. Seperti kembali ke masa kecil. Entah kapan saya terakhir beririsan dengan permainan tradisional. Entah itu dakon, bekel, sepak engkle, atau gobak sodor. Sementara itu, Adzra meminta masnya merekam video ketika kami mulai bermain. Apa yang dia lakukan? 

"Hello, everybody. We're playing a game called 'kongklak.' First you have to put five rocks in each hole ..........And then you take turns ......"

Lama saya merenungkan betapa permainan tradisional sudah lama menghilang dari hari-hari anak-anak di tanah air. Ketika di masa kecil saya dulu, tidak ada hari tanpa bermain karet atau playon, apakah anak-anak sekarang bahkan mengenal apa itu dakon dan bekel atau gobak sodor. Sementara itu, di pelataran Moreland Primary School, garis permainan engkle malah jadi salah satu jujugan anak-anak perempuan. Jangan-jangan suatu saat salah satu bagian kearifan lokal ini akan punah, sama halnya dengan harimau Sumatra yang tinggal segelintir jumlahnya. Dan ironisnya, negara lain malah antusias mengenal ancient wisdom ini. 

Tiba-tiba saya merasa ngeri membayangkan apa yang mungkin terjadi di puluhan tahun mendatang. Something's gotta be done. Anak-anak kita tidak boleh tercerabut dari akar budaya sendiri. Perlu upaya mengintegrasikan kearifan lokal (yang mungkin dianggap remeh) ke dalam pembelajaran sekolah. Bukan sekedar menghafal berapa banyak pulau di Indonesia, nama-nama gunung berapi, sementara di seberang sana, anak-anak seusia mereka belajar tentang negara kita sambil bermain sains, seni, dan budaya. 

Saya lihat di youtube, upaya seperti saya lihat sudah dilakukan di Solo, dengan pertandingan gobak sodor antar sekolah. Perlu gerakan senada digaungkan di kota-kota lain, agar budaya negeri tetap terjaga di diri generasi mendatang. Jangan sampai kita harus pergi ke Melbourne atau New York untuk belajar bagaimana bermain dakon. 

Mudah-mudahan masih ada toko yang menjual bola bekel dan bijinya ya.
 

Tuesday, September 17, 2013

MENONTON GANTA MANGGUNG

Akhirnya keturutan juga nonton Ganta manggung. Bermain musik. Sudah beberapa kali Ganta terlibat dalam acara musik di sekolah, waktunya tidak pas buat saya duduk di antara penonton.

Tadi malam menjelang pukul 18.30, setelah maghrib, kami berempat, mas Prapto, aku, Ganta, dan Adzra berangkat menuju Mooney Valley Clocktower Centre. Malam ini adalah gelar Brunswick Secondary College (BSC) Music Concert 2013. Ini adalah acara tahunan sekolah Ganta, dan diadakan di gedung teater terdekat. Cuma 10 menit dari sekolah. 

Sebagai acara rutin, konser musik ini adalah ajang unjuk kemampuan para siswa dan guru di Music Department. Siswa yang mengambil mata pelajaran Music dan mereka yang ikut ekskul musik ikut ambil bagian.Mulai yang ekskul alat instrumental sampai olah suara. Mulai siswa year 7 sampai year 12. Sebagaimana umumnya di Australia, Secondary College memang tingkat sekolah SMP dan SMA dalam satu lokasi. 

Ganta sendiri ada di kelompok VCE Unit 2 Rock Band. Kelompok siswa dari kelas 11 yang mengambil mapel Music sebagai bagian dari VCE (Unas) nanti. Selain Ganta, ada 2 siswa Indonesia yang juga ikut tampil. Saskia, year 7, dan Sarah, year 10. Mereka berdua tergabung di Brunswick Voice, kelompok paduan suara. Secara kebetulan juga, kami bertetangga satu area, dan para bapaknya satu tim kerja di restoran di kampus Unimelb.

Sebagai sebuah konser musik tingkat sekolah, acara ini layak diacungi jempol dari sisi program yang ditampilkan. Nampak sekali bahwa sekolah memberikan perhatian tinggi pada pengembangan bakat dan kemampuan musik. Ada 14 penampilan yang kami nikmati selama 1.5 jam. Semua genre musik terwakili. Ensemble berbagai alat musik bisa dinikmati. 

Acara dibuka dengan concert band yang memainkan musik rancak a la Mexico. Lengkap dengan sombrero yang bertengger di kepala para pemain di baris belakang. Diikuti dengan permainan piano solo yang ciamik soro. Pianisnya, Lulu Tian, nampaknya anak Vietnam, memainkan satu komposisi Chopin. Saya bisa menikmati musik klasik, meski sampai mengenal detil komposisinya. Dan Lulu memainkan tuts piano sambil meliuk-liukkan badannya, mengikuti irama yang bergerak dari lembut sampai cepat sekali. Para penonton seperti dibius karenanya. Sang pianisnya sendiri sudah mulai dapat banyak tanggapan dari luar sekolah karena kepiawaiannya.

Kelompok suara diwakili oleh Brunswick Voice dan Vocal Solo, serta grup A capella. Kelompok suara ini banyak menampilkan lagu-lagu pop kontemporer yang cukup ramah di teliga audience. Dari kelompok instrumental, permainannya sedikit berat, kecuali guitar solo yang membawakan nada Can You Feel the Love tonight-nya Elton John. Yang lain adalah musik klasik lewat piano solo oleh Lulu, aliran jazz diusung oleh Saxophone Quintet dan Jazz Combo. Ada juga String ensemble, di mana semua alat musik petik (gitar, bass, cello, biola) memainkan musik swing jazz. 

Aliran rock menjadi jatah siswa kelas 11 dan 12. Masing-masing kelompok VCE ini memiliki rock band. Kelompok Ganta, Year 11 Rock Band, membawakan Can't Stop dari Red Hot Chilli Pepper. Cassie dan Larrisa, personil perempuan, menjadi vokalis. Ganta membetot bas listrik, dan menjadi back vocalist. Tristan, yang sebelumnya bermain gitar solo, kembali tampil bersama kelompok. Dibantu dua personil lain memegang keyboard dan drum.

Year 12 Rock Band tampil dengan dua lagu, sekaligus sebagai penampilan terakhir bagi mereka di ajang musik sekolah. Tahun ini mereka akan Unas, dan komposisi yang ditampilkan adalah bagian dari persiapan mereka untuk final assessment di term 4 nanti. 

Yang menarik di konser ini adalah penampilan para guru musik di BSC. Selain tampil secara terpisah sebagai conductor di konser, atau menjadi salah satu pemain musik dan penyanyi di penampilan lain, para guru juga tampil bersama. Lili, guru vokal, menjadi vokalis, dan 8 guru lainnya masing-masing memegang alat musik. Lengkap, mulai trumpet, seruling, saxophone, gitar, bas, drum, dan keyboard. Tentu saja penampilan para guru ini amat berkelas. Dari biodata yang tercantum di booklet acara, kesembilan guru musik di BSC ini tidak hanya menyandang gelar akademik di bidang musik. Semuanya memiliki pengalaman manggung yang matang di berbagai festival, selain juga ada yang berkarir rekaman musik di jalur indie. 

Penampilan percussion ensemble yang amat rancak dan eksotis menjadi penutup acara. Tapi bagi telinga orang Indonesia seperti saya, ensemble ini lebih suka saya sebut sebagai permainan berbagai jenis gendang, ketipung, dan musik bambu. Suara yang dihasilkan berhasil membuat saya melayang ke kampung halaman. Mengingatkan pada kothekan musik bambu menjelang sahur di jaman kecil saya dulu. Serasa menghadirkan tabuhan gendang a la Dayak atau mungkin Papua. 

Secara keseluruhan, acara konser musik sekolah ini patur diacungi jempol dari banyak sisi. Penampilan musik tiap kelompok yang apik menunjukkan hasil pembelajaran yang cukup lama. Mungkin ada kelompok yang baru intensif latihan seperti grup A capella. Penampilan ini adalah debut mereka. Namun personilnya adalah para penyanyi handal dari Music Dept, termasuk salah satunya, Lili, sang guru vokal. 

Dari segi penyelenggaraan, konser ini amat sangat efisien. Jauh dari segi formalitas. Tidak ada pidato satupun. Yang bicara di panggung hanya MC, salah satu siswa senior. Saya lihat wakaseknya juga datang sebagai penonton. Masuk sama-sama menjelang acara. Acara berlangsung tepat waktu, dan buyar sesuai rencana pertunjukan 1,5 jam. 

Jeda pergantian penampilan berlangsung hanya sekitar 1-2 menit. Pada saat lampu panggung dimatikan, pemain musik keluar panggung lewat sisi kanan, dan dari sisi kiri, tim pendukung naik panggung untuk mengemas properti, kemudian menggantinya dengan properti untuk penampilan berikutnya. Tanpa ada suara gaduh, glodakan, apalagi gojekan. 

Bagaimana dengan penontonnya? Gedung teater yang tidak terlalu luas, dengan tempat duduk seperti di gedung bioskop, dipenuhi para orang-tua dan keluarga pemain musik. Lampu gedung dimatikan di sisi penonton sejak acara dibuka. Lighting hanya tertuju ke panggung. Dari awal acara hingga akhir, tidak ada suara bising orang ngobrol sama sekali. Bahkan suara handohone pun tak terdengar. Semua penonton khidmat menikmati musik yang ditampilkan. Tepuk tangan tentu saja membahana saat menjelang dan selesai tiap tampilan. Tak terlihat lampu kamera berkilatan. Sampai-sampai saya harus hati-hati mengambil video agar tidak mengganggu penonton di sebelah saya. 

Dari segi kualitas musik, sebenarnya anak-anak Indonesia tidak kalah. Kan banyak yang bisa main musik lewat jalur otodidak. Namun yang patut dicatat dari konser ini adalah bahwa pendidikan di sini amat memperhatikan seni dan serius menanganinya. Tentu saja dukungan fasilitas juga tidak main-main. Didukung oleh tim guru yang amat mumpuni. Saya yakin para siswa banyak belajar tentang proses, yang melibatkan kerja keras, kedisiplinan, dan kerja sama. Apapun hasilnya kemudian, apresiasi sekolah dan orang-tua akan selalu menjadi penyemangat.

Saat perjalanan pulang, saya merangkul pundak Ganta. "Well-done, Gan. Ibu bangga deh lihat kamu. PD banget." Tidak heran gurunya pernah bilang saat rapotan, "Ganta is just adorable. Full of enthusiasm. He just never asks me enough." 

Melihat Ganta berproses dengan minat musiknya di tempat yang tepat, saya berharap suatu saat pendidikan di tanah air juga akan ke arah yang sama. Sama halnya harapan saya untuk bidang-bidang lain yang selama ini terpinggirkan. Dengan demikian bidang sains, sosial, seni, bahasa, dan olahraga akan setara di mata masyarakat.

Oh ya, foto-foto konser sudah dipasang di website Brunswick Secondary College. Silakan menikmatinya di sini. Salah satunya ada pose Ganta lagi beraksi. 
  

Saturday, August 31, 2013

Bukan Hanya Sekedar Perayaan Literasi

Minggu lalu adalah Children's Book Week. Kegiatan tahunan ini biasanya dilangsungkan pada bulan Agustus.Tahun ini, tema yang diusung adalah Read across the Universe. Seluruh sekolah di Australia, terutama primary schools, merancang beragam kegiatan literasi. Dan seperti biasa, Moreland Primary School pun ikut heboh sejak minggu sebelumnya. Notices, newsletters, dan kegiatan kelas serempak memberikan woro-woro kepada para orang-tua dan siswa.

Sejak Jumat lalu, aku dan Adzra sudah mulai mendiskusikan dia mau jadi apa. Ya, hari Senin 19 Agustus lalu, tiap siswa parade kostum book character. Boleh jadi apa saja, asalkan si anak sudah pernah baca bukunya. Baik dari koleksi perpustakaan tiap kelas maupun di rumah.

Di kelas Preps sendiri, ortu diundang masuk kelas pada hari Jumat itu. Saat itu Kerry, guru Adzra, sedang menayangkan slide berbagai sampul buku dan contoh ide kostum book characternya.

Adzra milih-milih koleksi bukunya. Dan aku browsing cari ide kostum. Wajah-wajah akrab dalam dongeng seperti Harry Potter, Little Red Riding Hood, para putri dan peri bermunculan. Banyak lagi yang lebih kontemporer seperti Angelina Ballerina, Scary Bear, Winnie the Pooh, dan sebagainya. Sampai kemudian Adzra bilang, 'I wanna be Dorothy.'

Nama yang disebut Adzra adalah tokoh utama di cerita klasik The Wizard of Oz. Filmnya sudah puluhan kali ditonton Adzra. DVDnya kubeli ketika masih di Texas dulu. Adzra belum lahir saat itu. Aku pikir film jadul klasik ini akan membosankan buat dia saat masih usia 3 tahunan. Tapi begitu banyaknya lagu lucu dengan rima cantik ternyata memikatnya. Apalagi kostum-kostumnya. Dan lagu Somewhere over the Rainbow adalah favoritnya. Dia suka menirukan Judy Garland yang memerankan Dorothy menyanyikan lagu itu.Dan versi bukunya aku temukan di second-hand store di sini. Sudah bolak-balik kami baca. Adzra jadi tahu bahwa plotnya agak beda.

Waktunya hunting kostum. Baju terusan kotak-kotak biru muda. Simpel saja. Adzra nambahi ide mau bawa keranjang rotan mainannya. Nanti diisi boneka puppy. Itu adalah Toto, teman piaraan Dorothy.Like in the movie, mommy. Kreatif nih anak. Giliran tugas Ganta menemani adiknya cari kostum di Savers, recycle superstore.

Jadilah Senin pagi itu Adzra beraksi menjadi Dorothy. Berkuncir dua dengan pita biru. Berjalan di hall dengan menenteng keranjang dan Toto di dalamnya. "I'm Dorothy in The Wizard of Oz." Kakak-kakak kelasnya mendekati dan ikut memainkan boneka puppynya.

Saya tidak ikut menunggui saat assembly dan parade berlangsung. Ada jadwal kontrol ke rumah.sakit. Tapi hasil pandangan mata teman-teman ortu, acaranya seru. Tak ketinggalan para gurunya ikut mejeng pula. Ben, guru Preps, menjadi Dracula a la Bram Stoker.

Lho kok Book Week tidak ada acara bukunya? 

Sebenarnya apa yang disebut Children's Book Week ini bukanlah berarti bahwa hanya minggu ini semua sekolah akan menggelar acara literasi. Ini 'hanyalah' celebration week. Atas keseluruhan kegiatan literasi yang menjadi rutinitas tiap hari di tiap kelas. Namanya perayaan, yang dimunculkan adalah kehebohan seperti parade kostum karakter buku, the best costume, sampai pemilihan Book of the Year.

Mengapa acara seperti ini begitu meriah? Bagaimana anak bisa diajak memilih sendiri kostumnya, ata dengan keukeuh memilih yang berbeda dari saran ortunya? Itu karena program literasi yang sesungguhnya terjadi selama 5 hari dalam seminggu dalam setahun.

Sebuah program literasi akan berhasil dengan sangat baik bila kelima node ini saling berkaitan. Sekolah-guru-siswa-ortu-pemerintah. Ini kalau kita bicara tentang literasi di tingkat nasional. Di mata saya, inter-relasi ini saya temukan di sini.

Beberapa teman yang saya tanyai mengaku takjub dengan kesukaan membaca anak-anak.mereka. Shofi, grade 1, sudah bisa menyebutkan Roald Dahl sebagai pengarang favoritnya. Salah satu faktor pendorongnya adalah karena gurunya membacakan cerita-cerita Dahl seperti Charlie and the Chocolate Factory secara bersambung. Siapa yang tidak kepincut dengan cerita Willy Wonka dan pabrik coklatnya? Di versi filmnya, Johnny Depp amat pas memerankan keeksentrikan Willy Wonka.

Ada juga Aufa yang selalu pinjam 25 an buku di Brunswick Public Library dan menghabiskannya dalam seminggu. Setelah balik ke tanah air dan masuk kelas 6 di Solo, ortunya berusaha terus memenuhi hasrat baca Aufa dan menambahkan yang berbahasa Indonesia. Tentu perlu konsistensi bagi mbak Ita dan mas Solikin, orang-tua Aufa, untuk menjaga 'cinta baca' ini dengan kondisi pendidikan di tanah air yang kurang greget dalam hal literasi.

Cara guru membuat anak-anak terikat emosinya dengan buku juga berperan besar. Jumat lalu saya menyaksikan Preppies melakukan kegiatan partner reading selama 10 menit. Preppies yang rata-rata berusia 5-6 tahun dan tidak mungkin membaca buku dalam waktu sesingkat itu kelihatan terbiasa. Tiap pasangan mengambil hula hoop gede di salah satu pojok kelas, dan menaruhnya di mana saja di dalam kelas. Kemudian memilih satu buku. Lalu tiap pasangan duduk di dalam hula hoop. Menaruh buku di tengah. Satu halaman dibuka bergantian. Bila dua halaman sudah terlampaui, mereka boleh berdiri, mengambil masing-masing 1 gelas coklat panas dan cookies. Balik ke hula hoop masing-masing dan lanjut membaca.

Apakah mereka membaca ceritanya dengan benar sesuai tulisan. Tentu tidak. Tapi suasana membaca yang menyenangkan ini yang tertanam. 

Sebagai pendidik yang punya minat di pembelajaran sastra di kelas, saya harus angkat topi dengan praktik pembelajaran di Moreland PS. Dan mereka membuka pintunya untuk ortu bila ingin datang kapan saja di luar undangan. Asal memberitahu saja. Dan ortu bisa duduk diam tanpa menginterupsi kelas, dan bisa pergi dengan hanya melambaikan tangan.

Inilah bukti bahwa program literasi memerlukan kesungguhan dari semua pihak agar bisa mendarah-daging. Ada kontinuitas yang dipastikan berjalan dari guru grade rendah ke berikutnya. Ada kesatuan yang dipastikan oleh kurikulum sekolah. Ada keterlibatan ortu yang diharapkan tetap tuned-in dengan program sekolah. How? Baca weekly newsletter. Baca notice yang diselipkan di reading bag anak. Ada kesinambungan dengan pemerintah, yang diwakili oleh public library. Mereka juga ramai dengan tawaran program children's book week dan sebagainya. Semuanya menjadikan anak-anak sebagai subjek.  Sosok yang penting.

Melihat ke tahun-tahun ke depan, saya bermimpi rancangan Pusat Literasi Unesa akan melihat gambaran di atas sebagai peluang mencetak guru yang tahu bagaimana menanamkan budaya literasi. Modal awalnya, calon gurunya juga cinta literasi. Berarti dosennya juga begitu. Pertanyaannya, siapkah kita menjawab tantangan ini?



Wednesday, June 26, 2013

Upacara, Penghargaan, dan Pendidikan Karakter

Hari Senin adalah hari yang saya sukai di sekolah Adzra. Mengikuti assembly, atau upacara sekolah. Kalau tidak ada keperluan penting, saya biasanya bertahan sampai pukul 9.30, saat upacara berakhir. Di tanah air, kita terbiasa dengan suasana upacara sekolah yang formal, dengan pembacaan Pancasila dan Pembukaan UUD 45, sambutan inspektur upacara, di bawah sinar matahari yang semakin meninggi. Barisan paling belakang seringkali ngobrol sendiri. Dan tak terasa upacara sudah berakhir. Nah, cara assembly berjalan di Moreland Primary School jauh dari gambaran seperti itu.

Ketika bel berbunyi pada pukul 9 pagi, para siswa menuju ke hall, yakni ruang tengah yang menghubungkan sebagian besar ruang kelas dan kantor. Ruang butulan yang lebar, nyaman, dan multi fungsi ini juga ibarat gallery. Seluruh dindingnya penuh dengan pajangan hasil proyek para siswa. Mulai tema lingkungan, seni, olahraga, sampai multikultural bisa dinikmati. Di atas karpet biru yang hangat, para siswa duduk berkelompok dengan kelas masing-masing. Anak-anak Prep dan grade 1 di sebelah kiri dan kanan, diikuti dengan grade berikutnya. Para orang-tua yang ikut hadir bisa duduk di kursi plastik yang ditempatkan mepet di sisi kiri, kanan, dan belakang ruang. Suara tangisan bayi atau balita ikut mewarnai. Maklum tidak ada yang punya pembantu. Para guru duduk di sisi yang sama. Berbaur dengan para orang-tua. Bahkan John Williams, kepala sekolah, sering berdiri di belakang, sambil mengawasi anak-anak yang mungkin telat dan segera mengantar mereka bergabung. 

Yang menarik dalam assembly adalah bahwa acara dibawakan oleh para siswa secara bergantian. Kapan dulu bahkan anak-anak Prep yang masih bau kencur dapat giliran. Beberapa guru mendampingi untuk urusan teknis seperti mengoperasikan laptop dan mengatur sound system. Suasana sedikit formal dan nasionalis hanya ditandai oleh bagian awal. Saat semua hadirin diminta berdiri dan lagu kebangsaan Australia dinyanyikan bersama. Bagian berikutnya sampai akhir adalah lembaran kegiatan dan prestasi masing-masing kelas dalam 1 minggu terakhir. Pembawa acaranya bergantian membacakan skrip. Kadang cuma 2 anak, yakni school captain dan wakilnya. Kadang  bisa melibatkan 5 anak. Saya amati sampai akhir assemby, semua anak memberi perhatian penuh, tidak ada obrolan. Tapi jauh dari suasana tegang. Semua yang hadir bisa menikmati rangkaian acara sambil duduk manis.

Saat assembly kemarin, hasil kegiatan yang ditampilkan di layar adalah interview yang dilakukan anak-anak grade 3/4 dengan beberapa guru. Temanya adalah Nude Food. MPS sangat concern dengan pembiasaan siswa membawa bekal makan siang dalam lunch box. Tanpa pembungkus plastik dari pabriknya. Alias makanan buatan mama. Selama 1 semester ini, tiap minggu dilaporkan hasil nude food survey di tiap kelas. Anak-anak Prep hampir selalu menjadi 'juara,' atau paling banter mlorot ke posisi ketiga. Para 6th graders malah selalu paling buncit. Setengah menyentil, pembawa acara, anak grade 4, memotivasi kakak kelasnya untuk lebih berupaya menjadi role model di semester mendatang. Semua yang hadir ketawa. 

Hasil proyek lain yang menarik adalah kumpulan artikel tentang lingkungan yang dihasilkan oleh anak-anak grade 3/4. Ini bukan kliping, tapi tulisan siswa sendiri. Hasil kerja mereka dikemas dalam e-book. John mengapresiasi karya mereka dan sekolah akan mengunggahnya ke website sekolah. 

Tak perlu heran juga bagaimana teknologi sudah melekat di MPS. Anak grade 3 ke atas sudah pegang Mac Pro atau Mac Air. Satu anak satu laptop. Anak di bawahnya sudah akrab dengan iPad. Itulah mengapa anak setingkat SD di MPS sudah bisa membuat film pendek dokumenter sebagai bagian dari class project. Istilah doing research sudah lumrah, karena ini berarti cara referensi di internet atau buku di perpustakaan untuk mendukung report atau project.Satu hal yang patut ditiru adalah apresiasi sekolah terhadap proses dan kerja-keras. Bukan sekedar hasil dalam bentuk prestasi akademik berbau kognitif. Bila sekolah baru saja mengikuti lomba lari, sepak bola, atau apapun, maka semua siswa yang mewakili akan gantian bicara di assembly. Dua tiga kalimat tiap anak. Kalah menang diceritakan. Dan semua yang hadir memberikan applause. 

Bagian yang paling ditunggu orang-tua adalah pengumuman achievement award mingguan. Biasanya ini bagian school captain yang memberi pengumuman. Dan kepala sekolah atau wakilnya yang menyalami siswa, sambil memberikan sertifikatnya.  Dimulai rombongan Prep, Adzra dipanggil untuk maju ke depan. Putri cantikku ini seperti tahu betul memilih moment yang tepat, saat ayahnya di sini untuk menyaksikan. Dia  menerima sertifikat dengan tulisan  'Congratulations Adzra, for writing more and more each day. Great effort!' 

                          
Sekitar 7 anak Prep juga dapat award untuk berbagai achievement. Empat di antaranya diterima Adzra and the gang. Kecuali Sarah yang sudah dapat award minggu sebelumnya, Senin kemarin giliran Adzra, Nadia, Achia, dan Liana. Dua nama terakhir ini anak Bangladesh. Lima sekawan ini runtang-runtung ke mana-mana. Achia menerima apresiasi untuk ‘writing without copying, dan Nadia diganjar excellence in phonics. Avinash, anak India, dapat award untuk being kind and helpful to friends. Kategori yang lebih kompleks diberikan untuk para seniornya di grade 1-6. Ada award untuk excellent organizational skills, doing lots of maths, producing e-book secara berkelompok, consistency in book report, dan sebagainya.

                    Penerima achievement awards minggu terakhir term 2 di MPS

Berkali-kali menikmati assembly, saya jadi semakin paham bagaimana character building di MPS terinternalisasi di keseharian anak-anak. Kunci keberhasilan yang dipatok MPS adalah Confidence, Persistence, Organisation, Getting Along, and Emotional Resilience. Sementara itu, nilai-nilai moral yang dikembangkan adalah Respect, Responsibility, Excellence, and Honesty. Prestasi tidaklah direduksi ke dalam angka rapot atau bahkan ranking di kelas. Model yang beginian berpotensi menjulangkan segelintir anak, dan menenggelamkan mayoritas menjadi ‘anak-anak biasa saja. Di MPS, boleh dikatakan tiap anak pernah dan akan dipastikan menerima penghargaan atas kerja kerasnya. Baik untuk urusan akademik seperti literacy dan numeracy, maupun social skills. Ken misalnya, anak Indonesia di Prep, pernah harus ikut sesi speech therapy. Itu saking diamnya dan penolakannya untuk berinteraksi dengan teman dan guru. Padahal kalau di rumah, menurut ibunya, paling cerewet dibandingkan kedua kakaknya. Seiring berjalannya waktu, Ken dapat achievement award untuk ‘great improvement in communication and interaction.’ Juga Sarah, sahabat Adzra. Dua kali sudah dia dapat award untuk ‘great improvement in speaking English.’ Pendeknya, peningkatan sekecil apapun akan diamati guru dan layak diganjar penghargaan.  

Ketika John berdiri di samping para pembawa acara, membantu membacakan skrip, Donna, si wakasek, menjadi fotografer, mengambil gambar para awardees untuk newsletter minggu ini, dan guru-guru lain mengoperasikan tayangan di layar, saya merasakan betapa dekatnya interaksi guru-siswa-staf. Pada saat yang sama, saya bayangkan betapa berjaraknya sebagian guru dan staf sekolah dengan para siswa di tanah air. Tak heran anak-anak Sumba merindukan guru-guru SM3-T. Para pendidik yang penuh dedikasi dan komitmenlah yang bisa memenangkan hati siswa.

Di negeri Down Under ini, kami para orang-tua merasa sangat bersyukur menyaksikan anak-anak kami berkembang secara wajar di lingkungan sekolah yang nyaman dan menyenangkan. Chika, mama Nadia, sampai terharu, pingin nangis. “Gak rugi aku mbak, bayar AUD$ 7000 per tahun buat tuition. Pengalaman ini akan nempel seumur hidup di benak Nadia.” Fajar, ayah Nadia memang mahasiswa S2 jalur coursework dengan beasiswa kantor. Non-ADS awardees dengan jalur coursework seperti Fajar rata-rata dapat beasiswa dua kali lipat dari mahasiswa riset beasiswa uni seperti aku. Tapi mereka juga terpaksa harus merogoh saku dalam-dalam untuk sekolah anak. Sementara aku bersyukur bisa dapat bebas SPP untuk Ganta dan Adzra. Bahasa orang Jawa sih, sawang-sinawang. Tiap scholarship scheme ada plus minusnya.

Sambil sarapan, saya dan mas Prapto ngobrol tentang dunia pendidikan di tanah air. Tentang kemungkinan dan tantangannya mengembangkan hal serupa di sekolah. Terutama di sekolah negeri. Tiba-tiba pikiran saya membayangkan pendidikan karakter yang sedang dikembangkan di tanah air. Saya berdoa, mudah-mudahan tidak terbatas pada pengembangan rencana pembelajaran di atas kertas saja. Betapa pembiasaan budi pekerti tidaklah sekedar tertuang di atas kertas, namun membutuhkan konsistensi dan dedikasi para pendidiknya. ‘Pekerjaan rumah’ kita ternyata makin panjang saja. Semoga kita para pendidik tetap istiqomah dengan tujuan mencerdaskan anak bangsa. 






Thursday, April 11, 2013

Sekilas Pendidikan Karakter di Australia

Beberapa bulan terakhir para pelaku pendidikan di tanah air ramai berwacana tentang Kurikulum 2013. Pro dan kontra mewarnai obrolan di berbagai milis dan tulisan di media massa. Ada yang mengatakan bahwa kurikulum baru ini 'mengantarkan siswa ke surga' karena saking saratnya muatan etika dan budi pekerti di dalam sebagian besar kompetensi dasar. Sikap-sikap yang banyak disebut antara lain adalah jujur, peduli, patuh, bertanggung-jawab, proaktif, responsif, dan lain-lain. 

Bahwa pendidikan karakter sangat penting mewarnai proses belajar mengajar, tidak ada yang menyangkal. Namun seringkali kita, para pendidik, lupa bahwa pemilihan materi dan metode pembelajaran yang kita gunakan sebenarnya amat penting untuk menanamkan budi pekerti. Saya mempertanyakan seberapa perlu sebuah kurikulum menyebutkan sederetan karakter untuk dicapai dalam daftar kompetensi dasarnya. Dilihat dari kacamata orang awam saja, susah membayangkan bagaimana cara mengukur pencapaian sikap-sikap luhur di atas. Namun anggap saja ini sebuah kerangka yang bagus. Pertanyaan berikutnya adalah seberapa upaya pelaku pendidikan memastikan bahwa kerangka itu diterjemahkan dalam materi dan proses belajar mengajar. Tentu saja kita belum memperoleh jawabannya, karena buku pegangan yang disusun Kemendikbud juga belum bisa dinikmati isinya. 


Ada beberapa hal menarik saat saya membaca draft kurikulum 2013, terutama untuk tingkat SMA/MA. Di mata pelajaran Sejarah Indonesia, misalnya, berkali-kali disebutkan Kompetensi Dasar "Berlaku jujur dan bertanggung-jawab dalam mengerjakan tugas-tugas pembelajaran sejarah." Kira-kira kalau kita tanyakan makna KD ini kepada 10 guru, apakah kita akan memperoleh interpretasi yang senada? Apakah ini berarti siswa tidak mencontek, tidak lirak-lirik, tidak mau menerima bocoran kunci jawaban pada ujian apapun? Ataukah ini bisa diartikan bahwa siswa bisa jujur dalam mengungkap kebenaran fakta sejarah, meski mungkin versinya berbeda dari buku teks? Apakah gurunya sendiri juga jujur dan terbuka dalam menyampaikan materi dari berbagai sudut pandang, ataukah mengikuti kebenaran sejarah versi buku teks? Pertanyaan-pertanyaan menggelitik ini layak dicobakan dalam sebuah survey atau bahkan penelitian. 


Contoh satu KD di atas menyiratkan bahwa dunia pendidikan adalah gelanggang politik budaya. Kurikulum bisa dipandang sebagai produk budaya. Dengan sendirinya, produk itu dihasilkan, direpresentasikan, diresepsi, dan diregulasi secara berbeda. Di sini kita bisa jelas melihat bahwa hubungan kekuasaanpun ikut bermain dalam dunia pendidikan, tidak hanya pada tataran kurikulum, namun bahkan pada tataran materi mana yang layak diberikan menurut versi pemerintah. Tidak ada yang salah memang, karena penguasa di manapun akan selalu berupaya untuk melakukan regulasi. Pertanyaannya berikutnya adalah, seberapa upaya guru menjadi agen yang bisa menyiasati regulasi itu. Kalau misalnya ada fakta-fakta sejarah yang disembunyikan kebenarannya di dalam buku teks, seberapa upaya guru untuk memberikan informasi yang berimbang di depan kelas? Tanpa sadar, KD yang nampaknya indah itu bisa menjadi bumerang bagi  pemerintah sendiri. 


Di milis Ganesa, mas Eko Prasetyo termasuk yang getol menulis cerita sejarah dari versi yang berbeda. Kisah yang bergulir sebenarnya tertulis dalam buku-buku yang beredar di pasaran. Tapi apakah pemerintah mendorong kisah-kisah ini diungkapkan dalam buku sejarah versi yang resmi. History is His Story after all. Sejarah adalah benar menurut versi yang mengungkapkannya.  



Ada satu pengamatan tentang pembelajaran Sejarah di SMA di Australia, yang menurut saya layak ditiru. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi, saya lihat ada perbedaan mendasar di sistem pendidikan Indonesia dan Australia dalam menanamkan pendidikan karakter. Kejujuran, misalnya, bisa tercermin dari materi pelajaran Sejarah. Tahun lalu, saat Ganta masih di year 10, dia belajar tentang sejarah orang-orang Aborigine. Dunia tahu bahwa suku Aborigine adalah lembaran hitam sejarah Australia. Dalam materi yang diberikan, saya tidak melihat upaya guru menyodorkan sejarah dalam satu versi saja. Materi diambil dari berbagai sumber yang mewakili perjalanan sejarah, termasuk konflik dan pro-kontranya. Ada artikel di media yang mengkritisi kebijakan pemerintah, cuplikan kebijakan pemerintah, produk budaya berupa novel, film, dan lagu, yang menyuarakan jeritan suku Aborigine. Ada isu tentang bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengintegrasikan anak-anak mixed blood (Aborigin + white race) ke white culture mainstream sebelum tahun 1960an. Namun upaya intergrasi ini dilihat sebagai upaya mencerabut anak-anak tersebut dari akar budayanya. Ada gambaran tentang perlakuan diskriminatif birokrasi terhadap orang-orang Aborigine. Tersaji pula perubahan kebijakan pemerintah Australia setelah tahun 1970an dengan memberikan prioritas terhadap Aborigine dalam hal akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial yang lain. Saya ikut menikmati hampir semua materi pelajaran Ganta. Ikut menonton filmnya (Rabbit-Proof Fence), dan melihat rekaman video Ganta dan teman-temannya kita menyanyikan lagu bertema Aboriginal identity. Kesan saya: ada semangat kejujuran yang jelas dalam mengajarkan sejarah hitam bangsanya sendiri, tidak malu menunjukkan kesalahan bangsa, namun disertai upaya untuk memperbaiki kesalahan masa lalu.

Dengan materi dan cara penyampaian seperti itu, ketika kemudian siswa belajar sejarah bangsa lain, yakni American slavery dan Nazi, ada perspektif berlapis yang bisa ditangkap oleh siswa, bahwa tiap bangsa punya lembaran hitam yang perlu diakui dan disertai upaya memperbaiki.

Ganta menikmati pelajaran History, meski di year 11 sekarang ini dia tidak memilihnya sebagai bagian dari VCE. Kata dia, belajar History di sini seperti membaca cerita, dan tidak pakai hafalan nama dan tahun. Meski tes-tes yang diberikan selalu dalam bentuk essay, dia juga cukup menikmati, karena jawaban dinilai berdasarkan pemahaman konsep dan critical and reflective thinking. 

Bagaimana dengan pelajaran Sejarah di Indonesia? Dalam banyak hal, lembaran hitam bangsa kita masih jarang diajarkan dengan semangat kejujuran. Materi yang sekiranya tidak sesuai dengan sejarah versi penguasa akan ditarik dari peredaran. Tes yang diberikan jarang sekali menggugah siswa untuk kritis. 

Dalam hal pendidikan pekerti, ada hal menarik yang saya lihat dari anak-anak sesama teman Indonesia yang duduk di Primary School. Setiap minggu selalu saja ada siswa yang mendapatkan penghargaan Pupil of the Week untuk kategori the most helpful, the most responsible, dsb. Tapi saya belum pernah melihat pengumuman nilai atau ranking akademik terpampang di dinding. Dan rapotpun sebenarnya lebih dalam bentuk deskriptif, tentang kekuatan, progress, dan hal-hal yang perlu diperbaiki (tidak disebut sebagai kelemahan). Efeknya, anak merasa memperoleh penghargaan atas kemampuannya sendiri, dan tidak dibanding-bandingkan dengan temannya. Ada yang menarik dalam komentar tentang 'kekurangan' siswa. Misalnya, Ganta dinilai cukup bagus dalam menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan. Tapi akan jauh lebih baik bila tidak terburu-buru dalam mengerjakan tugas. Saya tahu model Ganta yang suka mepet bila mengerjakan PR. Intinya sebenarnya: jangan suka menunda tugas, krn hasilnya kurang maksimal. Tapi cara penyampaian yang positif membuat siswa tetap dihargai.

Saya jadi mengingat kembali saat mengambil rapot Ganta di SMA nya di Surabaya dulu. Wali kelasnya menunjukkan nilai sikap 'Tanggung-jawab' yang cuma C, dengan wajah yang kurang ramah. Gara-garanya, ada beberapa tugas mata pelajaran yang belum dikumpulkan. Kalau tugasnya dikumpulkan, nilainya bisa diperbaiki jadi B. Pikir saya saat itu, begitu mudahnya memberikan label pada siswa. Karakter direduksi menjadi huruf A, B, C yang bisa diganti dalam waktu singkat. Agaknya terlupa bahwa label 'kurang bertanggung-jawab' masih akan melekat di benak anak meski nilai di rapot sudah diubah.

Sebagai pendidik, saya melihat banyak hal yang perlu dibenahi dalam praktek pendidikan di Indonesia. Diperlukan perubahan sistem pendidikan, namun yang lebih penting lagi, perlu perubahan revolusioner dalam proses belajar mengajar di kelas. Di sinilah interaksi guru dan siswa amat berperan dalam membentuk karakter siswa. Apakah Kurikulum 2013 akan mampu menjawab tantangan ini?