Wednesday, September 11, 2013

DUL, GANTA, DAN PENEGAKAN HUKUM LALU-LINTAS

Saya mendengar kasus kecelakaan si Dul, anak ketiga artis Ahmad Dhani, ketika Ganta bilang bahwa Dewa 19 mungkin tidak jadi manggung di Melbourne. Ganta sudah pegang tiket, jadi dia menakar apakah keturutan nonton Ari Lasso dan Andra n the Backbone besok Jum'at, 13 September di Melbourne Town Hall.

Saya tidak akan membahas mengapa dan bagaimana Dul yang masih bau kencur bisa lepas nyetir sendiri, di tengah malam, di jalan tol pula. Saya tahu rasanya punya anak remaja tanggung yang bisa naik sepeda motor di usia belasan. Deg-degan ketika wajahnya belum nongol di waktu yang seharusnya. Gak usah jauh-jauh, saya sendiri juga sudah bisa sepeda motor sejak SMP kelas 2. Entah apa bapak ibu saya juga merasakan kecemasan yang sama, meski saya bukan tipe yang keluyuran malam tanpa tujuan.

Jaman saya di SMP dulu, di tahun 1980an, ada sekelompok teman, anak-anak tajir, yang sudah dilepas setir mobil sendiri. Acapkali saya dapat tumpangan gratisan. Entah kenapa anak-anak keren itu kadang mendekati saya. Mungkin saat itu yang bisa saya barter dengan mereka adalah waktu untuk menjadi teman belajar kelompok. Eh jadi ngelantur!

Mengingat teman-teman saya yang lumayan berlimpah materi (dan jadi cenderung permissive), seingat saya, kami tidak mengajari Ganta nyetir mobil sampai ketika dia masuk SMA. Toh itu bukan berarti bahwa dia tidak bisa nyetir. Punya anak yang sosialiasinya tinggi (baca: sering dolan) sudah cukup menjadi penanda bahwa pastilah dia pernah coba-coba setir mobil. Yang bisa kami lakukan saat itu adalah wanti-wanti, tidak boleh setir sendiri di jalan raya tanpa ayah atau ibu di jok kiri. Dan ini harus berlaku sampai pegang SIM sendiri. Dan hak memegang SIM akhirnya keturutan ketika kami pulang ke tanah air Desember lalu, ketika Ganta sudah melewati usia 17 tahun. 

Sejujurnya, pola pikir penerapan hukum di tanah air yang suka acakadut acapkali membuat orang-orang Indonesia di sini jadi gagap. Suka kaget dengan penegakan hukum yang kenceng tapi tanpa kekerasan. Karena kita suka meremehkan pelanggaran kecil ketika di tanah air, ketiak kena batunya di sini, yang muncul adalah omelan. "Cuma gitu aja thok lho!" Tapi tidak ada yang protes atau tawar-menawar. Memang aturannya gitu.

Ketika Ganta sudah pegang SIM yang diterjemahkan, baru sadar dia bahwa usia minimal menyetir di Melbourne adalah 18 tahun. Kami tidak berani main-main dengan hukum di sini. Urusan denda tinggi paling ditakuti. Tentang denda, sudah 2-3 kali kami kena, untuk urusan ini-itu. Satu kali mas Prapto terlambat memindahkan mobil yang diparkir di area 2P. Ini adalah area di mana mobil bisa diparkir gratis, maksimal 2 jam. Kelewat cuma 15 menit, karena saya lagi teler di RS. Toh parking ticket sudah tertempel di kaca mobil. Disertai berapa dendanya, dan ke mana harus bayar, atau kalau mau ajukan appeal dengan alasan tertentu agar dibebaskan. Denda 72 dolar akhirnya harus kami bayar, setelah appeal yang saya ajukan dengan alasan medis dianggap kurang kuat. Ya sudah, memang salah.

Ganta sendiri suka buat kebat-kebit urusan Myki card. Myki ini adalah public transport card yang bisa dipakai untuk naik tram, train, dan bus. Setidaknya sudah 3 kali saya menerima telpon dari HPnya, tapi di ujung sana adalah petugas Public Transport Victoria. Sekali karena dia lupa memperpanjang concession card. Sebagai student, Ganta dapat diskon 50% ke mana saja, asal memegang concession card yang valid. Kena deh denda 70 dolar. Kali lain dia dianggap belum 'touch on' di myki scanner di stasiun. Ketika touch off dan mau keluar di stasiun kota, gate gak bisa buka. Meski dia 'ngengkel' sudah touch on, kalau system membaca berbeda, ya mau bagaimana lagi. Untung sampai sekarang belum ada surat tagihan denda meluncur di kotak pos. Yang terakhir, baru 1 minggu yang lalu, lagi-lagi suara petugas terdengar di HPnya. Saya sudah deg-degan, jangan-jangan dia lupa top up myki-nya. Bepergian dengan saldo myki yang tidak cukup sudah alamat kena denda 200 dolar lebih. Apalagi kalau sudah dianggap usia orang dewasa. Ternyata yang sekarang pelanggarannya adalah 'duduk methingkrang' di kursi train. 

Pembicaraan tentang pelanggaran hukum lalu-lintas termasuk yang paling sering kami lakukan, juga sambil menengok kasus serupa yang dialami teman/tetangga. Menyetir melewati batas kecepatan (meski cuma 5 km/jam di atas batas bisa kena 160 dolar,  lewat CityLink (tol kota) tanpa ijin (karena ketidaktahuan) juga didenda, dan urusan parkir melewati batas waktu adalah yang paling banyak terjadi. Untuk semua kejadian ini, praktis kami tidak pernah berhadapan dengan petugas. Yang kami pelototi adalah surat pemberitahuan dan dendanya. Mau protes boleh, dan ditunjukkan jalurnya. Selama appeal, tidak harus bayar denda. Bila appeal ditolak, ya bayaren. 

Dengan penegakan hukum yang tegas dan sistem yang benar, kami semakin berhati-hati dalam berlaku. Apalagi ini negara orang. Meski kadang harus pakai engkel-engkelan, akhirnya Ganta juga bisa memahami bahwa aturan memang ada untuk diikuti. Toh akhirnya dia sendiri yang kena getahnya. Ibunya juga sih, yang harus bayar denda atau jawab pertanyaan petugas. Benar nggak ini anak ibu? Alamatnya di mana? 

Punya mobil di luar negeri memang enak. Bisa ngirit biaya transpor publik sekeluarga, Tapi aturannya berderet-deret. Kalau punya anak kecil, harus ada child seat. Jangan menyetir tanpa SIM (alhasil saya tidak pernah pegang setir, krn SIM sudah expired), apalagi, pinjamkan mobil ke teman yang gak punya SIM. Kalau mau mengajak teman bareng, harus pastikan berapa seat yang available, baik untuk anak maupun orang dewasa. Gak ada ceritanya kruntelan di jok belakang. 

Ketika kami bersyukur Ganta tak harus sembunyi-sembunyi menyetir sebelum usia ke 18 di sini, di hati kecil ini, kami sebenarnya berharap tidak terjadi gagap hukum ketika balik ke tanah air. Ini sejatinya yang sedang membuat galau teman-teman yang membawa keluarga. Saat pulang kampung tahun depan, atau 2 tahun lagi, anak-anak yang dulunya balita sudah menjadi remaja kecil. Yang dulu lugu, tahun depan sudah akan nyemplung di lingkungan baru. 

Hal yang lama kadang membuat diri terasing. Yang baru sebenarnya sudah pernah ada. Hanya cara pandang yang nampaknya sudah akan berubah. Semoga berubah ke lebih baik. 

No comments: