Saturday, August 31, 2013

Bukan Hanya Sekedar Perayaan Literasi

Minggu lalu adalah Children's Book Week. Kegiatan tahunan ini biasanya dilangsungkan pada bulan Agustus.Tahun ini, tema yang diusung adalah Read across the Universe. Seluruh sekolah di Australia, terutama primary schools, merancang beragam kegiatan literasi. Dan seperti biasa, Moreland Primary School pun ikut heboh sejak minggu sebelumnya. Notices, newsletters, dan kegiatan kelas serempak memberikan woro-woro kepada para orang-tua dan siswa.

Sejak Jumat lalu, aku dan Adzra sudah mulai mendiskusikan dia mau jadi apa. Ya, hari Senin 19 Agustus lalu, tiap siswa parade kostum book character. Boleh jadi apa saja, asalkan si anak sudah pernah baca bukunya. Baik dari koleksi perpustakaan tiap kelas maupun di rumah.

Di kelas Preps sendiri, ortu diundang masuk kelas pada hari Jumat itu. Saat itu Kerry, guru Adzra, sedang menayangkan slide berbagai sampul buku dan contoh ide kostum book characternya.

Adzra milih-milih koleksi bukunya. Dan aku browsing cari ide kostum. Wajah-wajah akrab dalam dongeng seperti Harry Potter, Little Red Riding Hood, para putri dan peri bermunculan. Banyak lagi yang lebih kontemporer seperti Angelina Ballerina, Scary Bear, Winnie the Pooh, dan sebagainya. Sampai kemudian Adzra bilang, 'I wanna be Dorothy.'

Nama yang disebut Adzra adalah tokoh utama di cerita klasik The Wizard of Oz. Filmnya sudah puluhan kali ditonton Adzra. DVDnya kubeli ketika masih di Texas dulu. Adzra belum lahir saat itu. Aku pikir film jadul klasik ini akan membosankan buat dia saat masih usia 3 tahunan. Tapi begitu banyaknya lagu lucu dengan rima cantik ternyata memikatnya. Apalagi kostum-kostumnya. Dan lagu Somewhere over the Rainbow adalah favoritnya. Dia suka menirukan Judy Garland yang memerankan Dorothy menyanyikan lagu itu.Dan versi bukunya aku temukan di second-hand store di sini. Sudah bolak-balik kami baca. Adzra jadi tahu bahwa plotnya agak beda.

Waktunya hunting kostum. Baju terusan kotak-kotak biru muda. Simpel saja. Adzra nambahi ide mau bawa keranjang rotan mainannya. Nanti diisi boneka puppy. Itu adalah Toto, teman piaraan Dorothy.Like in the movie, mommy. Kreatif nih anak. Giliran tugas Ganta menemani adiknya cari kostum di Savers, recycle superstore.

Jadilah Senin pagi itu Adzra beraksi menjadi Dorothy. Berkuncir dua dengan pita biru. Berjalan di hall dengan menenteng keranjang dan Toto di dalamnya. "I'm Dorothy in The Wizard of Oz." Kakak-kakak kelasnya mendekati dan ikut memainkan boneka puppynya.

Saya tidak ikut menunggui saat assembly dan parade berlangsung. Ada jadwal kontrol ke rumah.sakit. Tapi hasil pandangan mata teman-teman ortu, acaranya seru. Tak ketinggalan para gurunya ikut mejeng pula. Ben, guru Preps, menjadi Dracula a la Bram Stoker.

Lho kok Book Week tidak ada acara bukunya? 

Sebenarnya apa yang disebut Children's Book Week ini bukanlah berarti bahwa hanya minggu ini semua sekolah akan menggelar acara literasi. Ini 'hanyalah' celebration week. Atas keseluruhan kegiatan literasi yang menjadi rutinitas tiap hari di tiap kelas. Namanya perayaan, yang dimunculkan adalah kehebohan seperti parade kostum karakter buku, the best costume, sampai pemilihan Book of the Year.

Mengapa acara seperti ini begitu meriah? Bagaimana anak bisa diajak memilih sendiri kostumnya, ata dengan keukeuh memilih yang berbeda dari saran ortunya? Itu karena program literasi yang sesungguhnya terjadi selama 5 hari dalam seminggu dalam setahun.

Sebuah program literasi akan berhasil dengan sangat baik bila kelima node ini saling berkaitan. Sekolah-guru-siswa-ortu-pemerintah. Ini kalau kita bicara tentang literasi di tingkat nasional. Di mata saya, inter-relasi ini saya temukan di sini.

Beberapa teman yang saya tanyai mengaku takjub dengan kesukaan membaca anak-anak.mereka. Shofi, grade 1, sudah bisa menyebutkan Roald Dahl sebagai pengarang favoritnya. Salah satu faktor pendorongnya adalah karena gurunya membacakan cerita-cerita Dahl seperti Charlie and the Chocolate Factory secara bersambung. Siapa yang tidak kepincut dengan cerita Willy Wonka dan pabrik coklatnya? Di versi filmnya, Johnny Depp amat pas memerankan keeksentrikan Willy Wonka.

Ada juga Aufa yang selalu pinjam 25 an buku di Brunswick Public Library dan menghabiskannya dalam seminggu. Setelah balik ke tanah air dan masuk kelas 6 di Solo, ortunya berusaha terus memenuhi hasrat baca Aufa dan menambahkan yang berbahasa Indonesia. Tentu perlu konsistensi bagi mbak Ita dan mas Solikin, orang-tua Aufa, untuk menjaga 'cinta baca' ini dengan kondisi pendidikan di tanah air yang kurang greget dalam hal literasi.

Cara guru membuat anak-anak terikat emosinya dengan buku juga berperan besar. Jumat lalu saya menyaksikan Preppies melakukan kegiatan partner reading selama 10 menit. Preppies yang rata-rata berusia 5-6 tahun dan tidak mungkin membaca buku dalam waktu sesingkat itu kelihatan terbiasa. Tiap pasangan mengambil hula hoop gede di salah satu pojok kelas, dan menaruhnya di mana saja di dalam kelas. Kemudian memilih satu buku. Lalu tiap pasangan duduk di dalam hula hoop. Menaruh buku di tengah. Satu halaman dibuka bergantian. Bila dua halaman sudah terlampaui, mereka boleh berdiri, mengambil masing-masing 1 gelas coklat panas dan cookies. Balik ke hula hoop masing-masing dan lanjut membaca.

Apakah mereka membaca ceritanya dengan benar sesuai tulisan. Tentu tidak. Tapi suasana membaca yang menyenangkan ini yang tertanam. 

Sebagai pendidik yang punya minat di pembelajaran sastra di kelas, saya harus angkat topi dengan praktik pembelajaran di Moreland PS. Dan mereka membuka pintunya untuk ortu bila ingin datang kapan saja di luar undangan. Asal memberitahu saja. Dan ortu bisa duduk diam tanpa menginterupsi kelas, dan bisa pergi dengan hanya melambaikan tangan.

Inilah bukti bahwa program literasi memerlukan kesungguhan dari semua pihak agar bisa mendarah-daging. Ada kontinuitas yang dipastikan berjalan dari guru grade rendah ke berikutnya. Ada kesatuan yang dipastikan oleh kurikulum sekolah. Ada keterlibatan ortu yang diharapkan tetap tuned-in dengan program sekolah. How? Baca weekly newsletter. Baca notice yang diselipkan di reading bag anak. Ada kesinambungan dengan pemerintah, yang diwakili oleh public library. Mereka juga ramai dengan tawaran program children's book week dan sebagainya. Semuanya menjadikan anak-anak sebagai subjek.  Sosok yang penting.

Melihat ke tahun-tahun ke depan, saya bermimpi rancangan Pusat Literasi Unesa akan melihat gambaran di atas sebagai peluang mencetak guru yang tahu bagaimana menanamkan budaya literasi. Modal awalnya, calon gurunya juga cinta literasi. Berarti dosennya juga begitu. Pertanyaannya, siapkah kita menjawab tantangan ini?



Friday, August 16, 2013

Literasi dan Kearifan Lokal: Tanggapan atas Ulasan Santiko Budi

Membaca ulasan pak Santiko Budi, saya setuju 100% bahwa buat bangsa kita, literasi baru dimaknai sebatas memelek-hurufkan manusia. Masih jauh dari memelekkan manusia sebagai bangsa. Menjadi manusia berbangsa berarti bahwa identitas kultural tidak bisa lepas dari praktik literasi yang kita lakoni, baik sebagai individu maupun komunitas. Itu karena proses pembentukan atau transformasi identitas memerlukan artefak budaya sebagai penandanya. Dan dalam praktik literasi, artefak budaya yang dipakai bisa dalam bentuk materi. Buku, flash disk, pensil, laptop, tablet, mainan, adalah sebagian kecil contohnya. Artefak budaya bisa dalam bentuk ideologi. Cara pandang kita terhadap buku, membaca, dongeng, adalah contoh kelompok ini. Kira-kira begitu landasan teori yang saya pakai untuk tesis saya. 

Beberapa waktu yang lalu, saya berbincang dengan seorang teman baik dari Solo. Sebut saja namanya Putri. Suaminya sedang studi S3 di Melbourne, dan anaknya sepantaran Adzra, namun bersekolah di 'desa' sebelah. Seperti kebanyakan teman spouse di sini, dia juga 'berkarir' di Vicmart. Jaga toko scarf. 

Saya lupa bagaimana kami memulai obrolan tentang literacy program di sekolah anak-anak. Mungkin saja keusilan saya bertanya tentang bagaimana anaknya belajar membaca di sekolah. Yang saya ingat adalah curhatannya. Kira-kira begini rekonstruksinya.

Putri: Mbak Tiwik, wingi ning pasar aku diunen-unen karo customer ta ya? 
Tiwik: Lapo mbak?
Putri: Lha dheweke ki golek selendang sing gambare Goldilocks. Aku ra ngerti. Ya aku ngomong wae, I don't know.What is Goldilock? Lha kok ngamuk to! You can't live in Australia if you don't know Goldilocks! Terus ngomel-ngomel ngalih ra sido tuku. Apa ta mbak Goldilock kuwi?
Tiwik: Ya iku dongeng lokal Australia. Goldilocks and the Three Bears
Putri: ...Iya bener mbak. Aku takon anakku. Jarene ya ngono. Crita arek wedok karo beruang ngono. 
Tiwik: Arek-arek pancene kenal teka sekolahan mbak. Kan ana home reading sak ben dina. 
Putri: Walah aku ora sempat ngancani maca. Wis kesel ko pasar mbak.

Saya geli membayangkan pengalaman mbak Putri. Si pelanggan terkesan rasis di matanya. Ada benarnya sih. Tapi saya bisa memahami mengapa dia senewen. Ini bukan hanya sekedar masalah pernah baca atau tidak. Lebih dari itu, akar budaya seharusnya terekam dalam perjalanan hidup seseorang. Di mata orang Aussie, jalannya adalah proses literasi, termasuk salah satunya melalui dongeng. Dan menjadi orang Aussie adalah tahu siapa Goldilocks dan nilai-nilai apa yang tercermin. Bagi yang ingin tahu ceritanya, silakan klik

Nampaknya tidak jauh berbeda dengan kita. Kalau ditanya cerita Bawang Putih Bawang Merah atau Timun Mas dan Buto Ijo, mestinya sudah banyak yang tahu (tapi saya tidak yakin dengan generasi digital natives sekarang). Bukan hanya sekedar ceritanya, tapi nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Bedanya adalah, kebanyakan mendapatkan dongeng ini melalui lisan. Orality. Bukan Literacy. And that makes a whole a lot of differences! Dongeng, epik, legenda kolosal yang menjadi identitas budaya kita akan lenyap berapa puluh tahun lagi bila tidak dituangkan dalam tulisan.

Ketika seorang anak yang culas dijuluki sebagai Bawang Merah, laki-laki yang menghalalkan segala cara tak ubahnya seperti Macbeth (plus Lady Macbeth sebagai simbol istri yang ngojok-ngojoki suami agar berkuasa), gadis yang merana tapi akhirnya bahagia adalah Upik Abu atau Cinderella, itu sebenarnya menunjukkan bahwa sastra sudah masuk dalam kesadaran kolektif kita. Tapi proses itu tidak akan menancap lintas generasi tanpa 'program' literasi. Bagi bangsa yang masih berlandaskan lisan seperti bangsa kita, yang lebih diingat adalah mitos-mitos, gugon-tuhon, dan takhayulnya. Ciri masyarakat lisan menurut Walter Ong di bukunya From Orality to Literacy.  

PR besar ada di tangan orang-orang lulusan bahasa (menunjuk ke hidung sendiri!!!). Ayo Pusat Literasi Unesa, ini tantangan yang harus dijawab!

Literasi dan materi lokal: Ulasan Santiko Budi

Beberapa waktu yang lalu saya menerima postingan dari bu Lies Amin di milis Keluarga Unesa. Yang paling saya suka adalah ketika bu Lies membagi pandangan pak Santiko Budi tentang sastra dan budaya. Dosen senior ini adalah salah satu yang paling saya kagumi kedalaman berpikirnya. Amat filosofis. Tapak langkah saya menempuh S2 di UGM, S2 di Texas dan sekarang ini di Melbourne, tidak lepas dari campur tangan beliau. 

Beberapa bulan yang lalu pak Santiko menuliskan tanggapan terhadap tulisan saya tentang Literasi dan Budaya Pop di sini. Sekarang muncul lagi sambungannya, Kali ini lebih dekat dengan dunia sastra. Ini dia ulasannya.  

=======

Postingan bu Lies:

Tadi siang ada acara halbil di FBS. Semua dosen dan karyawan, termasuk yang sudah pensiun diundang. Hadir dalam acara itu p jonohudijono, p soerono martorahardjo, ibu joharni harjono, p budi darmo, p hendra, b kutsi, p mas moeliono, p djoko soeloeh, ibu harjoso, ibu titoet soa sofia, p soenarjo, dekan fik, p budi djatmiko, p sugimin, bu totong, dan banyak pensiunan lain termasuk suami atau istri mereka. Selain para pensiunan, tentu dosen dan karyawan yang masih aktif termasuk tenaga honorer dan cleaning service juga hadir. 

Saya tentu tidak sempat berhaha hihi dengan semua orang saking banyaknya yang hadir, tetapi dari beberapa yang sempat berbincang dengan saya ada beberapa yang menarik. B joharni menanyakan draft buku b thea, b titoet yang sudah tidak ingat kepada saya (maklum mahasiswa tanpa identitas khusus waktu itu), p budi darma seperti biasa menanyakan kabar terakhir saya dan anak-anak, dan lain-lain. Ketika saya berbincang dengan p santiko (karena saya harus memberikan inflight magazine wings air yang memuatvreportase putra beliau tentang dalang wayang potehi), beliau saya tanya mengapa kok catatan beliau tentang literacy tidak dilanjutkan. Beliau hanya tersenyum. Tapi sore ini saya mendapatkan email dari beliau sbb:

Ulasan pak Santiko:

Dalam obrolan yang lalu, saya mengatakan kita tidak punya tradisi literasi sebab pada dasar- nya kita (masih) merupakan komunitas dengan tradisi oral, Tapi mungkin bisa juga dicoba dilihat dari sisi lain, terutama dari cara pandang kita. Sebagai bangsa, kita lebih hidup di masa kini, di saat ini, dan keadaan ini diperparah oleh kegandrungan kita akan budaya instan. Sebagian mengatakan sebagai bangsa, kita memiliki ingatan pendek, cepat lupa. Sebenarnya ini merupakan wujud nyata sikap sesaat dan kekinian kita. Kita abai terhadap "national heritage" kita. Kita baru tahu kita punya La Galigo, konon epic terpanjang di dunia mengenai asal usul manusia dan banyak hal lain mengenai kehidupan dan makna hidup, lewat orang Barat. 

La Galigo merupakan suatu karya monumental, tapi kemudian kita terlantarkan sehingga hilang dari ingatan. Kita ciptakan Borobudur, suatu monumen beneran yang monumental, tapi lalu kita terlantarkan hingga akhirnya tertimbun tanah untuk kemudian hilang dari kesadaran kita sampai ditemukan dan digali orang Barat. Kita hancurkan gedung-gedung bersejarah dan di atas reruntuhannya kita bangun pusat perbelanjaan. Kita pemilik gamelan, tapi orang Barat lebih getol mempelajari dan menggubah gending-gending. Kita tidak memiliki jiwa dan pandangan yang berkesinambungan. Kita adalah manusia tanpa masa lampau. (Bandingkan dengan ujaran: "What is us, without our past?") Secara sederhana literasi bisa dimaknai melek huruf, mampu membaca. Tapi kiranya tidak sesederhana itu. Maknanya adalah memelekkan manusia sebagai suatu bangsa. budaya Barat dikenal memiliki/mewarisi tradisi Greco-Judeo-Roman, artinya diwarnai budaya Yunani, Kristiani, dan Romawi. Pilihan bacaan dalam upaya me-literasi-kan bangsa didasarkan atas lteratur-literatur yang mengandung unsur-unsur di atas. Hal ini berlaku turun-temurun sehingga "heritage" tersebut masuk ke dalam kesadaran/ketidaksadaran mereka. 


Untuk identitas bangsa, orang Inggris misalnya, menggunakan materi 'lokal', misalnya kisah-kisah "Beowulf", "King Arthur", "Canterbury Tales", karya-karya Shakespeare, Charles Dickens, Thackery, serta karya-karya besar lainnya. Karena itu ada kisah-kisah dan tokoh-tokoh yang kemudian seakan menjadi "currency", kadang ditemukan dalam percakapan sehari-hari tanpa perlu penjelasan karena sudah merupakan milik bersama, milik umum, ada di dalam ranah kesadaran/ketidksadaran masing-masing. Misalnya kalau dalam percakapan ada orang menyebut si Anu adalah Falstaff, atau Scrooge, atau Miss Havisham, maka yang diajak bicara memahami apa yang dimaksud pembicara. Di dalam karya sastra fenomena ini bisa dilihat dari penggunaan alusi. Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan proses literasi di Indonesia. Tampaknya kita baru pada tahap memelek-hurufkan manusia, belum sampai ke tahap memelekkan manusia sebagai bangsa. Dan, kita belum memiliki "currency."  Mungkin.