Monday, March 20, 2006

Learning from Time

I wrote this essay when I was still in the US. It was actually intended for a writing contest held by IMSA, an Indonesian Muslim Students Association in North America in 2003. This essay won the category of the favorite story. Well, it's something I am proud of, but then there's something more significant than that. The title "Learning from Time" is really a reminder. Whenever I lose patience, begin to procrastinate things, and think more about this world rather than the other world, I often retreat back to this essay. It really works! So I thought it would be a good idea to post it, hoping that others would also learn from it.



BELAJAR DARI WAKTU

"Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kebenaran." Lama aku renungi ayat-ayat ini. Sudah tak terhitung berapa kali surat Al 'Ashr ini kubaca dalam shalat-shalatku. Salah satu surat yang terpendek, yang sudah kuhapal sejak SD. Tak ada yang asing sebenarnya. Tapi kali ini ada yang lain, tetesan air mata yang mengiringi shalatku tadi, membuat aku benar-benar tercenung. Ada apa gerangan? Waktu ini hanyalah milik Allah semata. Dialah yang Raja DiRaja. Tetapi selama ini sadar ataupun tidak, aku memasukkan diriku ke dalam golongan manusia yang ingin menjadi raja dari dunia kecilku, seolah-olah akulah yang bisa mengatur waktu. Begitulah kata para pebisnis. Jangan biarkan waktu menguasaimu, tapi kuasailah waktu demi duniamu. Barangkali benar semboyan ini, tapi tidakkah membuka peluang menjadi takabur atas kemampuan diri sendiri?

Ingatanku melayang pada angan-anganku lima tahun yang lalu. Saat Malam Tahun Baru, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang, aku membuat daftar keinginan dan target yang ingin aku capai. Tahun ini, aku harus bisa lancar baca Al-Qur'an, malu dong, sudah pakai jilbab tapi khatam Qur'an saja belum pernah. Janji itu, selama 4 tahun berturut-turut, masuk daftar keinginanku. Ya, hanya masuk daftar saja. Menyedihkan sekali, waktu begitu cepat berlalu, dan diriku tenggelam dalam nikmatnya urusan duniawi. Semuanya berjalan dengan mulus, sampai akhir tahun menjelang lagi, dan target itu belum juga kucoret dari buku harianku.

Sampai akhirnya aku mendapati diriku berada di tanah asing. Segala kegembiraan seakan membuncah. Ya, aku telah menginjak The Promised Land. Tanah dengan berbagai jenis manusia yang selama ini hanya aku temui di karya-karya sastra. Namun kusadari pula, telah muncul beribu kecemasan tentang bagaimana mencari sudut di mana aku bisa bersungkur pada Allah semata. Aku tidak yakin ada musholla di kampus, atau bahkan masjid di San Marcos. Kota ini sepi sekali. Aku menjadi takut telah menyia-nyiakan banyak hal di tanah air. Rumahku di Kebraon hanya satu blok dari Masjid. Adzan menggema lima kali dengan lantang memanggil shalat. Kuanggap ini sesuatu yang lumrah. Baru kusadari betapa rindunya aku dengan suara Adzan, ketika ternyata aku menjadi bingung menentukan waktu shalat. Aku datang di bulan Agustus 2003. Masih musim panas. Ketika kulihat matahari sudah condong sedikit ke barat, aku lakukan shalat Ashar. Tapi ternyata matahari tak kunjung terbenam. Jam di kamarku di International House sudah menunjukkan pukul 7 malam lebih, ketika hari mulai gelap. Yah, bodoh sekali aku.

Hari-hari pertama kulewatkan di salah satu ruang hangat di International House. Malam-malam dimana aku tak bisa memejamkan mata karena jet lag yang tak kunjung sirna, aku habiskan di atas sajadah panjang. Ya Allah Maha Mendengar, dimanakah Engkau, janganlah Engkau biarkan aku kesepian ditanah ini. Al-Qur'an kubuka, mulai kubaca pelan-pelan, pelan sekali. Sudah empat tahun, aku tak pernah bisa melewati halaman kelima surat Al-Baqarah. baru kusadari kesalahanku. Mestinya sejak dulu aku belajar mengaji. Tetanggaku mestinya bisa kudatangi, agar bisa mengoreksi bacaanku yang masih terbata-bata. Sekarang, tak seorangpun yang akan bisa mengajariku mengaji. Namun biarlah. Meskipun kali ini tak ada lagi yang bisa membetulkan aku, mudah-mudahan Allah mengampuni aku atas kesalahan ucapanku. Hanya satu pintaku saat itu: Ya Allah, di negara yang kata orang kafir ini, pertemukanlah aku dengan saudara-saudaraku yang seiman. Kalau memang tak ada tempat terdekat untuk mencari makanan halal, biarlah aku jadi vegetarian saja, asalkan Engkau ridha pada yang aku lakukan.

Aku berjalan menuju Alkek Library, berniat ke Students' Bookstore. Perpustakaan berlantai tujuh yang megah berdiri bagai raksasa di depanku. Aku sendirian berdiri di pelataran. Halaman yang luas terasa kosong tanpa manusia. Maklumlah, ini memang lagi summer break, di mana praktis tak seorangpun mahasiswa lalu lalang di kampus ini. Dan kemudian, di bawah terik matahari Texas yang menyengat, kudengar salam: Assalamu'alaikum. Merinding rasanya bulu kudukku. Adakah ini halusinasiku? Suara merdu ini tiba-tiba saja muncul tak tahu darimana asalnya. Tak terasa airmata meleleh, sedangkan aku belum tahu di mana sumber suara itu berdiri. Alhamdulillah, Allah mendengar doaku. Suara itu milik seorang pemuda berwajah Hindi. Adeel, namanya, anak Pakistan. Kami berbincang-bincang sejenak, dan memberikan nomor HPnya kepadaku. "If you need anything, sister, just call me, or my cousin, Shazia. She's studying here too." Subhanallah.

Perkenalanku dengan Adeel membawaku ke perkenalan-perkenalan berikutnya, dengan Shazia, saudari sepupunya.  Dengan Zeenat, gadis Bangladesh, yang kemudian menjadi teman sekamarku. Shazia tinggal di Round Rock, dekat Austin, ibu kota Texas, sekitar 90 menit dari kampus kami di Texas State University-San Marcos. Karena sering kemalaman, Shazia sering menginap di apartemenku. Shazia juga akhirnya mempertemukan aku dengan Zahida, perempuan muslim India. Berbeda dengan kami yang masih bersatus mahasiswa S2, Zahida sudah doktor, dan bekerja di Chemistry Department di kampus kami. Zahidalah yang sering mengajakku ke masjid terdekat di Austin, 30 mil dari kotaku. Itu hampir sama dengan jarak Surabaya-Mojokerto. Dengan ketiga orang inilah akhirnya aku banyak menghabiskan waktu bersama sepanjang Ramadhan pertamaku di San Marcos. Ah, ternyata aku punya banyak teman di kota kecil ini.

Hari-hariku berlalu antara apartemen dan kampus. Aku merasa tidak pernah belajar sekeras ini sebelumnya. Bukannya aku ini termasuk mahasiswa yang rajin belajar, namun lebih karena begitu banyak yang asing bagiku. Tak ada pilihan lain kecuali memberikan kesetiaanku pada perpustakaan. Semakin kukenal setiap jengkal dan lorong-lorong perpustakaan. Di luar perkuliahan, huhabiskan waktuku mulai pagi sampai malam, bahkan ketika bis kampus terakhir pada jam 11 malam siap mengantar mahasiswa pulang ke area apartemen masing-masing.

Namun semakin lama aku rambah rak-rak di perpustakaan, aku semakin malu pada Allah. Novel-novel ini, puisi-puisi Middle English ini, kritik-kritik sastra berjibun ini, menyerap lebih dari 10 jam waktuku setiap hari. Kesetiaanku pada perpustakaan telah melebihi kesetiaan seorang kekasih. Lalu mengapa aku tidak bisa meluangkan 2 jam saja membaca karya sastra teragung di dunia akhirat ini? Kalau untuk Middle English saja aku sabar membuka kamus, mengapa aku tidak bisa sabar menyelesaikan 2 halaman Qur'an. Tapi bagaimana aku bisa membagi waktu? Tugas bacaan begitu menumpuk, makalah tak henti-hentinya mengalir, presentasi satu disusul presentasi lainnya, sampai tidurpun dihiasi mimpi jalan cerita novel yang belum kelar terbaca.

Namun waktu memang bukan kepunyaan kita. Siapa yang mengatakan 1 hari terdiri dari 24 jam. Itu hanya hitungan manusia semata. Bukankah secara matematis, banyak hal yang mestinya tak mungkin kulakukan. Namun nyatanya, yang terjadi justru sebaliknya. Selalu saja kutemukan waktu untuk membuka Qur'an barang 2-3 lembar setiap shalat. Semakin sering shalat sunnah aku lakukan. Semuanya itu hanyalah karuniaNya semata. Sebagaimana nikmatnya Ramadhan tahun pertama, yang sempat aku khawatirkan sebelumnya. Siapa sangka aku bisa berbuka puasa bersama dengan Shazia dan Zeenat hampir setiap hari. Siapa mengira aku bisa tarawih dan tadarus dengan mereka, saling mengajarkan doa-doa. Dan siapa menduga Shazia yang mengajariku mengaji. Siapa pula menduga Zeenat akhirnya berhijab setelah menghabiskan waktu-waktunya dengan kami.

Begitulah waktu berjalan. Dari satu lembar Al-Qur'an terbaca setengah jam, sampai aku mampu menyelesaikan 4 lembar dalam waktu yang sama. Dari tidak paham maknanya, sampai tahap sesenggukan ketika kubaca tafsirnya. Sampai akhirnya kusadari, tinggal tiga surat terakhir, sementara airmata sudah tak lagi terbendung. Ketika akhirnya, aku selesaikan surat An-naas, kusungkurkan keningku, tak henti mensyukuri nikmat waktu yang Allah. Semoga Allah mengampuni segala kesalahan pengucapanku, mengampuni dosa-dosa masa lalu, saat kulewatkan hari-hari lapang dalam hidupku dengan hal-hal yang tak berarti. Di manakah aku gerangan saat itu, mestinya aku bisa lakukan semua ini sejak dulu? Mengapa justru saat terasa tak ada lagi tersisa waktu untuk bersantai, aku malah bisa memperbaiki ibadah. Mengapa justru di tempat dimana aku tidak bisa mendengar adzan dari mesjid, lantunan Al-Qur'an begitu menyentuh relung kalbuku.

Setahun kemudian.....

Tiba-tiba saja aku sudah akan memasuki Ramadhan kedua. Ah, Ramadhan kali ini barangkali akan lebih sepi, begitu pikiran terlintas di benakku. Zeenat dan Shazia tak ada lagi disini. Zeenat sudah pindah ke Dallas, mengikuti suaminya. Shazia sudah lulus Master di bidang Biologi, pulang ke Pakistan, dan menikah. Dialah sang feminis sejati di mataku. Aku juga sudah pindah apartemen, sekamar dengan Jun Mei, dari Nanjing, Cina daratan, dan Darlene dari Filipina. Kedua teman apartemenku ini sama-sama mahasiswa PhD di Geography Department. Yah, ini berarti akan aku lewatkan buka puasa, sahur, tarawih dan mengaji sendiri. Tapi tak apalah, masih ada Zahida yang berbaik hati mengajakku ke mesjid Ibrahim di Austin setiap pekan.

Kunjungan ke masjid Ibrahim adalah kunjungan yang istimewa bagiku. Karena Austin-San Marcos sama dengan Surabaya-Mojokerto.  Untuk bisa ikut shalat Maghrib dan berbuka puasa pada jam 6 malam, kami sudah harus berangkat jam 4 sore. Dan pulangpun bisa tengah malam, karena dalam 1 malam shalat tarawih selalu terbaca 1 juz. Itulah sebabnya aku hanya bisa ikut tarawih bersama saat akhir pekan. Sebagian kuliahku pada sore dan malam hari, dan tugas-tugas mingguan tak bisa ditinggalkan. Tarawih aku lakukan sendirian, sepulang dari kampus. Bagaimanapun, suasana kekeluargaan yang Islami, sekaligus multikultural menjadi magnet untuk selalu datang kesana. Dan lagi, suara imam yang begitu merdu terdengar seringkali membuatku tak kuat menahan tangis.

Di Ramadhan keduaku ini, lagi-lagi banyak hal terjadi di luar dugaanku. Di minggu pertama aku mengenal seorang mualaf berwarga negara Amerika. Khadijah nama barunya. Tidak muda lagi, berkerudung dengan cantik. Aku tak tahan untuk tidak bertanya: "Why did you convert to Islam, Khadijah?" Lalu mulailah lembaran cerita mengalir, tentang pesona Al-Qur'an yang dia baca sejak sebelum mengucap shahadah, tentang damainya hidup teman sekantornya setelah masuk Islam. Inilah yang membuat dia tertarik untuk mengenal Islam. Namun ini jualah yang menimbulkan hantaman-hantaman datang silih berganti, yang harus ia hadapi begitu ia memutuskan untuk mengenakan hijab. "You know, I've lost a lot of friends now. They don't think I am a cool person anymore. They said to me, "take that scarf off, you look ridiculous." Namun semakin keras hantaman dari kiri kanan, semakin kuat Khadijah berpegang. "I know this is the consequence I have to take, but I'm happy now that I've found a peaceful mind in Islam."

Kurenungi lama sekali ucapan-ucapan Khadijah. Apalah artinya kesepianku dibandingkan kesulitan dia. Aku tidak pernah merasakan kehilangan teman karena keislamanku, bahkan banyak teman disini yang ingin tahu tentang Islam. Darlene teman seapartemen yang beragama Katolik seringkali bertanya, "what's the reason behind fasting," "why are you wearing a veil," "why do you have to pray five times a day," "what is that book you read, I can't understand the characters, is it Indonesian language?" dan banyak lagi.

Bahkan aku pernah diundang untuk berbicara tentang Islam di di sebuah kalangan komunitas pencinta buku. Dari latar belakang agama, anggotanya beragam, Kristen, Katolik, Yahudi. Islamlah yang membawaku untuk bisa berbicara tentang Interfaith dialogue. Sementara itu teman sekamarku, Jun Mei, bahkan tidak kenal adanya Tuhan. Dia sempat mendebat apa gunanya sembahyang, sampai akhirnya sempat tercetus dari bibirnya, "It's good that you have God to talk to when you pray. When you feel sad, it feels like somebody is there for you. I have nobody to rely on but myself. That's how Chinese people like me have been taught." Tapi dia meyakinkanku dan dirinya sendiri, bahwa aku tak akan bisa membujuknya untuk meyakini adanya Tuhan. Aku cuma berkata, "I hope someday you would be convinced that God exists, and that you will find the Truth."

Pekan kedua Ramadhan, aku datang lagi ke masjid Ibrahim, ada wajah baru. Perempuan muda, berjilbab rapat, serasi dengan warna gaunnya, mengenggam Qur'an. Dia ikut berbuka puasa, namun kuamati dia tidak ikut shalat tarawih. Mungkin dia sedang berhalangan. Mungkin juga dia datang untuk menemani suaminya. Di masjid Ibrahim ini, kami para muslimah shalat di ruang terpisah dari para laki-laki. Perempuan muda itu tidak berbicara banyak, kecuali dengan Maryam, perempuan Amerika yang bercadar sejak masuk Islam beberapa tahun yang lalu. Mereka serius sekali bercakap.

Hari berikutnya, ia datang lagi, dan ia hanya tersenyum. Setelah berbuka puasa, kulihat ia masuk ke kamar wudhu bersama Maryam, yang sejak kemarin menemaninya. Sebentar kemudian, saat kami tak lagi memperhatikannya, tiba-tiba saja Zahida memberikan maklumat. "Dear sisters, we have a new sister now, alhamdulillah, Amber just said shahadah. Let us congratulate her." Oh, jadi kemarin dia masih non-muslim…. Masha Allah… Betapa hebat dan kuat keinginannya, mengenakan busana muslim rapat saat dia bahkan belum tahu kalimat shahadat, saat wudhupun dia tidak tahu bagaimana melakukannya. Amber, nama sister baru kami, sudah menemukan kebenaran di Al-Qur'an di saat dia belum lagi bisa membaca huruf Arab.

Dalam perjalanan pulang ke San Marcos dengan Zahida, aku memperoleh cerita lebih lengkap tentang Amber. Ternyata dia berani memutuskan pertunangannya demi keteguhan niatnya masuk Islam. Niatnya menjadi mualaf ini bahkan sudah membawa pengaruh besar pada suaminya kini. Suami Amber ternyata juga belum masuk Islam, tapi hampir setiap saat mengantar Amber dan ikut duduk menikmati tarawih di ruang laki-laki.

Aku seperti tersentak. Orang-orang seperti Khadijah dan Amber malah sudah memahami betul betapa meruginya mereka yang mengabaikan waktu. Mereka tak mau lagi menyia-nyiakan hidup singkat ini dengan hal-hal duniawi. Banyak nikmat dunia yang mereka sengaja tinggalkan demi kebenaran hakiki. Sedangkan aku ini siapa, yang mengaku Islam sejak lahir, namun tak mampu melihat cahaya itu di balik lipatan halaman Qur'an.

Ramadhan kedua sudah lewat setengah jalan, sementara semester ketigaku di San Marcos juga lewat separuh. Semakin dekat aku dengan batas waktu pengumpulan makalah-makalah. Namun aku sudah bertekad. Seberapapun sibuknya aku, tak bisa lagi aku mengabaikan Ramadhan kali ini. Sudah sepatutnya aku syukuri bahwa tahun lalu aku bisa melaksanakan tarawih secara penuh, kecuali saat-saat yang tak bisa kuelakkan mengingatkan qadar-ku sebagai perempuan. Alhamdulillah, kali ini tarawihku juga berjalan dengan lancar, dan aku sudah masuk lebih dua pertiga Qur'an. Ya Allah, berikan aku kelonggaran untuk menyelesaikan bacaan Qur'anku kali ini, di tengah-tengah deru tugas yang henti memenuhi menit-menitku.

Akhirnya, hari terakhir Ramadhanpun tiba. Kubersujud lama-lama di atas sajadah.. Saat kututup Al-Qur'an, kurasakan keharuan yang luar biasa. Ya Allah, lewat tiga dasa berlalu, baru kali ini aku menjalani Ramadhan dengan sahabat yang paling setia, menemaniku dari Bismillahirrohmanirrohim sampai minnal jinnati wannas. Tak ada yang tak mungkin bila Allah menghendaki, asalkan niat ini tak luntur dari hati.

Hari kemenanganpun datang juga. Beberapa hari sebelumnya aku sudah meminta Youssef, tetangga satu kompleks, untuk bisa menumpang ke Austin. Anak muda dari Maroko ini sudah lulus program MBAnya, dan sekarang bekerja di di Austin. Ketika sampai di depan Palmer Auditorium, tempat shalat Ied dilaksanakan, aku tanyakan pada Youssef. "Aren't you coming, Youssef?" "No, Tiwi, I've got to work. Besides I haven't prayed for quite sometime," jawabnya singkat. Ah, Youssef, anak muda inilah yang mengajariku doa-doa penenang hati ketika kami masih sama-sama menghuni International House 1 tahun sebelumnya. Nampaknya Amerika telah mengubah hatinya. Aku masih ingat dia pernah berkata, ketika kuingatkan kenapa tidak shalat. "Well, Tiwi, either you pray or you don't pray." Maksudnya barangkali, daripada shalat bolong-bolong, lebih baik tidak shalat sama sekali.

Shalat Ied di Palmer Auditorium di Austin pun usai sudah. Zahida mengantarkan aku ke terminal bis Greyhound. Aku harus kembali ke San Marcos, ada kuliah yang harus aku ikuti siang ini, meski sebenarnya ingin sekali bersama Zahida berkumpul dengan saudari-saudari seiman, merayakan hari kemenangan. Sebenarnya aku boleh saja ijin tidak kuliah hari ini. Kebebasan beragama di Amerika memberikan kesempatan bagi siapapun untuk ijin dari sekolah atau kerja untuk merayakan hari raya masing-masing. Tapi tak apa. Sudah lebih dari cukup bagiku untuk tetap bisa shalat Ied meski jauh dari kampung.

Hari itu memang hari kemenangan, terutama bagi semua yang tak membiarkan waktu merugikan mereka. Termasuk Amber dan suaminya. Hari terakhir Ramadhan, suami Amber telah mengucapkan kalimat shahadat pula. Alhamdulillah. Hidayah Allah datang tanpa seorangpun bisa memperkirakan. Demi Rabb yg Membolak-balik hati, terima kasih Kau beri damai seperti ini; Ya Rahman Ya Rahiim Rinduku padamu tak henti meluluhkan sendi. Jangan lagi ada waktu tersia-siakan. Siapa tahu waktumu tidak panjang.

San Marcos, Texas
November 2003

No comments: