Beberapa bulan terakhir para pelaku pendidikan di tanah air ramai berwacana tentang Kurikulum 2013. Pro dan kontra mewarnai obrolan di berbagai milis dan tulisan di media massa. Ada yang mengatakan bahwa kurikulum baru ini 'mengantarkan siswa ke surga' karena saking saratnya muatan etika dan budi pekerti di dalam sebagian besar kompetensi dasar. Sikap-sikap yang banyak disebut antara lain adalah jujur, peduli, patuh, bertanggung-jawab, proaktif, responsif, dan lain-lain.
Bahwa pendidikan karakter sangat penting mewarnai proses belajar mengajar, tidak ada yang menyangkal. Namun seringkali kita, para pendidik, lupa bahwa pemilihan materi dan metode pembelajaran yang kita gunakan sebenarnya amat penting untuk menanamkan budi pekerti. Saya mempertanyakan seberapa perlu sebuah kurikulum menyebutkan sederetan karakter untuk dicapai dalam daftar kompetensi dasarnya. Dilihat dari kacamata orang awam saja, susah membayangkan bagaimana cara mengukur pencapaian sikap-sikap luhur di atas. Namun anggap saja ini sebuah kerangka yang bagus. Pertanyaan berikutnya adalah seberapa upaya pelaku pendidikan memastikan bahwa kerangka itu diterjemahkan dalam materi dan proses belajar mengajar. Tentu saja kita belum memperoleh jawabannya, karena buku pegangan yang disusun Kemendikbud juga belum bisa dinikmati isinya.
Ada beberapa hal menarik saat saya membaca draft kurikulum 2013, terutama untuk tingkat SMA/MA. Di mata pelajaran Sejarah Indonesia, misalnya, berkali-kali disebutkan Kompetensi Dasar "Berlaku jujur dan bertanggung-jawab dalam mengerjakan tugas-tugas pembelajaran sejarah." Kira-kira kalau kita tanyakan makna KD ini kepada 10 guru, apakah kita akan memperoleh interpretasi yang senada? Apakah ini berarti siswa tidak mencontek, tidak lirak-lirik, tidak mau menerima bocoran kunci jawaban pada ujian apapun? Ataukah ini bisa diartikan bahwa siswa bisa jujur dalam mengungkap kebenaran fakta sejarah, meski mungkin versinya berbeda dari buku teks? Apakah gurunya sendiri juga jujur dan terbuka dalam menyampaikan materi dari berbagai sudut pandang, ataukah mengikuti kebenaran sejarah versi buku teks? Pertanyaan-pertanyaan menggelitik ini layak dicobakan dalam sebuah survey atau bahkan penelitian.
Contoh satu KD di atas menyiratkan bahwa dunia pendidikan adalah gelanggang politik budaya. Kurikulum bisa dipandang sebagai produk budaya. Dengan sendirinya, produk itu dihasilkan, direpresentasikan, diresepsi, dan diregulasi secara berbeda. Di sini kita bisa jelas melihat bahwa hubungan kekuasaanpun ikut bermain dalam dunia pendidikan, tidak hanya pada tataran kurikulum, namun bahkan pada tataran materi mana yang layak diberikan menurut versi pemerintah. Tidak ada yang salah memang, karena penguasa di manapun akan selalu berupaya untuk melakukan regulasi. Pertanyaannya berikutnya adalah, seberapa upaya guru menjadi agen yang bisa menyiasati regulasi itu. Kalau misalnya ada fakta-fakta sejarah yang disembunyikan kebenarannya di dalam buku teks, seberapa upaya guru untuk memberikan informasi yang berimbang di depan kelas? Tanpa sadar, KD yang nampaknya indah itu bisa menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri.
Di milis Ganesa, mas Eko Prasetyo termasuk yang getol menulis cerita sejarah dari versi yang berbeda. Kisah yang bergulir sebenarnya tertulis dalam buku-buku yang beredar di pasaran. Tapi apakah pemerintah mendorong kisah-kisah ini diungkapkan dalam buku sejarah versi yang resmi. History is His Story after all. Sejarah adalah benar menurut versi yang mengungkapkannya.
Ada satu pengamatan tentang pembelajaran Sejarah di SMA di Australia, yang menurut saya layak ditiru. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi, saya lihat ada perbedaan mendasar di sistem pendidikan Indonesia dan Australia dalam menanamkan pendidikan karakter. Kejujuran, misalnya, bisa tercermin dari materi pelajaran Sejarah. Tahun lalu, saat Ganta masih di year 10, dia belajar tentang sejarah orang-orang Aborigine. Dunia tahu bahwa suku Aborigine adalah lembaran hitam sejarah Australia. Dalam materi yang diberikan, saya tidak melihat upaya guru menyodorkan sejarah dalam satu versi saja. Materi diambil dari berbagai sumber yang mewakili perjalanan sejarah, termasuk konflik dan pro-kontranya. Ada artikel di media yang mengkritisi kebijakan pemerintah, cuplikan kebijakan pemerintah, produk budaya berupa novel, film, dan lagu, yang menyuarakan jeritan suku Aborigine. Ada isu tentang bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengintegrasikan anak-anak mixed blood (Aborigin + white race) ke white culture mainstream sebelum tahun 1960an. Namun upaya intergrasi ini dilihat sebagai upaya mencerabut anak-anak tersebut dari akar budayanya. Ada gambaran tentang perlakuan diskriminatif birokrasi terhadap orang-orang Aborigine. Tersaji pula perubahan kebijakan pemerintah Australia setelah tahun 1970an dengan memberikan prioritas terhadap Aborigine dalam hal akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial yang lain. Saya ikut menikmati hampir semua materi pelajaran Ganta. Ikut menonton filmnya (Rabbit-Proof Fence), dan melihat rekaman video Ganta dan teman-temannya kita menyanyikan lagu bertema Aboriginal identity. Kesan saya: ada semangat kejujuran yang jelas dalam mengajarkan sejarah hitam bangsanya sendiri, tidak malu menunjukkan kesalahan bangsa, namun disertai upaya untuk memperbaiki kesalahan masa lalu.
Dengan materi dan cara penyampaian seperti itu, ketika kemudian siswa belajar sejarah bangsa lain, yakni American slavery dan Nazi, ada perspektif berlapis yang bisa ditangkap oleh siswa, bahwa tiap bangsa punya lembaran hitam yang perlu diakui dan disertai upaya memperbaiki.
Ganta menikmati pelajaran History, meski di year 11 sekarang ini dia tidak memilihnya sebagai bagian dari VCE. Kata dia, belajar History di sini seperti membaca cerita, dan tidak pakai hafalan nama dan tahun. Meski tes-tes yang diberikan selalu dalam bentuk essay, dia juga cukup menikmati, karena jawaban dinilai berdasarkan pemahaman konsep dan critical and reflective thinking.
Bagaimana dengan pelajaran Sejarah di Indonesia? Dalam banyak hal, lembaran hitam bangsa kita masih jarang diajarkan dengan semangat kejujuran. Materi yang sekiranya tidak sesuai dengan sejarah versi penguasa akan ditarik dari peredaran. Tes yang diberikan jarang sekali menggugah siswa untuk kritis.
Dalam hal pendidikan pekerti, ada hal menarik yang saya lihat dari anak-anak sesama teman Indonesia yang duduk di Primary School. Setiap minggu selalu saja ada siswa yang mendapatkan penghargaan Pupil of the Week untuk kategori the most helpful, the most responsible, dsb. Tapi saya belum pernah melihat pengumuman nilai atau ranking akademik terpampang di dinding. Dan rapotpun sebenarnya lebih dalam bentuk deskriptif, tentang kekuatan, progress, dan hal-hal yang perlu diperbaiki (tidak disebut sebagai kelemahan). Efeknya, anak merasa memperoleh penghargaan atas kemampuannya sendiri, dan tidak dibanding-bandingkan dengan temannya. Ada yang menarik dalam komentar tentang 'kekurangan' siswa. Misalnya, Ganta dinilai cukup bagus dalam menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan. Tapi akan jauh lebih baik bila tidak terburu-buru dalam mengerjakan tugas. Saya tahu model Ganta yang suka mepet bila mengerjakan PR. Intinya sebenarnya: jangan suka menunda tugas, krn hasilnya kurang maksimal. Tapi cara penyampaian yang positif membuat siswa tetap dihargai.
Saya jadi mengingat kembali saat mengambil rapot Ganta di SMA nya di Surabaya dulu. Wali kelasnya menunjukkan nilai sikap 'Tanggung-jawab' yang cuma C, dengan wajah yang kurang ramah. Gara-garanya, ada beberapa tugas mata pelajaran yang belum dikumpulkan. Kalau tugasnya dikumpulkan, nilainya bisa diperbaiki jadi B. Pikir saya saat itu, begitu mudahnya memberikan label pada siswa. Karakter direduksi menjadi huruf A, B, C yang bisa diganti dalam waktu singkat. Agaknya terlupa bahwa label 'kurang bertanggung-jawab' masih akan melekat di benak anak meski nilai di rapot sudah diubah.
Sebagai pendidik, saya melihat banyak hal yang perlu dibenahi dalam praktek pendidikan di Indonesia. Diperlukan perubahan sistem pendidikan, namun yang lebih penting lagi, perlu perubahan revolusioner dalam proses belajar mengajar di kelas. Di sinilah interaksi guru dan siswa amat berperan dalam membentuk karakter siswa. Apakah Kurikulum 2013 akan mampu menjawab tantangan ini?
No comments:
Post a Comment