Thursday, June 13, 2013

I've Saved the Best for Last

Pagi ini saya sudah memulai aktivitas sejak sebelum shubuh. Kalau ukuran Indonesia sih, gak pagi-pagi amat. Lha wong shubuh baru masuk pukul 06.00. Jadi bangun pukul 4 pagi lewat dikitpun masih sempat shalat beberapa raka'at dan menyelesaikan urusan dapur. Eh, tidak biasanya sebenarnya, saya masak sebelum shubuh. Tapi membaca postingan Ella, sohib saya yang ultra hebat di sini, nampaknya saya perlu meniru, supaya tidak gedubyakan memulai hari.

Masak tomyam kepala ikan salmon, ayam teriyaki, dan merebus sayuran untuk urap-urap sudah kelar menjelang pukul setengah tujuh. Itupun sudah bisa saya tinggal sebentar untuk shalat shubuh. Juga mengintip isi laptop di atas meja belajar di ruang tamu. Wira-wiri antara urusan dapur dan utak-utik file sana-sini sudah kadung jadi rutinitas.

Menu sarapan dan makan siang sudah tertata di meja makan. Lunch box Adzra sudah siap. Seragam juga sudah tertata. Lega rasanya. Hari ini insya Allah akan lancar jaya. Saya bangunkan Ganta dan Adzra untuk siap-siap sekolah. Tak dinyana Adzra merengek. "Ibu, bajuku basah." Ya Allah. sudah lama gak ngompol. Lha ini tadi malam sudah menunaikan kewajiban pipis tengah malam kok bocor di pagi hari. Oh no. 'Kalau harus ngompol, kenapa hari ini nak.' Tapi cuma saya batin saja. Sambil menahan diri supaya tidak panik mengejar waktu, segera saya ringkesi sprei dan selimut yang tergambar 'pulau baru.' Masuk mesin cuci, dan segera diputar saat itu juga. 

Hikmahnya sih, Adzra malah langsung saya guyur sekujur badan. Air hangat cenderung panas berlomba dengan udara dingin yang menyusup dari jendela kamar mandi. Tak sampai 10 menit Adzra sudah duduk meringkuk di dekat heater kamar tidur. 

Saat saya menemani Adzra menyelesaikan sarapan, Ganta keluar dari kamar mandi. "Bu, banjir nih, air buangan cucian meluap." Alamak! Ini hal yang saya biasanya sangat hati-hati. Jangan sampai lubang buangan di wastafel khusus mencuci tertutup. Lha kok ini malah kelupaan ada baju-baju Adzra membuntu lubang. Lantai kamar mandi sedikit menggenang. Merembes di karpet ruang mungil yang menghubungkan semua ruangan di apartemen.

Tak ada pilihan kecuali mengepel kamar mandi, mencuci alas yang kadung basah. Ganta saya minta turun tangan menangani karpet agar tidak basah semua. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30. Tenang Wik, masih nutut. Untung sarapan sudah siap semua, begitu saya tenangkan diri saya yang mulai senewen. These disasters. Why this morning?

"Adzra pakai seragam sendiri ya nak." Untunglah Adzra tanggap, dan tanpa kerewelan dia siapkan keperluannya sendiri. Namun baru saja mau bernafas lega ketika urusan kamar mandi hampir kelar, saya dengar panggilan Ganta lagi. "Bu, ayah sudah naik bis lho."

Oh my God! Lha jadwal Garuda yang tadi saya intip apa keliru to. Padahal saya sudah mening-mening berencana naik train ke Southern Cross station setelah mengantar Adzra ke sekolah jam 9 nanti. Ini jadwal yang sudah beberapa kali kami pilih ketika ayah Adzra datang. Mas Prapto selalu naik Skybus dari Tullamarine airport. Dan saya tinggal menjemput ke Southern Cross station. Nanti baru naik train lagi, Upfield line, menuju ke rumah. 

Wis ibu budal ae," begitu ujar Ganta. Waduh belum mandi lagi. Terpaksa ber-shower  secepat kilat. Maunya berwangi ria di depan suami jadi gak terpikir lagi. Sambil bergegas mengenakan baju 3 lapis, winter jacket, dan scarf, saya memberi perintah pada Ganta. "Adike diantar ke oom Bayu. Biar nanti diantar berangkat sekolah sama Sarah. Jangan lupa sweaternya, jaketnya. Bekalnya sudah di tas, tinggal angkat. Adzra jangan lupa sikat gigi dulu. Gan, sarapan dulu. Jangan telat ya. Sudah ya. Saya menutup pintu setelah mengucap salam kepada Ganta dan Adzra.

Setengah berlari saya coba mengejar train menuju city. Anstey station hanya 7 menit jalan dari rumah. Tapi jadwal train yang paling cepat baru pukul 08.18. Terpaksa menunggu 10 menit. Barulah saya sempat mengecek pesan di whatsapp. Weleh, ternyata mas Prapto sudah mengirim pesan bahwa dia sudah landing sejak pulu 6.30. Dan saya sedang sibuk mengurusi ompol Adzra dan luberan air di kamar mandi. 

"Aku sudah sampai." Pesan baru masuk dari mas Prapto. "Ya wis, tunggu aja di cafe situ sambil ngopi," jawab saya. Butuh sekitar 30 menit untuk sampai ke Southern Cross. Saya sempatkan telpon Piki, istri Bayu. "Piki, titip Adzra antar sekolah sama Bayu nanti ya." Keluarga kecil dari Jakarta itu tinggal tepat di atas unit saya. 

Sambil berjejal di dalam train, saya berpikir. Semua sudah saya rencanakan baik-baik, kok ya ada saja yang tak terduga. Tapi mudah-mudahan semua lancar setelah ini. Anak-anak sudah berangkat sekolah, dan saya sudah dalam perjalanan. Ayahnya juga mungkin bersantai menikmati dinginnya Melbourne sambil ngopi. It can't be worse than this.

"We're arriving at Flagstaff. Change here for Southern Cross services." Ealah, lha kok train kali ini tidak lewat Southern Cross sih!. Saya harus ganti train lain. Ampun mama. Harus nunggu lagi. Meski cuma 3 menit sebelum saya meloncat ke Craigieburn line, tak urung saya geleng-geleng kepala. Ada saja hal yang tak terduga. 

"Belum sampai ta." Pesan kembali masuk. I know honey. It's longer than expected. Tapi itu batin saya. Dan saya memilih menjawab, "yo, ini dah sampai." Padahal train belum berhenti, dan saya juga masih harus berlari ke sisi lain Southern Cross station untuk menuju ke pintu keluar pemberhentian bus.

Beberapa kali saya harus say sorry kepada orang yang saya senggol atau tabrak tanpa sengaja. Tapi akhirnya wajah arjunaku nampak dari kejauhan. Tangan saya mengembang memeluknya. Cekikikan dengan segala hiruk-pikuk tak terduga. 

Tatap muka yang tertunda selama hampir 6 bulan membuat kami ingin segera sampai di rumah. Seakan memunguti obrolan yang belum tersampaikan, naik Upfield line seperti tak serasa. Sampai tersadarkan bahwa train ini ternyata direct express. Tidak berhenti di stasiun kecil. Dan Anstey station yang dekat dengan rumah terlewat sudah tanpa diampiri. Lah, sama-sama bingung. Iki piye mudun ning endi. Selama hampir 2 tahun di sini, belum pernah saya naik train yang direct express ini. Walah kok ya tambah suwe perjalanane

Untung saja kemudian train melambat, sebelum berhenti di Coburg station, 3 stop dari Anstey. Daripada menunggu train arah sebaliknya, saya ajak saja mas Prapto jalan sedikit jauh menuju tram stop. "wis naik tram aja, nanti turun lebih dekat dengan rumah. Ben olahraga pisan, ben gak kademen

15 menit tidak akan lama. Itu jarak Coburg ke Brunswick. Hanya 8 tram stops saja. Dan anggap saja ini saat yang tepat untuk menghangatkan badan. Hujan rintik sejak pagi. Udara dingin menusuk. Biarlah jadi warming-up sebelum kerinduan tanpa kata terbayarkan. 

Dan ketika mas Prapto sedang mendengkur melepas lelah di kamar dengan semburan heater yang hangat, saya telah membagikan segala beban pikiran ke pundaknya. I've saved the best for last.  

2 comments:

latansa said...

it is a very nice occaaion to see your writing again and again maam.

latansa said...

it is a very nice occaaion to see your writing again and again maam.