Besarnya dampak ‘krisis literasi’ secara individu sudah sering dibahas di dunia sastra. Celie dalam The Color Purple (1982) karya Alice Walker menemukan literasi sebagai kekuatan untuk pemberdayaan diri. Dalam versi filmnya, tokoh Celie dimainkan apik oleh Whoopi Goldberg. Novel dan filmnya termasuk yang paling sering saya bahas di kelas-kelas saya dulu. Masih banyak lagi karya sastra yang membahas pentingnya literasi dalam kehidupan sosial.
Di sisi lain, kita tahu bahwa krisis literasi sebenarnya bukanlah sekedar masalah pribadi, namun adalah tantangan sosial yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Di negara kita sendiri, praktis tiap hari kita mengungkapkan keprihatinan kita terhadap rendahnya budaya membaca menulis di masyarakat Indonesia. Bolehlah kita berpendapat bahwa bangsa kita tengah, atau bahkan sudah lama mengalami krisis literasi. Di seluruh dunia, perhatian terhadap perkembangan literasi memang semakin meningkat, dengan anggapan bahwa di mana-mana sedang terjadi krisis literasi. Apakah krisis yang kita bayangkan ini memang ada, dan bila iya, apakah dimaknai sama? Sebenarnya definisi krisis ini amat beragam, bergantung di mana krisis itu dianggap terjadi. Dalam buku Literacy and Motivation (2001), Ludo Verhoeven dan Catherine E. Snow memberikan beberapa contoh krisis literasi. Di negara-negara berkembang misalnya, istilah krisis literasi mengacu pada pentingnya peran literasi dalam pembangunan ekonomi, namun dihadapkan pada kondisi keterbatasan ketrampilan literasi di kalangan masyarakat, akses pendidikan, dan tantangan dalam menerapkan sistem pendidikan secara universal bersamaan dengan program literasi untuk orang dewasa. Bila melihat ciri-cirinya, kita harus mengakui bahwa bangsa Indonesia masuk dalam kategori ini. Sulitnya kondisi pendidikan seperti terbatasnya jumlah guru, minimnya fasilitas, dan sulitnya menjangkau lokasi sekolah di daerah-daerah binaan program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3-T) menjadi bukti lebarnya disparitas pendidikan di negara kita.
Di negara-negara maju, dengan tingkat literasi yang tinggi, termasuk di dalamnya adalah Amerika bagian utara (AS dan Canada) dan Eropa, krisis literasi berarti terdapatnya ketimpangan dalam distribusi ketrampilan literasi. Hal ini disebabkan oleh lebarnya jurang penguasaan ketrampilan literasi dalam konteks pendidikan formal antara masyarakat imigran dan kelompok minoritas dengan populasi negara-negara tersebut secara keseluruhan. Bahkan di negara-negara maju yang boleh dikatakan sudah mencapai tingkat literasi yang merata, krisis literasi juga terjadi, dalam konteks ketidak-mampuan kelompok masyarakat angkatan kerja untuk menjawab tantangan teknologi canggih yang digunakan di peralatan-peralatan pekerjaan untuk jenis pekerjaan kasar sekalipun. Dengan kata lain, literasi digital di kalangan masyarakat pekerja di negara maju ada pada tingkat mengkhawatirkan.
Makna lain dari krisis literasi adalah kondisi di mana orang-orang yang secara teknis sangat ‘literate,’ dalam artian mampu membaca buku-buku yang kompleks, malah menunjukkan gejala aliterasi. Misalnya, anak-anak sekolah yang berprestasi terbukti menghabiskan waktu lebih sedikit untuk membaca dibandingkan dengan anak-anak di usia sama pada 50 tahun yang lalu; buku-buku ‘best-seller’ untuk orang dewasa tidak lagi berupa sastra berkelas, namun adalah how-to books atau fiksi murahan; dan diskusi atau obrolan bermutu tentang pengarang besar dan karya-karyanya sudah digeser oleh obrolan tentang program televisi dan software komputer. Jujur saja, kondisi aliterasi seperti ini juga terjadi di masyarakat urban di Indonesia, dengan variasi yang lain. Yang terjadi bukanlah penurunan tingkat membaca atau pergeseran topik obrolan, namun rendahnya kebiasaan membaca di kalangan masyarakat terdidik, terutama di sekolah. Kalau karya sastra anak bangsa sendiri saja hampir tidak pernah disentuh, bagaimana mau terlibat dalam obrolan cerdas tentang sastra.
Menyedihkan memang menyadari bahwa semua makna krisis literasi di atas terjadi pada bangsa kita, mulai hulu hingga hilir, dari daerah tertinggal hingga rumah-rumah mentereng di kota besar. Krisis literasi yang terjadi di dunia ternyata lengkap tersedia di masyarakat kita, mulai tingkat functional literacy yang dibutuhkan untuk sekedar baca tulis untuk kehidupan sehari-hari dan untuk belajar di bangku sekolah, digital literacy untuk meningkatkan posisi tawar di dunia kerja, sampai critical literacy untuk mengasah sensitivitas dan kesadaran berkehidupan yang manusiawi.
Upaya untuk mengembangkan literasi memerlukan redefinisi literasi itu sendiri. Literasi bukan hanya pencapaian kognitif, dalam arti bahwa seseorang mampu membaca dan menulis. Pandangan ini akan cenderung membawa kita pada keyakinan bahwa literasi adalah tanggung-jawab sekolah. Kita perlu menyadari bahwa literasi membutuhkan komitmen secara afektif. Hanya dengan melihat makna literasi secara holistik ini kita bisa mencetak ‘pembaca aktif,’ yang punya motivasi internal untuk membaca, memahami kenikmatan dan manfaat yang diperoleh dari kegiatan membaca, dan menyediakan waktunya untuk membaca dalam keseharian. Literasi yang bernafaskan komitmen afektif sebenarnya adalah bagian dari pemikiran bahwa literasi adalah praktik sosial, yang mengandung nilai-nilai, perasaan, dan perilaku individu/masyarakat. Literasi sebagai praktik sosial, sebagai vernacular practice memiliki berbagai fungsi, untuk mengatur kehidupan sehari-hari, komunikasi personal, kesenangan pribadi, dokumentasi kehidupan pribadi, pemaknaan diri dan lingkungan, dan partisipasi sosial. Hanya dengan melihat literasi sebagai satu praktik sosial kita bisa menemukan faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi motivasi baca-tulis, untuk kemudian bisa membentuk (kembali) peran literasi untuk meningkatkan kualitas hidup bermasyarakat.
Kehadiran media dalam kehidupan sehari-hari memang mengubah hidup kita secara drastis. Lalu bagaimana kita menyiasati krisis literasi , sementara dalam keseharian kita terpapar pada media? Dunia berbasis web 2.0 seperti sekarang ini sebenarnya malah membuka banyak peluang. Sebagai orang yang sering mengamati karya seni dalam bentuk film dan dan artefak budaya lain seperti iklan dan acara TV, saya termasuk yang percaya bahwa ada konvergensi antar praktik literasi. Konsep literasi sekarang ini sudah masuk ke third wave, dengan istilah New Literacy Studies (NLS). Literasi tidak hanya terbatas pada printed form, namun juga dalam bentuk media digital. Itulah yang kemudian membuat Cultural dan Media Studies semakin beririsan dengan Literacy Studies.
Pemanfaatan media untuk critical engagement justru sangat dianjurkan dalam proses belajar mengajar sekarang ini, terutama dengan kondisi bahwa mayoritas siswa sekolah (terutama di masyarakat urban) sudah menjadi digital natives. Di sisi lain, guru-gurunya masuk dalam golongan digital immigrants. Untuk bisa memenangkan hati mereka, memotivasi mereka untuk cinta literasi, satu-satunya cara adalah memahami cara berpikir 'digital' mereka, bukan sebaliknya, memaksa siswa masuk ke dunia 'primitif' guru-gurunya. Bukankah akan sangat menarik bila siswa/mahasiswa diajak berdiskusi tentang film atau media apapun dan melatih mereka menuliskan pandangan kritis mereka. Tidak masalah nantinya mau dituangkan bentuk print atau digital (mis. blogging).
Media dan teknologi hadir tidak untuk mengganti buku dalam bentuk cetak, namun melengkapi pengalaman pembelajaran tatap muka. Ini juga untuk merespon kebutuhan tiap anak dalam gaya belajar yang pasti berbeda. Pemahaman guru tentang kecerdasan majemuk akan bisa memperkaya metode dan strategi pembelajaran yang dilakukan di kelas. Contoh yang saya amati di kelas English di sekolah Ganta, versi novel dan film sama-sama dinikmati dan dibahas di kelas. Pada akhirnya, siswa tetap dituntut menghasilkan sesuatu dalam bentuk tulisan.
Dalam kaitannya dengan digital literacy, di lapangan sebagian guru/dosen sebenarnya malah membukakan pintu teknologi bagi sebagian (maha)siswa. Semua bergantung pada masanya. Setidaknya itu yang saya alami dulu. Saya pertama kali menggunakan milis untuk forum diskusi kelas sastra saya pada tahun 2005. Tidak terlalu jalan, karena banyak yang masih belum punya email, dan tidak ngeh dengan forum milis. Pada tahun-tahun berikutnya, saya mulai pakai blog untuk posting bahan kuliah dan forum diskusi. Lumayan lancar dan engaging, meski sebagian tidak punya akun, sehingga harus nunut akun temannya bila mau posting. Saat penggunaan Facebook menjamur, saya menambah jalur, dengan menggunakan FB group khusus untuk forum diskusi. Pada titik ini, rasanya lumayan lancar jaya dan interaktif. Saya kira karena model mahasiswanya sudah beda banget. Model yang terakhir ini nampaknya yang sudah digital natives. Bahan obrolan di FB group malah kemudian bisa memperkaya diskusi di kelas, atau sebaliknya, menjadi tindak lanjut pembahasan di kelas yang belum tuntas.
Sebagai guru, kita memang harus merangkul model pembelajaran konvensional dengan model digital. Seberapa cinta saya dengan penggunaan teknologi dalam pembelajaran, saya masih menikmati romantisme memegang novel untuk mengajar kelas Prose misalnya. Rasanya nikmat ketika bisa memegang bukunya, membaca kalimat-kalimat indah dan imajinatif untuk menghidupkan suasana dramatis dan memancing diskusi, serta tidak ribet dengan powerpoint.
Pembelajaran yang holistik sudah menjadi keniscayaan. Pertanyaannya, siapkah kita sebagai guru menjawab tantangan ini?
No comments:
Post a Comment