Sunday, April 16, 2017

SAYA TIDAK BISA MEMBUAT SEMUA ORANG BAHAGIA

“Kamu tidak bisa menyenangkan semua orang.” Kalimat ini acapkali saya dengar dari mulut mas Prapto setiap kali saya curhat tentang hari-hari saya. Kadang saya bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Mengapa ketika saya merasa melakukan hal-hal yang menurut saya baik, orang lain bisa menganggapnya  sebagai tindakan punya pamrih. Kadangkala bahkan ditentang habis-habisan. Ada juga yang sebenarnya mengamini tapi nampak cuek, kemudian diam-diam mencari tahu lebih dalam  dari orang lain. Itu hanya karena kebetulan ada yang merasa kurang cocok secara personal dengan saya.

Ada banyak pertanyaan ‘mengapa’ di benak saya. Tapi melelahkan juga mencari jawabannya. Ketika sudah mentok seperti ini, maka saya mengingat kembali ucapan suami saya. “Masak semua orang suruh setuju dengan apa yang kamu lakukan.”

Saya sedang merenung tentang pemaknaan literasi dalam persepsi orang-orang yang saya kenal. Harus saya akui bahwa antusiasme saya terhadap literasi memang amat tinggi. Praktis dalam setiap pandangan mata saya, yang saya cari adalah bukti-bukti orang sedang terlibat dalam praktik literasi. Entah itu di rumah, di kampung, di kampus, di hotel, di tempat umum, dan sebagainya. Saya mengikuti beberapa grup di medsos yang berorientasikan kepada literasi. Di beberapa grup saya cukup aktif, sementara di beberapa lainnya saya hanya sebagai pengamat. Tapi beragamnya anggota masing-masing grup ini menunjukkan bahwa literasi memang amat luas maknanya sebagai praktik sosial.

Karena literasi tidak lagi hanya terbatas pada kegiatan membaca dan menulis, saya cenderung meyakini bahwa orang-orang yang tahu benar pentingnya literasi informasi akan sepakat bahwa literasi memang wajib dipahami oleh semua orang. Guru semua mata pelajaran, para orangtua, birokrat, dan siapa saja butuh mengetahui bagaimana menyampaikan, memperoleh, mengelola dan mengevaluasi informasi melalui berbagai jenis teks. Apakah melalui buku, koran, majalah, fiksi, nonfiksi, radio, televisi, dan media lain, semua informasi perlu diolah dengan kacamata kritis.

Dalam hitungan saya, semakin banyak mahasiswa S1, S2 dan S3 yang mengangkat literasi sebagai bahan kajiannya. Ada banyak jalan yang mereka lalui untuk mengenal konsep literasi itu. Ada yang lewat kelas-kelas yang saya ajar, tulisan saya di blog, presentasi saya di seminar dan workshop. Dan tentunya jauh lebih banyak yang mengenal literasi dari dosen lain atau buku-buku dan artikel yang mereka baca. Saya kan termasuk ‘pemain’ baru. Ada banyak pegiat yang sudah jauh lebih lama dan berpengalaman menggeluti literasi. Saya ‘mah’ tidak ada apa-apanya. Hanya saja timingnya memang tepat saat ini. Pendek kata, kata literasi memang semakin trendy saja. Saat ini, mudah sekali mencari artikel di media massa yang mengulas literasi di masyarakat. Perubahan ini tentunya membahagiakan para pegiat literasi.

Itulah sebabnya saya sempat terhenyak ketika seorang teman baik melontarkan ketidaksetujuannya secara terbuka terhadap sepak terjang saya. Oops. Sebenarnya saya tidak sedang menyepak atau bahkan menerjang siapapun. Saya pun mencoba mencari penjelasan kepada yang bersangkutan. Di manakah kiranya hal tentang literasi yang membuatnya jengah? Di mata saya yang orang sastra, rasanya muskil ada penikmat dan akademisi sastra yang justru menolak masuknya literasi dalam ranah sastra. Dalam waktu sekejap, kami seolah-olah sedang sama-sama pasang badan, membela posisi masing-masing.

Usut punya usut, cara pandang kami ternyata berbeda. Sobat saya menilai saya sedang ‘memaksakan’ literasi sebagai teori sastra baru. Dia tidak bisa menerimanya. Di matanya, disiplin sastra sudah mapan dan tidak seharusnya diutak-atik. Dan saya gantian yang bingung. Wong saya tidak pernah mengatakan bahwa literasi adalah teori sastra baru. Bagi saya, literasi dalam sastra sebuah isu yang menarik dan layak dikupas melalui tokoh-tokoh di dalam cerita atau film. Tak ubahnya dengan isu kecemasan, depresi, bias gender, rasisme, konflik strata sosial dan sebagainya. Bila isu bias gender dan emansipasi perempuan dapat dikupas dengan teori feminisme, maka representasi literasi dalam sastra dapat ditelaah dengan teori New Literacy Studies. It’s as simple as that. Saya memilih teori NLS karena persepsinya tentang literasi sebagai praktik sosial, dan bukan sekedar serangkaian ketrampilan bahasa. Ini teori yang sedang saya dalami dan kembangkan dalam berbagai aktivitas literasi saya.

Setelah disentil sobat saya ini, saya mencoba merenungkan kembali. Di mana kesalahan langkah saya. Saya termasuk orang yang khawatir menyakiti perasaan orang lain. Jangan-jangan ‘kampanye’ literasi saya terlalu berisik dan mengganggu sebagian orang. Jangan-jangan tanpa sadar saya sedang melakukan kekerasan simbolik kepada orang lain. Maka saya mulai mengumpulkan bukti-bukti.

Di dalam catatan saya, ada 5 mahasiswa S1 bimbingan saya yang menulis tentang representasi literasi dalam novel-novel pilihan mereka. Isu yang diangkat bervariasi, mulai tentang literasi dan kekuasaan, literasi sebagai ancaman, literasi dan pemberdayaan perempuan, sampai literasi sebagai terapi penyembuhan diri. Tiga di antara mereka sudah lulus tahun lalu. Di luar itu, saya juga memasukkan tema literasi dalam kelas-kelas yang saya ajar. Mulai tema media literacy dalam mata kuliah Popular Culture Studies, tema reading as family practice di kelas Poetry, dan literacy as self-development di kelas Prose.

Di kelas S2, literasi malah menjadi bahasan utama di mata kuliah baru, Literacy in Education. Dalam kurun waktu 1 semester, kami mengulas berbagai konsep yang terkait dengan literasi dalam berbagai ranah. Di akhir semester, saya memandang setidaknya 30an mahasiswa Pasca memahami berbagai konsep literasi di ranah sekolah, keluarga, dan komunitas. Semester ini, ada sekitar 6 mahasiswa S2 bimbingan saya yang mengangkat literasi di ranah pendidikan. Saya memang sempat menyampaikan bahwa saya hanya mau membimbing tesis yang berbasis sastra. Namun ternyata ada beberapa mahasiswa yang tertarik menulis tentang literasi di ranah pendidikan. Saya akhirnya bersedia membimbing tesis nonsastra, dengan syarat temanya literasi.

Mungkin saya memang terlalu berisik. Saya cukup sering menyampaikan peran literasi yang menyatukan disiplin sastra, linguistik, dan pembelajaran bahasa. Bahwa ketiga disiplin ini berbeda dan punya keunikan masing-masing memang benar. Tapi bahwa ada banyak irisan di antara ketiganya juga harus dicari kemungkinannya. Di depan teman-teman yang bidangnya Sastra, saya mencoba menampilkan tema literasi sebagai isu baru. Dengan teman-teman Linguistik, saya menunjukkan bahwa konsep New Literacy Studies justru tumbuh dan berkembang dari sana. Pendek kata, Linguistik adalah rumahnya. Sementara itu, dengan teman-teman disiplin Pendidikan (bahasa dan nonbahasa), saya cukup banyak mengulas pentingnya penumbuhan minat baca di kelas, berbagai strategi membaca, dan saat ini pentingnya strategi literasi dalam pembelajaran yang dapat dipraktikkan di semua mata pelajaran.

Sebenarnya saya juga tidak ingin asal bicara. Di berbagai forum saya memaparkan pengembangan iklim literasi sekolah dan memodelkan penerapan strategi literasi untuk tahap pembiasaan, pengembangan dan pembelajaran kepada para guru. Ini saya lakukan dalam kapasitas saya sebagai anggota Satgas Gerakan Literasi Sekolah Kemdikbud. Di kelas-kelas yang saya ampu, saya sudah cukup lama menggunakan strategi-strategi literasi. Di dinding kelas banyak poster mahasiswa yang mencerminkan pemanfaatan strategi literasi dalam pembelajaran. Dengan menerapkannya sendiri, saya bisa tahu plus minus dan dinamikanya.

Barangkali saya terlalu bersemangat, sampai tidak sadar bahwa ada pihak-pihak yang mulai terganggu kenyamanannya. Meski saya dapat berdalih bahwa saya ingin mengajak banyak pihak ikut melakukan perubahan, saya kurang awas bahwa tiap orang punya preferensi sendiri dalam melakukan perubahan. Bisa jadi saya pasang persneling agak tinggi karena membandingkan langkah saya dengan para pegiat literasi yang jauh melesat. Saya ingin ikut berlari dan menggandeng orang-orang di sekitar saya, sampai lupa bahwa tiap orang punya jalan berbeda. Saya memang tidak pernah memaksa orang lain mengikuti langkah saya, tapi cara saya bisa saja dimaknai berbeda.

Sekilas saya baca kembali paragraf-paragraf di atas. Mencoba mengonfirmasi dugaan saya, dan menguatkan niat saya untuk sedikit mengubah haluan. Mungkin saya perlu berdiam diri sejenak dan beralih mengamati langkah-langkah orang lain. Menjadi pengamat aktif, layaknya melakukan pengamatan partisipasi dalam metode etnografi.

Dalam renungan ini, saya merasakan hal yang berbeda. Saya menikmati antusiasme seorang teman yang aktif berbagi informasi tentang pencarian referensi yang dia lakukan di dunia maya, dan tentang praktik-praktik literasinya di kelas. Saya bisa menangkap binar matanya, dan tinggal mengiyakan pandangannya. “Sekarang ini mau tidak mau semua orang perlu tahu literasi,” begitu katanya. Saya tahu dia lakukan ini bukan karena saya yang menyuruh, tapi karena dia meyakini bahwa yang dia lakukan di kelas-kelasnya ternyata mendapatkan penguatan. Tidak cuma satu dua orang yang menunjukkan ketertarikannya terhadap literasi dengan cara begini. Ada beberapa yang meminta bantuan saya mengirimkan referensi untuk kajian literasi yang akan mereka garap, membaca draf mereka untuk dikomentari, atau sekedar ngobrol ringan tentang literasi. Dan mereka tahu literasi bukan dari saya. Mungkin mereka menghubungi saya karena mencari orang yang dapat mendukung ide-ide mereka.

Ternyata literasi memang bisa dimaknai berbeda. Sikap teman-teman saya menunjukkan bahwa literasi bisa memberdayakan, namun juga dapat menjadi ancaman. Jadi saya tidak perlu risau karenanya. Saya justru harus berterima kasih karena sudah diberikan bukti penerapan prinsip pendekatan New Literacy Studies. Saya jadi berpikir untuk melakukan kajian lebih mendalam tentang persepsi orang terhadap literasi.

Suami saya memang benar. Saya tidak bisa membahagiakan semua orang. Tapi setidaknya ada saja yang tergugah dan ikut bergabung bersama menyatukan langkah. Di sini saya merasa bahagia.

Kebraon, 15 April  2017





No comments: