Sunday, September 15, 2013

MITOS LITERASI

Saya bangun pagi dengan kebingungan. Keraguan akan arah tesis saya. Apakah argumen saya bahwa para buruh migran menjadi sosok yang lebih smart, educated, dan tech-savvy melalui praktik literasi berterima secara ideologis. Jangan-jangan argumen ini malah menghasilkan sebuah sub-teks, di mana TKW yang tidak membaca dan menulis, yang tidak kenal dengan perpustakaan lesehan, yang tidak ikut berdiskusi tentang sastra, adalah TKW yang dungu, terbelakang, dan akibatnya, menjadi sasaran empuk kekerasan majikannya.

Rasa sangsi ini juga dipicu oleh obrolan di milis Keluarga Unesa tentang buku Jangan Tinggalkan Kami. Buku ini adalah kumpulan kisah perjuangan paa guru SM-3T Unesa di Sumba. Mas Satria Dharma, teman milis, memberikan ulasan tentang buku ini (selengkapnya bisa dibaca di sini). Tulisan ini kemudian dikomentari Habe Arifin, yang menganggap bahwa ulasan mas Satria Dharma memberikan gambaran bahwa buku itu ditulis dengan perspektif Jakarta. Amat tidak ramah dengan konteks Sumba dan daerah SM-3T lainnya. Seolah-olah pembelajaran yang dibawa para pendidik SM-3T mengajak siswa untuk berbondong-bondong ke Jawa, yang dianggap sebagai pusat peradaban di Indonesia.

Sebenarnya saya tahu bahwa Habe tidak hanya sekedar paham akan pentingnya pendidikan. Yang dia kritisi adalah pandangan bahwa model pendidikan yang betul adalah yang berpusat di daerah urban. Pendidikan yang seperti ini memang menjadi tidak kontekstual, yang berpotensi menempatkan siswa daerah di posisi subordinat. 

Sama halnya dengan pandangan umum bahwa literasi adalah tiket untuk menjadi masyarakat beradab. Literasi yang menempel erat pada pendidikan formal akan meningkatkan mobilitas sosial seseorang. Dari orang miskin menjadi terpandang di mata masyarakat. Orang yang berpendidikan dan melek literasi adalah sosok yang percaya diri, lebih mandiri, dan lebih siap terjun ke masyarakat.

Tentu saja tidak ada yang salah dengan pandangan itu. Namun nampaknya kita perlu awas untuk tidak terpeleset ke dalam mitos literasi. Konsep di atas cenderung membuat kita membayangkan bahwa literasi adalah proses yang linier, universal, dan satu warna. Pandangan ini pada akhirnya akan bermuara pada ekspektasi kuat dan nilai positif pada individu dan masyarakat. 

Di dalam perdebatan teori literasi, ada yang disebut sebagai The Great Divide. Literasi sebagai model kognitif dan autonomous cenderung diusung bidang-bidang pedagogi dan psikologi. Berbagai teori literasi di kelompok ini menghasilkan gambaran 'the triumph of literacy,' yang ujung-ujungnya adalah mitos literasi. Ada jurang pemisah antara orang yang melek aksara dengan yang buta huruf, yang suka baca dengan yang tidak, yang sekolah tinggi dengan yang lulusan SD. Itu karena literasi dipandang sebagai aksi penyelamatan atas nasib individu dan masa depan masyarakat atau suatu bangsa. 

Di sisi seberang, literasi dilihat sebagai model ideologis, sebagai praktik sosial yang amat kompleks. Di dalamnya tersimpan berbagai jenis literasi yang diasosiasikan dengan berbagai domain kehidupan. Praktik literasi juga dipola oleh institusi sosial dan hubungan kekuasaan, dan dengan demikian sebagian literasi lebih dominan daripada literasi yang lain. Praktik literasi juga memiliki berbagai tujuan yang melekat erat pada tujuan sosial dan praktik budaya, selalu berlangsung dalam konteks sejarah. Yang tak kalah pentingnya adalah bahwa praktik literasi selalu berubah, dan bentuk literasi yang baru diperoleh melalui proses pembelajaran dan pembentukan makna yang informal.

Melihat begitu dinamis dan cairnya praktik literasi di masyarakat, konsekuensinya adalah mengubah arah studi tentang literasi dari setting ruang kelas saja menjadi lebih lebar ke domain lain di masyarakat. 

Bagaimana saya baru mengalami kesadaran ini, sementara secara teoritis sudah saya pahami hampir dua tahun ini? Kemungkinan besar saya terjebak dalam subjektivitas saya sendiri. Bahwa mitos literasi itu bukanlah mitos di mata saya. Secara tidak sadar, kalimat-kalimat di tesis saya selalu ingin bermuara ke sana. Padahal di depan mata saya berkeliaran banyak data yang menyatakan bahwa literasi dipandang sebagai ancaman, literasi bukanlah tujuan di HK. Secara tidak sadar, di mata para TKW yang menulis juga terbentuk dikotomi TKW penulis dan non penulis, yang berpeluang menghasilkan subordinasi di komunitas sendiri. 

Atas kesadaran ini, saya ingin lebih berhati-hati untuk tidak memberikan kesan keliru. Jangan sampai agenda keberpihakan saya terhadap TKW malah menimbulkan keberpihakan pada kelompok tertentu. Para TKW yang tidak berpraktik literasi (baca: menjadi penulis) bisa jadi amat literate dalam kewirausahaan, berkesenian, bermain saham. Sama halnya dengan TKW yang menjadi blogger, TKW yang juga pemain saham mampu merekonstruksi identitas mereka dan memberdayakan komunitasnya dengan cara yang berbeda. Sama halnya dengan sosok-sosok di masyarakat yang di mata kita, dinilai belum melek aksara atau tidak terlalu suka membaca dan menulis. Mereka adalah orang-orang yang bisa jadi amat literate di domain lain. 

Bagaimana kita bisa menghapus iliterasi tanpa 'menghapus' sosok-sosok yang tidak literate? Nampaknya saya harus berharap pada dunia pendidikan. Pembelajaran kontekstual yang sudah lama didengungkan di dunia pendidikan kita perlu menengok kepada kearifan lokal pada tataran yang lebih praktis. Di sekitar kita ada begitu banyak sosok masyarakat yang mungkin buta huruf, namun sangat literate dalam membaca alam, paham bagaimana alam menawarkan remedi untuk penyakit jasmani dan rohani, menguasai life skills yang bahkan tidak diajarkan di ruang kelas, bijak dan menjadi panutan dalam budi pekerti. Pada sosok-sosok inilah anak didik kita perlu belajar. 

No comments: