Saturday, September 17, 2011

Melbourne, a city with four seasons a day


Awal September, saat kedatanganku di Melbourne, sebenarnya telah memasuki musim semi. Itu teorinya. Dalam kenyataannya, cuaca masih terlalu dingin, terutama untuk tubuhku yang kecil dan tidak memiliki simpanan lemak. Temperatur tiap hari juga berubah-ubah, dan berkisar antara 8-180 C. Pada hari pertamaku, aku sudah hunting electric blanket di hypermart, dan akhirnya menemukan sisa stock di Coles, dengan harga diskon 7 dolar dari harga normal 20 dolar. Lumayan. Di K-Mart justru sudah tidak ada lagi, karena sudah dianggap out-of-season. Maka tidurku di malam pertamapun sukses dengan kehangatan mengalir ke seluruh tubuh, sampai aku harus bangun amat kesiangan saking pulasnya. Pada hari kedua, aku harus menambahkan jaket tebal, sweater, topi wool, dan sarung tangan sebagai senjata melawan udara dingin. Dan tidak sampai seminggu aku di sini, koleksi pakaian musim dinginku sudah bertambah lagi, ketika Savers, second-hand store, menggelar diskon 50%. Kuborong legging, long coat, turtleneck sweater, dan jacket. Di mana-mana, baik ke kampus, belanja, maupun cuma di apartemen saja, paling tidak tiga lapis pakaian kukenakan.

Aku pikir cuma aku yang aneh. Tidak heran kalau aku masih berperasaan seperti ini. Ketika pertama kali datang di San Marcos, Texas pada pertengahan Agustus 2002 yang lalu, sebenarnya masih musim panas di Amerika. Namun aku hampir selalu berpakaian minimal 2 lapis, sampai-sampai academic advisorku selalu mengingatku sebagai ‘the little lady from Sumatra who is wearing sweater in this hot sunny Texas day.’ Ya, advisorku, Dr. Paul Cohen, seorang Yahudi tulen yang hanya makan kosher meat (semacam daging halal) selalu mencampur-adukkan antara Indonesia dengan Sumatra. Mungkin dia pernah baca buku tentang Sumatra, yang mungkin berisi tipikal perempuan kecil berjilbab seperti aku.
Melbourne ternyata memang unik dari segi cuaca. Dalam satu hari, cuaca bisa berubah dari berangin, hangat, kemudian hujan, dan menjadi dingin. Tidak heran banyak yang mengatakan bahwa Melbourne adalah kota dengan 4 musim dalam 1 hari. Bahkan ada yang guyon mengatakan, “people say that there are four seasons in a day in Melbourne. They lie. There is autumn, winter, and spring, but without summer.”  

Kalau anda punya kesempatan datang ke Melbourne, tidak perlu khawatir salah kostum. Setiap orang akan cenderung keluar rumah dengan mengenakan beberapa lapis pakaian. Istilah ‘just in case’ menjadi alasan utama. Kalau cuaca menjadi lebih hangat, tinggal lepas pakaian/jaket  terluar, dan bila menjadi lebih dingin, kenakan lagi. Tidak heran kalau kita jalan-jalan, akan selalu ada orang yang hanya mengenakan kaos tipis dan celana pendek bersepeda, atau gadis manis dengan jaket dan syal melilit di lehernya pada saat yang sama. Just in case. Apalagi kekuatan tiap orang terhadap udara dinginpun berbeda-beda.  Aturan tidak tertulis ini kabarnya berlaku pula di musim panas. Hanya saja pakaian yang dikenakan lebih tipis, dari katun misalnya, bukan wool, tapi tetap berlapis-lapis. Just in case, sekali lagi.

Sore hari ini udara nampak sangat ramah. Aku memutuskan untuk ke luar rumah untuk mencari sayur dan daging halal di Sidney Road. Kebetulan daerah di mana aku tinggal merupakan daerah komunitas orang-orang Timur Tengah. Mau masak sendiri atau makan di restoran halal, semua ada di sini, tinggal jalan saja. Prakiraan cuaca di IPhone-ku menunjukkan temperatur 200C. Aku putuskan hanya mengenakan sandal saja. Sweater tentu saja tetap kukenakan. Just in case.

Ternyata ini betul-betul Sabtu yang menyenangkan. Warr Park di dekat kompleks apartemenku sudah ramai dipenuhi beberapa keluarga yang ‘berpiknik, ’ menggelar karpet plastik di taman. Anak-anak kecil bermain ayunan. Tiga orang remaja laki-laki bermain lempar-lemparan. Dua orang sejoli sedang duduk di bangku, bercengkerama hangat, sehangat sinar matahari yang menerpa wajah mereka. Kuayunkan langkahku menuju Sidney Road, hanya 5 menit dari apartemenku. Dan suasana jalan betul-betul seperti menertawakan dua lapis kaos panjang dan sweater yang kukenakan. Di depan cafĂ© di sebelah Madina Halal Meat, berjajar sepeda motor Harley Davidson, lengkap dengan pengendaranya yang rata-rata berbadan besar.  Aku melongok ke dalam salah satu playplace, yang ternyata juga penuh dengan anak-anak bermain trampoline dan beragam permainan lainnya.  Lalu lintas sedikit lebih padat daripada biasanya.  Mungkin karena banyak orang ingin menikmati matahari.

Aku jadi ingin berlama-lama menelusuri Sidney Road. Sayur dan daging sudah terbeli. Lalu ke mana lagi. Aku putuskan untuk menyeberang ke Salvos, salah satu second-hand store seperti Salvation Army, yang menjual barang-barang hasil donasi masyarakat. Bila teliti, seringkali kita dapat barang bagus di sini. Untuk kantong mahasiswa, toko-toko seperti Savers, Salvos, atau Goodwill kalau di Amerika, memang menjadi jujugan mencari barang bagus, berkualitas, dengan harga sangat miring. Bahkan kadang-kadang, barang yang dijual juga masih baru. Kali ini aku tidak melihat deretan baju. Aku langsung menuju ke ujung toko, di mana buku-buku dipajang rapi. Berbagai novel populer dan klasik terpampang di depanku. Aku seperti menemukan harta karun. Akhirnya kupilih 2 novel oleh Maxine Hong Kingston, China Men dan Woman Warrior, Tender is the Night karangan F.Scott Fitzgerald, dan DaVinci Code tulisan Dan Brown, semuanya total . Semuanya aku sudah kenal sebenarnya. Tapi entah, lapar mata kalau lihat buku, selalu ingin menambah koleksi. Masih banyak yang kuinginkan, tapi untuk sementara cukuplah.

Hari semakin malam. Cuaca di luar turun ke level 160C. Masih cukup hangat dibandingkan hari-hari sebelumnya yang bisa sampai 8-90C, ditambah dengan windchill yang membuat udara semakin menggigit. Pada malam-malam yang dingin itu, biasanya aku baru pulang dari kampus sekitar jam 8.30, berbalut pakaian 4 lapis dan pashmina yang kulilitkan di leher. Malam ini, malam minggu, kuhabiskan dengan ber-skype dengan anak-anakku di rumah. Cuaca Surabaya yang panas dan celoteh Adzra membantu menghangatkan kamarku yang cenderung selalu dingin meski di luar bisa lebih hangat.
Aku masih terus beradaptasi dengan cuaca yang berubah-ubah. Aku berharap hari-hari hangat segera datang, namun ingin jauh-jauh hari bersiap-siap untuk musim dingin yang bisa ekstrim. Winter baru akan tiba lagi pertengahan tahun depan. Masih cukup banyak waktu untuk menggemukkan badan dan menambah cadangan lemak. Mudah-mudahan salah satu target ini  bisa aku capai sebelum musim panas awal tahun depan berakhir. Just in case.

Brunswick, 17 September 2011

   

3 comments:

Ahmed Miftahul Haque said...

Hehehe.. Smoga kerasan dan sabar ma'am :D

arara carter said...

take care yourself, bu tiwik..

Bintan said...

“people say that there are four seasons in a day in Melbourne. They lie. There is autumn, winter, and spring, but without summer.” Hahaha Dingin banget donk Mam,,, Tapi musim dingin masih bisa bikin es campur,,, Miss You Mam,,, Semoga sukses,,