Wednesday, September 28, 2011

Hoping to always be on the right track

Apa yang paling membuat seorang mahasiswa deg-degan ketika akan bertemu dengan supervisor skripsi/tesis/disertasinya? Berbagai perasaan pastilah berkecamuk. Tapi barangkali yang paling mengemuka adalah pertanyaan, "is my idea good and interesting enough for a research?" Setidaknya, inilah perasaanku saat akan menemui supervisorku.

Selama tiga minggu ini, aku sudah tiga kali bertemu dengan supervisorku. Pada hari pertama aku tiba, aku datang ke kantornya sesuai janji kami di email sebelum aku berangkat. Aku datang untuk 'setor wajah' saja,  seraya memperkenalkan diri. Dr. Fran Martin namanya. Ya Allah, cantik sekali orang ini. Tinggi semampai, dan masih muda lagi. Aku katakan padanya bahwa baru hari ini aku sampai, dan belum punya bahan apa-apa untuk konsultasi, karena memang aku masih harus menyelesaikan semua administrasi akademik sebagai mahasiswa baru. Dengan ramah dia katakan, "I perfectly understand. Let's set up a meeting next week to have an informal chat about your project." Hmm, istilah yang dia gunakan, 'informal chat' membuatku merasa nyaman. I like this young lady already.

Pertemuan kali kedua terjadi satu minggu kemudian, setelah sebelumnya Dr. Martin mengatur pertemuan via email agar pembimbingku yang kedua juga bisa hadir. Menjelang pukul 2.30 siang sesuai perjanjian, aku menuju ke lantai 2, East Tower, John Medley Building, tempat Centre for Screen and Cultural Studies berpusat. Dua menara yang berdiri menggawangi gedung ini memang menjadi 'welcoming building' di The University of Melbourne. Ini mengingatkanku pada The Two Towers: Lord of the Rings episode kedua.
Di koridor aku bertemu dengan gadis yang amat 'chic' dengan dandanan a la cowboy girl. Kaget sekali ketika si gadis itu menyapaku, "Hi Tiwi, just give me a second, ok." Waduh, hampir pangling aku, si gadis ini ternyata Dr. Fran Martin, supervisor utamaku.

Kali ini aku berhadapan juga dengan co-supervisorku. Dr. Chris Healy, yang menyapaku dengan ucapan "Selamat datang." Aku tertawa riang dan kujawab, "terima kasih." Dr. Healy nampak lebih senior dan jelas lebih matang. Ini pertemuan 'resmi' kami untuk membahas research proposalku. Tak ingin memberikan kesan yang mengecewakan, aku berupaya siap dengan proposal yang sudah sempat aku update sehari sebelumnya. Hasil nongkrong di main library sampai malam di hari-hari pertamaku. First impression counts. Kusodorkan chapter outline yang juga sudah sempat aku susun. Niatnya ingin menunjukkan bahwa ideku sudah lumayan tertata. Mereka berdua sangat attentive dan appreciative. Berbagai pertanyaan yang mereka berikan memang memberi kesan bahwa topikku menarik untuk dieksplorasi, namun pada saat yang sama, membuka otakku bahwa ada masih banyak angle yang menarik dan patut dipertimbangkan untuk diteliti juga. Intinya, take your time, Tiwi. You have 12 months to finalize your proposal. All you need to do now is do a lot of reading on this area. Aku jadi malu sendiri, inginnya memberi kesan bahwa aku siap tempur, tapi ternyata aku masih diminta 'bertapa' dulu mengumpulkan tenaga dalam.    

Topikku, "Unveiling the lives of Indonesian migrant workers; Race, gender, and class in migrant literature" akan masuk dalam ranah Cultural Studies. Ini salah satu pendekatan teori sastra yang 10 tahun belakangan ini semakin merambah dunia kritik sastra, dan semakin mengaburkan batas geografis karya-karya sastra di dunia. Niatku antara lain juga hendak melihat sastra buruh migran sebagai bagian dari transnational literature. Saudara-saudara kita yang menjadi TKW di Hongkong dan Taiwan tidak bisa lagi dinina-bobokkan dengan gelar Pahlawan Devisa. Mereka punya suara. Tulisan mereka, novel, cerpen, dan puisi merekalah yang menjadi corong untuk membuat mereka lebih didengar.


Kedua supervisorku kebetulan juga adalah orang-orang dengan dasar pendidikan sastra yang kuat, dan kemudian menceburkan diri di ranah Cultural Studies, terutama Hongkong dan Taiwanese culture. Klop sudah. Gantilah giliranku untuk mengakui bahwa aku perlu masukan tentang referensi yang terkait dengan research methods in Cultural Studies, selain juga penelitian sebelumnya tentang labour migration dan transnational mobility. Seraya memintaku untuk lebih informal, "Just call me Fran," Dr. Martin berjanji akan segera meng-email-ku untuk reading suggestions dan menentukan jadwal konsultasi berikutnya. In two weeks time. Aku pamit, dan Dr. Healy melambai, "sampai jumpa nanti." Kujawab juga, "sampai nanti."

Tak sampai 1 jam, pesan baru masuk di inbox di email baruku sebagai mahasiswa di sini. Ya, semua korespondensi terkait dengan administrasi akademik harus dilakukan melalui university email system di university portal. Dr. Martin, atau Fran, mengirimkan file attachment berisi daftar bacaan yang panjaaang. Aku ternganga, surprised dengan response yang sangat cepat, dan kukira bahkan sudah disiapkan sebelumnya, bahwa aku perlu membaca semua referensi itu. Ucapan terima kasihku saat menjawab email Fran rasanya tak cukup, dan aku menebusnya dengan segera hunting buku-buku dan artikel yang direkomendasikan. Semuanya ada, kudownload semua yang berbentuk electronic files, dan kupenuhi backpack dan tas kainku dengan buku-buku. Overwhelmed, exhausted, not knowing where to start.

Dua minggu berlalu. Dan siang tadi adalah jadwal konsultasi kedua. Aku tidak yakin apakah aku bisa membawa ide-ide baru dari hasil pembacaanku selama 2 minggu ini. Sejujurnya, ada sedikit rasa bersalah, karena aku tidak setiap hari nongkrong di kampus untuk tekun membaca dan mulai menulis draf. Sebenarnya, sebagian hari-hariku terisi dengan dengan jalan-jalan, bertemu dengan teman-teman baru, dan juga dengan teman-teman lain yang sudah lebih dahulu hadir di Melbourne. Aku masih tetap membaca tiap hari, di sela-sela masak, chatting, skype, ikut pengajian, shopping, dan jepret sana-sini. Entahlah apakah aku agak lengah, tapi Lala, kolega di jurusan yang baru selesai MA nya di Aussie, mengatakan, 'come on bu, you just arrived.' It's ok to enjoy your time.'

Kuketuk pintu kantor Fran yang terbuka, dan senyumnya yang ramah menyapaku. "How is everything, Tiwi. Are you settling in ok?"  Oh, bukan pertanyaan tentang progress proposalku ternyata yang dia tanyakan. Setelah basa-basi, aku ulangi permintaan maafku yang kutulis di email pada hari sebelumnya, bahwa aku belum bisa menyodorkan tulisan dengan ide baru, tapi segudang pertanyaan yang ruwet memenuhi ruang otakku. "It's absolutely fine. In fact, that's what usually happens in the first 3 months of supervision. As I said, just read as much as you can," Fran menenangkan kekhawatiranku. Kusodorkan 1 lembar bolak-balik yang berisi isu-isu penting dan layak diteliti (menurutku) dalam sederetan karya sastra BMI. Di halaman berikutnya, sudah kutuliskan juga beberapa research questions, revisi proposal dari hasil pembacaan selama 2 minggu. Kuberondong Fran dengan berbagai pertanyaan tentang kemungkinan teori dan teknik analisis dan sudut pandang yang bisa aku pakai. "Am I on the right track, Fran?"  Dalam hati, aku ingin ketawa, mengingat sebagian mahasiswa sastra Inggris Unesa yang suka 'menggangguku' via email, YM, dan FB, dengan pertanyaan-pertanyaan mereka untuk persiapan seminar skripsi mereka. Dear students, just as Fran is helping me with her wonderful suggestions, I want to make myself useful too, by trying to help you shape up your topic. That's the least I can do for now. We're on the same boat now. Your confusion is mine, too.  

Langkahku ringan sekali setelah pertemuan siang ini. Fran meyakinkan aku bahwa aku sudah menunjukkan progress yang terarah. "It's been only three weeks, but you already have a clear idea,"begitu katanya. Semoga tetap terjaga arahnya sampai hari-hari mendatang, doaku.

Senja Melbourne semakin gelap, diiringi hujan dan petir yang sesekali menyambar. Aku tidak bisa lari ke Prayer room di Pelham street, dekat Unimelb square untuk shalat Maghrib. Di salah satu sudut study space yang sepi di Baillieu Library, kubentangkan sajadah pemberian Ella, sahabatku. Kusyukuri rahmat yang diberikan Allah padaku hari ini, sehingga urusanku lancar.

Hujan semakin deras ketika aku menunggu tram di seberang kampus. Di sebelahku, pemuda bule Aussie manggut-manggut mengikuti musik di IPhone-nya. Kuselipkan headphone di telingaku. Kupencet icon  IPod di IPhone-ku. Lantunan surah Ar-Rahman mengundang titik haru di pelupuk mataku. Kutundukkan kepalaku menahan rasa.... Dan tram route 19 pun akhirnya datang. Rasa basah di pipiku telah bercampur dengan tetesan hujan, saat aku berlari kecil, meloncat masuk ke pintu tram. Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Brunswick, 28 September 2011.





2 comments:

arara carter said...

it's interesting to have supervisor like Dr. Martin.
btw, if you have spare time, would you like to upload the pictures you made there, bu tiwik?

mila said...

subhanallah...