Showing posts with label Kritik Sastra. Show all posts
Showing posts with label Kritik Sastra. Show all posts

Monday, April 24, 2017

ISLAM DAN BARAT: OPOSISI BINER?

Hari ini umat Islam merayakan Isra' Mi'raj. Hari besar ini seringkali kita maknai sebagai sarana mengingatkan umat Muslim tentang sejarah turunnya perintah shalat lima waktu. Dalam perjalanannya naik ke surga, Rasulullah SAW bertemu dengan para Nabi. Allah juga memerintahkan umat Nabi Muhammad SAW untuk shalat 50 kali sehari, namun saat Rasulullah bertemu dengan Nabi Musa AS, beliau menyuruh Rasulullah untuk kembali ke Allah dan memohon untuk diturunkan jumlah shalat dalam sehari. Rasulullah kembali dari Nabi Musa AS ke Allah SWT sampai 3 kali, sampai kemudian jumlah shalat wajib diturunkan menjadi 5 kali, yang akan dihitung pahalanya 10 kali lipat oleh  Allah SWT. 

Namun bukan hikmah di atas yang akan saya bahas dalam tulisan berikut. Saya akan mengulas bagaimana kisah Isra' Mi'raj menjadi salah satu bukti bagaimana budaya Timur dan Barat di jaman Abad Pertengahan berkelindan secara dinamis dan saling memengaruhi. Tulisan ini saya sarikan secara singkat dari tesis MA saya berjudul The Representation of Islam in Medieval Literature (2004). Versi singkat dalam bahasa Indonesianya pernah saya sajikan dalam Pidato Ilmiah Lustrum ke-8 Unesa pada akhir tahun 2004 (baca lengkapnya di sini).  

Apabila ditelusuri sejarah peradaban Islam, akan diketahui betapa besar pengaruh Islam terhadap dunia Barat, dan begitu juga sebaliknya. Tercatat tiga tempat yang menjadi jembatan hubungan ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, dan agama antara Timur dan Barat, yakni Syria (Suriah), Spanyol, dan Sicilia. Spanyol Andalusia dan Syria merupakan tempat berinteraksinya peradaban Barat dan Islam, sedangkan Sicilia sempat menjadi kota Muslim di jaman kekhalifahan Fatimah sekitar tahun 948, dengan sedikitnya 3000 mesjid berdiri di kota ini (Hitti, 1962: 71).

Peradaban Barat seringkali menjadi panutan dan tolok ukur dalam menilai berbagai aspek dalam kehidupan manusia, termasuk dalam dunia sastra. Namun tak banyak yang menyadari bahwa sebenarnya peradaban Islam memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sastra Barat. Salah satunya adalah pengaruh kisah Isra' Mi'raj terhadap The Divine Comedy karya Dante.  Dante (1256-1321) adalah seorang penyair Italia dari abad ke-13. Dalam karyanya yang menjadi tonggak sastra Barat kanon (sastra yang sudah mapan dan menjadi tolok ukur kualitas sebuah tulisan), yakni The Divine Comedy (terdiri dari Inferno, Purgatorio, dan Paradiso), Dante mengisahkan tentang perjalanan imajiner dirinya melewati neraka, alam barzakh (purgatory), dan surga. Dengan ditemani oleh Virgil, penyair jaman Romawi, sebagai pembimbingnya, Dante bertemu dengan berbagai tokoh terkenal di dunia pada masa-masa sebelumnya. Di Inferno (Canto XXVIII.28-36), di neraka lapis bawah, Dante bertemu dengan Muhammad yang digambarkan sedang meratapi penderitaan karena siksaan yang diterimanya.



Muhammad dan Ali ditempatkan bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain yang menurut Dante memikul dosa sebagai pemecah belah masyarakat. Gambaran siksaan kepada Muhammad bisa dikatakan amat kejam dan mengerikan. Dengan tubuh yang terbelah menjadi dua, lalu utuh kembali, dan terbelah lagi, dan seterusnya,  Muhammad dianggap pantas menerima hukuman atas dosanya menjadi pemecah belah dunia menjadi dengan mendirikan agama baru. Kemungkinan besar Dante juga mengetahui sejarah Islam tentang pecahnya umat Islam menjadi Sunni dan Syiah, karena dia juga menempatkan Ali di lingkar yang sama. Dengan menghukum dua figur Islam yang paling berpengaruh di neraka lapis bawah, Dante telah menunjukkan kebenciannya terhadap Islam.

Namun sebenarnya Dante sedikit banyak menunjukkan simpatinya kepada Islam, khususnya dalam bidang filsafat dan kenegaraan. Di karya yang sama, Inferno, Dante menyebut tiga tokoh yang berpengaruh dari dunia Islam. Ketiga tokoh Muslim ini adalah Avicenna (Ibn Sina), filsuf dan ilmuwan dari Baghdad di abad ke-9 yang karya-karyanya menjadi acuan ilmu kedokteran di Timur dan Barat selama berabad-abad lamanya (Fakhry, 1999:275), Averroes (Ibn Rushd), filsuf Andalusia/Spanyol Muslim di abad ke-11 yang lebih dikenal di Barat sebagai komentator Aristoteles, dan Sultan Saladin dari Mesir yang berhasil merebut Jerusalem dari tangan penguasa Kristen. Ketiga tokoh ini ditempatkan di Limbo, tempat orang-orang baik dikumpulkan tetapi tidak ditempatkan di surga karena mereka tidak dibaptis. Dengan menempatkan ketiga tokoh ini di Limbo, berarti Dante membuka kesempatan bagi mereka untuk memperoleh keselamatan (salvation).

Bagaimana kita sebagai masyarakat yang literat menyikapi karya sastra kanon seperti ini? The Divine Comedy bisa saja dianggap sebagai karya kanon dalam artian bahwa karya ini digunakan di pendidikan Barat dalam pembelajaran Sastra. Meskipun begitu, karya yang sama bisa saja dianggap bukan kanon dalam hal sentimen agama yang disampaikan. Pandangan agama Dante cenderung menguatkan hegemoni budaya Barat, dan sah-sah saja dijadikan bahan kritik Kajian Budaya atau Poskolonial karena mengamini oposisi biner Islam/Barat.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa sepak terjang Dante juga menunjukkan sikap yang ambivalen--benci dan simpati--terhadap Islam. Dante memberi penghargaan tinggi kepada dua filsuf Muslim (Avicenna dan Averroes) yang juga adalah pakar ilmu Al-Qur’an. Dante juga menaruh hormat tinggi kepada Sultan Saladin, seorang negarawan yang menjadi simbol jihad melawan penguasa agama yang dianut Dante. Bukankah lebih masuk akal bila Dante memasukkan Saladin ke neraka? Bila kita telusuri sejarah perkembangan Islam pada masa itu, Saladin ternyata banyak disebut sebagai tauladan seorang ksatria dan negarawan sejati, yang memperlakukan musuhnya dengan cara-cara yang baik dan manusiawi. Ini sangat jauh berbeda dengan perlakuan para tentara Kristen yang secara membabi buta membunuh orang-orang tidak berdosa, terutama di Perang Salib ke-1 (Munro, 1931;338).

Banyak sumber yang menyatakan bahwa Avicenna dan Averroes berupaya untuk menghadirkan harmoni antara filsafat Aristoteles dengan hikmah dalam Qur'an. Misalnya saja, Averroes berpandangan bahwa ayat-ayat di dalam Qur'an, bila ditafsirkan dengan tepat dan menggunakan akal, maka dapat digandengkan dengan filsafat. Filsafat agama seperti ini besar pengaruhnya terhadap munculnya Christian Scholasticism (Chejne 1974). Averroes banyak memberikan pengaruh kepada perkembangan pemikiran di Barat pada abad ke-13. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sehingga filsafat Aristoteles lebih mudah dipahami di dunia Barat. Dante sendiri bahkan dituduh sebagai pengikut Averroes dan dikucilkan dari kota kelahirannya, dan karya-karyanya dibakar oleh penguasa (Cantor: 1996:138). Pandangan ini bisa menjadi penjelasan mengapa Dante menolak Islam sebagai sebuah keyakinan beragama (sebagaimana tercermin dalam gambarannya tentang Nabi Muhammad SAW dan Sayyidina Ali), namun mengagumi Islam sebagai sebuah filsafat.
  

Pengaruh Islam yang lebih mengejutkan lagi, terutama bagi dunia Barat adalah kritik terhadap keaslian The Divine Comedy. Karya besar yang menjadi bacaan “wajib” bagi mereka yang menekuni Sastra Barat di dunia Barat, ternyata banyak sekali kesamaannya dengan kisah perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Adalah Miguel Asin Palacios, seorang pastur dari Spanyol, yang telah menghabiskan sekitar dua puluh lima tahun untuk menelusuri sumber-sumber yang memberikan inspirasi bagi Dante. Palacios menyatakan bahwa Dante mengambil kisah Isra’ Mi’raj dan berbagai tulisan dari dunia Islam. Dalam bukunya yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Islam and The Divine Comedy (1919), Palacios memberikan begitu banyak detil kesamaan dalam membandingkan keduanya, sehingga hampir mustahil kesamaan-kesamaan itu hanyalah kebetulan saja.





Penelitian Palacios patut diakui kebenarannya. Apabila kita betul-betul menelusuri episode-episode dalam The Divine Comedy yang menggambarkan neraka, alam barzakh, dan surga. Kita bisa menemukan begitu banyak kemiripan dengan gambaran neraka dan siksaan-siksaan terhadap berbagai macam dosa di setiap lapis neraka, maka sebagaimana tertulis di Al-Qur’an dan Hadith. Ambil saja sedikit contoh: Baik kisah Isra’ Mi’raj (Sahih Bukhari, Kitab 23, no. 468) maupun The Inferno (Canto XII.46-8) menggambarkan siksaan yang sama kepada orang yang meribakan uang. Mereka ditenggelamkan ke dalam sungai darah, dan dilempari batu yang kemudian mereka telan. 

Kemiripan yang patut disebut juga adalah bentuk siksaan yang terus menerus, misalnya kondisi fisik yang pulih dan utuh kembali untuk kemudian disiksa lagi. Dante memberikan gambaran di hampir seluruh bagian di Inferno. Sementara itu, umat Muslim sudah akrab dengan gambaran seperti ini, sebagaimana yang tersebut di Al-Qur’an  (QS An-Nisa: 56: Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana).

Mungkinkah seorang Dante membaca Al-Qur’an dan/atau hadist secara langsung sebagai sumber inspirasinya? Isu tentang keaslian The Divine Comedy ini cukup kontroversial. Untuk memberi jawaban yang singkat, penjelasan yang sementara ini dianggap paling memungkinkan adalah bahwa Dante terinspirasi oleh karya seorang Sufi dari Andalusia pada abad ke-13, Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Karyanya, Futuhat Al Makkiyah, adalah kisah perjalanan mistis Ibn ‘Arabi, yang ditulis dengan menggunakan kisah Isra’ Mir’aj sebagai dasar (Morris, 1987). Ada pula banyak bukti bahwa pada masa hidup Dante, kisah Isra’ Mi’raj dalam versi bahasa Latin cukup dikenal. Mentor Dante, Brunetto Latini, pernah bekerja untuk Raja Alfonso X di Toledo, Spanyol. Alfonso X memerintahkan penterjemahan banyak karya bahasa Arab ke bahasa Latin, dan salah satunya adalah kisah Isra’ Mi’raj. Kita bisa berspekulasi bahwa Dante juga mendapatkan sumber-sumber ini dari gurunya (Asin Palacios, 1926:248-9; Chejne, 1974: 405).

Melalui tulisan ini, saya berharap agar kita semua umat manusia untuk belajar menerima perbedaan tanpa harus kehilangan keyakinan beragama kita masing-masing. Kita semua sadar bahwa ketidaktahuan masyarakat awam non-Muslim tentang Islam adalah akar dari Islamophobia. Sama halnya umat Muslim yang awam tentang keyakinan lain bisa menjadi ladang subur tumbuhnya kebencian. Kita bertetangga dengan berbagai pemeluk agama, namun tahukah kita, atau pernahkah kita saling bertanya dengan tulus tentang makna peringatan hari raya agama lain? Kita diharapkan untuk menunjukkan toleransi terhadap agama lain, namun apalah artinya toleransi bila tidak disertai dengan keterbukaan terhadap adanya perbedaan?   Di jaman yang bersifat multikulturalis ini, perbedaan bukanlah sesuatu yang perlu disembunyikan demi sebuah keseragaman, karena pada dasarnya perbedaan membuat kita semakin kaya, tanpa harus kehilangan identitas agama dan budaya masing-masing.

Sudah banyak yang dilakukan untuk menjembatani kesenjangan antara Islam dan Barat, namun jalan yang harus ditempuh masihlah sangat panjang. Benturan peradaban masih campur aduk dengan konflik agama. Barangkali tak perlu diperdebatkan mana yang ayam, mana yang telur. Kita benar-benar membutuhkan upaya yang keras dan terus menerus untuk membuka mata dunia bahwa batas-batas dan dikotomi Timur/Barat, Superior/Subordinat, dan Modern/Tradisional sebenarnya hanyalah garis maya.

Satu-satunya cara untuk membangun kesepahaman adalah dengan mengupayakan keterbukaan terhadap satu sama lain dan kesungguhan untuk menghargai tradisi masing-masing. Bukankah Allah telah menciptakan dunia ini penuh dengan perbedaan agar manusia bisa mengenal satu sama lain. Allah berfirman:
Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Hujuraat: 13).


Daftar Rujukan

Alighieri, D. The Inferno. Trans. Allen Mandelbaum. New York: Bantam, 1980.
Cantor, P.A. 1996. “The Uncanonical Dante: The Divine Comedy and Islamic Philosophy.”  
       Philosophy and Literature 20: 138-53.
Chejne, A.G. 1974. Muslim Spain: Its History and Culture. Minneapolis: The U of
       Minnesota P.
Fakhry, M. 1999. “Philosophy and Theology from the eighth century C.E to the 
       present.” The Oxford History  of Islam. Ed. John L. Esposito. New York: Oxford UP. 
       269-304.
Munro, D. C. 1931. “The Western Attitude toward Islam during the Period of the Crusades.” 
       Speculum 6 (1931):329-243.
Hitti, P. K. 1962. Islam and the West: a Historical Cultural Survey. Princeton: Nostrand.
Morris, J.. 1987. “The Spiritual Ascension: Ibn ‘Arabi and the Mi’raj Part I.” Journal of the 
       American Oriental Society 107: 629-52.
Palacios, M.A. 1926. Islam and the Divine Comedy. New York: E.P. Dutton.


Monday, November 18, 2013

Identitas Poetika seorang Sirikit Syah: Resepsi Puisi 'Separuh Hidupku'

Mbak Sirikit mengirimkan puisinya berjudul Separuh Hidupku. Untuk menandai hari ulang tahun perkawinan ke-27 dengan pak Anam. Puisi ini sukses mengharu-biru perasaan para miliser Ganesa. Mungkin saking melankolisnya, mas Habe meragukan puisi ini sebagai tulisan mbak SS. Di mata Habe, identitas seorang SS hilang di puisi ini. Tergerak untuk memberikan komentar secara sastrawi, saya menurunkan sepotong kritik sastra terhadap beberapa puisi SS, untuk mencari poetic identity sang penyair. Berikut puisi utama yang menjadi bahasan:



Separuh Hidupku
Catatan cinta untuk suami pada ultah perkawinan  ke-27

Bapak,
Telah separuh hidupku
kujalani bersamamu.
Dan hari ini, di hari ulang tahun perkawinan kita ke-27, aku berkata:
sepanjang waktu itu,
tak pernah aku berhenti mencintaimu.
 
Ya, tentu saja ada masa-masa
dimana aku seperti tergoda
pesona para pria yang mengitariku
atau kuingin bernostalgia
dengan lelaki yang datang dari masa lalu.
Tapi percayalah,
itu cuma kelebatan-kelebatan
fragmen-fragmen
dalam romansa hidupku yang cukup panjang
Tak ada lakon tanpa figuran, bukan pak?
dann kita sama-sama tahu, siapa lakon sebenarnya.
 
Orang-orang itu mungkin lebih tampan atau lebih pintar
Lebih kaya dan lebih terkenal
Namun aku selalu berpikir:
Apakah mereka memiliki harum seperti bau badanmu
atau pijatan tangan senikmat pijatanmu
dan kesabaran dalam mendampingiku?
 
Pada akhirnya timbanganku menyimpulkan:
Tak akan ada lelaki yang memiliki cinta
sebesar cintamu padaku.
 
Bapak,
Cintamu yang besar membuahkan cintaku
Bagaimana tidak aku mencintaimu?
Kau mengupas kepiting dan menyuapkan dagingnya ke mulutku
Kau gendong aku di punggungmu ketika melewati banjir
Kau pergi jam dua pagi membetulkan USB yang akan kupakai mengajar esok hari
Kau tipe suami, yang akan membunuh harimau untuk melindungiku.
 
Bapak,
Mungkin memang sulit, tapi kuharap kau memaafkanku
atas kerapuhanku yang kerap membuatmu terluka
juga atas tahun-tahun yang sepi
saat kau kutinggalkan sendiri
 
Rasanya kamu harus dapat piala juara
karena bertahan dalam setia.
 
Bapak,
Tak kupungkiri
akupun mengalami masa-masa sulit denganmu
Ketika engkau ter-PHK dan tak memiliki kerja
Itu moment paling rentan dalam perkawinan kita
Aku bagai memegang gelas kristal yang rapuh
Yang bila salah menyentuh,
akan tergelincir, pecah, dan menimbulkan luka.
Ketahuilah pak,
Itu sungguh tidak mudah
Beberapa kali aku mencoba berlari
tapi aku selalu ingin kembali.
 
Dua puluh tujuh tahun sejak kau lamar aku di Bengkel Muda
Kujalani hidup bersamamu
Aku bisa saja menerima lamaran seorang angkatan laut waktu itu
(maka sekarang aku akan jadi anggota Yalasenastri!)
atau ikut orang Inggris itu
(dan sekarang mungkin aku sedang membeku diterpa salju!)
atau pemuda yang kemudian jadi politikus ternama
(mungkin aku tersangkut kasus korupsi!)
Sungguh beruntung, di masa aku sudah sangat ingin menikah itu
Tuhan menuntunku ke arahmu
Kau yang mencintaiku apa adanya
tak hendak mengubahku,
membiarkanku menjadi diri sendiri.
 
Masih jelas dalam ingatanku
Kau apel dengan bemo yang baru pulang ngelen
Keluarga besarku mengejekmu
Tapi aku tertawa-tawa melihat kenekatanmu
(dasar arek suroboyo, gak eroh wedi)
Mungkin justru itulah moment aku memilihmu.
 
Dalam perjalanan karirku,
kau adalah angin untuk kepak sayapku,
arus gelombang yang mendorong laju perahuku,
hingga ku dapat terbang tinggi dan berlayar jauh
ke tempatku berdiri sekarang.
 
Kau tak pernah berada di depan,
namun kaulah yang menjadikan.
Dan kau sungguh amat mengagumkan
tak pernah merasa terintimidasi
oleh kesuksesan seorang istri.
 
Maafkan aku atas ratusan, bahkan ribuan
pertengkaran kita yang diwarnai air mata.
Namun mari kita syukuri saja, pak
berapa banyak pasangan seusia kita
yang masih bergenggaman tangan
di setiap malam menjelang tidurnya.
Ya, selalu kucari-cari dan kurengkuh jemari tanganmu
dan kau menyediakan seluruh lenganmu
sebagai sandaran peraduanku.
 
Terimakasih atas segala yang kau curahkan
atas setiap hal kecil yang kau lakukan,
dan atas dua buah hati yang kau hadirkan,
yang membuatku menjadi ibu yang bangga,
juga atas rumah yang teduh,
yang kau bangun dengan tanganmu sendiri.
 
Apa sesungguhnya yang telah kuberikan kepadamu
hingga aku memperoleh sebanyak ini?
 
Usiaku kini 53
Separuhnya telah kujalani bersamamu
dalam perkawinan yang dipenuhi riak gelombang
Angin sepoi dan badai topan
Putus asa dan harapan
Tawa dan airmata
Marah dan cinta
 
Bapak,
Kalau boleh aku meminta hadiah di hari ulang tahun perkawinan ini
Cintailah aku seperti dulu
pertamakali kau bilang kau mencintaiku
27 tahun yang lalu
di sebuah bangku di Bengkel Muda
saat kita berdua kelelahan sepulang kerja
dan menemukan oase di sana.
 
Dan percayalah pak,
Apapun yang pernah terjadi dalam romansa kehidupan kita
tak pernah sekalipun aku berhenti mencintaimu.
 
Semoga di senja usia kita
Topan badai sudah reda
Tangis dan airmata sirna
Dan kita tetap bergandengan tangan menuju surga
 
Sirikit Syah
15 November 2013
=====

Secara reseptif, puisi 'Separuh Hidupku' sudah sukses membuat para miliser tersentuh, dan bahkan mewek (termasuk saya sendiri). Identitas SS yang biasanya menghentak tiba-tiba berubah amat melankolis. Mungkin ini yang membuat HB merasa kehilangan sesuatu. Ini bukan SS.  

Bicara tentang poetic identity, memang kita perlu membaca banyak puisi yang dihasilkan oleh seorang penyair. Apakah kita mau melihat bentuknya, isinya, atau dua-duanya. Dari sisi bentuk misalnya (e.g tone, diction), puisi-puisi Robert Frost punya identitas kuat dengan kentalnya natural imagery. Sementara dari isinya (e.g. theme), Frost banyak bicara tentang 'pemahaman diri melalui alam,' atau 'friksi antara community vs isolation.' Lihat saja puisi Mending Wall (salah satu favorit saya), bagaimana sebuah pagar pemisah antara dua tetangga merefleksikan kehendak manusia untuk mengisolasi diri meski hidup dalam sebuah komunitas sosial. 

Bagaimana dengan poetic identity seorang Sirikit Syah? Saya melihat puisi 'Separuh Hidupku' sebagai sebuah ode, yang adalah puisi tentang pujian kepada seseorang atau sesuatu, dan bernada serius. Boleh dikata puisi itu adalah 'An Ode to a Great Husband.' Dari segi pemilihan kata dan gaya bahasa, gaya SS yang lugas tetap kelihatan di puisi yang melankolis ini. Kalimat-kalimat deskriptif seperti 'Kau mengupas kepiting dan menyuapkan dagingnya ke mulutku, Kau gendong aku di punggungmu ketika melewati banjir, Kau pergi jam dua pagi membetulkan USB yang akan kupakai mengajar esok hari' adalah kekhasan SS. Sebagaimana muncul di puisi SS bejudul Di Kaki Langit Baltimore, dalam baris-baris 'turis berlarian masuk restoran,' 'orang-orang berdansa di bawah hujan, badan digoyang dirapatkan. Atau juga di puisi 'Romansa Hiroshima,' seperti dalam baris pertama dan kedua, ' Di lift hotel, dua turis Amerika menghapus airmata. Juga amat kental dalam puisi naratif 'Balada Maryamah dan Putra Angin.'  

Meski begitu, SS juga menghiasi puisi-puisinya dengan bahasa figuratif. Sosok suami dihiperbolakan 'akan membunuh harimau untuk melindungiku,' dimetaforkan dalam baris 'kau adalah angin untuk kepak sayapku.' Gaya senada juga muncul di puisi 'Suami' di kumpulan puisi Selamat Pagi Tokyo.  SS menggunakan metafor, di mana 'suami adalah sepiring nasi yang kulahap habis saat lapar,' dan 'ia juga setangkai bunga, yang aromanya teringat kemana jua.'  Dari segi imagery, bukankah baris ini mirip dengan 'Apakah mereka memiliki harum seperti bau badanmu' di puisi 'Separuh Hidupku.' Nampaknya 'sense of smell' adalah salat satu hal yang membuat SS tidak bisa lepas dari sosok suami.

Membandingkan beberapa puisi di atas, 'Separuh Hidupku,' 'Di Kaki Langit Baltimore,' 'Romansa Hiroshima,' 'Suami', dan juga 'Balada Maryamah dan Putra Angin,' kesan yang kuat adalah tema 'ruang dan tempat.' 'Separuh Hidupku' menyebut Bengkel Muda sebagai tempat yang menyatukan mereka, namun juga ada beberapa kali masa yang memisahkan ruang mereka. "Romansa Hiroshima' menyebut lift hotel, museum, jalan, sementara 'Suami' menyuratkan ruang terpisah dalam baris 'Di rantau terpisah samudra biru.' Sementara itu, puisi 'Baltimore,' ada 'kesegaran laut Baltimore, saat perahu ditambatkan.' 

Yang menarik dicatat, ' ada rasa sepi yang kuat dan nuansa pencarian dalam beberapa puusi, seperti dalam baris 'Kucari pasangan, tak kutemukan,' di puisi 'Baltimore' dan'kala kecewa hati menerpa, wajahnya jua yang hadir senantiasa, Inikah cinta? di puisi 'Suami'. Ketika pada puisi 'Separuh Hidupku,' pencarian itu selalu berlabuh pada sosok 'Bapak,' Ya, 'selalu kucari-cari dan kurengkuh jemari tanganmu, dan kau menyediakan seluruh lenganmu, sebagai sandaran peraduanku.' 

BIla puisi-puisi SS dilihat sebagai perjalanan mencari makna diri dan cinta, maka puisi 'Separuh Hidupku' boleh dianggap sebagai tahap 'discovery of wisdom.' 

Secara keseluruhan, poetic identity SS cukup tergambar dalam puisi 'Separuh Hidupku.' Bila gaya yang biasanya nendang dan menghentak tidak terlalu terasa di sini, bisa jadi memang sebagai penanda tahap kematangan diri sebagai hasil dari pencarian dan kontemplasi. Meminjam sosok archetype dalam Jungian criticism, figur 'warrior' sudah berubah menjadi 'the wise old man/woman.' 

Tuesday, March 13, 2012

READING TONI MORRISON'S SULA


Separating evil from good is something easier said than done. It is easy for us to make moral judgment on what others have done because we tend to see things from our perspective. Yet, Toni Morrison’s Sula makes it difficult for us to pass moral judgments on the characters. Just as The Bluest Eye confuses and even persuades us to sympathize with Cholly by suggesting that he rapes his daughter Pecola out of love, so Sula reminds us not to make easy judgments.
            The novel provides several examples of individual decision that bring about damages to others. Eva’s and Sula’s moral characters remain complex issues. For example, Eva’s reaction on Plum’s burning, “Is? My baby? Burning?” (48) suggests that she does it on purpose. Yet, she is also depicted as a self-sacrificing mother. She lets a passing train amputate her leg so as to get insurance money, although she denies it (93). Meanwhile, Sula sleeps with Nel’s husband, Jude not to betray her friendship with Nel, but only to experience pleasure. “…she was sitting on the bed not even bothering to put on her clothes…” (106). This is a troubling scene because it is just too difficult not to condemn Sula, but at least Toni Morrison makes it clear that moral judgment depends on one’s own perspective. Eva has her own motivation to burn Plum and Sula is comfortable being a pariah. If we cannot accept their “evil” action, we can at least try to see things from their points of view.
       A quick reading of Sula seems to give us an idea that Toni Morrison condemns the institution of marriage. But as we do a more detailed observation of the character development, especially Sula and Nel, we can see that Morrison criticizes the motivation women have to get married.
            Nel’s marriage, for instance, is depicted not as the sign of her maturity, but rather as a sign of her immature willingness to submerge herself in another person’s identity. Jude intends to get married for the sake of emotional security. Married, he would become the “head of a household pinned to an unsatisfactory job out of necessity. The two of them together would make one Jude” (83). 
            The loss of self as a result of marriage is seen as Jude leaves Nel, following the sexual incident between him and Sula. Jude’s departure leaves Nel with “thighs (that) were really empty” (110). Later, she admits to Sula that he needs Jude just to fill up some space (144), but blames Sula for not leaving him alone to love her (145).
            The difference between Sula and Nel in terms of dependence on a man’s figure shows that they do not share the same notion about sex and relationship. While Nel sees the sexual incident as a betrayal to both her friendship with Sula and the marriage, Sula is unable to identify the evil action she committed. “What do you mean take him away? I didn’t kill him, I just fucked him. If we were such good friends, how come you couldn’t get over it” (145). 

SHAKESPEARE'S MUCH ADO ABOUT NOTHING: DON JOHN AND THE ANTI-SOCIALIZATION DESIGN


Much Ado about Nothing is a play about socialization and control of others. This means establishing relations with others, some of them peers, like Benedick and Claudio who have sworn brothers in Act 1.1.71-72. Some others are hierarchical superiors, like Don Pedro, Benedick, and Claudio. With this design, it is clear why Shakespeare puts Don John, the bastard to be alienated from the society. As early as the beginning of the play, when everybody welcomes Don Pedro and the companions, Don John remains sober, saying “I am not a man of many words, but I thank you” (1.1.127).    
            Don John may be the easiest character to describe, because he describes himself to the audience. He does not want to be controlled by anybody, even by his brother. He does not want to hide behind the masquerade, therefore he does not join the masked party. Don John tells his followers:
            I had rather be a canker in a hedge than a rose in his grace, and it better fits my blood  to be 
            disdained of all than to fashion a carriage to rob love from any…it must not be denied but I am a 
            plain-dealing villain. I am trusted with a muzzle, and enfranchised with a clog…If I had my mouth I 
            would bite. If I hade my liberty I would do my liking...let me be that I am, and seek not to alter me 
            (1.3.21-29).
            Yet, Don John plays an important role in setting the plot of the play, and he is “the author of all” (5.2.83). With a figure of distrusted Don John in our mind, we can see the foolishness of Don Pedro and Claudio. Logically, they must have known Don John’s character for long. Still, they easily fall into a mouse trap set by Don John. Claudio may be in love and feels betrayed, but he can at least behave like a gentleman instead of disgracing Hero before the people on the wedding day. To hear him say, “If I see anything tonight why I should not marry her, tomorrow, in the congregation where I should wed, there will I shame her” (3.2.103-5), I see that his love to Hero is merely superficial. As a prince, Don Pedro could have been wise enough to act as a role model rather than emotionally tailing behind Claudio and saying, “And as I wooed for thee to obtain her, I will join thee to disgrace her” (3.2.106-7).
            Some other characters also fall into Don John’s trap. Leonato, who could have understood his daughter better than anybody, thinks that Hero is too shamed for redemption (4.1.120-142) and choose to believe the gentlemen. In short, the grand design of social bond is ruined, and everybody declares war. Leonato cut ties with both the prince and Claudio, Benedick pledges to kill Claudio and states his withdrawal of allegiance with the prince, “My lord, for your many courtesies I thank you. I must discontinue your company” (5.1.179-80). Among all the male characters, the Friar now stands up as the most sensible figure. Just as the Duke who disguises as a friar sets the bed trick in Measure for Measure, the Friar in Much Ado sets a death trick to save the stage from being torn down. Finally, Don John’s design of anti-socialization is doomed, and the social bond is resolved in the marriage of Claudio-Hero, the announced love of witty Benedick and Beatrice, and the friendship of Claudio and Benedick within closer ties of comrades and marriage. As for Don John, he has from the beginning chosen not to cooperate, and his punishment is yet to come. Shakespeare may have been conservative about social norms, therefore he chooses to alienate a bastard from social bond, because he does not belong to his time.      

ABUSIVE POWER IN MACBETH AND THE LEGEND OF KEN AROK: A COMPARATIVE ANALYSIS OF ELIZABETHAN DRAMA AND JAVANESE FOLKLORE


          Shakespeare’s plays introduce us to the idea that tyranny is “a perpetual political and human problem rather than a historical curiosity” (McGrail 1). This suggests that the play is only a representation of the real political world around the globe, whether it is in England during Shakespeare’s time or in pre-Indonesian era. With this is mind, it is interesting to note the many similarities between Macbeth, which is just a play, and the legend of Ken Arok during Singosari kingdom in the twelfth century.
            To begin with, let us take a brief look at the legend of Ken Arok. The legend is found in Pararaton, a chronicle of kings, which was written in the 15th century. Ken Arok was the first king of Singosari in 1222, the founder of Rajasa dynasty, which represents the lineage of the kings of Singosari and Majapahit. Majapahit itself was the first powerful Javanese kingdom whose influence spread around what is nowadays Indonesia.  The story of Ken Arok is a mixture of fantasy and reality . This online source will be the reference used in the discussion of the legend, unless mentioned otherwise. To most Indonesian students, Ken Arok is a well-known tragedy of a usurper that remains to be told in history classes. In relation to political situation in Indonesia, he represents a real Machiavelist in Indonesian government. Commenting on the never-ending political instability in Indonesia, Christianto Wibisono, a well-known Indonesian political analyst even uses the term ‘Ken Arokism’ instead of Machiavelism in his criticism of wicked politicians whom he blames being responsible for high rate of corruption www.indomedia.com/bpost/9901/25/ekbis/ekbis7.htm>.
            The many similarities between Macbeth and Ken Arok start from the prophetic events that drive them to gain power. Both are told about the prophecy or vision of their future sovereignity. Both pursue their power in an illegitimate way, by killing the true ruler. Both stories involve the taking of several lives. Both also need scapegoats to hide their crime. Both have to see their power taken over by the true heir and meet their fate in death.
            In terms of their reaction to the events prophesying their future power, Macbeth and Ken Arok represent those people who choose to conduct evil deeds to fulfill their ambition. Macbeth is at first a noble fellow. It is not until he listens to evil suggestion that he changes into a brutish and selfish seeker of power and status.
            First witch : “All hail, Macbeth! Hail to thee, Thane of Glamis.
            Second witch : All hail, Macbeth! Hail to thee, Thane of Cawdor.
            Third witch : All hail, Macbeth, that shalt be king hereafter! (1.3. 46-48).
Meanwhile, Banquo gets a better prophecy. The third witch says, “Thou shalt get kings, though thou shall be none” (1.3. 65).
            Macbeth’s noble nature is shown as he has mixed feeling about the prophecy.
“This supernatural soliciting / Cannot be ill, cannot be good. If ill, / Why hath it given me earnest of success, … If good, why do I yield to that suggestion / Whose horrid image doth unfix my hair …Against the use of nature…If chance will make me king, why, chance may crown me / Without my stir” (1.3. 129-136, 143).
            While Macbeth is basically a noble man, Ken Arok is as notorious as he can be. Raised by a thief, Ken Arok is predestined to be a king and the father of kings. In other words, he is luckier than Macbeth in that he possesses both the prophecy of Macbeth and Banquo. It is told that three gods, Brahma, Vishnu and Syiva claim to be his father. Interestingly enough, Ken Arok identifies himself with Syiva, the god of destruction. There are various stories about the prophecy. One prevailing belief is that Ken Dedes, the wife of Tunggul Ametung, the king of Tumapel, a small kingdom where Ken Arok works as a guard, possesses an aura of wisdom and power, and whoever marries her will be a king and the father of kings.
            Can we mix prophecy and truth? Those who believe in the prophecy may have found some truth in it, and use the truth to justify their means. Banquo realizes the danger of believing in the prophecy. “And oftentimes to win us to our harm / The instruments of darkness tell us truths, / Win us with honest trifles to betray’s / In deepest consequence.” (1.3.121-24). However, Macbeth falls into the temptation. For Macbeth's promotion to occur, the current king, Duncan, would have to be kicked out. Macbeth also understands that his crime will not end with Duncan’s death. The matter now is whether one is willing to control his mind to resist the temptation or is ready to bear greater risk for the sake of his goal. Macbeth belongs to the latter category. “If th’assassination / Could trammel up the consequence, and catch / With his surcease success: that but this blow / Might be the be-all and the end-all, here, / But here upon this bank and shoal of time, / We’d jump the life to come” (1.7. 2-7).
            In terms of the illegitimate way Macbeth gains his power, he can be considered a tyrant, as Macduff defines it. “Bleed, bleed, poor country! /Great tyranny, lay thou thy basis sure, For goodness dare not check thee! wear thou thy wrongs; The title is affeer’d! Fare thee well, Lord: / I would not be the villain that thou think’st / For the whole space that’s in the tyrant’s grasp, And the rich East to boot” (4.3. 32-37). Malcolm’s definition of tyranny is clearer in that Macbeth’s virtues have given way to abusive power. “This tyrant, whose sole name blisters our tongue, / Was once thought honest…A good and virtuous name may recoil / In an imperial charge” (4.3. 12-13, 20).
            McGrail argues that Macbeth does not really fit in Malcom’s description of tyranny. His desire is only simple, he wants to be loved and be honored (37). It is not really correct. Although his desire may be as simple as that, the path he takes shows that he is willing to sacrifice everything to achieve his ambition. His demand to have his question answered by the three witches proves his determination.
            Though you untie the winds and let them fight
            Against the churches, though the yeasty waves
            Confound and swallow navigation up,
            Though bladed corn be lodged and trees blown down,
            Though castle topple on their warder’s heads,
            Though palaces and pyramids do slope
            Their heads to their foundations, though the treasure
            Of nature’s germens tumble all together
            Even till destruction sickens, answer me
            To what I ask you. (4.1. 68-76).
            Ken Arok shares Macbeth strong determination. To him, it is apparent that marrying Ken Dedes would open the possibility of gaining the power. As Macbeth does, he also needs to get rid of the true ruler. Here is the most famous part of the legend. First, he has to kill Tunggul Ametung. He then orders a keris, Javanese double-edged sword, to Mpu Gandring, a keris master. At the appointed time, the keris is not finished yet. Enraged, Ken Arok kills Mpu Gandring with the unfinished keris. Just before he dies, Mpu Gandring curses Ken Arok that the keris will take seven lives of kings, including Ken Arok himself. In Javanese history, the keris is known as Keris Mpu Gandring.
            Different from Macbeth who is controlled by Lady Macbeth, Ken Arok is an expert in political strategy. He has a fellow soldier, Kebo Ijo, as the scapegoat. He lends the keris to Kebo Ijo, who proudly shows the keris in public so that everybody thinks he is the owner. One night, Ken Arok steals the keris and kills Tunggul Ametung, leaving the keris in Tunggul Ametung’s body. The rest is clear; Kebo Ijo is prosecuted while Ken Arok picks the ripe fruit. He becomes the king of Tumapel and marries Ken Dedes.
            The existence of scapegoat seems to be significant in clearing the path to power. Here we find another difference between Ken Arok and Macbeth. It is never told whether Ken Arok actually suffers from guilt. He carefully plans to put Kebo Ijo as the scapegoat to clear his path without any suspicion. Meanwhile, Macbeth needs scapegoats not only to cover his crime of murdering Duncan, but also to be free from guilty feelings. He does not really plan on killing the guards, but Lady Macbeth warns him of his awkwardness that might reveal his crime. Because Macbeth worships his self-esteem and selfish rights and desires, he eventually forgets his virtue. Macbeth tells the others that he has killed the guards of Duncan’s chamber. “O, yet I do repent me of my fury / That I did kill them” (2.3. 103).
             That power is abusive is clear as Macbeth wants to prevent Banquo from having his prophecy put into reality. Macbeth wants his descendants, rather than Banquo’s, to be kings. The only way is to get rid of Banquo.
            Then, prophet-like, / They hailed him father to a line of kings. / Upon my head       they placed a fruitless crown,…No son of mine succeeding. If’t be so, / For           Banquo’s issue have I filed my mind…Given to the common enemy of man / To   make them kings, the seeds of Banquo kings. / Rather than so, come fate into the   list / And champion me to th’ utterance” (3.1. 60-73).
Banquo’s murder triggers Macbeth’s guilt, yet does not prevent him from taking more life to maintain his throne. The murder of innocent family of Macduff shows that Macbeth puts the security of his reign over honor. He is a Machiavellist, in that he fits to Machiavelli’s political strategy which states that security should be put first in cases in which security is in conflict with honor (Viroli 91).
            While the successive killing puts Banquo as the third victim with the motive of preventing his prophecy to happen, the successive murder in the legend of Ken Arok is the realization of Mpu Gandring’s curse. This is a story of never-ending revenge that accompanies Ken Arok’s story of success and imperialism. History mentions that he annexed the neighboring kingdom and established a new one, the kingdom of Singosari in 1222. This new kingdom would later produce kings of Majapahit, the most powerful Javanese kingdom in the 13th century. The legend tells that the keris takes Ken Arok’s life in the hands of Tunggul Ametung’s son, Anusapati. Then, Ken Arok’s son’s revenge follows, and so on. After taking so many lives, Ranggawuni, Anusapati’s son, who murdered Tohjaya, Ken Arok’s son, realizes that the keris has brought and will bring more chaos and death. So it is thrown away to Java sea, and becomes a dragon.
            Both Macbeth and Ken Arok are Machiavellists, and both are defeated by the legitimate power. Anusapati, the true heir of Tunggul Ametung, gains his sovereignity after taking revenge of his father’s death. Malcolm gains the throne he deserves as the true heir of Duncan with the help of Macduff. Macduff himself has his own motive of revenge as well as his intention to fight against a tyrant when he slains Macbeth. “Then yield thee, coward, / And live to be the show and gaze o’th’ time. / We’ll have thee as our rarer monster, Painted upon a pole, and underwrit / ‘Here may you see the tyrant” (5.11. 24-27).     
            Macduff’s speech suggests that Macbeth serves as an example of tyranny to the world. This works for Ken Arok too. While many interpretations state that the legend of Ken Arok and Ken Dedes is a mere fiction, it is actually a reflection of the mindsets and ideological contestations in Indonesia. The era of Singasari and Majapahit marks the end of Hinduism in East Java and witnesses the beginning of Islamic era in Javanese history.   These can be regarded as palimpsests of Indonesian history, which have continued to give shape and colour to Indonesian cultural and political life to date. Pramudya Ananta Toer, an internationally-recognized Indonesian author, yet the victim of severe political discrimination at home, has a troubling view of the first two presidents of Indonesia. In his writing “My Apologies, in the name of Experience”, translated by Alex G. Bardsley, he puts Ken Arok in the body of Suharto, the second president of Indonesia who ruled for thirty two years, and Mpu Gandring was incarnated in the body of Sukarno, the first president
            However, Barbara Reibling argues that Macbeth is not really a Machiavelli’s  ideal prince. His biggest flaw is his reluctance to have a total commitment to “the course of wrongdoings, besides his inability to dissimulate” (280). The problem with her interpretation is that she intends to say whether one is an ideal Machiavellist, whereas the concept of Machiavelli itself entails a room for wrongdoings. It is clear that that a Machiavelli should be willing to be a real evil, with no guilt at all. Maurizio Viroli points out that, for Machiavelli, a good citizen should be prepared to do evil, or what is considered to be evil, to save the country. Yet, his writings also imply “the willingness to grand deeds, and even to waste one’s life, one’s soul” (8). Riebling’s case is right in proving Macbeth as a normal human being with conscience, her strict use of Machiavellian standards is debatable. Judging from his strength, courage, and willingness to commit evil, I would argue that Macbeth is a Machiavellist. He understands that power is abusive, knows what is good and evil, but chooses evil anyway. That is why he deserves the destruction at the end of the play. I agree with Macduff and Christianto Wibisono that Macbeth and Ken Arok  are examples of dirty politicians, and that the world  should learn from their fate in order that we can play a clean government.                              

                                                           WORKS CITED
“Adu Domba demi Status Quo.” www.indomedia.com/bpost/9901/25/ekbis/ekbis7.htm. 18 April 2003.
Ananta Toer, Pramudya. “My Apologies, in the Name of Experience.” November 1991. 18 April 2003. .
 “Ken Arok.” 18 April 2003. www.jawapalace.org/kenarok.html>.
McGrail, Mary Ann. Tyranny in Shakespeare. Lanham: Lexington, 2001.
Riebling, Barbara. “Virtues’s Sacrifice: A Machiavellian Reading of Macbeth.” Studies in English Literature (Rice) 31 (1991): 273-87. 
Viroli, Maurizio. Machiavelli. Oxford: Oxford UP, 1998.