Showing posts with label Catatan Harian. Show all posts
Showing posts with label Catatan Harian. Show all posts

Wednesday, April 24, 2024

I'M A PROUD MOTHER

Ganta is the definition of a die-hard Bonek, the fan community of Persebaya supporters. Born in Surabaya, Ganta has developed his deep interest in whatever is about Persebaya. When he was still small, my hubby would take him to football matches at Tambaksari Stadium. As he grew up, he went with his friends and collected merchandices. Green stickers and banners are all over our place. 

From a supporter to a prosumer to a researcher. Bajolball podcast channel that he manages with his friends has reached more than 100 episodes. This channel discusses anything related to Persebaya, but not limited to match reviews. This kind of volunteerism is then extended to the production of matchday programmes. Days prior to a match, he would drown himself in his room or our minilibrary to prepare the match preview. He would then go to Bung Tomo stadium and distribute the print version to supporters before the game. It's a fan literacy practice that connects supporters and serves as a free and alternative media. Often times a resistant one.

Today, April 24, 2024, he earned his MA in Anthropology from Gadjah Mada University. His ethnographic research on Bonek based in Boyolali, Klaten, and Sragen highlights the power of collective identities of football supporters that extend beyond the club's homebase in Surabaya.

While graduating from a study program that is currently ranked 51st in the World's University Ranking is something to be proud of, it's his perseverance and persistence against all odds that we are grateful for.


Big congrats, my beloved son. Kudos to you. Ayah, Ibu, and  Adik Adzra always take pride in you, no matter what. 


Yogyakarta, April 24, 2024

Sunday, August 22, 2021

CONNECTING DOTS WITH BUDI DARMA


Kepergian sosok sepenting Prof. Budi Darma adalah sebuah kehilangan yang tak tergambarkan. Waktu terasa berhenti dan hanya tangis yang mengisi. Tiba-tiba ingatan masa lalu seolah berjajar bak foto-foto yang membawa kenangan. Betapa tanpa saya sadari Pak Budi Darma telah menggoreskan warna kuat dalam perjalanan karir saya.

Saya termasuk yang percaya bahwa dalam kehidupan ini tidak ada yang kebetulan. Kejadian yang kita alami atau orang yang kita temui adalah bagian dari takdir. Termasuk di antara bagaimana sosok Budi Darma menjadi tanda dalam peta kehidupan saya. Serpihan kisah rendezvous saya dengan Pak Budi adalah titik-titik yang suatu saat terhubung. Connecting dots

1) Di sekitar tahun 1985-1990, ketika saya menjadi mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP     Surabaya, Pak Budi Darma adalah Rektor IKIP Surabaya mulai tahun 1984-1988. Karena beliau menjadi Rektor, maka saya belum pernah masuk ke kelas beliau sampai tahun 1989. Peran beliau sebagai Rektor saya rasakan kalau saya wira-wiri dari Sekretariat Himapala di Kampus Ketintang ke Rektorat yang waktu itu ada di Jalan Kayun. Maklum, sebagai anggota Himapala, saya ikut sok sibuk mengurus surat perijinan atau pengajuan dana kegiatan. Tapi saya lebih banyak masuk ke ruangan Pembantu Rektor III yang memang mengurusi bidang Kemahasiswaan. 

Pendek kata, saya hanya tahu bahwa dosen saya, yang sastrawan, adalah Rektor. Dan saya baru pada tahap berangan-angan ingin diajar beliau sebelum saya lulus. 

Sampai suatu saat saya diberi tugas menyerahkan pemukul gong kepada Rektor untuk membuka acara Pentas Seni Himapala di tahun 1986. Tidak tanggung-tanggung, saya harus turun dengan tali dari dinding Gedung Gema dengan ketinggian kurang lebih 10 meter.  Bersama dengan rekan saya, mas Agus Guo, kami turun saat lampu gedung yang dimatikan. Spotlight mengarah ke dua anak muda yang sedang rappling dari atap gedung dan kemudian beratraksi melompat ke kiri dan ke kanan sambil membalikkan badan. Entah dari mana saya mendapatkan kenekadan ini. Kenekadan yang direncanakan karena latihan hampir tiap hari. Saat itu adrenaline saya mungkin sedang puncak-puncaknya. Seandainya ini terjadi di masa kini, mungkin foto-fotonya sudah memenuhi akun medsos saya. 

Sesampai di bawah, saya berlari ke arah Rektor dan menyerahkan pemukul gong yang tergantung di carabiner di celana jeans saya. Lamat-lamat saya mendengar pembawa acara menyebut nama saya sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. 

Hampir empat tahun kemudian, saya duduk di sofa Jurusan, di depan tiga dosen senior Jurusan. Pak Budi Darma, Pak Santiko Budi, dan Pak Djoko Soeloeh Marhaen. Saya tengah menghadapi ujian skripsi. Pak Budi Darma menjadi penguji saya. Beliau bertanya sambil tersenyum, “masih suka naik-naik atap gedung?” 

Saya terpana. Terpesona. Bagaimana mungkin ulah anak picisan ini diingat oleh sosok VIP seperti beliau. Saya lupa apa jawaban saya. Yang saya ingat hanyalah gelengan saya dengan wajah tersipu malu. 

2) Tapi itu bukan pertama kalinya saya merasa dekat dan dikenal oleh beliau. Ketika Pak Budi sudah tidak lagi menjabat sebagai Rektor, beliau kembali mengajar ke Jurusan. Di akhir semester saya di semester 8, beruntunglah saya dapat duduk di kelas Literary Appreciation. Sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan, kami tidak banyak mendapatkan mata kuliah murni. Hanya ada Introduction to Literature yang kurang sukses membuat saya mencintai sastra. Tapi saya sering meminjam novel-novel di ruang baca Jurusan dan memfotocopynya. Membaca untuk dinikmati. Bukan untuk dikritisi. 

Kelas kami membahas novel Ernest Hemingway, The Sun Also Rises. Semua mahasiswa memegang fotocopyan novel, mencoba mencari kalimat yang dibacakan Pak Budi. Tak kunjung ketemu. Saya perhatikan wajah beliau. Baru kemudian saya tersadar bahwa sebenarnya beliau sedang menganalisis dengan gaya berkisah. Ah, kalimat-kalimat yang tertata rapi dan runtut ini muncul terucap tanpa script. Menghipnotis. Meski pemahaman saya tidak sampai separuhnya. 

Merasa kuliah ini standar tinggi dan saya tidak mudeng, saya mencoba mencari cara agar paham isi novel ini. Bayangkan kuliah di tahun-tahun 80-90an, ketika referensi harus dicari di perpustakaan yang masih terbatas koleksinya. Saya belani mencari referensi ke perpustakaan di atas toko buku di jalan Tunjungan. Saya lupa apakah namanya Sari Agung atau sudah berganti menjadi Gramedia. Toko ini adalah jujugan saya sejak kecil. Tapi baru tahu belakangan saat kuliah bahwa di atasnya ada perpustakaan kecil. Di situ akhirnya saya menemukan buku-buku sastra yang tebal dan menyuguhkan kritik sastra karya-karya Hemingway. 

Eureka

Ketika masa UTS datang, kami diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan yang bersifat analisis novel The Sun Also Rises. UTS yang open book. Kami tentunya dapat mengutip baris-baris dari novel sebagai bukti. Saya mengambil tempat duduk di belakang. Agar dapat fokus menulis analisis. Tidak pakai tengok kiri kanan. Karena teman-teman saya juga sedang sibuk berpikir. Mau nulis apa. Atau mungkin tidak tahu apa yang mau ditulis. Saya sendiri juga tidak yakin. Pokoknya nulis saja. 

Dua minggu kemudian, beliau memanggil nama kami satu-persatu. Memberikan hasil UTS. Sambil memberikan umpan balik. Rata-rata dikomentari karena kebanyakan menulis analisis seperti menulis daftar menu. Hanya point-point saja. Saya mendengar nama saya disebut. Deg-degan. Takut jawaban saya juga tidak memuaskan. “Pratiwi, would you please come here and read your answer?”

Dengan sangat groggy, karena tidak tahu mengapa saya diminta maju ke depan, saya berjalan ke depan kelas dan menerima kertas jawaban dari tangan beliau. Saya bacakan jawaban saya yang panjangnya kira-kira 2 halaman kertas folio bergaris. Setelah saya selesai membaca, barulah kemudian beliau menyampaikan bahwa analisis sastra seharusnyalah deskriptif seperti itu. Bukan seperti daftar menu atau belanjaan. 

Pengalaman ini sangat membekas di benak saya. Ternyata saya bisa menganalisis karya sastra yang masterpiece. Ternyata begitu caranya interpretasi sastra. Sejak itu saya merasa jatuh cinta pada sastra. Tepatnya, Pak Budi membuat saya mencintai sastra dan mensyukuri pentingnya menulis. Saya punya kebiasaan menulis di buku harian atau surat berpanjang-panjang halamannya. Mungkin saja tulisan saya ada emosinya. Buktinya beberapa coretan yang saya tulis menghasilkan patah hati. 

(bersambung)





Monday, January 25, 2021

KISAH COVID-KU (1): PROKES, POSITIF COVID-19, DAN TRACING

Akhirnya saya terpilih juga diampiri Covid-19. Sejak hari Sabtu, 16 Januari 2021, saya resmi positif Covid-19. Resmi karena sudah berdasarkan hasil swab antigen, dan diperkuat dengan hasil swab PCR. Dengan hasil CT 24/23, artinya sebenarnya virus ini sudah masuk ke tubuh saya beberapa hari sebelumnya.

Bagaimana ceritanya sampai saya bisa kena Covid-19?  Tanpa harus mencari kesalahan diri sendiri atau orang lain, pelacakan aktivitas diri di beberapa hari sebelumnya memang harus dilakukan. Itu juga pertanyaan yang umum ditanyakan beberapa teman baik yang mendengar bahwa saya positif Covid-19. ‘Habis pergi-pergi ta mbak?’, ‘Habis kumpul-kumpul atau ada tugas ke mana mbak?’. 

Sejak pandemi di pertengahan Maret 2020, saya hampir tidak pernah pergi kemana-mana. Kantor Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa jarang sekali saya tengok. Paling sebulan sekali. Itupun bila ada yang betul-betul penting. Selain itu, undangan workshop atau menjadi narasumber atau fasilitator di luar kota tidak lagi saya terima, kecuali bila dilaksanakan secara daring. Anteng di rumah bukan berarti saya jadi pengangguran dan makan gaji buta. Lha selama pandemi ini jam kerja menjadi 24/7. Tidak ada hari libur. Tugas dari kampus dan pertanyaan ini itu dari kolega dan (terutama) mahasiswa bisa datang kapan saja. Tidak peduli pas orang sudah siap-siap mancal kemul

Jadi balik lagi ke tracing. Sejak tanggal 27 Desember 2020 saya tidak pernah lagi ke kampus. Saya juga tidak ada agenda pergi-pergi dengan keluarga. Route saya bila harus keluar rumah hanya ke minimarket terdekat atau ke pasar Kebraon. Itupun tidak setiap hari. Itupun tidak di pagi hari ketika pasar sedang ramai. Itupun paling hanya 2 kali dalam seminggu. Kalau ke pasar, saya biasanya memilih agak siang sekitar pukul 9-10. Sekalian bersepeda cari keringat dan panas matahari. Dan acara ke pasar paling hanya 10 menit. Beli seperlunya. Dan masker tidak pernah lepas. Plus hand sanitizer di kantong celana. 

Hidup di masyarakat komunal seperti di Indonesia, rasanya tidak mungkin saya memutuskan untuk tidak ketemu orang sama sekali. Namanya manusia adalah makhluk sosial. Bisa saja ada virus berseliweran di dekat saya ketika menerima kembalian pas beli martabak sore-sore, atau pas kartu debit saya dikembalikan mas/mbak kasir saat belanja di minimarket. Atau ada virus nempel di bungkus plastik tempe gres yang nangkring di meja kios Mbak Atik langganan saya pasca boikot para pengrajin tempe. Atau bisa saja pas tiba-tiba hati saya bolong dan pingin cuci mobil di bawah sinar mentari pagi. Lalu pas masker saya sedikit melorot, pas ada tukang sayur tak bermasker lewat sambil teriak, ‘sayur sayur.’ 

Embuh lah. Pendeknya, virus Corona sudah merajalela. Selama ada anggota keluarga yang masih keluar masuk rumah, di situlah akan tetap ada potensi kena. Mosok ya saya mau bilang ke suami saya untuk mendekam di rumah saja. Lha wong Adzra juga sesekali pingin ke minimarket. Just to get the feeling of ‘going out.’ Ghanta juga menikmati kegiatannya berpodcast di Bajolball Studio (alias perpustakaan rumah). Itu artinya sesekali akan ada beberapa orang yang dia undang sebagai narasumber. Apalagi ART saya, Abay, datang pagi pulang siang/sore. Dengan dua anaknya setiap kali datang. Dia kos di salah satu kampung Kebraon. Cuma 5 menit dari rumah. Ya wis. Yang penting prokes ketat ditaati dengan baik di rumah. 

Memang seberapa ketat prokes kami di rumah? Siapapun yang baru saja keluar rumah wajib  cuci tangan pakai sabun sebelum melakukan hal-hal lain. Ganta termasuk orang yang paling cerewet mengingatkan hal ini. Dia juga yang menyiapkan tempat cuci tangan dan dilengkapi dengan sabun di depan rumah. Kalau habis ada tamu, Gantalah yang menyemprotkan disinfectant spray ke ruangan dan mengelap meja, kursi, dan gagang pintu. Adiknya pasti akan kebagian disuruh membantu. Nah, orang yang paling tinggi mobilitasnya di rumah kami adalah Mas Prapto. Gak ada cerita WFH, kecuali di 2 minggu awal pandemi dulu. Oleh sebab itu, rutinitas baru sejak pandemi adalah menyediakan handuk setiap kali suara mobilnya terdengar di depan pagar. Wajib mandi dulu. Tidak peduli jam berapapun dia pulang. Tidak ada acara cium tangan, rangkul anak wedok, atau saling njiwit sebelum dia keluar dari kamar mandi dengan bau segar. Pernah suatu kali sepulang kerja, mas Prapto langsung masuk ke ruang perpustakaan dan buka laptop. Lanjut nge-zoom. Maka saya dan anak-anak memilih menjauh dan pindah ke lantai atas. Nah, kalau sudah protokol kesehatan (prokes) ketat seperti masih juga kena, ya sudah mau apa lagi. Ikhlas saja dijalani. Alhamdulillah. Tetap harus bersyukur karena tidak ada gejala berarti. 

Apakah saya mengalami gejala-gejala Covid-19 sehingga harus swab? Sejak habis cuci mobil sambil cari Vit-D di bawah sinar matahari pada hari Sabtu, 9 Januari 2021 yang lalu, saya memang mulai merasa pilek. Ringan saja. Gak pakai demam. Saya pikir hanya karena kelelahan. Memang ini minggu UAS dan koreksi tugas-tugas mahasiswa. Cuaca juga sedang kurang bersahabat. Abay dan anak-anaknya gantian batuk di minggu sebelumnya.  Satu hari kemudian menyusul Ganta ikut pilek dan batuk. Tenggorokan terasa tidak nyaman. Dia bahkan kelihatan loyo. Sudah pindah tidur ke Bajolball Studio di bawah. Kebetulan sofanya bisa disetel menjadi tempat tidur. Mengisolasi diri meski tidak ketat banget.. Alhasil saya jadi cerewet menyuruh dia agar tidak telat makan. 

Repotnya, Ganta tidak pernah mau minum obat. Bahkan yang herbalpun dia sangat hati-hati. Mintanya hanya air hangat, teh panas, air jahe tanpa gula, atau air jeruk panas tanpa gula. Ganta memang punya kelainan bawaan. G6PD deficiency. Intinya dia kekurangan enzim yang berfungsi membuat sel darah merahnya bertahan. Karena pilek 3 hari tidak kunjung sembuh dan kelihatan lemes terus, saya minta mas Prapto untuk mengajaknya swab antigen. Jaga-jaga saja. Alhamdulillah hasilnya negatif. Dampaknya positif banget. Ganta jadi semangat dan mulai beraktivitas. 

Nah, saya sendiri mulai merasakan ada yang berbeda. Kok tidak bisa bau masakan apapun? Baik pas masak di pagi hari maupun pas makan. Saya berdalih. “Ah, memang hidung saya lagi buntu. Pilek belum pulih benar. Yang penting badan tetap segar.” Dua hari merasakan anosmia, akhirnya saya putuskan untuk swab antigen. Sabtu pagi, 16 Januari 2021, saya menyetir sendirian menuju ke klinik Pa*ah*ita di dekat kampus B Unair. Klinik ini langganan kantor mas Prapto. Jadi hasilnya akan dikirim ke suami. Usai swab, saya langsung pulang. Mungkin karena ada rasa cemas, sempat keliru ambil jalan. Sejujurnya saya sudah merasa kemungkinan akan positif. Jadi saya mampir ke apotek dekat rumah, membeli masker dan beberapa multivitamin yang direkomendasikan untuk penderita Covid-19. Sedia payung sebelum hujan. 

Sesampai di rumah saya langsung ikuti vERtual talk, webinar tentang Extensive Reading. Sengaja saya lakukan di kamar agar tidak lagi ada kontak dengan yang lain. Habis webinar langsung lanjut rapat kecil dengan teman-teman IERA dan Binus untuk mempersiapkan sesi berikutnya. Di tengah-tengah rapat itulah saya mendapatkan kiriman hasil swab. Mas Prapto yang mengirimkannya di grup keluarga kami. Saya mungkin kurang fokus karena sedang rapat, jadi sempat salah baca. Saya kira negatif. Sudah girang di grup, ‘Alhamdulillah ya Allah.’ Ganta yang kemudian mengetuk pintu kamar. Memberitahu ibunya bahwa hasilnya positif. Saya yang belum percaya langsung membandingkannya dengan hasil Ganta sebelumnya dari klinik yang sama. 

Meski agak cemas, saya berusaha tenang. Untunglah rapat pas mau usai. Mas Prapto yang sedang berada di luar kota meminta saya untuk kembali ke klinik untuk swab PCR. Akhirnya kami berinisiatif agar Adzra sekalian swab antigen. Ganta yang sdh sudah sehat mengambil alih semua urusan, dan dia mengantar kami ke klinik. Di mobil saya sudah mulai jaga protokol lebih ketat. Duduk di belakang. Tanpa ada sentuhan fisik dengan anak-anak. 

Swab PCR akan memberikan konfirmasi dengan CT value, jadi kami sudah menganggap bahwa saya memang positif. Meski hasilnya baru akan keluar esok harinya atau bahkan Senin, kami sudah mulai mengatur bagaimana mengelola isolasi mandiri. Diskusi tentang skenario yang perlu diterapkan. Alhamdulillah punya anak-anak yang terbiasa tenang dan tidak emosional. Tidak ada drama. Mungkin karena sudah banyak baca informasi tentang apa dan bagaimana isolasi mandiri. Mungkin juga karena mereka sudah ditempa pengalaman saat saya menjalani kemoterapi selama 5 bulan di Melbourne dulu. 

Sesampai di rumah, saya langsung ke kamar dan mengambil beberapa setel pakaian. Masukkan ke koper. Ganta menyiapkan Bajolball studio alias perpustakaan untuk ruang isolasi mandiri (isoman). Adzra membantu menyiapkan bantal, selimut, dan peralatan makan minum. Tak lupa mengusung laptop dan buku-bukunya sendiri ke atas. Setelah mandi, saya masuk ruang isoman. Memberikan instruksi ini itu. Termasuk memberitahu dan meminta ART saya, Abay, untuk tidak datang dulu selama 2 minggu ke depan. 

Pakaian sudah. Bantal dan selimut tersedia. Teko listrik siap. Persediaan air mineral cukup. Laptop, HP, dan charger aman. Resmilah saya isoman!
Bismillah semoga tetap sabar dan segera negatif. 


Ruang isoman 


Bajolball Studio, Kebraon, Surabaya

Isoman hari ke-9


Sunday, October 18, 2020

WFH, Pecel, dan Identitas Budaya

Sudah beberapa bulan terakhir ini saya meminta Abay, ART saya untuk tidak datang terlalu pagi. Dia kos di kampung sekitar Kebraon. Saya melihat tidak lagi ada urgencynya untuk menyiapkan sarapan pagi-pagi ketika saya sendiri praktis WFH tiap hari.
Bekerja menatap laptop dan melakoni zoom sessions beruntun dan sering simultan hampir tiap hari membuat saya mengalami zoom fatigue. Saya butuh relaksasi memecah rutinitas pekerjaan berlapis yang sebenarnya malah jadi tidak fokus.
Rutinitas baru di pagi hari adalah menyiapkan sarapan. Terutama buat Mas Prapto yang WFO terus. Dia biasanya berangkat ke kantor sekitar pukul 7. Jadi saya menyediakan waktu maksimal 1 jam untuk umeg di dapur. Biasanya pukul 6 semua sudah tersaji di meja makan Ganta, Adzra, dan saya bisa sarapan jam berapa saja karena kami tidak ke luar rumah.
Menyediakan waktu bekerja di dapur di pagi hari ternyata menjadi relaksasi dan inspirasi. Sembari minum kopi, Mas Prapto menemani saya. Ngobrol ringan. Membayar waktu us time yang kadang terlewat di hari sebelumnya. Berdua saja. Anak-anak masih di kamar di lantai atas, cenderung kembali memeluk guling seusai shalat Shubuh.
WFH membawa model kerja baru. Batas hari libur dan hari kerja jadi tidak jelas. Setidaknya buat saya Mau bagaimana lagi, saat suami pulang kerja lepas maghrib, saya masih di depan laptop. Sering sampai lewat pukul 9 malam. Kapan dulu dia bilang begini ke Adzra. "Dzra, ibuk itu ya. Ayah pulang sore, di depan laptop. Pulang malam, sik ngezoom. Itu laptopnya apa gak protes ya." Saya nyengir saja. Wong saya ya pingin mengurangi screen time, dan belum berhasil.
Kompensasi saya adalah waktu masak di pagi hari. Ngobrol berdua dengan suami sembari masak jadi quality time yang saya tunggu tiap pagi. Sering juga saat masak, saya malah dapat wangsit atau troubleshooting untuk tugas-tugas yang belum kelar.
Ini mengingatkan saya pada hari-hari di Melbourne dulu. Waktu memasak menjadi waktu mencari inspirasi menulis tesis. Tiba-tiba saja 'tuing', dan langsung cari buku catatan dan orer-oret (lalu tiba-tiba ada bau gosong).
Minggu pagi identik dengan pecel. Ditambah dengan tempe goreng dan omelette (my signature dish). Cuma gitu aja. Sederhana. Tidak ada yang istimewa. Yang spesial adalah karena Ibu dan Bapak saya lagi nginep di rumah. Semoga hidangan anak sulung bisa berfaedah. Meski dari segi rasa, masakan ibu saya selalu juara satu. Saya mah tidak kecipratan bakatnya.
Inspirasi pagi yang 'tuing' saat menggoreng omelette adalah: buat rekaman video untuk kelas besok karena akan ada rangkaian rapat offline di kampus. Video diunggah di YouTube dan share link ke Google Classroom. Topik di kelas Intercultural Communication besok adalah Cultural Identity and Diaspora. Mungkin saya bisa unggah foto hidangan pecel ini dan bertanya: apakah Indonesian diaspora masih suka menghadirkan pecel di meja makan? Kalau pas di Melbourne dulu, cara saya menghidangkan pecel adalah dengan mengakali sayurnya. Apa saja yang lagi 'sale'. Yang penting ada bumbu pecelnya. Saya harus punya bumbu pecel di rumah (apartemen). Entah dengan beli di Asian Store atau stock bumbu gunting. Itu sebutan saya untuk bumbi instant. Setiap kali suami datang dari Indonesia, dia selalu bawa berbagai bumbu satu koper.

Lain lagi cerita sohib ya yang pinter dan manis, dik Yuseva Wardhana. Dia lagi studi PhD di Ohio State University di Columbus, OH. Baca postingan saya di FB, dia ikut komentar seperti ini:
    Beberapa hari yang lalu saya habis mecel lho Bu 
Pratiwi Retnaningdyah
. Kecambahnya nunggu 4     hari "thukul" dulu, daun katesnya saya ganti Kale yang rasanya cukup saudaraan, plus kobis, wortel,     timun, kacang panjang. Lauknya cukup krupuk bulet beli di Asian Market. Sambil makan sambil             
berefleksi untuk lebih menghargai apa yang dulu mudah sekali di dapat di Indonesia, di sini musti 
    usaha ekstra.

Penuturan dik Yuseva ini bukti bahwa makanan menjadi satu cara untuk menjaga identitas budaya ketika kita berada jauh dari tanah air. Jadi pingin segera buka laptop untuk buat materi perkuliahannya. Eh...berarti hari Minggu ini saya tetap kerja dong? 😁





Saturday, April 28, 2018

AKU KANGEN BAU IBU

Hal apa yang membuat Anda ingin segera pulang ke rumah? Buat saya, bayangan sambutan dan keceriwisan Adzra adalah salah satu faktor penarik utama agar cepat pulang bila kebetulan ada tugas ke luar kota.

Ketika saya ke Jepang untuk sebuah konferensi internasional pertengahan Maret lalu, Adzra sebenarnya sudah merengek-rengek agar saya tidak usah pergi saja. Apalagi setelah tahu bahwa saya akan pergi selama seminggu. Tahu apa alasannya? Di hari saya terjadwal pulang ke Indonesia, 29 Maret 2018, dia akan mengikuti Outdoor Learning (ODL), acara buat siswa kelas IV di SDIT At Taqwa. Saya katakan, “kan tidak apa Adzra berangkat ODL. Toh orangtua tidak ikut serta.” Ternyata yang dia inginkan berbeda dengan dugaan saya. “Aku pingin cerita-cerita sama ibu pas pulang ODL. Pingin lihat wajah ibu langsung pas aku cerita.” Saya katakan lagi bahwa dia bisa cerita lewat videocall di Google Hangout atau WA. “Tapi aku ingin pegang tangan ibu,” rayunya. Pada akhirnya Adzra luluh juga. “Ceritanya ditahan sampai ibu pulang malam itu juga ya.”

Indera penciuman nampaknya memegang peranan penting dalam menumbuhkan emotional bonding antara orangtua dan anak. Pasti banyak orangtua yang punya cerita unik tentang bagaimana anak suka ndusel di bawah ketiak ibu. Setiap hari Adzra juga suka menciumi tangan saya. Bukan hanya ketika saya pulang dari kampus atau ketika dia pulang les. Habis dolan ke tetangga sebelahpun, begitu masuk rumah, dia suka memeluk saya dan mencari tangan dan sikut saya untuk diciumi. Ketika saya tanya mengapa, jawabannya lucu tapi membuat haru. “Ibu baunya makes me…happy, calm, want to sleep.” Kali lain dia bilang, “aku suka tangan ibu, rasanya gimana gitu kalau kena kukunya.”

Jadi begitulah. Bila saya habis ke luar kota 2-3 hari, maka sesampai di rumah dia selalu pingin segera masuk kamar. Cerita tentang sekolah, atau ambil buku dan meminta saya untuk membacakan cerita. Meski Adzra sudah menjadi pembaca mandiri, tapi bedtime story masih ingin selalu dihadirkannya. Padahal ritualnya ya tetap saja. Saya akan membacakan cerita, dan dia akan memeluk lengan saya. Ketika sudah mengantuk, dia akan katakan, “ibu terus baca ya sampai aku tertidur.” Ketika saya lihat dia sudah merem, kadang saya pelan-pelan beranjak. Tapi selalu saja Adzra meraih tangan saya. Jadilah saya kembali merebahkan badan dan membiarkannya memegang lengan saya.

Maka ketika saya sedang suntuk mengerjakan sesuatu, suara Adzra yang mengatakan, “aku kangen bau ibu” membuat saya pingin segera merampungkan tugas.

Jadi jangan remehkan bisikan hati yang meminta Anda segera pulang. Bisa jadi bau anggota tubuh Anda tengah dirindukan. Tidak seperti Pinokio, hidung tidak pernah berdusta!

Sunday, April 16, 2017

SAYA TIDAK BISA MEMBUAT SEMUA ORANG BAHAGIA

“Kamu tidak bisa menyenangkan semua orang.” Kalimat ini acapkali saya dengar dari mulut mas Prapto setiap kali saya curhat tentang hari-hari saya. Kadang saya bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Mengapa ketika saya merasa melakukan hal-hal yang menurut saya baik, orang lain bisa menganggapnya  sebagai tindakan punya pamrih. Kadangkala bahkan ditentang habis-habisan. Ada juga yang sebenarnya mengamini tapi nampak cuek, kemudian diam-diam mencari tahu lebih dalam  dari orang lain. Itu hanya karena kebetulan ada yang merasa kurang cocok secara personal dengan saya.

Ada banyak pertanyaan ‘mengapa’ di benak saya. Tapi melelahkan juga mencari jawabannya. Ketika sudah mentok seperti ini, maka saya mengingat kembali ucapan suami saya. “Masak semua orang suruh setuju dengan apa yang kamu lakukan.”

Saya sedang merenung tentang pemaknaan literasi dalam persepsi orang-orang yang saya kenal. Harus saya akui bahwa antusiasme saya terhadap literasi memang amat tinggi. Praktis dalam setiap pandangan mata saya, yang saya cari adalah bukti-bukti orang sedang terlibat dalam praktik literasi. Entah itu di rumah, di kampung, di kampus, di hotel, di tempat umum, dan sebagainya. Saya mengikuti beberapa grup di medsos yang berorientasikan kepada literasi. Di beberapa grup saya cukup aktif, sementara di beberapa lainnya saya hanya sebagai pengamat. Tapi beragamnya anggota masing-masing grup ini menunjukkan bahwa literasi memang amat luas maknanya sebagai praktik sosial.

Karena literasi tidak lagi hanya terbatas pada kegiatan membaca dan menulis, saya cenderung meyakini bahwa orang-orang yang tahu benar pentingnya literasi informasi akan sepakat bahwa literasi memang wajib dipahami oleh semua orang. Guru semua mata pelajaran, para orangtua, birokrat, dan siapa saja butuh mengetahui bagaimana menyampaikan, memperoleh, mengelola dan mengevaluasi informasi melalui berbagai jenis teks. Apakah melalui buku, koran, majalah, fiksi, nonfiksi, radio, televisi, dan media lain, semua informasi perlu diolah dengan kacamata kritis.

Dalam hitungan saya, semakin banyak mahasiswa S1, S2 dan S3 yang mengangkat literasi sebagai bahan kajiannya. Ada banyak jalan yang mereka lalui untuk mengenal konsep literasi itu. Ada yang lewat kelas-kelas yang saya ajar, tulisan saya di blog, presentasi saya di seminar dan workshop. Dan tentunya jauh lebih banyak yang mengenal literasi dari dosen lain atau buku-buku dan artikel yang mereka baca. Saya kan termasuk ‘pemain’ baru. Ada banyak pegiat yang sudah jauh lebih lama dan berpengalaman menggeluti literasi. Saya ‘mah’ tidak ada apa-apanya. Hanya saja timingnya memang tepat saat ini. Pendek kata, kata literasi memang semakin trendy saja. Saat ini, mudah sekali mencari artikel di media massa yang mengulas literasi di masyarakat. Perubahan ini tentunya membahagiakan para pegiat literasi.

Itulah sebabnya saya sempat terhenyak ketika seorang teman baik melontarkan ketidaksetujuannya secara terbuka terhadap sepak terjang saya. Oops. Sebenarnya saya tidak sedang menyepak atau bahkan menerjang siapapun. Saya pun mencoba mencari penjelasan kepada yang bersangkutan. Di manakah kiranya hal tentang literasi yang membuatnya jengah? Di mata saya yang orang sastra, rasanya muskil ada penikmat dan akademisi sastra yang justru menolak masuknya literasi dalam ranah sastra. Dalam waktu sekejap, kami seolah-olah sedang sama-sama pasang badan, membela posisi masing-masing.

Usut punya usut, cara pandang kami ternyata berbeda. Sobat saya menilai saya sedang ‘memaksakan’ literasi sebagai teori sastra baru. Dia tidak bisa menerimanya. Di matanya, disiplin sastra sudah mapan dan tidak seharusnya diutak-atik. Dan saya gantian yang bingung. Wong saya tidak pernah mengatakan bahwa literasi adalah teori sastra baru. Bagi saya, literasi dalam sastra sebuah isu yang menarik dan layak dikupas melalui tokoh-tokoh di dalam cerita atau film. Tak ubahnya dengan isu kecemasan, depresi, bias gender, rasisme, konflik strata sosial dan sebagainya. Bila isu bias gender dan emansipasi perempuan dapat dikupas dengan teori feminisme, maka representasi literasi dalam sastra dapat ditelaah dengan teori New Literacy Studies. It’s as simple as that. Saya memilih teori NLS karena persepsinya tentang literasi sebagai praktik sosial, dan bukan sekedar serangkaian ketrampilan bahasa. Ini teori yang sedang saya dalami dan kembangkan dalam berbagai aktivitas literasi saya.

Setelah disentil sobat saya ini, saya mencoba merenungkan kembali. Di mana kesalahan langkah saya. Saya termasuk orang yang khawatir menyakiti perasaan orang lain. Jangan-jangan ‘kampanye’ literasi saya terlalu berisik dan mengganggu sebagian orang. Jangan-jangan tanpa sadar saya sedang melakukan kekerasan simbolik kepada orang lain. Maka saya mulai mengumpulkan bukti-bukti.

Di dalam catatan saya, ada 5 mahasiswa S1 bimbingan saya yang menulis tentang representasi literasi dalam novel-novel pilihan mereka. Isu yang diangkat bervariasi, mulai tentang literasi dan kekuasaan, literasi sebagai ancaman, literasi dan pemberdayaan perempuan, sampai literasi sebagai terapi penyembuhan diri. Tiga di antara mereka sudah lulus tahun lalu. Di luar itu, saya juga memasukkan tema literasi dalam kelas-kelas yang saya ajar. Mulai tema media literacy dalam mata kuliah Popular Culture Studies, tema reading as family practice di kelas Poetry, dan literacy as self-development di kelas Prose.

Di kelas S2, literasi malah menjadi bahasan utama di mata kuliah baru, Literacy in Education. Dalam kurun waktu 1 semester, kami mengulas berbagai konsep yang terkait dengan literasi dalam berbagai ranah. Di akhir semester, saya memandang setidaknya 30an mahasiswa Pasca memahami berbagai konsep literasi di ranah sekolah, keluarga, dan komunitas. Semester ini, ada sekitar 6 mahasiswa S2 bimbingan saya yang mengangkat literasi di ranah pendidikan. Saya memang sempat menyampaikan bahwa saya hanya mau membimbing tesis yang berbasis sastra. Namun ternyata ada beberapa mahasiswa yang tertarik menulis tentang literasi di ranah pendidikan. Saya akhirnya bersedia membimbing tesis nonsastra, dengan syarat temanya literasi.

Mungkin saya memang terlalu berisik. Saya cukup sering menyampaikan peran literasi yang menyatukan disiplin sastra, linguistik, dan pembelajaran bahasa. Bahwa ketiga disiplin ini berbeda dan punya keunikan masing-masing memang benar. Tapi bahwa ada banyak irisan di antara ketiganya juga harus dicari kemungkinannya. Di depan teman-teman yang bidangnya Sastra, saya mencoba menampilkan tema literasi sebagai isu baru. Dengan teman-teman Linguistik, saya menunjukkan bahwa konsep New Literacy Studies justru tumbuh dan berkembang dari sana. Pendek kata, Linguistik adalah rumahnya. Sementara itu, dengan teman-teman disiplin Pendidikan (bahasa dan nonbahasa), saya cukup banyak mengulas pentingnya penumbuhan minat baca di kelas, berbagai strategi membaca, dan saat ini pentingnya strategi literasi dalam pembelajaran yang dapat dipraktikkan di semua mata pelajaran.

Sebenarnya saya juga tidak ingin asal bicara. Di berbagai forum saya memaparkan pengembangan iklim literasi sekolah dan memodelkan penerapan strategi literasi untuk tahap pembiasaan, pengembangan dan pembelajaran kepada para guru. Ini saya lakukan dalam kapasitas saya sebagai anggota Satgas Gerakan Literasi Sekolah Kemdikbud. Di kelas-kelas yang saya ampu, saya sudah cukup lama menggunakan strategi-strategi literasi. Di dinding kelas banyak poster mahasiswa yang mencerminkan pemanfaatan strategi literasi dalam pembelajaran. Dengan menerapkannya sendiri, saya bisa tahu plus minus dan dinamikanya.

Barangkali saya terlalu bersemangat, sampai tidak sadar bahwa ada pihak-pihak yang mulai terganggu kenyamanannya. Meski saya dapat berdalih bahwa saya ingin mengajak banyak pihak ikut melakukan perubahan, saya kurang awas bahwa tiap orang punya preferensi sendiri dalam melakukan perubahan. Bisa jadi saya pasang persneling agak tinggi karena membandingkan langkah saya dengan para pegiat literasi yang jauh melesat. Saya ingin ikut berlari dan menggandeng orang-orang di sekitar saya, sampai lupa bahwa tiap orang punya jalan berbeda. Saya memang tidak pernah memaksa orang lain mengikuti langkah saya, tapi cara saya bisa saja dimaknai berbeda.

Sekilas saya baca kembali paragraf-paragraf di atas. Mencoba mengonfirmasi dugaan saya, dan menguatkan niat saya untuk sedikit mengubah haluan. Mungkin saya perlu berdiam diri sejenak dan beralih mengamati langkah-langkah orang lain. Menjadi pengamat aktif, layaknya melakukan pengamatan partisipasi dalam metode etnografi.

Dalam renungan ini, saya merasakan hal yang berbeda. Saya menikmati antusiasme seorang teman yang aktif berbagi informasi tentang pencarian referensi yang dia lakukan di dunia maya, dan tentang praktik-praktik literasinya di kelas. Saya bisa menangkap binar matanya, dan tinggal mengiyakan pandangannya. “Sekarang ini mau tidak mau semua orang perlu tahu literasi,” begitu katanya. Saya tahu dia lakukan ini bukan karena saya yang menyuruh, tapi karena dia meyakini bahwa yang dia lakukan di kelas-kelasnya ternyata mendapatkan penguatan. Tidak cuma satu dua orang yang menunjukkan ketertarikannya terhadap literasi dengan cara begini. Ada beberapa yang meminta bantuan saya mengirimkan referensi untuk kajian literasi yang akan mereka garap, membaca draf mereka untuk dikomentari, atau sekedar ngobrol ringan tentang literasi. Dan mereka tahu literasi bukan dari saya. Mungkin mereka menghubungi saya karena mencari orang yang dapat mendukung ide-ide mereka.

Ternyata literasi memang bisa dimaknai berbeda. Sikap teman-teman saya menunjukkan bahwa literasi bisa memberdayakan, namun juga dapat menjadi ancaman. Jadi saya tidak perlu risau karenanya. Saya justru harus berterima kasih karena sudah diberikan bukti penerapan prinsip pendekatan New Literacy Studies. Saya jadi berpikir untuk melakukan kajian lebih mendalam tentang persepsi orang terhadap literasi.

Suami saya memang benar. Saya tidak bisa membahagiakan semua orang. Tapi setidaknya ada saja yang tergugah dan ikut bergabung bersama menyatukan langkah. Di sini saya merasa bahagia.

Kebraon, 15 April  2017





Thursday, August 20, 2015

MENJADI PELANGGAN YANG TELITI

Tadi malam belanja ke toko swalayan 'G' dekat rumah dengan Adzra, anak saya. Seperti biasa, saya mempertimbangkan harga barang. Mana produk yang lebih murah dengan kualitas sebanding, maka itu yang saya pilih. Itulah sebabnya saya cukup ingat berapa harga barang yang masuk ke keranjang belanja. Sampai di kasir, saya menerima printout total harga, yang membuat saya agak kaget. Tidak sesuai perkiraan saya. Setelah saya bayar, saya cek satu-persatu harga yang tertera. Dari situlah saya menemukan perbedaan harga satu item. Di struk tertera Rp. 18000an, sementara saya ingat bahwa saya memilih item itu karena harganya 16000an. Masih berpikir positif, mungkin saya yang salah lihat, saya memberitahukan ke kasir kalau saya mau masuk ke dalam lagi untuk memastikan kebenaran harga.

Betul perkiraan saya, ada kesalahan scan harga saat di kasir. Setelah saya beritahukan tentang perbedaan harga ini, saya kembali ke kasir. Salah satu staf memastikan kembali informasi yang saya sampaikan. Kasir akhirnya mengembalikan sisa uang sekitar 1500.

Bagi saya, ini bukan masalah uang yang mungkin jumlahnya remeh untuk sebagian orang. Ini adalah tentang hak konsumen. Mengalami kejadian ini membuat saya lebih awas dengan setiap harga barang yang saya beli agar tertera sama dengan di display dan kasir. Sebagai konsumen, saya tidak boleh mendiamkan saja, terutama juga agar pihak swalayan juga bisa langsung melakukan koreksi harga di sistem.

Hal yang lain yang saya catat adalah pelayanan yang kurang ramah. Kesalahan seperti ini belum tentu disengaja. Meskipun begitu, sebuah kekeliruan haruslah diikuti dengan permintaan maaf. Bukanlah citra sebuah tempat usaha bergantung pada layanan yang diberikan? Yang terjadi kemarin, kasir dan staf lain tidak melakukan kontak mata dengan saya. Juga tidak ada senyum, alih-alih kata 'maaf.' Sementara saya berupaya menyampaikan 'temuan' saya tadi dengan hati-hati dan santun agar tidak menyinggung perasaan.

Saya menerima kembalian uang dengan kata 'terima-kasih'. Saat berjalan pulang, saya memberitahukan ke Adzra akan pentingnya 'melek' harga barang dan mengecek kesesuaian harga di struk pembayaran. Pengalaman yang kurang enakpun adalah sarana pembelajaran untuk anak.

Pagi ini saya menceritakan kejadian tadi malam ke Abay, asisten rumah tangga kami. Ternyata dia sudah mengalami hal ini berulang kali, dan bahkan sudah pada titik menghindari belanja ke toko 'G' dengan alasan tersebut.

Barangkali saya dengan reverse culture shock. Kaget dengan harga barang di tanah air, tergagap dengan bedanya layanan pelanggan. Ataukah hal seperti ini memang sudah lama adanya. Entahlah. Yang jelas saya lebih menikmati belanja di pasar lokal atau toko 'mracang' dekat rumah. Di situ saya bisa dapat harga yang lebih ramah plus obrolan hangat dengan bu Imam atau mbak Yati di kios langganan saya.

Wednesday, July 15, 2015

Kacang ora Ninggal Lanjaran

Sekitar awal bulan Juni yang lalu, saat Ganta dan Adzra baru saja kembali ke tanah air, tiba-tiba saja saya dikagetkan dengan perubahan minat Ganta untuk pendafaran kuliah. Ganta dan Adzra memang pulang duluan ke Surabaya bersama mbah Kungnya. Saya perlu tinggal beberapa bulan lebih lama untuk merampungkan tesis.

Ganta perlu mempersiapkan diri untuk proses pendaftaran kuliah. Meski dia sudah menyelesaikan SMA nya di Brunswick Secondary College (BSC) akhir tahun 2014 yang lalu. Masa menunggu kepulangan dia gunakan untuk bekerja sampingan. Sedangkan Adzra juga melanjutkan sekolah di jenjang kelas 2 di SD.

Ini sekelumit percakapan kami saat itu.

Ganta: Bu, aku tak ambil Antropologi ya.
Ibu     : Oh ya, bagus itu. Tapi kenapa tiba-tiba berubah?
Ganta: Nggak, aku lihat ini kayaknya jurusan menarik. Tapi kenapa tidak banyak yang minat ya.
            Menurutku ini gabungan ilmu ibu dan ayah. Sastra dan psikologi. Jadi aku bisa dapat
            dua-duanya. Tapi aku gak ikut-ikutan kayak ibu dan ayah.
Ibu    : Sudah lihat struktur kurikulumnya? Biar bisa tahu mata kuliahnya seperti apa.

Jawaban saya yang sedikit terkesan datar-datar saja bukan berarti saya kurang sreg. Justru sebaliknya. Antropologi adalah separuh dunia saya. Saya ingin meyakinkan bahwa Ganta memilih dengan alasan-alasan yang tepat. Saya sendiri cukup paham seluk-beluk kajian dan metode di antropologi, meski bidang saya adalah sastra. Di bidang Cultural Studies yang tengah saya geluti di studi PhD saya sekarang ini, metode saya menggabungkan antara analisis tekstual (yang kental di sastra) dengan etnografi (metode utama di antropologi). Bahkan boleh dikata, penelitian saya tentang praktik literasi buruh migran Hong Kong kental dengan nafas antropologi.

Sambil ngobrol via Skype, saya browse struktur kurikulum Antropologi Unair. Saya tunjukkan beberapa mata kuliah yang beririsan dengan penelitian saya saat ini, misalnya Cyberculture, Gender, Media, Stratifikasi Sosial, Linguistik, Komunikasi, dan tentunya metode etnografi itu sendiri. Mendengar paparan ibunya, pertanyaan Ganta adalah: "Asyik yo. Kenapa ibu gak pernah cerita tentang antropologi?"

Saya bingung juga mengapa tidak pernah menyinggung kata antropologi ya. Selama ini minat Ganta bergerak dari Musik ke Sastra Inggris dan Komunikasi. Bahkan alasan utama Ganta mau diajak tinggal dan sekolah di Melbourne 3.5 tahun yang lalu adalah karena ada pelajaran Musik di BSC. Betul juga, minat anak yang diwadahi dan disalurkan dengan baik akan membuahkan kepercayaan diri yang lebih besar. Di BSC, Ganta merasa amat dihargai oleh guru-gurunya. Bila jaman SMP dulu, Ganta main band dan ikut konser sana-sini karena keinginan sendiri, di BSC prosesnya bermusik menjadi bagian dari dunia sekolahnya. Ada saja moment bagi dia untuk tampil di depan publik di lingkungan sekolah. Salah satu penampilannya saya tulis di sini.

Pas parent-teacher meeting, yakni saat ambil school report, saya ingat betul komentar gurunya, Ms. Susan Kurick. "Ganta is a lovely young man. He just can't get enough. He always asks about things that he doesn't know. He is really into music." Perkembangan akademiknya di mapel Music itulah yang kemudian membuahkan perhargaan saat school graduation untuk siswa year 12 pada bulan Oktober 2014 yang lalu.

Achievement Award dan Hadiah buku dari sekolah


Toh minat bermusik yang sudah terwadahi dengan baik ini tidak membuat dia menyimpan mimpi kuliah di jurusan Musik. Suatu saat di Year 11, tiba-tiba saja dia minta pertimbangan. "Bu, aku tak kuliah sastra Inggris ya. Asyik soalnya bisa analisis puisi." (Dan ternyata diam-diam sudah puluhan lirik lagu dia tulis dalam buku catatannya). Kilatan minat yang baru ini cukup membuat saya terharu juga. Nampaknya hasil pembelajaran di kelas English, di mana siswa dipaparkan pada karya sastra dari berbagai genre membuat dia mulai menyukai bidang sastra. Bagi saya sendiri yang berkecimpung di sastra Inggris, mengetahui anak punya minat yang sama tanpa saya pernah mendorong atau menyuruhnya, sudah memberikan kelegaan tersendiri. Dia memilih karena suka.

Tak lama kemudian, pikirannya mulai menerawang ke jurusan Komunikasi. Kebetulan sejak year 11, Ganta memang mengambil mapel Media. Di kelas ini, Ganta belajar Semiotics, bagaimana membaca tanda-tanda, menganalisis film dengan elemen-elemen tertentu, dan memproduksi film pendek sebagai tugas akhir di Year 12. Sejak Ganta masih di Melbourne, kami menghabiskan banyak waktu mencari info tentang jurusan Komunikasi. Sampai saat anak-anak pulang bersama mbah Kungnya akhir Mei lalu, pilihan sudah ditetapkan antara Komunikasi dan Sastra Inggris.

Maka, ketika sudah tiba masanya Ganta melakukan pendaftaran mahasiswa baru jalur mandiri di Unair, pilihannya yang bergeser ke Antropologi adalah sebuah kejutan yang menyenangkan. Sesuatu yang tak pernah terlintas di benak saya. Meski sejujurnya, pilihan ini serasa membangunkan ingatan ketika saya menaruh Antropologi di pilihan kedua Sipenmaru 30 tahun yang lalu (Wow, betapa waktu membentang tanpa menghapus mimpi terpendam).

Selasa malam, 14 Juli 2015, saya deg-degan menunggu hasil tes yang berlangsung dua hari sebelumnya. Waktu berjarak 3 jam antara Melbourne dan Surabaya menjadi semakin lama karena Ganta mengabarkan bahwa pengumumannya diundur dari jam 7 malam ke 9 malam. Dari lantai 6 room 620, kantor saya di John Medley Building, saya memantau perkembangan di grup whataspp keluarga kami. Sejak Sabtu malam lalu, saya praktis tinggal di kampus. Buka, sahur, ngetik, shalat wajib, tarawih, tadarus, tidur. Saya hanya pulang untuk mandi dan ganti baju, dan balik lagi ke kampus. Dalam doa saya mengharapkan yang terbaik di mata Allah. Saya juga mencoba membesarkan hati Ganta, agar siap dengan hasil apapun. Dengan model pendidikan yang berbeda antara Australia dan Indonesia, mengikuti tes masuk perguruan tinggi dengan format Indonesia adalah kejutan budaya yang lumayan buat Ganta. Bagi kami orang-tuannya, yang penting adalah bahwa anak sudah berupaya yang terbaik. He's done his best. Allah will take care of the rest.

Menjelang pukul 11 malam waktu Melbourne, Ganta kirim pesan lagi di whatsapp. "Bu, telpon."
Saya coba telpon ke HP-nya. Tidak nyambung. Saya coba telpon nomor rumah. Tidak nyambung juga. Telpon ayahnya. Gak diangkat. Saya cek lagi pesan di whatsapp group, dan melihat image ini:

Pengumuman online jalur mandiri Unair

Alhamdulillah ya Allah. Saya coba telpon lagi, dan di sisi sana suara riang Ganta dan Adzra membuat saya sejenak melupakan udara dingin yang menusuk di luar gedung. "makasih ya Adzra, you prayed for mas," begitu ujar Ganta ke adiknya.

Anakku, selamat atas keberhasilan ini. Selamat memulai dunia barumu sebagai mahasiswa. Ilmu-ilmu yang ingin kamu rambah sebelumnya--musik, sastra, media dan komunikasi--akan kamu temukan irisannya di antropologi. Lebih dari itu, dunia antropologi akan membawamu ke berbagai lapisan masyarakat, dengan segala keunikannya.  Kamu akan melihat bahwa keberagaman tidak serta merta harus diartikan menjadi sebuah continuum antara baik-buruk, modern-tradisional, atau maju-terbelakang. Setiap masyarakat memiliki perjalanan unik dalam membentuk manusianya. Tugasmu adalah menjadi sosok yang tidak mudah memberikan penilaian tanpa dasar, namun tetap menjaga niat keberpihakan pada kebenaran.

Ilmu menanti untuk engkau reguk. Bacalah dan tulislah apa-apa yang kamu dapati di sekitarmu. Dan catatan itu tidak hanya sekedar menjadi 'field notes,' namun bisa menjadi hikmah dalam perjalanan hidupmu nanti.

Ayah dan ibu selalu berdoa untukmu. Semoga Allah meridhoi. Amiin. 

Room 620. John Medley Bld
Parkville campus
The University of Melbourne





Wednesday, July 01, 2015

Don't tell me how I miss everything in Surabaya!

Saya sebenarnya sudah nekad mau pulang lebih awal untuk berlebaran dengan keluarga dan menyelesaikan tesis dari rumah saja. Tinggal dikit, dan pingin berhemat. Maklum tidak ada lagi beasiswa buat hidup. Meski tuition masih tetap bebas sampai akhir semester di bulan November nanti. Bahkan aku sudah booking one-way ticket. Maunya sih, begitu supervisor okay, tiket akan langsung aku confirm.

Apa daya, Chris, supervisor membujuk saya (eh..memberi pertimbangan) untuk tetap tinggal saja di Melbourne. "It's only a month, Tiwi." Ayolah, kurang sak crit. Sabar ya, toh akhir Juli kamu pasti akan pulang juga buat conference di Unair. Kami yang akan belikan kamu tiket pulang nanti. Would that help? 

Jadi begitulah hari-hari saya saat ini. Setelah anak-anak pulang for good akhir Mei lalu, saya praktis sendirian mengejar waktu agar segera selesai. Alhamdulillah completion seminar saya lalui dengan amat memuaskan pada awal Juni lalu. Sekarang dalam proses pembenahan dan penyempurnaan tesis. Sejak pagi sampai malam, waktu saya habiskan di kantor, baca dan nulis di depan desktop. Penyeimbang hidup adalah sesekali nongol di rumah teman, cari makan gratis, curhat, ngaji, telpon atau skype dengan keluarga. 

Di bulan puasa ini, saya malah sudah menutup dapur saya. Cuma masak nasi saja, dan beli lauk dan sayur take-away di resto Indonesia. Yang menyenangkan, tiap hari Jumat-Minggu, selalu ada iftar di Surau Kita, masjid komunitas Indonesia. Pada akhir pekan, jamaahnya bisa melebihi 100 orang. Jadilah sejak menjelang Maghrib saya sudah berada di tengah para sahabat. Iftar bareng, shalat Maghrib, Isya, dan Tarawih bareng. Ceramah dari para ustadz keren yang didatangkan langsung dari Indonesia. Urusan sahur bisa diatasi dengan sisa makanan iftar yang sudah dipack dan dijual murah untuk infaq. 

Seberapa besarpun rasa kangen saya pada keluarga dan tanah air, saya harus bersabar untuk mendapatkan hasil yang selama ini diperjuangkan. Syukurlah, Ganta dan ayahnya justru menginginkan saya tetap focus ke tesis dan tidak mengkhawatirkan hal-hal yang remeh di rumah. Kalau Adzra sih, namanya juga anak kecil, selalu bilang 'I miss you, mommy.' Untungnya juga bila diajak ngobrol, apakah ingin ibunya segera pulang atau selesaikan tesis dulu, dia selalu jawab, 'I want you to finish your thesis, mommy.'


Bismillah, semoga Allah memberi kemudahan urusan dan kekuatan pada pada kita semua. Aamiin.

Saturday, February 14, 2015

Belum Sadar Hilang, Sudah Ditemukan

Saya lagi asyik di depan desktop ketika HP saya berbunyi. Ada telpon dari mbak Dharma. "Assalamu'alaikum bude, di rumah nggak?"


Saya jawab salamnya, sembari bilang bahwa saya di rumah sejak tadi pagi. "Kenapa itu suaranya kok gitu," tanya saya. Mbak Dharma seperti habis menangis. "Budeee, mobilku ilaaaang."
Mak deg hati saya. "Astaghfirullah. Wis bentar, aku ke sana ya." 

Ingatan saya melayang ke pagi tadi. Jam 8 pagi saya sudah lewat Warr Park, membeli croissant untuk bekal makan siang Adzra di sekolah. Seperti biasa, saya selalu menengok ke building 45. Siapa tahu kelihatan wajah mbak Dharma dari jendela dapur. Pagi itu, saya lihat garasinya sudah kosong. Eh, kemana pagi-pagi sudah keluar rumah.

Balik dari Pamukkale Bakery, saya ketemu dengan Faqih, putra mbak Dharma yang sulung, yang mau berangkat sekolah.
"Where's your mom? I didn't see the car." 

Saya jadi merasa bersalah, mengapa tadi pagi saya tidak menelpon, sekedar tanya kabar. Sekembalinya dari mengantar Adzra ke sekolah, saya praktis tenggelam di meja kerja. Kalau saja saya telpon tadi pagi...

Sesampai di rumah mbak Dharma, saya sarankan untuk segera telpon 000 untuk melaporkan kehilangan. Mbak Dharma mohon polisi untuk datang ke rumah. Tapi tak sampai 1 menit setelah menutup telpon, akhirnya mbak Dharma memutuskan untuk langsung ke Police Station. Kebetulan saya tahu kantor polisi terdekat di dekat stop 25 di Sydney Road. 

Di sela-sela waktu melapor itulah mulai jelas kronologi mobil hilang. Ketika Faqih pulang sekolah dan mendapati garasi kosong, dia telpon mamanya. Mamanya bilang kalau di rumah sejak pagi.
"But the car is not in the garage, Mommy."
Mbak Dharma sempat memarahi Faqih karena dianggap guyon kelewatan. Tapi setelah dicek turun ke bawah, ternyata memang benar.

Ella, tetangga sebelah mbak Dharma, merasa heran mengapa garasi sudah kosong sekitar jam 9 pagi, saat dia berangkat kerja. Kebetulan ada tukang yang sedang mengerjakan garasi Ella. Menurut si tukang, sejak dia mulai kerja pagi itu, garasi memang sudah kosong. 

Saat lapor ke polisi, diberitahukan bahwa bila ketemu, pelapor akan segera dihubungi pihak kepolisian. Mbak Dharma juga memutuskan menanda-tangani consent kepada polisi untuk towing, alias menderek mobil. Artinya, bila mobil ditemukan, di lokasi manapun, mobil akan diderek, dan si pemilik mobil sanggup menanggung biayanya. Tanpa consent, mobil harus diambil sendiri ke lokasi. Bayangkan kalau mobil ditemukan di luar kota di pinggir hutan.

Dalam kasus kehilangan seperti ini, tidak banyak yang bisa dilakukan pelapor kecuali menunggu perkembangan. Dalam masa penantian plus upaya mbak Dharma untuk ikhlas, berkembanglah berbagai asumsi. Ibu-ibu di grup Paisyah mengirimkan rasa empati beserta doa agar bisa ditemukan bila memang masih rejekinya. Ternyata banyak juga cerita kehilangan mobil dan motor yang dishare teman-teman. Yang menenangkan dari info-info itu, kendaraan yang hilang ternyata bisa ditemukan kembali, meski dalam jangka waktu antara 1-3 bulan lebih. 

---

Tanpa mobil, mbak Dharma menyiapkan diri dengan rutinitas lama. Naik public transport ke mana-mana. Maka sore hari berikutnya, saat dalam perjalanan pulang dari kampus, mbak Dharma menelpon saya. Memberitahukan bahwa Faqih dan Fakhry diminta menunggu di rumah saya sepulang sekolah. Si 2F, begitu saya menyebut mereka, memang sudah menganggap rumah saya seperti rumah sendiri. Kebetulan juga sore itu, Galuh, putri mbak Hani, juga sedang menikmati after-school playdate dengan Adzra. Jadinya rumah cukup ramai dengan suara 4 anak. Si 2F main PS, dan gadis-gadis kecil sudah sibuk bermain dengan boneka-boneka kecil.

Mbak Dharma masih di tram. Beberapa kali mbak Dharma telpon saat saya masih di dapur. 
Kring pertama: "bude, aku sudah di rumah. Anak-anak suruh pulang aja ya."

Saya lihat 2F menggeleng. PS 3 terlalu sayang untuk ditinggalkan nampaknya. "Please," pinta mereka.

Kring kedua: "bude, anak-anak belum shalat Ashar." Saya bilang bahwa anak-anak sudah shalat dan sedang makan mie ayam.

Kring ketiga: "budeee, mobilku ditemukan. Di Brunswick West. Aku disuruh ke sana."

Suara mbak Dharma terdengar bercampur perasaan antara lega dan tidak percaya. Maka saya putuskan untuk ke rumah mbak Dharma, menunggui Faisal yang masih tidur, sambil mengajak Adzra dan Galuh. Sementara Faqih dan Fakhry masih ingin di rumah saya. Kebetulan ada Ganta, anak sulung saya, yang baru pulang kerja dari Vicmart.


Bergegas mbak Dharma mencatat alamat dan nomor HP yang diberikan polisi, dan kemudian berangkat ke TKP, dengan diantar mas Bayu dan mbak Dewi. Sebagai warga Brunswick West, pasutri asal Solo ini pastinya cukup mengenal medan.

Di antara waktu menunggu mbak Dharma mengurusi pengambilan mobil itulah cerita seru bagaikan CSI seakan digelar. Gambaran cerita detektif seperti di TV dimulai dengan postingan yang dikirim mbak Dewi ke whatsapp group ibu-ibu PAisyah.
"Saya di dalam mobil, mbak Dharma dan mas Bayu sedang di-interview."


Tim forensik di TKP (courtesy: mbak Dewi)
                                                           
Hampir 3 jam berlalu sejak mereka berangkat ke TKP. Faqih dan Fakhry sudah balik ke rumah. Galuh sudah dijemput mamanya. Tinggallah saya, Adzra, Faqih, Fakhry, dan Faisal. Si bayi 9 bulan yang lucu ini manis banget, tanpa ada kerewelan sedikitpun selama ditinggal mamanya.

Dan akhirnya semua cerita tumpah saat mbak Dharma pulang. Mbak Dharma, mas Bayu, dan mbak Dewi merekam berbagai episode dari kacamata masing-masing. 

---

Siapa mengira bahwa mobil Nissan Pulsar warna maroon berplat nomor PH**** itu sebenarnya sudah dilaporkan berada di garasi orang di seputaran Eggington Street, pada pukul 9 Rabu malam. Dan mbak Dharma baru sadar kehilangan mobil hilang 20 jam kemudian. Pihak polisi bahkan sudah mengecek ke alamat pemilik mobil. Eh, usut punya usut, alamat mobil masih di alamat lama mbak Dharma di Donald Street. Sementara mbak Dharma sudah pindah ke area De Carle Street, bertetangga dengan saya. Tentu saja pemilik baru di Donald Street tidak merasa kehilangan mobil. 

Jangan meremehkan hubungan baik dengan tetangga. Kenal baik dengan tetangga nampaknya jadi modal besar untuk menguak kriminalitas. Ini terbukti dari kisah bagaimana mobil itu dilaporkan ditemukan. Alkisah, si pemilik garasi d Paddington Street keluar rumah sekitar pukul 6 sore ke High Point, dan memberitahu tetangga sebelahnya. Tak lama kemudian, terdengar ribut-ribut di bawah, di garasi orang yang baru pergi tadi. Maka turunlah si tetangga. Di situ ada orang sedang parkir mobil. Ditanya siapa, jawabannya mencurigakan. Si pembawa mobil mengaku teman pemilik garasi. Ketika diberitahu bahwa si tetangga kenal baik dengan si pemilik garasi, dan mengancam akan menelpon polisi, tak disangka, si pembawa mobil bergegas mengambil backpacknya di dalam mobilLari lintang pukang. Ketika sii pemilik garasi pulang dan mendapati sebuah mobil bertengger di garasinya, laporlah dia ke polisi. Ada mobil curian di garasinya.

Mungkinkah seseorang mencuri mobil untuk niat senang-senang dan kemudian meninggalkan mobil tersebut? Tukang yang mengerjakan garasi tetangga mbak Dharma membuka kemungkinan itu. "Maybe somebody took the car for a joyride and will leave it somewhere."

Asumsi ini bisa jadi ada benarnya. Barang bukti di dalam mobil bisa menguak berbagai kemungkinan. Memang, saat di TKP, tim forensik mengecek isi mobil, mengambil foto dan sidik jari. Dari ujung depan sampai belakang. Dengan kamera dan peralatan yang OK banget. Barang bukti dimasukkan satu-persatu ke paper bag terpisah, dicatat waktunya jam berapa setiap barang bukti masuk ke tiap kantong. Amat profesional. Kayak nonton film detektif beneran pokoknya. 


Mobil di TKP  (courtesy: mbak Dharma)
Tim forensik memeriksa bagian dalam mobil dan mengambil sidik jari (courtesy: mbak Dharma)
                                                 
Tim forensik mengambil barang-barang bukti (courtesy: mbak Dharma)
             
Kalimat pertama yang diucapkan mbak Dharma saat masuk rumah adalah, 
"the good news is...mobilku jadi rapi." Lho kok bisa?

Ternyata kepribadian pencuri bisa dilihat dari caranya memperlakukan mobil mbak Dharma. Ini kutipan langsung dari kalimat mbak Dharma, yang nampak terkesan dengan kerapian si pencuri.

     Mobilku jadi rapi banget dalamnya. Mainan baby terkumpul rapi, kertas-kertas yang berserakan
     masuk rapi ke dashboard. Sandal yang terpisah disandingkan dengan pasangannya. Payung yang
     terbuka dan nyempil di tengah, ditutup rapat dan dirapikan, masuk ke bagasi. Botol air mineral di
     jok dinaikkan ke atas dashboard. Tissue dirapikan. 

Ini pencuri niat banget mencuri mobilnya, mencari garasi kosong untuk memarkir mobil, dan merapikannya. Suara dia yang berisik saat merapikan itulah yang mengundang kecurigaan pemilik rumah di atas garasi.

Apa sebenarnya motifnya? Di dalam mobil yang menjadi rapi itu, ternyata tim forensik menemukan barang-barang 'aneh' yang mbak Dewi sebenarnya tidak tega menyebutnya. Di antaranya ada pheromone spray dan 'alat-alat aneh' yang hanya bisa dibeli di toko XXX. Hasil browsing Mas Bayu di internet menunjukkan bahwa spray itu untuk menarik perempuan, dan membuatnya terangsang secara seksual.

"Papa kok tahu kalau itu untuk tujuan begituan," tanya mbak Dewi.
"Lha aku pernah dengar dan baca sebelumnya," tukas mas Bayu.

Spray ini boleh dikata seperti pelet. Membuat perempuan yang membauinya akan terkiwir-kiwir.

Ada alat pancing, gambar alat kelamin, spray untuk pelet, mobil rapi jali, menjelang Valentine's day. Nah, bila Anda jadi detektif, kira-kira apa bagaimana Anda menguak niat si pencuri? Plot cerita yang ditawarkan mas Bayu amat mengesankan bagi saya. Ini dia plot  yang disusun mas Bayu, yang nampaknya punya bakat jadi penulis skenario:

     Si pencuri mau mengajak perempuan berpiknik sambil mancing, untuk merayakan Valentine's    
     day. Dengan daya pelet Pheromone spray yang tidak bisa terdeteksi baunya, namun langsung
     mempengaruhi alam bawah sadar perempuan, harapan si pencuri untuk mencari kepuasan akan
     tercapai. Bila si perempuan orang yang baru dikenal, mungkin kemudian dia akan lapor telah
     diperkosa, dan memberikan detil si pelaku beserta mobilnya. Padahal mobil nantinya akan
     ditinggal begitu saja di suatu tempat.


Tahu efek Pheromone yang 'mengerikan' ini, mbak Dharma takut juga. Kuatir kena pengaruh. Siapa tahu spray sempat disemprotkan di dalam mobil. "Nggak ada lawan nih, bahaya." Sambil ketawa. Maklum, mas Arif, suami mbak Dharma memang berada di Indonesia. Balada LDR, seperti saya juga. Dalam hati, saya lega melihat mbak Dharma kembali lepas dan ceria. Bagaikan sebuah cerita, klimaksnya sudah lewat, dan sekarang adalah resolusinya. Mendekati ending cerita. 

Alhamdulillah. Satu hari yang cukup mengharu-biru bagi kami semua, komunitas PAisyah, yang sudah seperti saudara. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari kekuatan persaudaraan yang senantiasa memberikan doa dan support untuk satu sama lain. Saya menyitir kalimat mbak Dewi yang mengutip pernyataan polisi. "Bila orang lain lapor kehilangan mobil dan masih banyak yang belum ditemukan, mbak Dharma beruntung karena justru polisi mencari alamat pemilik mobil, yang sebenarnya tidak sadar bahwa mobilnya hilang."

Hikmahnya, mbak Dharma langsung mengurus penggantian alamat di VicRoads tadi siang. Begitu alamat sudah terupdate otomatis, maka pihak kepolisian langsung bergerak. Tanpa alamat yang benar, polisi tidak akan mengambil tindakan, karena menjaga kemungkinan adanya penipuan dengan alamat palsu. Ini pelajaran pertama.


Pelajaran kedua: perlu disyukuri bahwa mobil tidak hanya ditemukan dalam waktu cepat, namun juga tidak jadi digunakan untuk maksiat. Insya Allah ini mobil yang dipakai untuk jihad seorang ibu dengan 3 anak, di tengah-tengah tantangan studi S3, sementara suami jauh di Makassar sana. Doa semua keluarga dan sahabat dikabulkan oleh Allah.


Pelajaran kedua: profesionalisme tim kepolisian patut diacungi jempol. Barangkali ini kasus pencurian mobil yang tercepat ditangani tidak lebih dari 48 jam, sejak mobil pertama kali dilaporkan (oleh si pemilik garasi yang dinunuti mobil curian), sampai kembali ke tangan pemilik sah. Bisa jadi kasus ini memecahkan Guinness World Record, bila ada kategori kasus pencurian tercepat ditangani.

Saat tulisan ini dibuat, saya membayangkan mbak Dharma mungkin sudah tidur dengan lebih nyenyak, sambil memeluk si kecil Faisal. Belum Sadar Hilang, Sudah Ditemukan.*



Brunswick, 14 Februari 2015

01:00 am

----


*Terima kasih kepada pemilik mobil yang sah, atas sumbangan judulnya.

* Terima kasih kepada mbak Dharma, mbak Dewi dan mas Bayu, atas cerita seru yang sudah saya kutip di atas.