Hari ini adalah hari milik Mbah Marijan. Harian Kompas pagi ini mengenangnya melalui satu feature cantik bertajuk Pendakian Personal versus Perburuan Kolektif. Beberapa infotainment pagi ini juga mengupas sisi-sisi humanis beliau dan memutar balik hari terakhir Mbah Marijan sebelum wedhus gembel mengempur rumah beliau dan menghentikan langkah kehidupan beliau dalam posisi sujud. Dari cerita-cerita yang beredar di berbagai media, sosok Mbah Marijan memang memunculkan kontroversi, terutama tentang seberapa bahaya ancaman letusan Merapi untuk mengukur kapan saatnya penduduk harus mengungsi. Di luar takaran para pakar vulkanologi, sikap Mbah Marijan yang tetap teguh untuk tidak mau dievakuasi memang menjadi anomali tersendiri.
Mbah Marijan memang sosok yang dekat dengan para "alumnus" Merapi. Siapapun yang pernah mendaki Merapi merasa belum lengkap pendakiannya bila belum bertemu dengan sang juru kunci salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia ini. Di mata mereka pula telah terekam sosok Mbah Marijan yang telah mendekonstruksi makna Merapi dalam banyak hal. Di saat sebagian besar masyarakat melihat potensi Merapi untuk menimbulkan kehancuran fisik, Mbah Marijan justru mengatakan bahwa Merapi sedang membangun. Lihat saja, satu sisi puncak Merapi pasti akan terlihat lebih tinggi pasca erupsi. "Itu berarti Merapi sedang membangun," begitu kira-kira ujar beliau saat diwawancarai wartawan tahun 2006 yang lalu, saat Merapi juga dalam kondisi "awas."
Kali ini, seperti juga masa-masa sebelumnya, Mbah Marijan menolak untuk diungsikan. Di mata beliau, saat kondisi genting seperti ini, justru beliau ingin menunjukkan kesetiaannya kepada tugasnya, kepada alam dan lingkungan yang telah memberinya kehidupan dan perlindungan. Seperti penuturan beliau sebelumnya, yang disitir kembali di Kompas pagi ini, beliau akan tetap menjaga Merapi, baik dalam kondisi baik maupun buruk. Dalam bahasa psikologi organisasi, inilah contoh sempurna dari escalation of commitment. Dalam kondisi yang semakin buruk dan mengkhawatirkan, seseorang bisa saja akan semakin meningkatkan komitmen terhadap orang yang dicintainya atau tugas dan tanggung-jawab yang diamanahkan kepadanya. Ketika perusahaan hampir bangkrut, karyawan yang memiliki ketrampilan lebih bisa saja memutuskan untuk pindah ke perusahaan lain yang bisa menjanjikan imbalan lebih. Ketika pasangan sedang khilaf, seorang istri atau suami bisa saja memutuskan untuk mengatakan "that's it" dan meminta kehidupan keluarga untuk diakhiri saja. Tentu saja sikap seperti ini bukanlah main-main. Tidak semua orang akan mampu untuk tetap setia pada saat kemungkinan untuk memperoleh imbalan atau penghargaan dalam bentuk apapun semakin kecil. Namun begitu, ketika komitmen dipegang teguh dalam kondisi yang mau runtuh, manusia tidak lagi berhitung tentang apa yang mereka bisa dapatkan, namun hanya akan memikirkan apa yang bisa diberikan. No vested interest at all! Dan ini jelas bukan "jalan umum" yang kebanyakan orang mau dan mampu lewati.
Ketika letusan Merapi sudah reda, di sekitar rumah Mbah Marijan ditemukan sekitar 16 orang yang ikut mati terpanggang awan piroplastik, nama keren dari wedhus gembel. Mengapa mereka setia untuk bertahan? Apakah karena pengaruh atau kepercayaan mereka kepada Mbah Marijan yang begitu kuat? Apapun alasannya, sebenarnya Mbah Marijan meyakini bahwa tiap orang bertanggung jawab atas tindakannya masing-masing. Seperti diungkap di Kompas, beliau meminta penduduk untuk mengungsi saja bila dirasa lebih aman. "Kalau mau ngungsi, ya ngungsi saja, jangan mengikuti orang bodoh seperti saya ini," ujar Mbah Marijan.
Meskipun begitu, sikap ini sama sekali bukan sikap orang nekad atau bahkan menantang alam. Sebaliknya, Mbah Marijan adalah orang yang multidimensional dan penuh metafor. Di satu liputan tadi pagi, muncul kalimat beliau yang sarat makna, "Jangan takut dengan Merapi, tapi juga jangan berani-berani." Atau simak juga yang pernah dikatakan ke Roy Suryo bertahun-tahun lalu. Di Apa Kabar Indonesia Malam Rabu malam, 27 Oktober 2010, Roy Suryo menyitir kalimat bersayap dari Mbah Marijan, "Iki Merapi bahaya lho, ning jane ora (tapi sebenarnya tidak(sambil menutupi mulutnya)). Di mata seorang Roy Suryo, inti kalimat Mbah Marijan justru terucap ketika beliau menutup mulut.
Mbah Marijan telah mengajarkan kepada kita untuk selalu memperhitungkan tindakan kita dari berbagai pertimbangan, untuk tidak menjadi orang dengan tipe "ngikut saja" tanpa alasan jelas, dan siap dengan segala konsekuensinya. Seperti sang pengelana di "The Road Not Taken," Mbah Marijan sudah memilih jalan yang tidak lazim ditempuh orang kebanyakan. (He) took the one less travelled by. And that has made all the difference.
Hari ini Mbah Marijan dimakamkan. "Betul katamu Mbah, Merapi sedang membangun, membangun kesadaran kita akan makna hidup, kesadaran kita tentang pentingnya untuk selalu menghargai alam. As Mbah Marijan's body went six feet underground, he had already completed his individuation journey and joined his Rabb in eternity. May Allah grant him a good place for him. Amin.
1 comment:
rasanya ada dimensi berpikir dari si embah yang tak teraba oleh kita dengan otak telanjang,,,
berlapis lapis dan penuh metafora yang perlu dikuliti,,,
Post a Comment