Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Yang terhormat para Pejabat Pemerintah baik Sipil maupun TNI,
Yang terhormat Dewan Penyantun Universitas Negeri Surabaya,
Yang terhormat Rektor Universitas Negeri Surabaya/Ketua Senat
Universitas Negeri Surabaya,
Yang terhormat Sekretaris Senat Universitas Negeri Surabaya beserta
anggota Senat,
Yang terhormat para pembantu Rektor, para Dekan, para Kepala Biro,
Ketua Lembaga, Ketua UPT, para dosen, karyawan, dan para mahasiswa,
Yang terhormat para undangan lain dan segenap yang hadir,
Hadirin yang saya muliakan,
Sudah sepatutnya kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT,
karena hanya atas rahmat dan berkahNya kita semua dapat berkumpul dalam Sidang
Senat Terbuka sebagai rangkaian peringatan Lustrum ke-8 Universitas Negeri
Surabaya yang kita cintai ini.
Patut kiranya saya ucapkan terima kasih atas kesempatan
yang diberikan kepada saya oleh Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Surabaya, selaku Penanggung Jawab Lustrum ke-8 Universitas Negeri Surabaya
untuk menyampaikan pidato ilmiah dalam Sidang Senat Terbuka yang terhormat ini.
Saya terima kepercayaan ini sebagai satu kehormatan.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan sebuah
wacana sastra yang erat kaitannya dengan kondisi sosial budaya, dengan
mengambil tema Representasi Islam dalam
Sastra Barat: Sebuah Pendekatan Interdisipliner.
REPRESENTASI
ISLAM DALAM SASTRA BARAT: SEBUAH PENDEKATAN INTERDISIPLINER
Hadirin yang terhormat,
Sekitar satu setengah tahun yang lalu, tepatnya pada
tanggal 3 Maret 2003, di kota Seattle, negara bagian Washington, Amerika
Serikat, dua orang anggota dewan (House
of Representatives) keluar dari tempat sidang ketika seorang imam,
kebetulan dari Indonesia, memimpin doa pembuka di gedung dewan. Salah seorang
di antaranya beralasan bahwa secara pribadi dia tidak ingin menjadi bagian dari
agama yang yang menjadi inti sentimen anti-Amerika, dan bahwa “my God is not
Mohammed.”[1]
Kedua anggota dewan ini dalam waktu singkat diminta untuk membuat pernyataan
maaf secara terbuka setelah CAIR (The Council on American-Islamic Relations)
memprotes kejadian ini. Reaksi terhadap Islam ini menunjukkan persepsi yang
keliru, namun nampaknya sudah tertanam di benak sebagian besar masyarakat
Barat.
Di dunia Barat,
kata Islam sering dihubung-hubungkan dengan terorisme, kekerasan,
keterbelakangan dan penindasan terhadap perempuan (Esposito, 1992:5). Contoh
yang jelas adalah larangan berjilbab yang diberlakukan di sekolah-sekolah
negeri di beberapa negara bagian Jerman, dengan dalih bahwa jilbab dianggap
sebagai simbol agama yang melanggar kebebasan berekspresi dan netralitas dalam
beragama.[2]
Kebijakan ini telah lebih dahulu diterapkan di Perancis, dimana larangan
berjilbab didasarkan pada kekhawatiran bahwa jilbab identik dengan keterbelakangan
dan penindasan terhadap perempuan, dan juga ancaman terhadap ideologi sekuler
pemerintah Perancis.[3]
Beberapa contoh di atas
hanyalah sedikit dari banyak kejadian yang memojokkan Islam. Dalam bukunya The Clash of Civilizations, Samuel
Huntington (1996: 209) mengelak anggapan banyak kalangan di dunia Barat,
termasuk Bill Clinton, bahwa dunia Barat tidak menganggap Islam sebagai musuh,
namun hanya para ektrimis fundamentalis saja yang menjadi pihak oposisi. Buku
Huntington yang cukup kontroversial ini mengulas bahwa sejak dulu hingga
sekarang Islam sebagai sebuah peradaban tetap menjadi ancaman bagi peradaban
Barat (1996:217-218).
Tesis Huntington boleh dikatakan cermin dari Islamophobia, yang mengabaikan hubungan
harmonis antaragama yang ada. Meskipun begitu, sejarah memang menunjukkan bahwa
selama beratus-ratus tahun, seringkali ditemukan kesalahpahaman orang terhadap
Islam. Terlebih lagi pada pasca pemboman World Trade Center di New York, AS,
pada tanggal 11 September 2001, kita lihat sikap-sikap negatif dunia Barat
terhadap Islam muncul lagi ke permukaan. Mengemuka lagi pandangan lama bahwa
Islam merupakan agama “pedang,” dan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok pemimpin
yang menonjolkan kekerasan.
Media ikut berperan dalam menyebarkan potret Islam dari
sisi negatifnya ke kalangan Barat. Citra Islam sebagai peradaban yang runtuh,
sebagai simbol dunia yang terbelakang, irasional dan sensual diperkuat dan
dilebarkan jalannya menjadi bagian dari budaya populer (popular culture) melalui cerita-cerita fiksi, imej di televisi,
produksi-produksi Hollywood, dan liputan-liputan media.
Maurice Bucaille (1986: 118) dalam bukunya The Bible, the Qur’an, and Science
menyatakan bahwa Islam seringkali menjadi objek pelecehan di dunia Barat. Siapa
pun di Barat yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Islam tentunya
mengetahui seberapa jauh telah terjadi distorsi sejarah Islam. Sementara itu,
Karen Armstrong (1992) mengatakan bahwa Barat cenderung membalik stereotip
Islam. Di masa lalu, ketika nilai-nilai Kristen membatasi seksualitas, Islam
dianggap sebagai agama yang agresif secara seksual, dengan contoh praktek
poligami dan keberadaan harem. Sekarang sterotip malah dibalik, dan Barat
menuding Islam sebagai agama yang membatasi seksualitas. Tujuannya tetap sama,
yakni mendefinisikan identitas diri dengan menggunakan “counter-image,” yakni
Islam.
Bila kita melacak sejarah perkembangan hubungan antara
Islam dan Barat, pada dasarnya terdapat dua pandangan yang berbeda. Pandangan
yang umum berkembang adalah sebagaimana yang dikemukakan diatas. Bila dirunut
kebelakang, sentimen anti-Islam berakar
pada penolakan kalangan Kristen terhadap Islam sebagai agama yang mulai
berkembang luas di abad ke-8. Dalam waktu singkat, Islam dipersepsikan sebagai
ancaman secara teologis dan politis bagi Kristen. Pandangan medieval (abad
pertengahan) melihat Islam sebagai aliran sesat dari Kristen dan Nabi Muhammad
SAW sebagai nabi palsu. Sedangkan pandangan yang kedua melihat Islam sebagai
agama dan peradaban yang hidup berdampingan dengan agama lain, sebagai “sister religion,” bagian dari
agama-agama tauhid. Pandangan yang kedua ini menunjukkan bahwa sebenarnya
terdapat upaya-upaya alternatif yang lebih akomodatif terhadap Islam.
Islam dan Barat: Oposisi
Biner?
Hadirin yang saya muliakan,
Kedua pandangan terhadap Islam sebagaimana tersebut di atas
dapat ditelusuri dalam karya-karya sastra, baik fiksi maupun non-fiksi. Kita
akan mulai pembahasan dengan bukti-bukti sejarah dan sastra yang merujuk pada
pandangan negatif terhadap Islam.
Studi yang membahas oposisi biner antara Islam dan Barat
biasanya dimasukkan dalam ranah teori postkolonialisme. Buku Orientalism (1978) karangan Edward Said
dianggap sebagai teks yang mendasari studi-studi Postkolonialisme. Said
berpendapat bahwa teks-teks Eropa (sastra, seni, dan non-fiksi) mencerminkan
dunia Timur (Orient) secara negatif
dan tidak objektif, dan menempatkan bangsa dan budaya Timur sebagai “the other.” Akibatnya, pengetahuan yang
beredar di dan ditanamkan oleh Barat menimbulkan dikotomi antara keunggulan
Barat diatas bangsa dan budaya non-Barat.
Menurut Budi Darma (2000), oposisi biner sebenarnya
adalah fenomena yang wajar, misalnya atas/bawah, timur/barat, pendek/tinggi,
besar/kecil, dan laki-laki/perempuan. Oposisi ini menjadi bermasalah ketika
salah satu pihak diposisikan sebagai pihak yang tertindas. Dari perspektif
kolonial, pihak penjajah menjadi subjek, sehingga memiliki kebebasan untuk
memperlakukan objek, pihak yang terjajah, sebagai subordinat.
Meskipun teori postkolonial pada dasarnya mencakup masa
sejarah pasca kolonialisme, teori ini sudah memperluas wawasannya ke “any time or place where one social group
dominates another” (Cohen, 2000: 3). Dengan demikian, dapat diterima apabila
karya sastra abad Pertengahan sampai beberapa abad sesudahnya dibedah dari
perspektif postkolonial.
Dalam karya sastra, sebenarnya oposisi biner antara
Islam dan dunia Barat sudah lama terekam. Karen Armstrong (1993)
mendokumentasikan dan menganalisis sikap dunia Barat terhadap Nabi Muhammad
SAW. Secara umum, dia menunjukkan bukti-bukti bahwa pandangan yang berkembang
di abad pertengahan adalah bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang
anti-Kristus dan penipu ulung. Anti-Kristus akan menancapkan kekuasaannya di
kuil Jerusalem dan menyesatkan banyak orang Kristen dengan doktrin-doktrinnya
yang masuk akal. Phillip K. Hitti juga mengungkapkan hal yang sama, yakni bahwa
Nabi Muhammad SAW digambarkan dalam sastra medieval sebagai seorang nabi palsu,
Al-Qur’an adalah karangannya yang dibuat-buat, dan Islam merupakan cara hidup
yang merusak, baik didunia maupun diakhirat nanti (1962: 48).
Perlakuan yang kasar terhadap Islam dan pemotretan Islam
secara negatif sebenarnya muncul dari rasa keingintahuan tentang Islam. Para
pemikir Barat pada era itu ingin mengetahui ada apa sebenarnya dibalik
penyebaran Islam yang begitu luas melampaui Semenanjung Arabia. Meskipun
begitu, pemahaman mereka tentang Islam tidak membuat mereka mau menerima Al-Qur’an
dan doktrin-doktrin Islam lain sesuai dengan keyakinan umat Muslim (Daniel,
1960:259-60). Bernard Lewis juga menguraikan bahwa pembelajaran tentang Islam
di abad pertengahan oleh kalangan non-Muslim ditujukan untuk melindungi umat
Kristen dari serangan Muslim dan juga untuk menarik Muslim agar berpindah
agama. Tulisan tentang Islam dibuat bukan untuk memberi informasi, namun untuk
melindungi dan melemahkan (1993: 85-6).
Potret Nabi Muhammad SAW dalam
Sastra Barat
Penyelewengan citra Islam dan Nabi Muhammad SAW sudah
sering dibahas di kalangan sejarawan. Pada dasarnya, disepakati bahwa
penyelewengan ini berakar pada tulisan-tulisan di abad pertengahan, abad yang
menjadi saksi baik harmoni maupun konflik antaragama. Keberadaan tiga tradisi
agama monoteis, yakni Yahudi, Kristen dan Islam meninggalkan catatan sejarah
tentang perebutan hegemoni dan superioritas sejak ekspansi Islam diabad ke-7.
Agama Kristen tumbuh subur di bumi Barat, sedangkan Islam berkembang pesat di
dunia Timur.
Apabila ditelusuri sejarah peradaban Islam, akan diketahui
betapa besar pengaruh Islam terhadap dunia Barat, dan begitu juga sebaliknya.
Tercatat tiga tempat yang menjadi jembatan hubungan ekonomi, budaya, ilmu
pengetahuan, dan agama antara Timur dan Barat, yakni Syria (Suriah), Spanyol,
dan Sicilia. Spanyol Andalusia dan Syria merupakan tempat berinteraksinya
peradaban Barat dan Islam, sedangkan Sicilia sempat menjadi kota Muslim dijaman
kekhalifahan Fatimid sekitar tahun 948, dengan sedikitnya 3000 mesjid berdiri
dikota ini (Hitti, 1962: 71).
Meskipun begitu, dampak yang utama justru pandangan
negatif terhadap Islam. Islam sebagai ancaman terhadap dunia Kristen (Christendom) menjadi alasan terjadinya
Perang Salib I ditahun 1095, sebagai reaksi ekspansi Islam di Eropa dan
penaklukan Jerusalem oleh tentara Muslim. Dengan tujuan mengkonversikan pemeluk
Islam ke Kristen, tentara Perang Salib selanjutnya menanamkan pandangan tentang
Islam dan Timur sebagai “the other.” Pada masa-masa Perang Salib itu, diabad
kedua belas dan ketiga belas, kekeliruan pandangan tentang Islam berkembang
subur ditangan para penulis yang menggambarkan Islam melalui cerita-cerita,
puisi-puisi, dan catatan-catatan perjalanan mereka. Karya-karya mereka
mengkristalkan sentimen anti-Islam, dan selanjutnya susah sekali menghapus
stereotip negatif tentang Islam.
Islam dianggap sebagai ancaman terhadap Kristen, justru karena
banyak kesamaan antara kedua agama ini. Pandangan ini kemudian mengarah pada
tuduhan bahwa Islam adalah aliran yang sesat (heresy). Kata “heresy” menunjukkan
bahwa bahwa Islam sebelumnya dianggap sebagai bagian dari agama Kristen, dan
Nabi Muhammad SAW dulunya beragama Kristen.
St. John dari Damascus (675-749), yang di dunia Islam
dikenal dengan nama Yahya al-Dimashqi) adalah orang yang pertama kali
melemparkan tuduhan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi palsu. St. John, yang merupakan seorang pejabat di
jaman dinasti Umayyad di Damascus, Syria, memahami sejarah Islam, termasuk
fakta genealogis Nabi Muhammad SAW sebagai keturunan Nabi Ismail AS. Dari sudut
pandangnya sebagai pemeluk Kristen, kemudian St. John mengambil simpulan bahwa
Islam adalah agama yang tidak sah, sebagaimana Nabi Ismail juga dianggap
sebagai anak haram dari Nabi Ibrahim AS (Smith, 1999: 322).
Tuduhan ini semakin dalam tertanam ketika Peter the
Venerable memimpin upaya menterjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin pada
tahun 1143, semata-mata untuk mencari kelemahan Islam dan menyerangnya secara
intelektual (Smith, 1999: 323). Dalam argumennya, Peter mengacu pada
wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an dan menyimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang
menyimpang, karena mendukung sebagian isi Injil, namun juga menolak sebagian
lainnya. Seperti St. John, Peter juga menuduh Islam sebagai agama sesat. Peter
menuduh bahwa Nabi Muhammad SAW belajar pada pemikir-pemikir Yahudi yang sesat
untuk menghasilkan Al-Qur’an (Kritzeck, 1964:132). Catatan sejarah ini sangat
besar pengaruhnya pada tulisan-tulisan sesudahnya, sebagaimana yang terekam
dalam beberapa karya sastra berikut ini.
Dante (1256-1321),
penyair Italia dari abad ke-13, menempatkan Nabi Muhammad SAW dan Ali bin Abi
Talib pada neraka lapis kedelapan, bersama-sama dengan tokoh-tokoh sesat lain
yang “dihukum” Dante. Dalam karyanya yang menjadi tonggak sastra Barat kanon
(sastra yang sudah mapan dan menjadi tolok ukur kualitas sebuah tulisan), yakni
The Divine Comedy (terdiri dari Inferno, Purgatorio, dan Paradiso), Dante mengisahkan tentang
perjalanan imajiner dirinya melewati neraka, alam barzakh (purgatory), dan
surga. Dengan ditemani oleh Virgil, penyair jaman Romawi, sebagai pembimbingnya,
Dante bertemu dengan berbagai tokoh terkenal di dunia pada masa-masa
sebelumnya. Di Inferno (Canto
XXVIII.28-36), dineraka lapis bawah, Dante bertemu dengan Nabi Muhammad yang
digambarkan sedang meratapi penderitaan karena siksaan yang diterimanya.
Nabi Muhammad SAW
dan Ali ditempatkan bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain yang menurut Dante
memikul dosa sebagai pemecah belah masyarakat. Gambaran siksaan kepada Nabi
Muhammad SAW bisa dikatakan amat kejam dan mengerikan. Dengan tubuh yang terbelah
menjadi dua, lalu utuh kembali, dan terbelah lagi, dan seterusnya, Nabi
Muhammad SAW dianggap pantas menerima hukuman atas dosanya menjadi pemecah
belah dunia menjadi dengan mendirikan agama baru. Kemungkinan besar Dante juga
mengetahui sejarah Islam tentang pecahnya umat Islam menjadi Sunni dan Syiah,
karena dia juga menempatkan Ali di lingkar yang sama. Dengan menghukum dua
figur Islam yang paling berpengaruh di neraka lapis bawah, Dante telah
menunjukkan kebenciannya terhadap Islam.
Hadirin yang terhormat,
Seberapa jauh
sebuah karya sastra dapat mempengaruhi pandangan dan tindakan pembacanya? Banyak
karya sastra dihasilkan sebagai cermin kondisi sosial pada masanya, dan juga
merupakan respon terhadap kondisi masyarakat. Namun jangan lupa bahwa karya
sastra juga bisa menggerakkan emosi pembacanya untuk bereaksi. Besar
kemungkinan Dante tidak memperkirakan betapa besar dampak tulisannya dimasa
kini. Untuk diketahui, gambaran penempatan Nabi Muhammad SAW dan Sayyidina Ali
di neraka menjadi inspirasi bagi Giovanni da Modena pada tahun 1415 untuk memahatnya
didinding salah satu gereja di Bologna,
Italia. Lukisan kontroversial ini sudah lama menjadi sasaran protes komunitas
Muslim di Italia. Salah satu insiden yang berkaitan dengan reaksi terhadap lukisan
fresco ini tercatat di berbagai media,
ketika pada tahun 2002, empat pemuda Maroko ditahan pihak kepolisian Italia
atas dasar kecurigaan bahwa mereka berencana untuk menyerang gereja tersebut. Catatan
lain juga menunjukkan kecurigaan pihak inteligen Italia akan adanya serangan
Al-Qaida dengan gereja yang sama sebagai targetnya, tentunya dengan alasan
adanya fresco yang melecehkan Nabi
Muhammad SAW.[4]
Beralih ke sastra
yang berasal dari bumi Inggris satu abad kemudian, yakni abad ke-14, kita juga
bisa menemukan tulisan-tulisan yang mendiskreditkan Nabi Muhammad SAW. William
Langland (1332-1400), penyair yang dikenal dengan karyanya yang disebut sebagai
“dream vision,” yakni Piers Plowman, memiliki agenda senada
dengan Dante. Langland mengikuti jejak Peter the Venerable dengan melemparkan
tuduhan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi palsu yang menyebabkan kerusakan
moral para pendeta Kristen. Nabi Muhammad SAW digambarkan sebagai seseorang
yang gagal menjadi Paus, dan kemudian mendirikan agama baru.
Dalam Piers Plowman, kita juga dikenalkan
dengan sebuah mitos, “the myth of the
dove,” yang berkaitan dengan pemberian wahyu Allah. Diceritakan bahwa Nabi
Muhammad SAW menyebarkan cerita bohong tentang burung merpati yang sering
hinggap ditelinga beliau, yang dikatakan sebagai jelmaan dari malaikat Jibril.
Dengan meletakkan biji-bijian ke daun telinga untuk menarik perhatian burung
merpati tersebut, Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada umat Muslim Syria bahwa
malaikat Jibril sedang menyampaikan wahyu Allah kepadanya. Demikianlah akhirnya
umat Muslim di Syria jatuh ke dalam perangkap tipuan Nabi Muhammad SAW (Passus
XV.393-410).
Mitos ini cukup
dikenal pada masa itu di kalangan umat Kristen di Barat. Bahkan seorang
dramawan sekaliber Shakespeare juga menyebutkan mitos ini dalam drama Henry VI, “Was Mahomet inspired by a dove?”
(I.ii.140). Uniknya, mitos ini praktis tidak dikenal di kalangan umat Muslim.
Mitos yang terekam dalam karya sastra seperti Piers Plowman ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW memang
dianggap sebagai nabi palsu, karena menebarkan cerita palsu tentang bagaimana
Nabi menerima wahyu. Pada akhirnya, sejalan dengan semakin banyaknya teks
berbahasa Arab yang masuk ke daratan Eropa, mitos ini disadari sebagai cerita
bohong tentang biografi Nabi Muhammad SAW. Banyak penulis Barat yang menunjukkan
telah terjadi penyelewengan cerita hidup Nabi. Mitos burung merpati ini sudah
tidak lagi dipercaya kebenarannya (Carlyle, 1911:59; Gibbon, 1845:378; Hitti,
1962 :54-55; Lewis, 1993:94).
Pada bagian lain,
Langland juga menggunakan figur Nabi Muhammad SAW sebagai contoh kebobrokan
moral. Selain itu, Langland juga menuduh para pemuka agama Kristen karena
meniru gaya hidup duniawi Nabi Muhammad SAW sehingga mereka kehilangan
integritasnya (Passus XV.411-17). Gaya hidup materialistik dalam kehidupan beragama
seseorang barangkali sangat mengganggu Langland. Dalam konteks sejarah Kristen
di Inggris pada abad ke-14, masyarakat dibagi menjadi tiga kategori, yakni: Knight (Bangsawan), Parson (Agamawan), dan Ploughman
(Pekerja). Kategorisasi ini menuntut para pemuka agama untuk hidup sederhana
dan menjauhkan diri dari urusan duniawi, karena tugas mereka adalah memberikan
khotbah dan mendidik. Apabila kehidupan para pemuka agama cenderung
bermewah-mewahan, maka mereka dianggap menyimpang dari standard normatif
kehidupan sosial dan beragama yang diidealkan.
Kehidupan duniawi
di kalangan pemuka agama memang menjadi salah satu masalah di Inggris pada abad
ke-14, sehingga mendorong rakyat Inggris untuk mendesak dilakukannya reformasi
Gereja. Pemberontakan Petani (Peasant’s
Revolt) yang terjadi pada tahun 1381 dibawah pimpinan John Wycliff mengecam
gaya hidup berlebihan dikalangan gereja. Beberapa bait Piers Plowman dikutip untuk membakar semangat selama pemberontakan,
antara lain karena Piers Plowman
memang berisi protes terhadap korupsi dikalangan gereja (Kirk dan Anderson,
1990:xi).
Ironisnya, Langland
sebagai penyair tidak berusaha melacak masalah didalam gereja itu sendiri;
sebaliknya, ia membutuhkan kambing hitam, dan Nabi Muhammad SAW menjadi target
yang tepat. Menarik untuk dicatat disini bahwa John Wycliff sebagai pemimpin
pemberontakan melihat naiknya pamor Islam dimasa itu disebabkan oleh kehidupan
duniawi di Gereja, dan kejayaan Islam tidak akan pudar selama pihak Gereja
tetap dengan kebobrokannya (Southern, 1962:80).
Tuduhan kehidupan duniawi yang ditujukan kepada Nabi
Muhammad SAW tentunya jauh dari kebenaran. Umat Muslim dan intelektual
non-Muslim yang memahami kehidupan Nabi pasti menolak penyelewengan fakta ini.
Seorang penulis Inggris dari akhir abad ke-18, Thomas Carlyle, misalnya, dalam
bukunya On Heroes, Hero-Worship, and the
Heroic in History, mengutip satu hadist tentang kehidupan Nabi yang amat
sederhana, yakni bahwa Nabi biasa makan roti dan air saja; kadang-kadang selama
beberapa bulan api tidak menyala di perapian beliau (1911:93).
Tentunya banyak
sekali hadist yang menyebutkan kehidupan Nabi yang sederhana dan mau melakukan
tugas-tugas rumah tangga. Belum lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan
hidup sederhana, karena kehidupan duniawi bisa menjauhkan manusia dari
kebenaran, sebagaimana yang disebut dalam surat At-Takatsur.[5]
Namun informasi seperti ini, yang sebenarnya dibutuhkan di dunia Barat, yang
justru tidak banyak mereka kenal.
Seorang penyair dari Inggris pada abad ke-14, Chaucer,
juga menunjukkan sentimen terhadap Islam. Dalam cerita The Man of Law’s Tales yang menjadi bagian dari karya besarnya, The Canterbury Tales, Chaucer mengutuk
salah seorang tokoh dalam cerita, ibu Sultan Syria, karena telah membunuh
anaknya sendiri, sang Sultan Syria, bersama-sama pengikutnya. Sang Sultan
diceritakan telah berpindah ke agama Kristen demi memuluskan niatnya menikahi
seorang puteri dari kerajaan Romawi. Penokohan ibu Sultan sebagai pembunuh
berdarah dingin bisa diinterpretasikan sebagai simbolisasi dari sifat kejam dan
penuh kekerasan yang ditempelkan pada Islam.
Meskipun begitu, Chaucer boleh dikatakan menunjukkan
sikap yang lebih positif dibandingkan dengan Dante dan Langland. Chaucer
menyebut Muhammad sebagai utusan Allah, dan Al-Qur’an, yang keliru dipahami
Chaucer sebagai Hukum Muhammad, disebut sebagai hukum yang mulia.
Chaucer bisa jadi
memang mengakui bahwa Islam adalah agama yang baik meski berbeda dengan
Kristen. Namun Chaucer mempunyai agenda untuk menyatukan perbedaan ini dengan
jalan berpindah agama, dari Islam ke Kristen, yang akan menjamin keselamatan
seseorang. Agenda ini sekaligus juga berfungsi sebagai pembelaan Chaucer
terhadap keunggulan Kristen diatas Islam. Dalam cerita, disebutkan bahwa ayah
sang Putri, yakni Kaisar Romawi menyetujui pernikahan putrinya dengan Sultan
Syria. Dengan dukungan dari Paus, sang raja melihat bahwa konversi Sultan dan
pengikutnya ke agama Kristen merupakan realisasi tujuan “the destruccioun of mawmettrie.” Kutipan ini menarik untuk disimak,
karena kata “mawmettri” berasal dari Mahomet, atau Muhammad, yang kemudian
berubah makna menjadi penyembahan berhala. Dengan demikian, sebenarnya Chaucer
sendiri menyimpan sentimen terhadap Islam.
Pertanyaan kita
sekarang yaitu, adakah karya sastra Barat yang mengangkat figur Nabi Muhammad
SAW sebagai figur teladan, dan melihat Islam dari sisi positif? Dengan semakin
banyaknya teks berbahasa Arab yang beredar di Eropa, dan juga
pengamatan-pengamatan yang langsung dialami para penulis ketika tinggal di negara-negara
Islam, muncullah tulisan-tulisan yang meluruskan kesalahpahaman terhadap Islam.
Pada abad ke-18 misalnya, Lady Mary Wortley Montagu mengoreksi pandangan Eropa
yang salah tentang Al-Qur’an, dan mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah “the purest morality deliver’d in the very
best language.”[6]
Sementara itu, Thomas Carlyle menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok
pemimpin dunia yang seharusnya diteladani oleh orang Barat, namun mereka tidak
melakukannya. Carlyle menyebut Nabi sebagai orang yang jenius dan karismatik (1911:87-9).
Tak kurang pula Bernard Shaw, seorang dramawan besar dari Inggris di abad
ke-19, dalam tulisannya The Genuine Islam
menyat akan:
I have always held the religion of Muhammad in high
estimation because of its wonderful vitality. It is the only religion which
appears to me to possess that assimilating capacity to the changing phase of
existence which can make itself appeal to every age. I have studied him - the
wonderful man and in my opinion far from being an anti-Christ, he must be
called the Saviour of Humanity. I believe that if a man like him were to assume
the dictatorship of the modern world, he would succeed in solving its problems
in a way that would bring it the much needed peace and happiness: I have
prophesied about the faith of Muhammad that it would be acceptable to the
Europe of tomorrow as it is beginning to be acceptable to the Europe of today.
(Vol. 1, No. 81936)
Pengaruh Islam terhadap Sastra
Barat Kanon
Peradaban Barat seringkali menjadi panutan dan tolok
ukur dalam menilai berbagai aspek dalam kehidupan manusia, termasuk dalam dunia
sastra. Namun tak banyak yang menyadari bahwa sebenarnya peradaban Islam
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sastra Barat. Dalam bagian
terdahulu dijelaskan bahwa Dante menempatkan Nabi Muhammad SAW dan Sayyidina
Ali di neraka lapis ke-8. Namun sebenarnya Dante sedikit banyak menunjukkan
simpatinya kepada Islam, khususnya dalam bidang filsafat dan kenegaraan. Di
karya yang sama, Inferno, Dante
menyebut tiga tokoh yang berpengaruh dari dunia Islam, yakni Avicenna (Ibn
Sina), filsuf dan ilmuwan dari Baghdad di abad ke-9 yang karya-karyanya menjadi
acuan ilmu kedokteran di Timur dan Barat selama berabad-abad lamanya (Fakhry,
1999:275); Averroes (Ibn Rushd), filsuf Andalusia/Spanyol Muslim di abad ke-11
yang lebih dikenal di Barat sebagai komentator Aristoteles, dan Sultan Saladin
dari Mesir yang berhasil merebut Jerusalem dari tangan penguasa Kristen. Ketiga
tokoh ini ditempatkan di Limbo, tempat orang-orang baik dikumpulkan tetapi tidak
ditempatkan di surga karena mereka tidak dibaptis. Dengan menempatkan ketiga
tokoh ini di Limbo, berarti Dante membuka kesempatan bagi mereka untuk
memperoleh keselamatan (salvation). Pertanyaan
yang muncul adalah mengapa Dante memberi penghargaan tinggi kepada dua filsuf
Muslim yang juga adalah pakar ilmu Al-Qur’an, dan kepada seorang negarawan yang
menjadi simbol jihad melawan penguasa agama yang dianut Dante. Bukankah lebih
masuk akal bila Dante memasukkan Saladin ke neraka? Bila kita telusuri sejarah
perkembangan Islam pada masa itu, Saladin banyak disebut sebagai tauladan
seorang ksatria dan negarawan sejati, yang memperlakukan musuhnya dengan
cara-cara yang baik dan manusiawi. Ini sangat jauh berbeda dengan perlakuan
para tentara Kristen yang secara membabi buta membunuh orang-orang tidak
berdosa, terutama di Perang Salib ke-1 (Munro, 1931;338).
Averroes sendiri
banyak memberikan pengaruh kepada perkembangan pemikiran di Barat pada abad
ke-13. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sehingga filsafat
Aristoteles lebih mudah dipahami di dunia Barat. Dante sendiri bahkan dituduh
sebagai pengikut Averroes dan dikucilkan dari kota kelahirannya, dan
karya-karyanya dibakar oleh penguasa (Cantor: 1996:138).
Pengaruh yang lebih
mengejutkan lagi, terutama bagi dunia Barat adalah kritik terhadap keaslian The Divine Comedy. Karya besar yang
menjadi bacaan “wajib” bagi mereka yang menekuni Sastra Barat, ternyata banyak
sekali kesamaannya dengan kisah perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.
Adalah Miguel Asin Palacios, seorang pastur dari Spanyol, yang telah
menghabiskan sekitar dua puluh lima tahun untuk menelusuri sumber-sumber yang
menjadi inspirator Dante, dan menyatakan bahwa Dante mengambil kisah Isra’
Mi’raj dan tulisan-tulisan dari dunia Islam. Dalam bukunya yang diterjemahkan
kedalam bahasa Inggris, Islam and The
Divine Comedy (1919), Palacios memberikan begitu banyak detil kesamaan
dalam membandingkan keduanya, sehingga hampir mustahil kesamaan-kesamaan itu
hanyalah kebetulan saja.
Penelitian Palacios
patut diakui kebenarannya. Apabila kita betul-betul menelusuri episode-episode
yang menggambarkan neraka, alam barzakh, dan surga, dan lebih-lebih lagi
gambaran siksaan terhadap berbagai macam dosa di setiap lapis neraka yang
didisain Dante pada The Divine Comedy,
maka kita bisa temukan begitu banyak kemiripan dengan gambaran neraka dan
siksaan-siksaan sebagaimana tertulis di Al-Qur’an dan Hadith. Ambil saja
sedikit contoh: Baik kisah Isra’ Mi’raj[7]
maupun Dante[8]
menggambarkan siksaan yang sama kepada orang yang meribakan uang. Mereka
ditenggelamkan kedalam sungai darah, dan dilempari batu yang kemudian mereka
telan.
Kemiripan yang
patut disebut juga adalah bentuk siksaan yang terus menerus, misalnya kondisi
fisik yang pulih dan utuh kembali untuk kemudian disiksa lagi. Dante memberikan
gambaran dihampir seluruh bagian di Inferno.
Sementara itu, umat Muslim sudah akrab dengan gambaran seperti ini, sebagaimana
yang tersebut di Al-Qur’an.[9]
Mungkinkah seorang
Dante membaca Al-Qur’an dan/atau hadist secara langsung sebagai sumber
inspirasinya? Isu tentang keaslian The
Divine Comedy ini cukup kontroversial. Untuk memberi jawaban yang singkat,
penjelasan yang sementara ini dianggap paling memungkinkan adalah bahwa Dante
terinspirasi oleh karya seorang Sufi dari Andalusia pada abad ke-13, Muhyiddin
Ibn ‘Arabi. Karyanya, Futuhat Al Makkiyah,
adalah kisah perjalanan mistis Ibn ‘Arabi, yang ditulis dengan menggunakan
kisah Isra’ Mir’aj sebagai dasar (Morris, 1987). Ada pula banyak bukti bahwa
pada masa hidup Dante, kisah Isra’ Mi’raj dalam versi bahasa Latin cukup
dikenal.[10]
Masih banyak lagi
pengaruh kebudayaan Islam terhadap sastra Barat. Cerita-cerita seribu satu
malam (The Thousand and One Nights)
yang terkenal dari abad ke-9 dianggap memberikan inspirasi bagi
pengarang-pengarang besar seperti Boccaccio dari Italia dengan Decameron pada abad ke-12. Dalam Decameron ini jugalah ditemukan kekaguman Boccaccio terhadap
Saladin.[11] Sedangkan
Chaucer menyiratkan ketertarikannya pada astronomi dan kekagumannya pada
ilmuwan-ilmuwan Muslim. Istilah-istilah yang diambil dari bahasa Arab banyak
ditemui di dalam karya-karya Chaucer.
Potret Islam dan Nabi Muhammad SAW sebagaimana
digambarkan oleh Dante dan Chaucer menunjukkan adanya dua persepsi yang
berbenturan. Disatu sisi, Dante memberi hukuman kepada Nabi Muhammad SAW atas
“dosa”nya mendirikan agama sesat. Begitu juga Chaucer, yang menggambarkan ibu suri sebagai tokoh
Muslim yang jahat, kejam, dan pembunuh berdarah dingin. Namun disisi lain,
Dante memberikan penghargaan tinggi kepada Avicenna dan Averroes, serta
Saladin. Chaucer juga sedikit banyak terinspirasi oleh peradaban Arab, dalam
hal ini astronomi, dalam menghasilkan karya-karya besarnya. Disini kita bisa
berasumsi bahwa Islam ditolak dan dibenci sebagai sebuah agama, namun dikagumi
sebagai sebuah peradaban. Sekali lagi, pandangan ini mencerminkan kondisi
masyarakat pada jaman pertengahan. Akan halnya Langland, dia memiliki agenda
teologis yang lebih kental, sehingga tidak memberikan ruang untuk apresiasi
terhadap Islam, kecuali tawaran kepada umat Muslim untuk memperoleh keselamatan
melalui konversi agama.[12]
Dalam posisi ini, baik Dante, Langland, maupun Chaucer berketetapan untuk
mempertahankan hegemoni Kristen.
Imej Islam dalam Era Globalisasi
Hadirin yang terhormat,
Meskipun banyak
upaya untuk meluruskan pandangan tersebut sepuluh abad sesudahnya, imej buruk tentang
Islam yang sudah tersebar sejak ke-8 tetap ada sampai kini. Apabila pada masa
lalu citra buruk ini dibawa oleh para pelancong, maka pada jaman kolonialisme cerita
negatif tentang Islam dibawa oleh para penjajah ke negara masing-masing. Dengan
demikian, pandangan tentang Islam menjadi bersifat monolitik. Citra buruk
inilah yang sampai sekarang masih terekam dibenak sebagian besar masyarakat
Barat.
Media sudah sangat
sering menyuguhi kita dengan berita tentang konflik-konflik yang terjadi di
Timur Tengah, dan gerakan terorisme oleh kelompok-kelompok anti-Amerika yang
dicap sebagai sebagai fundamentalis, meskipun kata fundamentalis ini sendiri
layak diperdebatkan. Pada tanggal 8 Januari 2004, salah satu jaringan televisi
terkemuka di Amerika Serikat, CNN, menyuguhkan satu liputan eksklusif dengan
judul “Seeds of Terror.”[13]
Program ini merupakan ulasan pasca pemboman di Bali. Beberapa cuplikan menunjukkan
kegiatan di pesantren di Indonesia, selain juga wawancara dengan para pengamat
politik seperti Dewi Fortuna Anwar dari Indonesia dan Tony Tan, Deputy Prime Minister
of Singapore. Narasi nampaknya dibuat sedemikian rupa sehingga memberi kesan bahwa
pesantren merupakan tempat subur untuk menyebar bibit-bibit terorisme.[14]
Audiens CNN tentunya tidak hanya masyarakat Amerika saja. Satu minggu yang
lalu, dalam seminar internasional tentang kebudayaan Jepang dan ASEAN yang
diadakan oleh UNESA, seorang pembicara dari Filipina, Prof. Lily Rose Tope
mengatakan bahwa masyarakat Filipina
tidak banyak mengenal Islam, meskipun mereka punya saudara-saudara Muslim di
Mindanao. Sudut pandang mereka cenderung berorientasi ke Barat (baca Amerika),
dan CNN menjadi salah satu rujukan utama. Hal ini mengingatkan kita pada
sebutan Islam sebagai agama “pedang,” sebagaimana digambarkan oleh Edward
Gibbon.[15]
Hal ini disadari sebagai satu kelemahan Filipina, yang secara emosional tidak
merasa menjadi bagian dari Asia Tenggara. Meskipun begitu, perkembangan baik
patut dicatat karena sudah dua tahun terakhir ini Filipina menetapkan Idul
Fitri sebagai hari raya nasional, yang menunjukkan bahwa masyarakat Muslim
semakin diakui keberadaannya.
Perbedaan persepsi
tentang Islam ini sedikit banyak menjadi ganjalan bagi negara-negara ASEAN
untuk menjalankan “perang melawan terorisme.” Apalagi CNN menyebutkan ASEAN
sebagai negara yang subur untuk perkembangan terorisme. Singapura dan Filipina
cenderung keras terhadap pergerakan Islam, sedangkan Indonesia dianggap menjadi
surga bagi para teroris.
Umat
Muslim perlu merunut kembali sejarah mereka dan memahami bahwa peradaban Islam
di masa lalu yang unggul selama berabad-abad lamanya telah mengakibatkan
keengganan untuk menoleh kepada dan menghargai budaya Barat, terutama setelah
tahun 1500. Dibandingkan dengan belahan bumi Eropa yang menjadi saksi revolusi
sosial politik, kerajaan-kerajaan Islam pada masa itu, misalnya kerajaan Osmani
(Ottoman Empire) di Turki malah semakin stagnant. Secara intelektual, para
pemikir Islam tetap konservatif, dan sedikit yang menyadari betapa
berpengaruhnya perubahan yang terjadi di Eropa. Pembelajaran ilmiah dianggap sebagai suatu penyimpangan,
seringkali dengan didasari oleh hadist seperti “setiap inovasi adalah bid’ah,
bid’ah adalah kesalahan, dan setiap kesalahan berujung ke neraka” (Goffman,
2002: 117).
Umat Muslim
terlambat menyadari mundurnya peradaban Islam. Seiring dengan jatuhnya Mesir
ketangan Napoleon Bonaparte pada tahun 1798, sejumlah negara Islam atau yang
berpenduduk mayoritas Islam jatuh ke tangan penjajahan negara-negara Eropa.
Pengambil-alihan kekuasaan oleh negara-negara Eropa, terutama Inggris dan
Perancis, pada dasarnya disebabkan oleh dibatasinya pembelajaran ilmiah dan
dibatasinya pengetahuan hanya pada masalah-masalah agama saja.
Mantan Perdana
Menteri Malaysia Mahathir Mohammad mengangkat isu tentang tertinggalnya umat
Islam dalam pengetahuan pada pidatonya di Konferensi Negara-Negara Islam pada
bulan Oktober 2003. Mahathir Mohammad memperingatkan umat Muslim untuk bangun
dari sikap minder atau inferiority complex, dan juga ingat pada kejayaan Islam
di masa lalu, untuk bisa mengejar ketertinggalannya secara teknologi dengan
dunia Barat yang lebih maju. Hanya dengan cara ini negara-negara Islam bisa
membela diri dari penghinaan yang
sekarang ini harus dihadapi oleh sebagian besar negara Islam.
Pidato ilmiah ini tidak berupaya untuk memberikan solusi
terhadap masalah terorisme yang amat pelik. Meskipun begitu, melalui tulisan
ini, diharapkan kita semua sadar bahwa ketidaktahuan masyarakat awam non-Muslim
tentang Islam adalah akar dari Islamophobia. Kita bertetangga dengan berbagai
pemeluk agama, namun tahukah kita, atau pernahkah kita saling bertanya dengan
tulus tentang makna peringatan hari raya agama lain? Kita diharapkan untuk
menunjukkan toleransi terhadap agama lain, namun apalah artinya toleransi bila
tidak disertai dengan keterbukaan terhadap adanya perbedaan? Di jaman yang bersifat multikulturalis ini,
perbedaan bukanlah sesuatu yang perlu disembunyikan demi sebuah keseragaman,
karena pada dasarnya perbedaan membuat kita semakin kaya, tanpa harus
kehilangan identitas masing-masing.
Sudah banyak yang
dilakukan untuk menjembatani kesenjangan antara Islam dan Barat, namun jalan
yang harus ditempuh masihlah sangat panjang. Benturan peradaban masih campur
aduk dengan konflik agama. Barangkali tak perlu diperdebatkan mana yang ayam,
mana yang telur. Kita benar-benar membutuhkan upaya yang keras dan terus
menerus untuk membuka mata dunia bahwa batas-batas dan dikotomi Timur/Barat,
Superior/Subordinat, dan Modern/Tradisional hanyalah garis maya.
Satu-satunya cara untuk membangun kesepahaman adalah
dengan mengupayakan keterbukaan terhadap satu sama lain dan kesungguhan untuk
menghargai tradisi masing-masing. Bukankah Allah telah menciptakan dunia ini
penuh dengan perbedaan agar manusia bisa mengenal satu sama lain. Allah
berfirman:
Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Hujuraat: 13).
Apabila yang saya
sampaikan dalam pidato ilmiah ini benar, semata-mata karena semua kebenaran
datangnya dari Allah SWT, namun apabila ada kekhilafan dan kekeliruan, itu sebagai
cermin kekurangan saya, sebagai manusia yang jauh dari sempurna. Saya mohon
maaf, apabila ada hal-hal yang kurang berkenan dalam penyampaian pidato ini.
Surabaya,
18 Desember 2004
[1] Angela Galloway, “2 Lawmakers Spurns Muslim’s Prayer,” Seattle PI 4 Mar. 2003, 18 Mar. 2003 <http://seattlepi.nwsource.com/local/110881_prayer04.shtml>.
[2] Lawrence Smallman, “Germany to Ban Teachers’ Scarves,” AlJazeera.net 11 Nov. 2003, 26 Nov. 2003 <http://www.english.aljazeera.net/NR/exeres/8FF980B-320C-4FF7-A08F-AAD05394DD90.htm>.
[3] Elizabeth Bryant, “Secular France Struggles with Veil,” Washington Times 14 Sept. 2003, 10 Nov. 2003 www.washtimes.com/world/20030913-112055-9770r.htm>.
[5] QS At-Takatsur:1-8. Lihat Tafsir Ibn Kathir pada bab ini, Surat At-Takatsur, untuk mendapatkan komentar-komentar yang lebih rinci dan hadist-hadist yang menjelaskan bahayanya kehidupan duniawi.
[6] Dalam kumpulan surat-suratnya, Turkish Embassy Letters, Lady Mary Wortley Montagu menuliskan pengalamannya sebagai istri duta besar Inggris di Turki. Lih. Montagu, The Complete Letters of Lady Mary Wortley Montagu. Vol.1.1708-1720. Ed. Robert Halsband. London: Oxford UP, 1965
[7] Sahih Bukhari, Kitab 23, no. 468.
[8] The Inferno, Canto XII.46-8.
[9] QS An-Nisa: 56.
[10] Mentor Dante, Brunetto Latini, pernah bekerja untuk Raja Alfonso X di Toledo, Spanyol. Alfonso X memerintahkan penterjemahan banyak karya bahasa Arab ke bahasa Latin, dan salah satunya adalah kisah Isra’ Mi’raj. Kita bisa berspekulasi bahwa Dante juga mendapatkan sumber-sumber ini dari gurunya. Lihat Asin Palacios, 1926:248-9; Chejne, 1974: 405
[11] Dalam Decameron X.9, Boccaccio menggambarkan Saladin sebagai pemimpin yang tahu berterima kasih kepada orang Kristen yang pernah menolongnya, dan setelah perang, menjadi tawanannya.
[12] Dalam Piers Plowman, Passus XV.501-515, orang Yahudi dan Islam dikatakan akan mudah diajak masuk Kristen, karena pemeluk kedua agama ini sama-sama menyembah satu Tuhan.
[14] Untuk detil, baca transkrip lengkap program ini. Lih. Catatan kaki no. 13.
[15] Dalam bukunya yang fenomenal dijamannya, The Decline and Fall of the Roman Empire (1894), Edward Gibbon mengacu pada Islam dengan simbol seorang tentara Muslim menunggang kuda,. dengan memegang pedang ditangan kanan dan Al-Qur’an ditangan kiri. Gambaran ini menyesatkan, karena Qur’an dimata umat Muslim tidak seharusnya dipegang di tangan kiri.
DAFTAR PUSTAKA
Alighieri, Dante. 1980. The Inferno. Trans. Allen Mandelbaum.
New York: Bantam.
Asin Palacios, Miguel. 1926. Islam and the Divine Comedy. New York: E.P.
Dutton.
Armstrong, Karen. 1992. Holy War: The Crusades and their Impact
on Today's World. New York: Anchor.
---. Muhammad: a Biography. 1993. San Fransisco: Harper.
Benson, Larry D, ed. 1987. The Riverside Chaucer. Boston:
Houghton.
Boccaccio, Giovanni. 1993. The Decameron. Trans. Guido Waldman. Oxford: Oxford UP.
Bryant, Elizabeth. “Secular France Struggles with Veil.”
Washington Times. 14 Sept. 2003. 10 Nov. 2003 www.washingtontimes.com/world/20030913-112055-9770r.htm>.
Bucaille,
Maurice. 1986. The Bible, The Qur’an and Science. Paris: Seghers.
Carlyle, Thomas. 1911. On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic
in History. London: Wardlock.
Carosa, Alberto. 2002. “Tax Breaks for Terror?” 2 Dec.
2004 <http://www.chroniclesmagazine.org/Chronicles/October2002/1002Carosa.html>.
Chejne, Anwar G. 1974. Muslim Spain: Its History and
Culture. Minneapolis: The U of Minnesota P.
Cohen, Jeffrey J., ed. 2000. The Postcolonial Middle
Ages. New York: St. Martin’s.
Daniel, Norman. 1984. Heroes and Saracens: An Interpretation of
Chanson de Geste. Edinburgh: Edinburgh UP.
---, 1960. Islam and the West: the Making of an Image.
Edinburgh: Edinburgh UP.
Darma, Budi. 2000. “Ironi Kajian Budaya Sastra dalam Perspektif
Kajian Budaya.” Seminar Kajian Budaya dan Kajian Sastra. Surabaya: Universitas
Kristen Petra.
Esposito, John L. 1992. The Islamic
Threat: Myth or Reality? New York: Oxford UP.
Fakhry, Majid. 1999. “Philosophy and Theology from the eighth
century C.E to the present.” The Oxford History of Islam. Ed. John L.
Esposito. New York: Oxford UP. 269-304.
Galloway,
Angela. “2 Lawmakers Spurns Muslim’s prayer.” Seattle PI 4 Mar. 2003. 18
Mar 2003 <http://seattlepi.nwsource.com/local/110881_prayer04.shtml>.
Gibbon,
Edward. 1845. The Decline and Fall of the Roman Empire. New York:
T.Y. Crowell.
Goffman, Daniel. 2002. The Ottoman Empire and Early
Modern Europe. Cambridge: Cambridge UP.
Hitti, Philip K. 1962. Islam and the West: a Historical
Cultural Survey. Princeton: Nostrand.
Huntington, Samuel P. 1996. The
Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York:
Touchstone.
Kirk, Elizabeth D. and Judith H. Anderson. 1990. Introduction. Piers
Plowman. By William Langland. Trans. E. Talbot Donaldson. New York: Norton.
Kritzeck, James. 1964. Peter the Venerable and Islam.
Princeton: Princeton UP.
Langland, William. 1990. Piers Plowman. Trans. E. Talbot Donaldson.
New York: Norton.
Langland, William. 1995. The Vision of Piers Plowman. Ed.
A.V.C. Schmidt. London: Everyman.
Lewis,
Bernard. 1993. Islam and the West. New York: Oxford UP.
MSA-USC Hadith Database. 8 Mar. 2004 <http://www.usc.edu/dept/MSA/reference/searchhadith.html>.
Mohammad,
Mahathir. Speech at the Opening of the Tenth Session of the Islamic Summit. 16
Oct. 2003. 2 Feb. 2004 <http://www.oicsummit2003.org.my/speech_03.php>.
Montagu,
Lady Mary Wortley. 1965. The Complete Letters of Lady Mary Wortley Montagu. Vol. 1. 1708-1720. Ed. Robert Halsband. London: Oxford UP.
Morris,
James. 1987. “The Spiritual Ascension: Ibn ‘Arabi and
the Mi’raj Part I.” Journal of the American Oriental Society 107:
629-52.
2000.
Tafsir Ibn Kathir: Abridged Explanation and
Commentary of the Entire Qur’an. Vol. 5.
Riyadh: Darussalam.
Said,
Edward. 1978. Orientalism. New York: Vintage.
Salter, E. 1962. Piers Plowman: An Introduction. New York:
Oxford.
“Seeds of Terror.” CNN.com. 8 Jan. 2004. 2 Dec. 2004 <http://www.editor.cnn.com/CNN/Programs/presents/index.seeds.of.terror.html>.
Shaheen, Jack G. 2000. "Hollywood’s Muslim Arabs.” Muslim
World 90: 22-42.
Shakespeare, William. 1997. Henry VI. The Norton Shakespeare. Eds. Stephen Greenblatt, et.al. New York:
Norton.
Smallman, Lawrence. “Germany to Ban Teachers’ Scarves.” AlJazeera.net.
11 Nov. 2003. 26 Nov. 2003 www.english.aljazeera.net/NR/exeres/8FF980B-320C-4FF7-A08F-AAD05394DD90.htm
>.
Smith, Jane I. 1999. “Islam and Christendom: Historical, Cultural,
and Religious Interactions from the Seventh to the Fifteenth Centuries.” The
Oxford History of Islam. Ed. John L. Esposito. New York: Oxford UP. 305-46.
Southern, Richard W. 1962. Western Views of Islam in the Middle
Ages. Cambridge: Harvard UP.
No comments:
Post a Comment