Saturday, September 14, 2013

THINKING ALOUD

Beberapa hari yang lalu saya ngobrol dengan mbakyu Lies Amin via milis jurusan. Dari sekedar kangen-kangenan akhirnya berujung (lagi-lagi) ke cerita saya tentang Adzra. Seperti biasa, saya getol berkisah tentang proses literasinya di sekolah dan di rumah. 

Seperti cerita Habe, teman di milis Keluarga Unesa tentang putra keduanya, Kaisar, Adzra juga punya writing projectWriting more and more each day, katanya. Beberapa hari yang lalu di saat baca cerita sebelum tidur, dia malah buat cerita sendiri. Setelah bolak-balik tanya "how do you write this, how do you write that...", ini hasil coretannya:

Once upon a time, a cat in a hat was moving to a new school. A cat in a hat was crying, because she was shy. The end

Di kertas lain, dia nulis kata-kata sambil ngomong sendiri: "I want to find words that rhyme with CAT." (Bergaya mikir). Terus nulis HAT. BAT. RAT. MAT.  Saya sempat amazed juga, seusia gitu sudah bisa bicara tentang rhymes. Sementara saya baru tahu istilah itu semasa kuliah.

Adzra memang suka ngomong sendiri saat main sendirian atau coret-coret. Tentang 'making mistakes' misalnya, sambil nulis-nulis dia omong. "Mommy, if I get it wrong, Ben said I just go on (Ben itu nama gurunya). It's okay. I can fix it later." Kali lain, dia bilang, 'I learn from mistakes, mommy.' (Kayak omongan orang gede aja tuh)

Sekarang lagi belajar nulis lebih rapi, dengan huruf yang nempel di garis. Gitu ya sempat-sempatnya nulis sambil bilang, 'mommy, are they touching the line?' 

Prof. Lies Amin, yang pakar pembelajaran bahasa, memberi komentar bahwa yang dilakukan Adzra adalah thinking aloud. Kalau ketemu Bu Raras, PhD, kolega kami di jurusan, bisa-bisa akan dijadikan subjek penelitian untuk thinking aloud project. Bu Lies juga menambahkan bahwa di tahuan 2000an, thinking aloud jadi trend metode penelitian. 

Mikir sambil ngomong, melakukan sesuatu sambil mengucapkan apa yang sedang dilakukan. Itu kira-kira gambaran thinking aloud. Istilah ini memang bukan pertama kalinya saya dengar. Tapi bahwa pernah menjadi trend penelitian, saya baru tahu sekarang. 

Selama ini, yang saya pahami tentang kebiasaan thinking aloud adalah bedanya peserta Who Wants to be a Millionaire versi Indonesia dan Barat. Para peserta yang duduk di kursi panas di hadapan Tantowi Yahya biasanya langsung menyebutkan pilihan jawabannya. Bila perlu waktu untuk mikir, maka layar TV akan nampak peserta yang lagi mengerutkan dahi, manggut-manggut, atau mungkin kemudian minta opsi 'ask the audience.' 

Sebaliknya, di versi Australia, saya lebih sering melihat bagaimana para peserta memverbalkan proses berpikirnya ketika memilih opsi jawaban. Misalnya saja, untuk pertanyaan Who was the lead singer of the legendary rock band Queen, A. Freddy Mercury, B. Mick Jagger  C. Jack Nicholson D. Elton John, sang peserta bisa mengatakan Ehmm, I'm not really in to rock music. But I know that Mick Jagger is from The Rolling Stones, I don't think Elton John is a rock singer, and Jack Nicholson is definitely not a singer. I'm a movie goer, by the way. So, I'm gonna lock in A. Freddy Mercury.

Dari beberapa referensi yang saya temukan, Thinking aloud method pada awalnya dipakai untuk penelitian yang terkait dengan problem solving. Contoh kuis Who Wants to be a Millionaire di atas adalah contoh ringan bagaimana proses pemecahan masalah lebih mudah dilakukan dengan thinking aloud. Dengan mengenali pola seseorang memecahkan masalah dari thinking aloud itu, kita bisa mengajarkan cara yang lebih cepat untuk memecahkan masalah kepada kelompok lebih besar (siswa misalnya). Bandingkan dengan bila proses berpikir dibiarkan berputar-putar di otak a la kebatinan. Tidak bisa diprediksi tentunya.

Thinking aloud method ternyata dinilai efektif dalam pengembangan literasi, dan termasuk dalam salah satu metode protokol. Dalam reading comprehension misalnya, siswa diamati saat membaca sebuah teks, dan berhenti di tengah-tengah untuk memverbalkan pikirannya dan menunjukkan strategi yang digunakan untuk mengkonstruksi makna. Thinking aloud juga bisa dipakai untuk menilai apakah seorang pembaca mengambil risiko dalam memperolah informasi dari teks, memproses teks secara akurat, menggabungkan informasi untuk mengkonstruksi makna, atau gagal membuat prediksi berdasarkan informasi baru. Dari sinilah perbaikan metode pembelajaran reading bisa dilakukan.

Sama halnya dengan membaca, thinking aloud juga efektif membantu proses menulis. Ketika mas Habe mendampingi Kaisar menulis dengan cara bertanya untuk memancing ide, itu sebenarnya bagian dari thinking aloud juga. Thinking aloud method saat proses menulis sedang berlangsung juga menunjukkan bahwa sebuah tulisan yang bagus tidak langsung jadi, namun melalui proses yang mungkin tidak beraturan di otak. Di situlah proses revisi memang diperlukan. 

Thinking aloud mungkin bisa dilatihkan pada orang-orang yang masih kesulitan menulis. Yang masih beralasan tidak tahu apa yang harus ditulis. Saya tidak tahu apakah teman-teman di milis juga menggunakan metode ini. Saya sendiri tidak, terutama untuk tulisan bebas. Tapi saya jadi tertarik menggunakannya untuk memperlancar proses menulis tesis. Setidaknya, thinking aloud sering tidak sadar saya lakukan, ketika saya ngomong sendiri tentang garapan tesis pada saat memasak atau setrika. Sampai kadang Ganta menyadarkan saya, 'Ibu ngomong apa e?".

Saya punya premis bahwa thinking aloud juga erat kaitannya dengan budaya. Pola asuh kebanyakan orang-tua di Indonesia mungkin tidak terbiasa dengan celotehan anak ketika melakukan sesuatu. Bisa saja ketika seorang anak dengan mengoceh saat membaca atau menulis atau bermain, orang-tuanya malah menyuruh dia untuk diam. Saya pernah punya tetangga yang membentak anaknya, 'wis aja kakehan omong' ketika banyak tanya saat bermain di rumah.

Akan halnya Adzra, nampaknya dia lebih terbiasa dengan model ini. Entah karena dilatih di sekolah, atau karena saya sendiri banyak tanya saat dia baca dan nulis, atau karena lihat acara anak-anak di TV seperti Mister Maker, atau gabungan dari semuanya. Acara ini menayangkan bagaimana Mister Maker bisa membuat berbagai kerajinan tangan dari barang-barang bekas di rumah. Sambil tangan menggunting, melipat, dan menempel, Mister Maker bicara terus, memverbalkan langkah-langkahnya dengan jenaka. Adzra akhirnya suka meniru, dan ingin menjadi Miss Maker. Karena ketertarikan saya dengan thinking aloud method ini, maka saya rekamlah cara Adzra memproses informasi di otaknya saat berlatih menjadi Miss Maker. Ini dia hasilnya:


Wednesday, September 11, 2013

DUL, GANTA, DAN PENEGAKAN HUKUM LALU-LINTAS

Saya mendengar kasus kecelakaan si Dul, anak ketiga artis Ahmad Dhani, ketika Ganta bilang bahwa Dewa 19 mungkin tidak jadi manggung di Melbourne. Ganta sudah pegang tiket, jadi dia menakar apakah keturutan nonton Ari Lasso dan Andra n the Backbone besok Jum'at, 13 September di Melbourne Town Hall.

Saya tidak akan membahas mengapa dan bagaimana Dul yang masih bau kencur bisa lepas nyetir sendiri, di tengah malam, di jalan tol pula. Saya tahu rasanya punya anak remaja tanggung yang bisa naik sepeda motor di usia belasan. Deg-degan ketika wajahnya belum nongol di waktu yang seharusnya. Gak usah jauh-jauh, saya sendiri juga sudah bisa sepeda motor sejak SMP kelas 2. Entah apa bapak ibu saya juga merasakan kecemasan yang sama, meski saya bukan tipe yang keluyuran malam tanpa tujuan.

Jaman saya di SMP dulu, di tahun 1980an, ada sekelompok teman, anak-anak tajir, yang sudah dilepas setir mobil sendiri. Acapkali saya dapat tumpangan gratisan. Entah kenapa anak-anak keren itu kadang mendekati saya. Mungkin saat itu yang bisa saya barter dengan mereka adalah waktu untuk menjadi teman belajar kelompok. Eh jadi ngelantur!

Mengingat teman-teman saya yang lumayan berlimpah materi (dan jadi cenderung permissive), seingat saya, kami tidak mengajari Ganta nyetir mobil sampai ketika dia masuk SMA. Toh itu bukan berarti bahwa dia tidak bisa nyetir. Punya anak yang sosialiasinya tinggi (baca: sering dolan) sudah cukup menjadi penanda bahwa pastilah dia pernah coba-coba setir mobil. Yang bisa kami lakukan saat itu adalah wanti-wanti, tidak boleh setir sendiri di jalan raya tanpa ayah atau ibu di jok kiri. Dan ini harus berlaku sampai pegang SIM sendiri. Dan hak memegang SIM akhirnya keturutan ketika kami pulang ke tanah air Desember lalu, ketika Ganta sudah melewati usia 17 tahun. 

Sejujurnya, pola pikir penerapan hukum di tanah air yang suka acakadut acapkali membuat orang-orang Indonesia di sini jadi gagap. Suka kaget dengan penegakan hukum yang kenceng tapi tanpa kekerasan. Karena kita suka meremehkan pelanggaran kecil ketika di tanah air, ketiak kena batunya di sini, yang muncul adalah omelan. "Cuma gitu aja thok lho!" Tapi tidak ada yang protes atau tawar-menawar. Memang aturannya gitu.

Ketika Ganta sudah pegang SIM yang diterjemahkan, baru sadar dia bahwa usia minimal menyetir di Melbourne adalah 18 tahun. Kami tidak berani main-main dengan hukum di sini. Urusan denda tinggi paling ditakuti. Tentang denda, sudah 2-3 kali kami kena, untuk urusan ini-itu. Satu kali mas Prapto terlambat memindahkan mobil yang diparkir di area 2P. Ini adalah area di mana mobil bisa diparkir gratis, maksimal 2 jam. Kelewat cuma 15 menit, karena saya lagi teler di RS. Toh parking ticket sudah tertempel di kaca mobil. Disertai berapa dendanya, dan ke mana harus bayar, atau kalau mau ajukan appeal dengan alasan tertentu agar dibebaskan. Denda 72 dolar akhirnya harus kami bayar, setelah appeal yang saya ajukan dengan alasan medis dianggap kurang kuat. Ya sudah, memang salah.

Ganta sendiri suka buat kebat-kebit urusan Myki card. Myki ini adalah public transport card yang bisa dipakai untuk naik tram, train, dan bus. Setidaknya sudah 3 kali saya menerima telpon dari HPnya, tapi di ujung sana adalah petugas Public Transport Victoria. Sekali karena dia lupa memperpanjang concession card. Sebagai student, Ganta dapat diskon 50% ke mana saja, asal memegang concession card yang valid. Kena deh denda 70 dolar. Kali lain dia dianggap belum 'touch on' di myki scanner di stasiun. Ketika touch off dan mau keluar di stasiun kota, gate gak bisa buka. Meski dia 'ngengkel' sudah touch on, kalau system membaca berbeda, ya mau bagaimana lagi. Untung sampai sekarang belum ada surat tagihan denda meluncur di kotak pos. Yang terakhir, baru 1 minggu yang lalu, lagi-lagi suara petugas terdengar di HPnya. Saya sudah deg-degan, jangan-jangan dia lupa top up myki-nya. Bepergian dengan saldo myki yang tidak cukup sudah alamat kena denda 200 dolar lebih. Apalagi kalau sudah dianggap usia orang dewasa. Ternyata yang sekarang pelanggarannya adalah 'duduk methingkrang' di kursi train. 

Pembicaraan tentang pelanggaran hukum lalu-lintas termasuk yang paling sering kami lakukan, juga sambil menengok kasus serupa yang dialami teman/tetangga. Menyetir melewati batas kecepatan (meski cuma 5 km/jam di atas batas bisa kena 160 dolar,  lewat CityLink (tol kota) tanpa ijin (karena ketidaktahuan) juga didenda, dan urusan parkir melewati batas waktu adalah yang paling banyak terjadi. Untuk semua kejadian ini, praktis kami tidak pernah berhadapan dengan petugas. Yang kami pelototi adalah surat pemberitahuan dan dendanya. Mau protes boleh, dan ditunjukkan jalurnya. Selama appeal, tidak harus bayar denda. Bila appeal ditolak, ya bayaren. 

Dengan penegakan hukum yang tegas dan sistem yang benar, kami semakin berhati-hati dalam berlaku. Apalagi ini negara orang. Meski kadang harus pakai engkel-engkelan, akhirnya Ganta juga bisa memahami bahwa aturan memang ada untuk diikuti. Toh akhirnya dia sendiri yang kena getahnya. Ibunya juga sih, yang harus bayar denda atau jawab pertanyaan petugas. Benar nggak ini anak ibu? Alamatnya di mana? 

Punya mobil di luar negeri memang enak. Bisa ngirit biaya transpor publik sekeluarga, Tapi aturannya berderet-deret. Kalau punya anak kecil, harus ada child seat. Jangan menyetir tanpa SIM (alhasil saya tidak pernah pegang setir, krn SIM sudah expired), apalagi, pinjamkan mobil ke teman yang gak punya SIM. Kalau mau mengajak teman bareng, harus pastikan berapa seat yang available, baik untuk anak maupun orang dewasa. Gak ada ceritanya kruntelan di jok belakang. 

Ketika kami bersyukur Ganta tak harus sembunyi-sembunyi menyetir sebelum usia ke 18 di sini, di hati kecil ini, kami sebenarnya berharap tidak terjadi gagap hukum ketika balik ke tanah air. Ini sejatinya yang sedang membuat galau teman-teman yang membawa keluarga. Saat pulang kampung tahun depan, atau 2 tahun lagi, anak-anak yang dulunya balita sudah menjadi remaja kecil. Yang dulu lugu, tahun depan sudah akan nyemplung di lingkungan baru. 

Hal yang lama kadang membuat diri terasing. Yang baru sebenarnya sudah pernah ada. Hanya cara pandang yang nampaknya sudah akan berubah. Semoga berubah ke lebih baik. 

Sunday, September 08, 2013

Menjadi Guru Literasi yang Sukses (1)

Pernahkah terfikirkan bahwa sains dan sastra adalah dua sisi dari sebuah koin? Sedangkan Chaucer saja, penyair Inggris abad medieval, memenuhi baris-baris karyanya dengan ilmu kimia dan astronomi. Namun novel The Hard Times karya Charles Dickens justru mempertentangkan antara nilai utiliarianisme yang diusung sains dan estetika dalam sastra. 

Saya termasuk guru yang ingin memasukkan nilai estetika dalam sastra ke dalam sains. Setidaknya, ketika masih sering terlibat sebagai instruktur dalam pelatihan guru-guru RSBI dulu, seringkali saya mengusung karya sastra sederhana yang punya muatan sains. 

Dengan banyaknya hasil penelitian yang mendukung content area literacy, saya semakin yakin bahwa literasi memang memerlukan pendekatan interdisipliner dan kolaborasi guru antar bidang ilmu. 

Mari kita intip satu strategi di bawah ini untuk menjadi guru literasi yang sukses. 

Strategi 1: Kembangkan kemampuan berpikir kritis dan rasional melalui fiksi dan nonfiksi di kelas non-bahasa

Regina Foster menulis tentang praktik pembelajaran yang dia lakukan di kelas sainsnya, dengan memanfaatkan karya sastra mainstream untuk mengembangkan critical thinking dan kemampuan nalar siswanya. Teks dipilih berdasarkan muatannya yang dinilai mampu merangsang dan meningkatkan eksplorasi intelektual. 

Strategi ini dia bagi pada acara the National Science Teachers Association Conference di California pada tahun 2006. Tujuan literasi yang ingin dicapai adalah agar guru tidak sepenuhnya bergantung pada buku teks, dan memberi peluang pemanfaatan buku-buku populer di kalangan siswa. Berikut adalah daftar judul buku yang sudah terbukti berhasil di praktik pembelajaran di kelas sains. 

- My Sister's Keeper karya Jodi Picoult
Novel ini membawa pemikiran kritis atas etika kedokteran, dalam kasus perawatan leukemia seorang gadis remaja, efek kemoterapi, transfusi, dan transplantasi organ. Novel ini digunakan di kelas Biologi, untuk membahas hubungan keluarga dalam menghadapi penyakit seorang remaja, salah satu anggota keluarga. Beberapa bagian dalam novel ini dibahas lebih khusus, sesuai dengan topik bahasan di kelas Biologi.

- Bezoar Stones oleh Corey Malcolm dan Harry Potter and the Sorcerer's Stone karya J.K. Rowlings
Kedua buku ini digunakan di kelas Kimia. Buku yang pertama membahas tentang bezoar stones, sejarah, dan pemanfaatannya. Sihir memang menjadi perhatian utama serial Harry Potter, namun muatan kimianya juga cukup banyak. Bahkan serial Harry Potter dianggap sebagai buku-buku yang memberi peluang sebagai materi untuk memperkaya praktik pembelajaran.

- Gorillas in the Mist oleh Dian Fossey dan Woman in the Mist karya Farley Mowat
Beberapa bagian dari judul di atas bisa dipilih untuk pembahasan tentang lingkungan dan ekologi di kelas Sains. Selain itu, isu-isu politis dan budaya juga bisa ditemukan.

Judul-judul di atas saya sebutkan untuk memancing daftar buku yang lebih panjang lagi. Mungkin kita bisa menoleh ke karya-karya di tanah air. 

Saya cuma ingin mengatakan bahwa literasi bukan hanya urusan disiplin bahasa/sastra. Pengenalan sains bukan hanya tanggung-jawab guru sains. Kalau ingin memulai pembelajaran tematik, ya harus siap berkolaborasi dan bersinergi.

Ingin menjadi guru literasi yang handal? Nantikan strategi berikutnya ya.


Rujukan: Glasgow, N & Farrell, T. 2007. What Successful Literacy Teachers Do. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.