Beberapa hari yang lalu, tepatnya Jum’at dini hari tanggal 8 September 2006 , kita dikagetkan oleh berita longsornya
gunungan sampah setinggi 20 meter di zona III TPA Bantar Gebang Bekasi.
“Bencana” ini telah menelan korban 3 orang pemulung yang tewas mengenaskan
tertimbun longsoran sampah. Apa yang terjadi di Bantar Gebang sebenarnya
bukanlah kecelakaan yang pertama kali terjadi berkaitan dengan masalah sampah. Peristiwa
yang sama pernah terjadi di TPA Bojong, Bogor .
Sebut juga LPA Sukolilo di Surabaya yang sampai harus ditutup pada tahun 2001
karena tidak mampu lagi menampung sampah warga kota Surabaya .
Yang mengenaskan juga adalah masalah sampah yang memusingkan warga Bandung pada
beberapa bulan yang lalu, sehingga sebutan Paris van Java nampaknya bisa
diganti dengan kota sampah, sampai-sampai pemerintah pusat juga harus turun
menangani masalah ini.
Sayangnya,
sederetan kecelakaan lingkungan tidak juga membuat kita semua belajar dari
pengalaman. Kebiasaan membuang sampah sembarangan masih dengan mudah ditemui di
berbagai sudut kota
di manapun. Nampaknya lantai gedung, sekolah, dan terutama jalan umum serta
trotoar masih memiliki multifungsi, selain sebagai akses lalu lintas, juga
sebagai “tempat sampah terluas.” Apabila kita sedang melewati jalan tol
misalnya, masih saja bisa dijumpai pengendara yang seenaknya membuang kulit
kacang, bungkus permen, dan sebagainya di jalan. Barangkali ini dilakukan
karena si pengendara merasa sudah membayar tol, sehingga bebas melakukan apa
saja.
Sampah tanggung jawab siapa?
Sudah saatnya kita
perlu mengubah pola pikir dari menganggap pemerintah sebagai penanggung jawab
masalah sampah dan kebersihan. Kembali ke musibah di LPA Bantar Gebang,
nampaknya kota
Bekasi, dan juga kota-kota lain yang memiliki masalah yang sama, perlu belajar
dari sebagian warga Surabaya
dalam mengatasi masalah sampah. Sebagian warga kota Surabaya
sudah mulai melakukan pengelolaan sampah mandiri dan tidak terlalu bergantung
pada pemerintah kota .
Lho, kan kita
sudah membayar retribusi sampah? Barangkali ini pembelaan sebagian orang. Ya,
memang betul. Tapi tidakkah kita berfikir bahwa retribusi sampah yang kita
bayar hanya mampu menutup biaya pengangkutan sampah tidak sampai ¼ nya, seperti
yang dihadapi pemerintah kota
Surabaya . Tri
Rismaharini, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya dalam satu
kesempatan di depan kader lingkungan di Surabaya mengemukakan bahwa biaya
operasional pengangkutan sampah di seluruh kota Surabaya mencapai lebih dari 80
milyar, sementara pemasukan dari retribusi hanya mencapai rata-rata 20 milyar
setiap tahunnya.
Sudah saatnya kita
semua menanamkan tanggung jawab untuk ikut mengelola sampah kita masing-masing.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 75% sampah berasal dari sampah
domestik atau sampah dari rumah tangga. Disinilah diperlukan satu pembelajaran
berbasis masyarakat, untuk mendidik dan melatih seluruh warga tentang bagaimana
cara mengelola sampah dari masing-masing rumah tangganya. Intinya, bagaimana
kita bisa mengubah citra sampah dari beban menjadi teman yang bisa mendatangkan
manfaat.
Pengelolaan Sampah Mandiri
Selama beberapa tahun
terakhir ini warga Surabaya
sudah mulai menerapkan pengelolaan sampah mandiri dengan menggunakan berbagai
strategi, mulai swadaya murni tingkat RT sampai pendampingan oleh LSM-LSM yang
peduli lingkungan di kota
Surabaya . Harus
diakui pula bahwa program ini semakin gencar dengan dipicu oleh lomba-lomba
kebersihan, dimana Pemerintah Kota Surabaya juga turut andil. Dalam kurun waktu
tahun 2006, misalnya, ini warga Surabaya
ditantang untuk saling berkompetisi secara sehat dalam hal pengelolaan sampah
dan lingkungannya. Lomba Kebersihan Green
and Clean 2006 yang diadakan oleh salah satu harian nasional terbitan
Surabaya, Pemerintah Kota Surabaya, dan Unilever pada bulan Maret-Mei 2006 yang
lalu menelorkan setidaknya 20 RT yang masuk nominasi, sebelum akhirnya salah
satu RT di Kertajaya keluar sebagai pemenangnya. Sementara itu, Lomba Ayo Merdeka
dari Sampah yang diadakan oleh harian lokal, Pemkot Surabaya dan Unilever juga
sedang berlangsung sejak Agustus sampai September ini dan telah sampai pada
tahap 20 besar menjelang 3 besar. Apabila ditilik lebih cermat, kedua lomba ini
sebenarnya memiliki kriteria yang hampir sama. Porsi yang paling besar dalam
penilaian adalah ada tidaknya sistem pengelolaan sampah mandiri. Bila kita
lihat profil para nominator kedua lomba di atas, setidaknya lebih dari 50 % nya
hampir pasti telah memiliki pengelolaan sampah mandiri yang dijalankan oleh
masyarakat sendiri, baik murni swadaya maupun dengan subsidi atau pendampingan
dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli lingkungan.
Pemilahan Sampah Basah dan Sampah
Kering
Persoalan memilah
sampah sebenarnya adalah masalah mengubah pola pikir. kebiasaan membuang sampah
jenis apapun ke dalam satu tempat sampah mau tidak mau harus diubah menjadi
kebiasaan baru dengan menyiapkan tempat sampah berbeda untuk jenis sampah yang
berbeda pula. Idealnya, pemilahan sampah sudah dimulai dari dapur, dengan
menyediakan 5 tempat sampah untuk sampah basah, kertas, plastik, logam, dan
pecah belah. Pemilahan sampah berdasarkan jenisnya ini akan memudahkan penghuni
rumah untuk memikirkan langkah selanjutnya, mau dikemanakan sampah-sampah
tersebut.
Penggunaan fasilitas composting untuk sampah basah
Sampah basah yang sudah
dipilah selanjutnya bisa dimasukkan ke dalam fasilitas composting. Sekarang ini sudah cukup banyak teknik yang bisa
diterapkan untuk proses pengomposan ini. Dari sekian banyak cara, penulis
mengamati bahwa beberapa lingkungan RT, RW, dan Kelurahan di Kota Surabaya
banyak menggunakan Komposter Aerob skala Rumah Tangga yang cukup besar dan bisa
digunakan secara bersama oleh 3-4 rumah, dengan asumsi penghuni tiap rumah
sebanyak 3-4 orang. Apabila aturan penggunaan dilakukan dengan benar, misalnya
dengan merajang sisa sayur, buah, dan sampah kebun, meniriskan sisa makanan,
dan tidak boleh ada sampah kering secuilpun, maka komposter jenis ini baru akan
penuh dan siap dipanen komposnya paling cepat 1 tahun. Pengalaman penulis yang
menggunakan komposter untuk 3 KK sejak Januari 2006 yang lalu ternyata baru
terisi separuhnya (dengan drum plastik bekas bahan kimia ukuran setinggi 35 cm,
diameter 50 cm, volume 120 liter). Ini membuktikan bahwa proses pengkomposan
sudah berjalan dengan baik dan terbukti bisa mereduksi sampah lebih dari 50 %.
Komposter jenis ini misalnya sudah dikembangkan oleh kalangan perguruan tinggi
seperti Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Tim dari Unesa ini sudah kerap
bekerja sama dengan dinas-dinas terkait untuk mengadakan pelatihan dan
pendampingan tentang pengolahan sampah mandiri di berbagai lapisan masyarakat.
Alternatif lain adalah
penerapan Takakura Home Method, yang
oleh warga lebih dikenal dengan Keranjang Sakti. Sistem yang dikenalkan oleh
Prof. Koji Takakura ini cukup ideal dengan ukurannya yang lebih kecil,
digunakan untuk setiap KK dan bisa ditempatkan di dalam rumah. Bedanya dengan
Komposter Aerob adalah Takakura menggunakan kompos jadi (yang idealnya
dihasilkan dari pengomposan sampah basah) sebagai starter atau pemancing. Sekali lagi, dengan aturan yang benar
seperti penggunaan Komposter Aerob, maka keranjang sakti ini baru akan penuh
paling cepat 3 bulan. Model Takakura ini dikembangkan oleh salah satu lembaga
di universitas swasta di Surabaya, dan sekarang dimodifikasi oleh warga
Surabaya di berbagai RT dan RW dengan memanfaatkan barang-barang bekas seperti
kaleng cat ukuran 25 kg, keranjang bambu, dan sebagainya, sebagai wadah/keranjangnya.
Prinsip 4 R untuk sampah kering
Lalu bagaimana dengan
nasib sampah kering yang sudah terpilah berdasarkan jenisnya? Sekali lagi,
pemanfaatan sampah kering adalah masalah mengubah pola pikir dan kebiasaan.
Prinsip 4 R (Reduce, Reuse, Recycle,
Revalue) harus mulai diterapkan di rumah tangga dan lingkungan
masing-masing. Sedapat mungkin kita berupaya untuk mengurangi penggunaan wadah
plastik seperti tas kresek, Styrofoam,
kemasan-kemasan kosmetik. Sampah plastik termasuk paling jahat pada lingkungan,
karena baru bisa terurai 400 tahun lagi. Beranikah kita mengatakan TIDAK saat
diberi tas kresek ketika belanja di supermarket?
Seharusnya para pemilik
supermarket, baik besar maupun kecil, perlu meniru negara-negara maju. Di
Amerika Serikat misalnya, supermarket tertentu akan menawari apakah anda mau
tas kertas atau plastik untuk membawa barang belanjaan. Tentunya ini bukan hal
yang sulit diterapkan, tetapi jelas membutuhkan komitmen dari penentu kebijakan
sampai warga masyarakat. Apalagi di jaman sebelum ada tas kresek, toko-toko
selalu menyediakan kantong kertas buatan penjualnya sendiri.
Mengurangi volume
sampah kering artinya kita juga perlu pikir-pikir sebelum membeli barang baru.
Akan jauh lebih baik bila kita membeli shampoo,
minyak, kopi, dan sebagainya dengan botol/kemasan ukuran besar, misalnya, dan
bila habis tinggal membeli kemasan refill.
Dengan demikian, rumah kita bisa terhindar dari tumpukan botol-botol kecil atau
kemasan sachet.
Bagaimana kalau sudah
terlanjur memiliki botol-botol bekas atau kemasan sachet? Yang jelas memang sampah seperti ini akan dibuang. Namun
barang-barang kemasan plastik ini sebenarnya bisa didaur ulang, dan menjadi
incaran para pemulung karena laku dijual. Nah, kita juga bisa menjual
barang-barang bekas yang bisa didaur ulang seperti kertas, kardus, dan
kemasan-kemasan plastik. Pengalaman warga kota
Surabaya juga
bisa ditiru, yakni mengumpulkan sampah kering yang laku jual secara kolektif
dan hasil penjualannya bisa dimasukkan ke kas PKK atau RT untuk keperluan
pengelolaan lingkungan misalnya. Sudah banyak cerita sukses dari berbagai RT
dan RW di Surabaya, dimana warga bisa piknik naik “sampah” alias dari hasil
penjualan sampah kering, atau menggunakan uangnya untuk membeli/membuat
fasilitas composting di lingkungan
masing-masing.
Dengan kreativitas
kita, sampah kering sebenarnya juga mempunyai nilai tambah apabila diubah
menjadi barang baru dengan fungsi berbeda. Konsep revaluing ini bisa dilakukan dengan banyak cara, misalnya, kemasan
plastik bekas air mineral, kosmetik, oli, bisa saja dimanfaatkan sebagai pot
gantung, tempat pensil, dan sebagainya. Dengan sedikit sentuhan yang
menonjolkan kreativitas dan estetika, barang “baru” seperti tas dari bungkus
mie instan, kipas dari plastik bungkus deterjen ini tidak akan nampak sebagai
barang bekas. Hasil revaluing seperti
ini terbukti tidak hanya layak jual, namun juga berpotensi besar menyelamatkan
lingkungan hidup kita dari timbunan sampah plastik. Sebuah harian nasional
terbitan Surabaya
pernah mengadakan lomba daur ulang dari sampah kering, dan terbukti menarik
animo yang cukup besar dari masyarakat. Barang-barang yang dihasilkan cukup
mencengangkan, baik dari segi estetika, kreativitas, maupun barang bekas yang
dimanfaatkan.
Perempuan sebagai Ujung Tombak Pengelolaan
Sampah
Mengapa harus
perempuan? Kita hidup di sebuah negara yang masih kental dengan budaya patriarkal,
dan tidak bisa disangkal bahwa berdasarkan pembagian kerja atas dasar gender, sebagian besar perempuan
bertanggung-jawab atas urusan dapur, tidak peduli ia adalah ibu rumah tangga
ataupun wanita pekerja. Pandangan ini nampaknya memberi kesan bias gender, dengan membebankan urusan
“kotor” kepada perempuan. Namun penulis berpendapat bahwa konteks di atas
sebenarnya bisa menjadi semacam dekonstruksi atas stereotip perempuan. Urusan
boleh tetap, yakni mengurusi dapur, namun menjadi ibu atau perempuan cerdas
yang tahu bagaimana memilah sampah hampir pasti akan menjadikan sosok ibu atau
perempuan menjadi “pahlawan lingkungan.” Sebombastis itukah? Menyitir
pernyataan Vandana Shiva dalam bukunya Staying
Alive (1989), perempuan seharusnya diberi kesempatan untuk lebih banyak
terlibat dalam hal pembangunan. Sifat perempuan yang “nurturing” diyakini membuat perempuan lebih telaten, sabar, dan
lebih punya niat untuk mempertahankan lingkungan. Gerakan yang mengedepankan
perempuan dalam proses pembangunan yang berkelanjutan ini sering disebut dengan
Ecofeminism. Shiva meyakini bahwa
jalan satu-satu untuk mempertahankan kelangsungan alam bumi kita adalah menghapuskan
marjinalisasi perempuan dan memberikan kesempatan pada mereka untuk ikut
berpartisipasi dalam pembangunan yang lebih ramah lingkungan.
Penulis mengamati bahwa
sebagian besar kader lingkungan di Surabaya
didominasi oleh perempuan. Tidak salah kiranya bisa pemberian peran lebih ini
disandarkan pada para perempuan. Merekalah yang berpotensi menularkan ilmu
penyelamatan lingkungan kepada anak-anak dan lingkungan sekitarnya.
Pemberdayaan perempuan seperti ini tidak hanya berpotensi mampu menghindarkan
kita dari bencana sampah, namun bagi perempuan sendiri, akan bisa menjadi ajang
aktualisasi diri. Sosialisasi dari RT ke RT, RW ke RW tentang teknik
pengelolaan sampah mandiri jelas membutuhkan figur-figur yang berani dan
percaya diri untuk berbicara di depan umum. Dengan sedikit sentuhan tentang
pengembangan diri misalnya, ibu-ibu rumah tangga ini akan berubah menjadi
pembicara handal, karena mereka tidak hanya tahu teorinya, namun juga dalam
prakteknya menjadi subjek utama dalam pengolaan sampah.
Semua strategi yang
dikemukakan di atas tidak akan ada artinya tanpa ada dukungan dari pemerintah. Sosialisasi
pemilahan sampah memang bisa saja berjalan secara sporadis bergantung pada niat
warga untuk membersihkan lingkungan masing-masing. Namun cara ini membutuhkan
waktu cukup lama, bahkan sampai berbulan-bulan untuk meyakinkan warga akan
pentingnya memilah sampah. Dalam kenyataannya, begitu pengurus RT, RW, dan
aparat pemerintahan di tingkat Kelurahan, Kecamatan, sampai Pemerintah Kota yang
memegang kebijakan turun langsung, maka sosialisasi dan penerapan pengelolaan
sampah mandiri akan bisa berjalan jauh lebih cepat dan lancar. Pemerintah Kota
Surabaya patut diacungi jempol, dengan bergandengan tangan dengan perguruan
tinggi, perusahaan-perusahaan dan LSM yang peduli lingkungan, untuk
bersama-sama dengan warga kota
memerdekakan kota
dari sampah. Harus diakui kota
Surabaya masih
terus belajar dan masih banyak kekurangan disana-sini, namun tidak salah
kiranya bila kota
Surabaya diproyeksikan
sebagai jujugan untuk studi banding tentang pengelolaan sampah. Penulis
bermimpi suatu saat, entah kapan, Lokasi Pembuangan Akhir tidak lagi
diperlukan. Mudah-mudahan Bencana Bantar Gebang adalah yang terakhir menimpa
bangsa kita. Semoga!
No comments:
Post a Comment