Berbicara tentang TKW adalah menguak migrasi tenaga kerja
transnasional yang bersifat massif. Ribuan perempuan meninggalkan desa-desa di
pelosok Indonesia, menuju negara-negara yang secara ekonomi lebih makmur di
Asia. Dalam bukunya Modernity at Large
(1996), TKI/TKW merupakan bagian dari apa yang disebut Arjun Appadurai sebagai ethnoscape. Istilah ini mengacu pada
lansekap kelompok orang dan individu yang bergerak dari satu tempat ke tempat
lain, dengan potensi memberikan pengaruh politik pada negara pengirim dan
negara penerima. Mobilitas yang menembus
batas negara ini sendiri merupakan simbol modernitas. Masyarakat Indonesia pada
umumnya menyebut mereka sebagai TKW, namun mereka sendiri lebih suka disebut
sebagai BMI. Sementara itu, buruh migran dari Filipina dengan profesi yang sama
menolak disebut maid dan lebih suka
menyebut diri mereka DH. Domestic helper ? Secara literal
jawabannya ya. Namun mereka lebih menyukai inisialnya. “It’s cool.”
Menyimak tulisan-tulisan para buruh migran Indonesia (BMI)
yang tengah atau pernah mengais dolar di negara-negara yang lebih makmur
seperti Hong Kong, Taiwan dan Singapore, kita seakan diajak menelusuri
perjalanan mereka menembus batas ruang (space).
Apakah mobilitas transnasional yang dilakukan para BMI ini menjanjikan
kebebasan? Curahan hati Rini Widyawati dalam bukunya Catatan Harian Seorang Pramuwisma (JP Books, 2005) memberikan
jawaban yang berbeda. Baginya, Hong Kong adalah paduan antara harapan dan
kegamangan. Sebagaimana dia ungkapkan, Hong Kong “telah mengubah banyak
tetangga saya, perempuan-perempuan sebaya saya, menjadi perempuan-perempuan
gemerlapan. […] Ataukah justru saya akan mati di negeri ini, dan mayat saya
saja yang akan melewati bandara ini, seperti halnya nasib beberapa TKI lain,
yang kadang tidak jelas sebab kematiannnya” (1-2).
Bagi sebagian buruh migran, harapan untuk mereguk kebebasan
melihat dunia luar seringkali hanya terwakili oleh pemandangan lansekap kota
yang hanya bisa dinikmati dari balik jendela apartemen tingkat 10. Pei-Chia Lan
dalam bukunya Global Cinderellas: Migrant
Domestics and Newly Rich Employers in Taiwan (2006) menyebut mereka global Cinderellas. Mereka mengejar
mimpi untuk mengubur kemiskinan dengan meninggalkan desa dan negerinya, namun
sebagian besar menit dalam kehidupan mereka harus dilewati di balik tembok
apartemen, di bawah pengawasan majikan. Ruang privat bukanlah pilihan yang bisa
mereka minta. Rini mengungkapkan ketidak-nyamanannya berada di bawah ‘tatapan’
majikannya, bahkan ketika larut sudah tiba.
Sudah pukul 02.00…Tak tahu mengapa,
saya juga masih belum bisa tidur…Cahaya lampu masuk ke kamar saya yang terbuka
lebar. Ingin sekali saya menutup pintu itu. Tapi, saya tahu pasti, nanti nyonya
majikan saya akan membukanya kembali tanpa alasan. Mungkin, nyonya itu takut
kalau-kalau saya akan menjahili anaknya, yang memang tidur sekamar dengan saya
(19).
Resistansi atau perlawanan seringkali muncul dalam kondisi
tekanan. Namun resistansi tidak harus selalu dimaknai sebagai upaya untuk
menyerang balik sebuah kekuasaan. Dalam pandangan Foucault, kekuasaan tidak
selalu bersifat menekan atau membatasi, namun juga memberdayakan pihak
subordinat. Dengan demikian, melawan tidak selalu berarti ‘mengatakan tidak,’
namun lebih sebagai proses kreatif untuk menciptakan atau mengubah situasi, dan
menjadi bagian aktif dari proses kekuasaan itu. Dalam konteks ini, upaya Rini
untuk mengatasi keterbatasan ruang gerak adalah strategi perlawanan. Rini
memiliki kebiasaan menulis buku harian. Baginya, menulis adalah sebuah obsesi
untuk ingin berbagi cerita. Pengalamannya menjadi asisten plus juru ketik
novelis perempuan Ratna Indraswari Ibrahim banyak membentuk harapannya untuk
suatu saat bisa menulis buku. Ironisnya, majikan Rini, seorang sopir truk,
tidak mengijinkannya untuk kelihatan nganggur sedetikpun, meski apartemen
mereka sangat kecil. Rini bisa mengerjakan semua pekerjaan hanya dalam beberapa
jam, dan menyisakan begitu banyak waktu untuk menulis di buku hariannya. Dengan
cerdiknya, Rini menyimpan buku hariannya di dalam panci yang tidak terpakai,
dan dia akan duduk di lantai dapur, dekat pintu masuk apartemen:
Saya hafal betul suara dan irama
langkah kaki majikan saya. Kalau saya mendengar langkah kaki itu, saya akan
segera memasukkan buku harian ke dalam panci. Majikan saya tidak pernah membuka
panci. Bisa saya bayangkan, kalau majikan saya tahu ada pulpen dan buku di dalam
panci, mungkin akan memakannya mentah-mentah (23).
Penuturan Rini menunjukkan betapa rumitnya sebuah proses
kreatif bagi seseorang, namun pada saat yang sama menggambarkan strategi yang
cerdar untuk memberdayakan diri sendiri dan memberikan identitas baru di luar
perannya sebagai seorang pembantu. Dalam konteks ruang, upaya ini juga bisa
dikatakan sebagai privatisasi ruang publik.
Contoh privatisasi ruang publik yang lebih gamblang juga
bisa ditelusuri di bagian lain dari tulisan Rini. Sesuai kontrak, seorang BMI
biasanya baru bisa memperoleh day-off
seminggu sekali setelah 7 bulan bekerja. Itulah saat pertama kali seorang BMI
betul-betul melihat dunia luar tanpa embel-embel tugasnya sebagai pembantu
rumah tangga. Rini menggambarkan hari
libur pertamanya setelah satu tahun bekerja. “Saya merasa seperti ayam yang
baru saja keluar dari kandang saja. Tidak tahu harus melangkah ke mana ketika
keluar rumah, dan gagap saat ketemu orang. Selama ini saya seperti burung di
dalam sangkar saja, sangkar yang begitu sempit dan menyesakkan” (75). Langkah
Rini mengarah ke Victoria Park. Taman ini memang sangat terkenal sebagai tempat
ratusan buruh migran dari berbagai negara berkumpul dengan teman sekampung.
Film Minggu Pagi di Victoria Park
(2010) yang disutradarai Lola Amaria memotret fenomena ini dengan sangat
baik. Berbagai sudut taman dikuasai
buruh migran dengan berbagai aktivitas. Hal yang sama juga tertangkap di
pengamatan Rini. “Hampir tidak ada tempat kosong di tempat ini. Semua penuh dan
itu semua teman Indonesia. Bahkan lapangan sepakbola itu-mereka rupanya ngawur
juga-dijadikan tempat duduk. Mereka menggelar tikar atau plastik untuk makan
bersama atau tidur” (77).
Interaksi Rini dengan sesama BMI menyiratkan bagaimana ethnoscape tidak hanya mengacu pada perpindahan
invididu secara fisik, namun juga perubahan perilaku, seperti halnya yang umum
terjadi pada masyarakat diaspora. Saat saya studi di Texas dulu, teman saya
dari Pakistan mengatakan, “here, either you go to the right or you turn left.
There’s no such thing as staying where you are.” Hal yang sama juga tercatat
oleh Rini. Dia tuliskan rasa syukurnya bertemu dengan teman satu penampungan,
yang dulunya judes dan cuek, sekarang ramah dan berjilbab. “Di negeri ini aku
akan belajar untuk menyikapi hidup dengan lebih dewasa yang tentunya berada di jalan Tuhan” (78).
Namun di sudut lain, Rini juga tergagap mempertanyakan logika. “Saat itu tampak
di depan mata saya, perempuan yang tinggi besar hitam, rambutnya habis dikerok,
sedang memeluk perempuan cantik di bawah pohon itu. Apakah ketidakbahagiaan
mereka di negeri ini sudah merusak akal sehat mereka”? (82).
Hari pertama Rini penuh sesak dengan kilasan hidup para BMI.
Sama halnya dengan Victoria Park dan
jembatan penyeberangan yang juga penuh sesak diprivatisasi oleh para
buruh migran. Rini bertanya dalam hati, “kalau memang nggak seperti ini, mau ke
mana lagi” (82).
Kegalauan Rini menyiratkan betapa pentingnya sebuah sarana
ekspresi diri diperlukan oleh para BMI, tidak hanya untuk membantu mereka
mengisi hari libur yang hanya beberapa jam seminggu sekali, namun untuk
memberdayakan diri agar tetap bisa melakukan manejemen identitas yang positif
dan produktif. Menengok kembali kegiatan kreatif penulisan yang marak di
kalangan BMI, apresiasi dan dukungan patut diberikan bagi para BMI yang
konsisten menulis dan bahkan telah menerbitkan karya-karya mereka.
1 comment:
TKW Hong Kong akan mendapatkan statutory holiday setelah tiga bulan bekerja. Ini meliputi libur satu kali tiap satu minggu, 12 hari labour holiday dan cuti tahunan (1 tahun mendapat 7 hari cuti tahunan).
Post a Comment