Saturday, September 25, 2010

Menikmati sastra dengan hati

Hari Jumat. Jam menunjukkan pukul 20.15. Si kecil Adzra sudah mengantuk dan minta ditemani tidur. Dari dalam kamar kudengar pintu depan terbuka, dan dua detik kemudian mas Prapto suamiku masuk ke kamar, dan mengatakan akan pergi ke luar. Seperti biasanya, aku pikir dia akan ke bandara mengantar atau menjemput rekanan kerja. Ternyata dia bilang bahwa dia akan mengantar hasil psikotes. Ya, aku ingat, dia habiskan beberapa malam menanda-tangani ribuan lembar hasil psikotes. Ok, dan kukira dia hanya akan balik ke kantor untuk menaruh berkas, atau mungkin ke satu sekolah di Surabaya. Lagi-lagi aku salah kira. Dia akan ke Kediri untuk itu. Hah, mendadak sekali! Ah, sebenarnya aku tidak perlu terlalu kaget. Toh biasanya kalau mau pergi ke luar kota juga akan pamit ketika sudah betul-betul mau berangkat. Why should I be surprised? Suamiku barangkali tidak seperti suami beberapa temanku, yang akan memberitahukan rencananya jauh-jauh hari bila akan bepergian. That's him, and having known him for more than 25 years now, it's not a surprise at all. It shouldn't be.

Rumah menjadi terasa sepi. Hari masih terlalu sore untuk tidur awal, sementara Adzra dan Ganta sudah sama-sama terbang di impian di kamar masing-masing, dan aku mendapati diriku masih dengan mata terbuka lebar-lebar. Pasti ini gara-gara minum kopi creamer ginseng sore tadi sehabis mandi sepulang dari kampus. I'm not a coffee drinker, dan biasanya aku akan menjauhi kopi, terutama kopi instan di situasi apapun. Bukan apa-apa, tapi sepertinya sudah kadung tersugesti, bahwa setelah minum kopi instan, pasti aku akan merasa pusing dan perut jadi kembung. Entah apa yang membuatku tergoda untuk mencoba coffee creamer ginseng 3-in-1 merk Singa yang kutemukan di boks parcel lebaran. And here I am, dengan perut penuh gas, mata masih melek, sendirian, sedang berupaya mencari apa yang bisa dikerjakan di akhir pekan ini. I don't feel like watching TV, it's not really my favorite pastime. Aku buka tas kain yang biasanya kupakai untuk membawa berkas-berkas kerja, dan kutemukan setumpuk tugas mahasiswa. Ah, mungkin aku bisa mengoreksi tulisan mereka,setidak-tidaknya dari satu kelas. Hey, it's weekend! Should I drown myself with paperwork? ...But why shouldn't I? Mungkin aku contoh manusia dengan personality type A, yang cenderung merasa gelisah bila sedang punya waktu longgar dan tidak sedang melakukan apa-apa. Sometimes I hate it and get jealous at my hubby, who is more of a type B person. Although a workaholic, he never seems to feel guilty of relaxing and being idle when he has a lot of time in his hands. Dia bisa pergi mancing berjam-jam, dan pulang dengan wajah kotor tapi segar, fully recharged! Mungkin aku harus belajar lebih santai seperti dia.

Anyway, kuambil posisi PW (puuwenaak) di atas kasur kecil yang biasanya kami pakai untuk leyeh-leyeh nonton TV atau sekedar bersantai. Aku cek lembaran-lembaran tugas mahasiswa, dan tersenyum sendiri mengingat grundelan mahasiswa saat kuberi tugas menulis dengan gaya focused free writing. Weleh-weleh, baru kuliah efektif minggu pertama setelah lebaran sudah langsung diminta menulis bebas dan dikumpulkan. Begitu mungkin isi hati para mahasiswa saat itu. Menulis personal responses sudah semakin menjadi bagian dari gayaku mengajar mata kuliah sastra. Berdasarkan pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu, ketika aku harus selalu menjadi a story teller setiap kali mengajar Prose, personal responses menjadi jawaban atas keinginanku untuk mendorong mahasiswa menikmati sastra dengan hati. Betul, kata menikmati berarti harus menghadirkan hati, dan sastra memang hadir untuk dinikmati, bukan ditakuti.

Setumpuk tulisan mahasiswa kupilih. Sengaja kupilih yang dari kelas Introduction to Literature II. Anak-anak Pendidikan. Setelah beberapa tahun, baru kali ini aku mengajar lagi mata kuliah sastra di prodi Pendidikan Bahasa Inggris. Bila biasanya aku harus menghadapi anak-anak Sastra Inggris yang cenderung agak "clometan" tapi aktif dan demanding, suka nguber aku di banyak kesempatan untuk bertanya hal-hal yang kadang-kadang sepele (but I enjoy being with them), kali ini aku ingin melihat bagaimana anak-anak Pendidikan merespon gayaku mengajar. Well, baru pertemuan pertama, tentunya belum banyak yang mereka ketahui tentang aku dan gayaku (narsis.com), tapi mengingat mereka cenderung lebih tenang, bahkan pendiam dan tidak banyak tanya saat kuliah hari Senin yang lalu, aku jadi ingin tahu respons mereka secara tertulis.

Hari itu aku meminta mereka untuk menuliskan respons terhadap puisi "Homecoming" karya Langston Hughes. Setelah sebelumnya aku ajak mahasiswa membahas puisi pendek, "This is Just to Say" karya William Carlos Williams, dan mendapatkan kesan bahwa puisi bisa pendek dan direct in meaning, kini aku minta mereka untuk menyuarakan isi hati mereka setelah membaca "Homecoming." Aku cek di absensi, ada 34 mahasiswa yang hadir, berarti ada 34 lembar tulisan, yang rata-rata berisi 2 paragraf tulisan tangan, yang harus kubaca dan kukomentari. Membaca personal responses tidak membutuhkan waktu lama, dan satu demi satu aku beri komentar tertulis.

Menikmati sastra dengan hati. It's easier said than done. Dari semua tulisan mahasiswa yang sudah selesai aku koreksi, kuperoleh kesan bahwa sebagian mahasiswa masih cenderung melihat sastra sebagai "pelajaran." Tugas mereka sebenarnya adalah menuliskan apa yang mereka rasakan tentang puisi tersebut, namun yang tertuang di kertas mereka kebanyakan adalah explication. Kalimat seperti "this poem tells about a man who goes home and finds that his wife has left him alone with nothing" masih banyak ditemui. Of course there's nothing wrong with that. Justru itu menunjukkan bahwa mereka memperoleh pemahaman tentang isi puisi tersebut. Meski begitu, explication seperti ini, bagiku, belum bisa melibatkan hati pembaca ke dalam karya sastra. Ketika masih ada psychological distance dengan karya sastra, maka sastra masih belum bisa dinikmati. Untuk para pemula atau pembaca yang tidak terlalu suka sastra, atau bahkan mahasiswa yang merasa threatened by literature, aku merasa perlu mengajak mereka untuk lebih emotionally involved. Lain ceritanya dengan mature readers yang tidak lagi ada pada level apresiasi sastra, namun sudah pada level interpretasi dan bahkan kritik sastra. Mereka sudah tidak lagi merasa terintimidasi oleh sastra, namun bahkan menjadi bagian darinya.

Kutemukan sebagian tulisan mahasiswa yang cukup apresiatif. Ada nuansa intertextuality, dengan menyatakan adanya kesamaan cerita atau isi dengan sebuah lagu (Sri Minggat, ndang balio Sri!!) atau dengan film, Sebagian lain mencoba menempatkan diri mereka pada posisi kesepian, yang pasti tidak enak, namun mungkin akan terjadi satu saat di salah satu fase kehidupan mereka, atau bahkan respons singkat yang sekedar mengatakan bahwa puisi ini membuat mereka tidak harus mengerutkan dahi untuk mencari maknanya. That's what I call personal responses!

Meminjam salah satu hipotesis dalam bidang TEFL, yakni Affective Filter Hypothesis yang diutarakan oleh Krashen dan Terrel dalam buku mereka The Natural Approach, belajar bahasa (Inggris) akan lebih mudah bila tembok afektif antara pembelajar dengan pelajaran atau pengajar bisa dibuat serendah mungkin, agar bola input yang dilemparkan oleh sang guru bisa dengan mudah ditangkap oleh sang murid. It's all about how low you can go. Also to cite Robert Frost in one of his poems, "something there is that doesn't love a wall." Sebaliknya, tembok yang tinggi dan kokoh bagaikan tembok Berlin akan membuat bola selalu bounced back. Sastra haruslah membuat kita mampu meruntuhkan tembok penghalang komunikasi, bukan sebaliknya, membuat sang dosen malah "diwegahi" oleh mahasiswanya sendiri. (Mudah-mudahan itu bukan aku).

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.45 wib. Mataku masih terbuka, dan jari-jariku masih menari-nari di atas laptop keyboard . Sudah lama sekali aku tidak meng-update blog personalku ini, dan mungkin sudah waktunya aku lebih sering mengisinya. A good teacher cannot just tell her students to do things, but should always make sure that she herself does the same thing. If I ask my students to voice their feelings and thoughts, I will also do the same. So, here it is, my personal response to what I have done in my class this week. Hope I can help them love literature. Probably, I'm writing to test my theory of bringing your heart in literature (if it's a theory at all), and honestly speaking (while taking off my persona), to escape from my loneliness. My hubby may have arrived in Kediri by now, and it will be hours before I look into his brown eyes again tomorrow evening. My heart said a quick prayer, hoping for his safety back home. When he comes home, he will find me here, insha Allah. I'll make sure it will be a warm homecoming.

Sabtu dini hari. Pukul 0.08. Suara tangisan Adzra menyadarkanku akan tugas lain yang harus kutunaikan. Tidur!!!

No comments: