Saturday, September 16, 2006

MEMERDEKAKAN KOTA DARI SAMPAH : DARI BEBAN MENJADI TEMAN


       Beberapa hari yang lalu, tepatnya Jum’at dini hari tanggal 8 September 2006,  kita dikagetkan oleh berita longsornya gunungan sampah setinggi 20 meter di zona III TPA Bantar Gebang Bekasi. “Bencana” ini telah menelan korban 3 orang pemulung yang tewas mengenaskan tertimbun longsoran sampah. Apa yang terjadi di Bantar Gebang sebenarnya bukanlah kecelakaan yang pertama kali terjadi berkaitan dengan masalah sampah. Peristiwa yang sama pernah terjadi di TPA Bojong, Bogor. Sebut juga LPA Sukolilo di Surabaya yang sampai harus ditutup pada tahun 2001 karena tidak mampu lagi menampung sampah warga kota Surabaya. Yang mengenaskan juga adalah masalah sampah yang memusingkan warga Bandung pada beberapa bulan yang lalu, sehingga sebutan Paris van Java nampaknya bisa diganti dengan kota sampah, sampai-sampai pemerintah pusat juga harus turun menangani masalah ini.   
       Sayangnya, sederetan kecelakaan lingkungan tidak juga membuat kita semua belajar dari pengalaman. Kebiasaan membuang sampah sembarangan masih dengan mudah ditemui di berbagai sudut kota di manapun. Nampaknya lantai gedung, sekolah, dan terutama jalan umum serta trotoar masih memiliki multifungsi, selain sebagai akses lalu lintas, juga sebagai “tempat sampah terluas.” Apabila kita sedang melewati jalan tol misalnya, masih saja bisa dijumpai pengendara yang seenaknya membuang kulit kacang, bungkus permen, dan sebagainya di jalan. Barangkali ini dilakukan karena si pengendara merasa sudah membayar tol, sehingga bebas melakukan apa saja.

Sampah tanggung jawab siapa?

            Sudah saatnya kita perlu mengubah pola pikir dari menganggap pemerintah sebagai penanggung jawab masalah sampah dan kebersihan. Kembali ke musibah di LPA Bantar Gebang, nampaknya kota Bekasi, dan juga kota-kota lain yang memiliki masalah yang sama, perlu belajar dari sebagian warga Surabaya dalam mengatasi masalah sampah. Sebagian warga kota Surabaya sudah mulai melakukan pengelolaan sampah mandiri dan tidak terlalu bergantung pada pemerintah kota. Lho, kan kita sudah membayar retribusi sampah? Barangkali ini pembelaan sebagian orang. Ya, memang betul. Tapi tidakkah kita berfikir bahwa retribusi sampah yang kita bayar hanya mampu menutup biaya pengangkutan sampah tidak sampai ¼ nya, seperti yang dihadapi pemerintah kota Surabaya. Tri Rismaharini, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya dalam satu kesempatan di depan kader lingkungan di Surabaya mengemukakan bahwa biaya operasional pengangkutan sampah di seluruh kota Surabaya mencapai lebih dari 80 milyar, sementara pemasukan dari retribusi hanya mencapai rata-rata 20 milyar setiap tahunnya.
            Sudah saatnya kita semua menanamkan tanggung jawab untuk ikut mengelola sampah kita masing-masing. Banyak penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 75% sampah berasal dari sampah domestik atau sampah dari rumah tangga. Disinilah diperlukan satu pembelajaran berbasis masyarakat, untuk mendidik dan melatih seluruh warga tentang bagaimana cara mengelola sampah dari masing-masing rumah tangganya. Intinya, bagaimana kita bisa mengubah citra sampah dari beban menjadi teman yang bisa mendatangkan manfaat.

Pengelolaan Sampah Mandiri

            Selama beberapa tahun terakhir ini warga Surabaya sudah mulai menerapkan pengelolaan sampah mandiri dengan menggunakan berbagai strategi, mulai swadaya murni tingkat RT sampai pendampingan oleh LSM-LSM yang peduli lingkungan di kota Surabaya. Harus diakui pula bahwa program ini semakin gencar dengan dipicu oleh lomba-lomba kebersihan, dimana Pemerintah Kota Surabaya juga turut andil. Dalam kurun waktu tahun 2006, misalnya, ini warga Surabaya ditantang untuk saling berkompetisi secara sehat dalam hal pengelolaan sampah dan lingkungannya. Lomba Kebersihan Green and Clean 2006 yang diadakan oleh salah satu harian nasional terbitan Surabaya, Pemerintah Kota Surabaya, dan Unilever pada bulan Maret-Mei 2006 yang lalu menelorkan setidaknya 20 RT yang masuk nominasi, sebelum akhirnya salah satu RT di Kertajaya keluar sebagai pemenangnya. Sementara itu, Lomba Ayo Merdeka dari Sampah yang diadakan oleh harian lokal, Pemkot Surabaya dan Unilever juga sedang berlangsung sejak Agustus sampai September ini dan telah sampai pada tahap 20 besar menjelang 3 besar. Apabila ditilik lebih cermat, kedua lomba ini sebenarnya memiliki kriteria yang hampir sama. Porsi yang paling besar dalam penilaian adalah ada tidaknya sistem pengelolaan sampah mandiri. Bila kita lihat profil para nominator kedua lomba di atas, setidaknya lebih dari 50 % nya hampir pasti telah memiliki pengelolaan sampah mandiri yang dijalankan oleh masyarakat sendiri, baik murni swadaya maupun dengan subsidi atau pendampingan dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli lingkungan.

Pemilahan Sampah Basah dan Sampah Kering

            Persoalan memilah sampah sebenarnya adalah masalah mengubah pola pikir. kebiasaan membuang sampah jenis apapun ke dalam satu tempat sampah mau tidak mau harus diubah menjadi kebiasaan baru dengan menyiapkan tempat sampah berbeda untuk jenis sampah yang berbeda pula. Idealnya, pemilahan sampah sudah dimulai dari dapur, dengan menyediakan 5 tempat sampah untuk sampah basah, kertas, plastik, logam, dan pecah belah. Pemilahan sampah berdasarkan jenisnya ini akan memudahkan penghuni rumah untuk memikirkan langkah selanjutnya, mau dikemanakan sampah-sampah tersebut.

Penggunaan fasilitas composting untuk sampah basah

            Sampah basah yang sudah dipilah selanjutnya bisa dimasukkan ke dalam fasilitas composting. Sekarang ini sudah cukup banyak teknik yang bisa diterapkan untuk proses pengomposan ini. Dari sekian banyak cara, penulis mengamati bahwa beberapa lingkungan RT, RW, dan Kelurahan di Kota Surabaya banyak menggunakan Komposter Aerob skala Rumah Tangga yang cukup besar dan bisa digunakan secara bersama oleh 3-4 rumah, dengan asumsi penghuni tiap rumah sebanyak 3-4 orang. Apabila aturan penggunaan dilakukan dengan benar, misalnya dengan merajang sisa sayur, buah, dan sampah kebun, meniriskan sisa makanan, dan tidak boleh ada sampah kering secuilpun, maka komposter jenis ini baru akan penuh dan siap dipanen komposnya paling cepat 1 tahun. Pengalaman penulis yang menggunakan komposter untuk 3 KK sejak Januari 2006 yang lalu ternyata baru terisi separuhnya (dengan drum plastik bekas bahan kimia ukuran setinggi 35 cm, diameter 50 cm, volume 120 liter). Ini membuktikan bahwa proses pengkomposan sudah berjalan dengan baik dan terbukti bisa mereduksi sampah lebih dari 50 %. Komposter jenis ini misalnya sudah dikembangkan oleh kalangan perguruan tinggi seperti Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Tim dari Unesa ini sudah kerap bekerja sama dengan dinas-dinas terkait untuk mengadakan pelatihan dan pendampingan tentang pengolahan sampah mandiri di berbagai lapisan masyarakat.
            Alternatif lain adalah penerapan Takakura Home Method, yang oleh warga lebih dikenal dengan Keranjang Sakti. Sistem yang dikenalkan oleh Prof. Koji Takakura ini cukup ideal dengan ukurannya yang lebih kecil, digunakan untuk setiap KK dan bisa ditempatkan di dalam rumah. Bedanya dengan Komposter Aerob adalah Takakura menggunakan kompos jadi (yang idealnya dihasilkan dari pengomposan sampah basah) sebagai starter atau pemancing. Sekali lagi, dengan aturan yang benar seperti penggunaan Komposter Aerob, maka keranjang sakti ini baru akan penuh paling cepat 3 bulan. Model Takakura ini dikembangkan oleh salah satu lembaga di universitas swasta di Surabaya, dan sekarang dimodifikasi oleh warga Surabaya di berbagai RT dan RW dengan memanfaatkan barang-barang bekas seperti kaleng cat ukuran 25 kg, keranjang bambu, dan sebagainya, sebagai wadah/keranjangnya.

Prinsip 4 R untuk sampah kering

            Lalu bagaimana dengan nasib sampah kering yang sudah terpilah berdasarkan jenisnya? Sekali lagi, pemanfaatan sampah kering adalah masalah mengubah pola pikir dan kebiasaan. Prinsip 4 R (Reduce, Reuse, Recycle, Revalue) harus mulai diterapkan di rumah tangga dan lingkungan masing-masing. Sedapat mungkin kita berupaya untuk mengurangi penggunaan wadah plastik seperti tas kresek, Styrofoam, kemasan-kemasan kosmetik. Sampah plastik termasuk paling jahat pada lingkungan, karena baru bisa terurai 400 tahun lagi. Beranikah kita mengatakan TIDAK saat diberi tas kresek ketika belanja di supermarket?
            Seharusnya para pemilik supermarket, baik besar maupun kecil, perlu meniru negara-negara maju. Di Amerika Serikat misalnya, supermarket tertentu akan menawari apakah anda mau tas kertas atau plastik untuk membawa barang belanjaan. Tentunya ini bukan hal yang sulit diterapkan, tetapi jelas membutuhkan komitmen dari penentu kebijakan sampai warga masyarakat. Apalagi di jaman sebelum ada tas kresek, toko-toko selalu menyediakan kantong kertas buatan penjualnya sendiri.
            Mengurangi volume sampah kering artinya kita juga perlu pikir-pikir sebelum membeli barang baru. Akan jauh lebih baik bila kita membeli shampoo, minyak, kopi, dan sebagainya dengan botol/kemasan ukuran besar, misalnya, dan bila habis tinggal membeli kemasan refill. Dengan demikian, rumah kita bisa terhindar dari tumpukan botol-botol kecil atau kemasan sachet.
            Bagaimana kalau sudah terlanjur memiliki botol-botol bekas atau kemasan sachet? Yang jelas memang sampah seperti ini akan dibuang. Namun barang-barang kemasan plastik ini sebenarnya bisa didaur ulang, dan menjadi incaran para pemulung karena laku dijual. Nah, kita juga bisa menjual barang-barang bekas yang bisa didaur ulang seperti kertas, kardus, dan kemasan-kemasan plastik. Pengalaman warga kota Surabaya juga bisa ditiru, yakni mengumpulkan sampah kering yang laku jual secara kolektif dan hasil penjualannya bisa dimasukkan ke kas PKK atau RT untuk keperluan pengelolaan lingkungan misalnya. Sudah banyak cerita sukses dari berbagai RT dan RW di Surabaya, dimana warga bisa piknik naik “sampah” alias dari hasil penjualan sampah kering, atau menggunakan uangnya untuk membeli/membuat fasilitas composting di lingkungan masing-masing.
            Dengan kreativitas kita, sampah kering sebenarnya juga mempunyai nilai tambah apabila diubah menjadi barang baru dengan fungsi berbeda. Konsep revaluing ini bisa dilakukan dengan banyak cara, misalnya, kemasan plastik bekas air mineral, kosmetik, oli, bisa saja dimanfaatkan sebagai pot gantung, tempat pensil, dan sebagainya. Dengan sedikit sentuhan yang menonjolkan kreativitas dan estetika, barang “baru” seperti tas dari bungkus mie instan, kipas dari plastik bungkus deterjen ini tidak akan nampak sebagai barang bekas. Hasil revaluing seperti ini terbukti tidak hanya layak jual, namun juga berpotensi besar menyelamatkan lingkungan hidup kita dari timbunan sampah plastik. Sebuah harian nasional terbitan Surabaya pernah mengadakan lomba daur ulang dari sampah kering, dan terbukti menarik animo yang cukup besar dari masyarakat. Barang-barang yang dihasilkan cukup mencengangkan, baik dari segi estetika, kreativitas, maupun barang bekas yang dimanfaatkan.
           
Perempuan sebagai Ujung Tombak Pengelolaan Sampah

            Mengapa harus perempuan? Kita hidup di sebuah negara yang masih kental dengan budaya patriarkal, dan tidak bisa disangkal bahwa berdasarkan pembagian kerja atas dasar gender, sebagian besar perempuan bertanggung-jawab atas urusan dapur, tidak peduli ia adalah ibu rumah tangga ataupun wanita pekerja. Pandangan ini nampaknya memberi kesan bias gender, dengan membebankan urusankotorkepada perempuan. Namun penulis berpendapat bahwa konteks di atas sebenarnya bisa menjadi semacam dekonstruksi atas stereotip perempuan. Urusan boleh tetap, yakni mengurusi dapur, namun menjadi ibu atau perempuan cerdas yang tahu bagaimana memilah sampah hampir pasti akan menjadikan sosok ibu atau perempuan menjadi “pahlawan lingkungan.” Sebombastis itukah? Menyitir pernyataan Vandana Shiva dalam bukunya Staying Alive (1989), perempuan seharusnya diberi kesempatan untuk lebih banyak terlibat dalam hal pembangunan. Sifat perempuan yang “nurturing” diyakini membuat perempuan lebih telaten, sabar, dan lebih punya niat untuk mempertahankan lingkungan. Gerakan yang mengedepankan perempuan dalam proses pembangunan yang berkelanjutan ini sering disebut dengan Ecofeminism. Shiva meyakini bahwa jalan satu-satu untuk mempertahankan kelangsungan alam bumi kita adalah menghapuskan marjinalisasi perempuan dan memberikan kesempatan pada mereka untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan yang lebih ramah lingkungan.
            Penulis mengamati bahwa sebagian besar kader lingkungan di Surabaya didominasi oleh perempuan. Tidak salah kiranya bisa pemberian peran lebih ini disandarkan pada para perempuan. Merekalah yang berpotensi menularkan ilmu penyelamatan lingkungan kepada anak-anak dan lingkungan sekitarnya. Pemberdayaan perempuan seperti ini tidak hanya berpotensi mampu menghindarkan kita dari bencana sampah, namun bagi perempuan sendiri, akan bisa menjadi ajang aktualisasi diri. Sosialisasi dari RT ke RT, RW ke RW tentang teknik pengelolaan sampah mandiri jelas membutuhkan figur-figur yang berani dan percaya diri untuk berbicara di depan umum. Dengan sedikit sentuhan tentang pengembangan diri misalnya, ibu-ibu rumah tangga ini akan berubah menjadi pembicara handal, karena mereka tidak hanya tahu teorinya, namun juga dalam prakteknya menjadi subjek utama dalam pengolaan sampah.

 Komitmen dari Semua Pihak

         Semua strategi yang dikemukakan di atas tidak akan ada artinya tanpa ada dukungan dari pemerintah. Sosialisasi pemilahan sampah memang bisa saja berjalan secara sporadis bergantung pada niat warga untuk membersihkan lingkungan masing-masing. Namun cara ini membutuhkan waktu cukup lama, bahkan sampai berbulan-bulan untuk meyakinkan warga akan pentingnya memilah sampah. Dalam kenyataannya, begitu pengurus RT, RW, dan aparat pemerintahan di tingkat Kelurahan, Kecamatan, sampai Pemerintah Kota yang memegang kebijakan turun langsung, maka sosialisasi dan penerapan pengelolaan sampah mandiri akan bisa berjalan jauh lebih cepat dan lancar. Pemerintah Kota Surabaya patut diacungi jempol, dengan bergandengan tangan dengan perguruan tinggi, perusahaan-perusahaan dan LSM yang peduli lingkungan, untuk bersama-sama dengan warga kota memerdekakan kota dari sampah. Harus diakui kota Surabaya masih terus belajar dan masih banyak kekurangan disana-sini, namun tidak salah kiranya bila kota Surabaya diproyeksikan sebagai jujugan untuk studi banding tentang pengelolaan sampah. Penulis bermimpi suatu saat, entah kapan, Lokasi Pembuangan Akhir tidak lagi diperlukan. Mudah-mudahan Bencana Bantar Gebang adalah yang terakhir menimpa bangsa kita. Semoga!

No comments: