Thursday, April 05, 2012

BMI DAN MENULIS KREATIF: SEKELUMIT TENTANG TULISAN RINI WIDYAWATI


Berbicara tentang TKW adalah menguak migrasi tenaga kerja transnasional yang bersifat massif. Ribuan perempuan meninggalkan desa-desa di pelosok Indonesia, menuju negara-negara yang secara ekonomi lebih makmur di Asia. Dalam bukunya Modernity at Large (1996), TKI/TKW merupakan bagian dari apa yang disebut Arjun Appadurai sebagai ethnoscape. Istilah ini mengacu pada lansekap kelompok orang dan individu yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain, dengan potensi memberikan pengaruh politik pada negara pengirim dan negara penerima.  Mobilitas yang menembus batas negara ini sendiri merupakan simbol modernitas. Masyarakat Indonesia pada umumnya menyebut mereka sebagai TKW, namun mereka sendiri lebih suka disebut sebagai BMI. Sementara itu, buruh migran dari Filipina dengan profesi yang sama menolak disebut maid dan lebih suka menyebut diri mereka DH. Domestic helper ? Secara literal jawabannya ya. Namun mereka lebih menyukai inisialnya. “It’s cool.”

Menyimak tulisan-tulisan para buruh migran Indonesia (BMI) yang tengah atau pernah mengais dolar di negara-negara yang lebih makmur seperti Hong Kong, Taiwan dan Singapore, kita seakan diajak menelusuri perjalanan mereka menembus batas ruang (space). Apakah mobilitas transnasional yang dilakukan para BMI ini menjanjikan kebebasan? Curahan hati Rini Widyawati dalam bukunya Catatan Harian Seorang Pramuwisma (JP Books, 2005) memberikan jawaban yang berbeda. Baginya, Hong Kong adalah paduan antara harapan dan kegamangan. Sebagaimana dia ungkapkan, Hong Kong “telah mengubah banyak tetangga saya, perempuan-perempuan sebaya saya, menjadi perempuan-perempuan gemerlapan. […] Ataukah justru saya akan mati di negeri ini, dan mayat saya saja yang akan melewati bandara ini, seperti halnya nasib beberapa TKI lain, yang kadang tidak jelas sebab kematiannnya” (1-2). 

Bagi sebagian buruh migran, harapan untuk mereguk kebebasan melihat dunia luar seringkali hanya terwakili oleh pemandangan lansekap kota yang hanya bisa dinikmati dari balik jendela apartemen tingkat 10. Pei-Chia Lan dalam bukunya Global Cinderellas: Migrant Domestics and Newly Rich Employers in Taiwan (2006) menyebut mereka global Cinderellas. Mereka mengejar mimpi untuk mengubur kemiskinan dengan meninggalkan desa dan negerinya, namun sebagian besar menit dalam kehidupan mereka harus dilewati di balik tembok apartemen, di bawah pengawasan majikan. Ruang privat bukanlah pilihan yang bisa mereka minta. Rini mengungkapkan ketidak-nyamanannya berada di bawah ‘tatapan’ majikannya, bahkan ketika larut sudah tiba. 

Sudah pukul 02.00…Tak tahu mengapa, saya juga masih belum bisa tidur…Cahaya lampu masuk ke kamar saya yang terbuka lebar. Ingin sekali saya menutup pintu itu. Tapi, saya tahu pasti, nanti nyonya majikan saya akan membukanya kembali tanpa alasan. Mungkin, nyonya itu takut kalau-kalau saya akan menjahili anaknya, yang memang tidur sekamar dengan saya (19).

Resistansi atau perlawanan seringkali muncul dalam kondisi tekanan. Namun resistansi tidak harus selalu dimaknai sebagai upaya untuk menyerang balik sebuah kekuasaan. Dalam pandangan Foucault, kekuasaan tidak selalu bersifat menekan atau membatasi, namun juga memberdayakan pihak subordinat. Dengan demikian, melawan tidak selalu berarti ‘mengatakan tidak,’ namun lebih sebagai proses kreatif untuk menciptakan atau mengubah situasi, dan menjadi bagian aktif dari proses kekuasaan itu. Dalam konteks ini, upaya Rini untuk mengatasi keterbatasan ruang gerak adalah strategi perlawanan. Rini memiliki kebiasaan menulis buku harian. Baginya, menulis adalah sebuah obsesi untuk ingin berbagi cerita. Pengalamannya menjadi asisten plus juru ketik novelis perempuan Ratna Indraswari Ibrahim banyak membentuk harapannya untuk suatu saat bisa menulis buku. Ironisnya, majikan Rini, seorang sopir truk, tidak mengijinkannya untuk kelihatan nganggur sedetikpun, meski apartemen mereka sangat kecil. Rini bisa mengerjakan semua pekerjaan hanya dalam beberapa jam, dan menyisakan begitu banyak waktu untuk menulis di buku hariannya. Dengan cerdiknya, Rini menyimpan buku hariannya di dalam panci yang tidak terpakai, dan dia akan duduk di lantai dapur, dekat pintu masuk apartemen: 

Saya hafal betul suara dan irama langkah kaki majikan saya. Kalau saya mendengar langkah kaki itu, saya akan segera memasukkan buku harian ke dalam panci. Majikan saya tidak pernah membuka panci. Bisa saya bayangkan, kalau majikan saya tahu ada pulpen dan buku di dalam panci, mungkin akan memakannya mentah-mentah (23).

Penuturan Rini menunjukkan betapa rumitnya sebuah proses kreatif bagi seseorang, namun pada saat yang sama menggambarkan strategi yang cerdar untuk memberdayakan diri sendiri dan memberikan identitas baru di luar perannya sebagai seorang pembantu. Dalam konteks ruang, upaya ini juga bisa dikatakan sebagai privatisasi ruang publik. 

Contoh privatisasi ruang publik yang lebih gamblang juga bisa ditelusuri di bagian lain dari tulisan Rini. Sesuai kontrak, seorang BMI biasanya baru bisa memperoleh day-off seminggu sekali setelah 7 bulan bekerja. Itulah saat pertama kali seorang BMI betul-betul melihat dunia luar tanpa embel-embel tugasnya sebagai pembantu rumah tangga.  Rini menggambarkan hari libur pertamanya setelah satu tahun bekerja. “Saya merasa seperti ayam yang baru saja keluar dari kandang saja. Tidak tahu harus melangkah ke mana ketika keluar rumah, dan gagap saat ketemu orang. Selama ini saya seperti burung di dalam sangkar saja, sangkar yang begitu sempit dan menyesakkan” (75). Langkah Rini mengarah ke Victoria Park. Taman ini memang sangat terkenal sebagai tempat ratusan buruh migran dari berbagai negara berkumpul dengan teman sekampung. Film Minggu Pagi di Victoria Park (2010) yang disutradarai Lola Amaria memotret fenomena ini dengan sangat baik.  Berbagai sudut taman dikuasai buruh migran dengan berbagai aktivitas. Hal yang sama juga tertangkap di pengamatan Rini. “Hampir tidak ada tempat kosong di tempat ini. Semua penuh dan itu semua teman Indonesia. Bahkan lapangan sepakbola itu-mereka rupanya ngawur juga-dijadikan tempat duduk. Mereka menggelar tikar atau plastik untuk makan bersama atau tidur” (77). 

Interaksi Rini dengan sesama BMI menyiratkan bagaimana ethnoscape tidak hanya mengacu pada perpindahan invididu secara fisik, namun juga perubahan perilaku, seperti halnya yang umum terjadi pada masyarakat diaspora. Saat saya studi di Texas dulu, teman saya dari Pakistan mengatakan, “here, either you go to the right or you turn left. There’s no such thing as staying where you are.” Hal yang sama juga tercatat oleh Rini. Dia tuliskan rasa syukurnya bertemu dengan teman satu penampungan, yang dulunya judes dan cuek, sekarang ramah dan berjilbab. “Di negeri ini aku akan belajar untuk menyikapi hidup dengan lebih dewasa  yang tentunya berada di jalan Tuhan” (78). Namun di sudut lain, Rini juga tergagap mempertanyakan logika. “Saat itu tampak di depan mata saya, perempuan yang tinggi besar hitam, rambutnya habis dikerok, sedang memeluk perempuan cantik di bawah pohon itu. Apakah ketidakbahagiaan mereka di negeri ini sudah merusak akal sehat mereka”? (82). 

Hari pertama Rini penuh sesak dengan kilasan hidup para BMI. Sama halnya dengan Victoria Park dan  jembatan penyeberangan yang juga penuh sesak diprivatisasi oleh para buruh migran. Rini bertanya dalam hati, “kalau memang nggak seperti ini, mau ke mana lagi” (82). 

Kegalauan Rini menyiratkan betapa pentingnya sebuah sarana ekspresi diri diperlukan oleh para BMI, tidak hanya untuk membantu mereka mengisi hari libur yang hanya beberapa jam seminggu sekali, namun untuk memberdayakan diri agar tetap bisa melakukan manejemen identitas yang positif dan produktif. Menengok kembali kegiatan kreatif penulisan yang marak di kalangan BMI, apresiasi dan dukungan patut diberikan bagi para BMI yang konsisten menulis dan bahkan telah menerbitkan karya-karya mereka. 

1 comment:

Rie Rie said...

TKW Hong Kong akan mendapatkan statutory holiday setelah tiga bulan bekerja. Ini meliputi libur satu kali tiap satu minggu, 12 hari labour holiday dan cuti tahunan (1 tahun mendapat 7 hari cuti tahunan).