Di milis Keluarga Unesa ada kabar bahwa BEMJ jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa akan mengadakan acara Bincang Sastra pada tanggal 22 Mei 2013 nanti, dengan pembicara Prof. Mochtar Pabotinggi. Pakar intelektual dari LIPI ini juga menulis buku a la novel berjudul Burung-burung Cakrawala. Saya senang mendengar kabar ini, dan berharap bahwa acara diskusi sastra dan budaya bisa menjadi agenda rutin di jurusan tercinta. Bagaimanapun, sebuah jurusan yang berbasis tulis menulis akan kehilangan maknanya bila forum sastra, budaya, dan literasi, justru kurang mewarnai keseharian civitas akademikanya.
Sukses untuk acara Bincang Sastranya nanti. Saya berharap sekali pernyataan kolega dan sahabat dekat saya, pak Khoiri, bahwa agenda seperti ini akan menjadi awal yang baik forum serupa bisa direalisasikan ke depan, tidak hanya dengan mahasiswa, namun juga dengan siswa SD-SMA. Saya percaya bahwa cara terbaik untuk mengajak anak-anak usia sekolah cinta sastra dan literasi adalah dengan langsung berdialog dengan mereka, mendatangkan penulis langsung di hadapan mereka. Ini bisa mempersempit jarak antara dunia sekolah dengan kepenulisan atau kegiatan kreatif apapun. Saya pribadi ingin menyimpan keinginan ini untuk rancangan agenda selepas studi nanti dan kembali ke tanah air, insya Allah.
Omong-omong tentang dunia kreatif dan pembelajaran di sekolah, kebetulan sekolah Adzra juga sedang menjalankan proyek pembuatan film pendek, yang digarap oleh siswa kelas 5/6. Salah satu langkah yang dilakukan adalah mengundang film maker untuk berbagi tips. Mereka akan melakukan proyek ini selama 3 minggu, dengan mengambil tema Reconciliation. Moreland City Council menjadi teman kolaborasi, dengan mendatangkan Kimba Thompson, seorang seniman dan sutradara, yang akan berbagi tentang sejarah orang-orang Indigenous di Australia, serta betapa pentingnya Sorry Day dalam proses rekonsiliasi masyarakat Australia dengan penduduk asli Australia.
Sekolah memang perlu punya peran lebih aktif dalam mendekatkan anak-anak dengan dunia profesi, dan tentunya memahami dunia secara umum. Yang saya tahu, sejak di Kinder, Adzra dan teman-temannya sudah beberapa kali bertatap-muka dengan orang-orang dari berbagai profesi. Dari para polisi, Adzra jadi paham pentingnya safety and security dan disiplin lalu-lintas, dan punya image positif tentang polisi. Kalau ada mobil polisi lewat, Adzra suka berhai-hai melambaikan tangan. Adzra juga pernah bertemu dengan penyayang binatang, yang membawa binatang-binatangnya langsung di sekolah. Tidak main-main, ada buaya dan ular. Wedeh, saya saja sudah ngeri membayangkan bagaimana safety-nya saat itu. Kindernya juga pernah mengagendakan pengamatan chicken hatch, dengan menghadirkan ayam-ayam yang mau bertelur, dan selama 2 minggu, anak-anak diajak mengamati telur mana yang sudah menetas.
Di sekolah Moreland Primary School, berbagai hasil proyek kelas berkeliaran di dinding kelas dan aula. Praktis tidak ada tembok yang kosong. Sekolah sedang menjalankan program cinta lingkungan, dan anak-anak kelas 3/4 dan 5/6 melakukan proyek pengamatan dan menerapkan solusi secara berkelompok. Bagusnya, semua project design ditempel dalam bentuk poster di aula sekolah. Poster yang melibatkan anak-anak contohnya seperti di bawah ini.
Melihat poster pertama, saya jadi ingat 'gerakan pemilahan sampah mandiri' yang sempat saya rintis di kampung di Kebraon. Bagaimana nasib komposter Aerobnya ya, setelah 'bu Kompos' nya terbang ke Melbourne? Mudah-mudahan ibu-ibu PKK masih semangat memilah sampahnya.
Poster kedua adalah contoh kampanye 'nude food,' di mana siswa sangat dianjurkan membawa bekal yang tidak pakai factory packaging seperti kertas atau plastik. Hasil pengamatan tim lingkungan dari anak-anak kelas 5/6 diumumkan di newsletter yang dibaghikan ke orang-tua tiap bulan. Di edisi bulan ini, anak-anak Prep menjadi 'juara kebersihan' karena lebih dari 80 persen membawa 'nude food.' Masih ingat cerita saya tentang bekal Adzra kan. Nah, itu kira-kira contohnya. Kalau sudah lupa, tengok di sini.
Ada banyak proyek lain yang berjalan. Kelas Prep sendiri riuh dengan museum project pada term I yang lalu (Feb-Mar). Tiap anak diminta membawa beberapa barang yang menjadi bagian sejarah diri dan keluarganya. Tujuannya adalah agar anak mengenal identitas diri dan budayanya, serta bisa menceritakannya pada teman di kelas. Show and tell presentation gitu lah. Ini salah satu kegiatan yang Adzra sukai juga. Saat 'show and tell presentation' lain di minggu lalu, meski niatnya bercerita tentang salah satu boneka (dan sudah disiapkan), diam-diam Adzra membawa arloji saya. Adzra malah lebih sering pakai arloji tersebut buat gaya-gayaan. Seneng rasanya waktu Adzra cerita bagaimana presentasinya berjalan. Bagaimana dia harus membuka presentasi dengan 'greetings' dan kalimat 'today, I wanna tell you something about ....' dan 'bla..bla..bla..' termasuk mengundang temannya untuk bertanya. "do you have any questions?" Aku tanya dia, ''did anybody ask you questions?'' Katanya, ''of course, I got three." Lucunya, ada temannya yang tanya, "where did you buy it?" Jawab Adzra, "I told you, it's a gift from my mum."
Project-based learning memang sudah seharusnya menjadi nafas pembelajaran sejak di tingkat awal. Bukan modelnya lagi guru menyuruh siswa mengejarkan soal-soal latihan dan PR menggunung. Aku ingin nantinya selesai sekolah bisa terjun kembali, mengajak guru-guru mengembangan project-based learning di kelas masing-masing. Setelah ikut PBL online course pada awal 2011 dulu, saya belum sempat menularkannya secara langsung, kecuali menerapkan lebih serius ke kelas-kelas saya sendiri, dan malah sudah keburu ditinggal sekolah.
Bagaimana dengan proyek saya yang sedang berjalan sekarang ini? Sudah 3 bulan lebih, satu bab tentang 'suitcase libraries and Indonesian domestic workers' belum juga final. Banyak perspektif baru yang membuat saya jadi harus banyak lagi baca referensi dari disiplin lain seperti geography, migration studies dan urban planning. Ada masa-masa di mana saya sendiri bingung, which discipline do I actually belong to? So, inikah yang dimaksud bahwa 'cultural studies is an anti-disciplinary approach.' Gak mau dikotak-kotakkan, dan bergerak dari satu disiplin ke disiplin lain untuk menjelaskan fenomena literasi di kalangan BMI.
Hari-hari semakin dingin, dan mengungsi ke library tiap hari untuk bekerja dan mencari 'kehangatan' adalah jawabannya. Dalam tuntutan proyek menulis yang begitu demanding dan intense ini, menatap Adzra dalam setiap performance-nya adalah oase. Dua minggu yang lalu, dia tampil bersama anak-anak Indonesia lain, bernyanyi lagu Bunda-nya Melly Guslaw dan berpuisi di panggung Indonesia Street Festival. Jum'at kemarin dia dan teman-teman Prep bernyanyi lagu Aborigine di depan orang-tua, saat Mother's Day morning tea di sekolah. Minggu-minggu ini dia dan teman-teman ngajinya di masjid kami, Surau Kita, sedang berlatih Saman dance, untuk performance di Muslim festival minggu depan.
Lha kok anakku jadi lebih sibuk daripada ibunya!
No comments:
Post a Comment