Thursday, October 13, 2011

TRASH OR TREASURE?

Suka beli dan pakai barang bekas nggak? Saya suka. Karena murah, dan seringkali masih bagus atau sangat unik. Gak takut kotor atau kena penyakit? Yah, memangnya toko yang jual barang bekas itu bulukan atau penuh debu!

Di Surabaya, pikiran kita seringkali melayang ke Pasar Gembong dalam urusan barang bekas. Atau mungkin Pasar Wonokromo di malam hari, di mana puluhan pedagang dan pembeli membaur di keremangan malam di pinggir stasiun. Kalau mau lihat-lihat, harus mikir dua tiga kali untuk masuk ke area itu. Hehe...belum pernah nyoba sih. Cuma lewat aja.

Di luar negeri, sebaiknya pikiran malu pakai barang bekas dibuang jauh-jauh. Dengan catatan, kalau memang pingin ngirit, tapi tetap bisa fashionable. Second-hand stores sering dikenal juga sebagai op-shops atau thrift stores. Toko-toko barang bekas di Melbourne tidak ubahnya seperti toko kebanyakan. Bersih, tertata rapi, dan enak dipandang. Di sepanjang Sidney Road, Brunswick, yang dekat dengan tempat tinggal saya, ada lumayan banyak op-shop (opportunity shops) yang menjual barang bekas murah dari hasil donasi. Yang terbesar, Savers, memajang berbagai jenis baju, jaket, sepatu, tas, barang pecah belah, buku, dsb. Mau cari barang dari harga 1 dolar sampai 40 dolar, semua ada. Bahkan kalau sedang beruntung saat memilih-milih, seringkali kita bisa menemukan barang yang masih baru. Jujur, hampir semua jaket tebal dan sweater saya dapatkan di Savers dengan harga antara 3-9 dolar. Saya juga menemukan sepatu Nike, for women, dengan hanya 8 dolar. Masih sangat bagus dan trendy pastinya. Jadilah saya lebih sering pakai sepatu ini ke kampus.

Savers mengingatkan saya pada Goodwill dan Salvation Army yang juga suka saya datangi saat di San Marcos, Texas, 8-9 tahun yang lalu. Banyak barang aneh-aneh yang bisa ditemukan dan layak dikoleksi.  Tentu saja masih banyak toko yang lebih kecil. Salvos, misalnya, tidak sampai 5 menit jalan dari apartemen saya. Kalau lagi bosen di rumah, saya suka nengok ke sana. Mencari harta karun yang belum sempat ditemukan.

Ya, harta karun. Sebenarnya, salah satu daya tarik yang paling kuat bagi saya di second-hand stores adalah buku-buku yang terpajang rapi. Saya suka berlama-lama melihat judul buku satu-persatu, dan selalu saja menemukan novel atau buku yang sejak dulu ingin saya punyai. Baik itu di Savers, Salvos, Vinnies, atau bahkan di salah satu suburban area, di Camberwell, di mana 'pasar kaget' berlangsung pada hari Minggu. Kalau dihitung-hitung, selama 5 minggu saya di sini, sudah ada 16 novel/buku sastra yang saya beli. Siapa yang tidak ngiler kalau menemukan Sophie's World dengan harga 3 dolar? Atau Da Vinci Code dengan kondisi sangat bagus hanya dengan menebus 4 dolar, dan Blink, The Power of Thinking without Thinking yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan 3 dolar juga? Atau juga buku anak-anak dengan kemasan hardcover dengan hanya 1 dolar? Buku-buku seperti itu, saya ingat di Periplus Supermall, dijual dengan harga minimal 75 ribu. Mau dapat yang gratis juga bisa kok. Seperti 2 buku puisi dari William Blake dan Yeats yang saya temukan di garage sale. Yang empunya sebenarnya menjualnya dengan harga 2 dolar, tapi melihat saya bolak-balik membuka-buka buku itu, akhirnya diberikan saja ke saya.

Bicara buku gratis, saya jadi ingat ketika dosen saya, Dr. Susan Morrison, saat di Texas dulu, mau cuti ke Inggris untuk menulis buku. Istilahnya, ambil sabbatical year. Dia bilang mau membuang buku-bukunya di rumah yang sudah tidak lagi dia pakai. "Wow..wow..wow, don't throw them away, give them to me," begitu pinta saya. Benar juga, 2 minggu kemudian, saya diminta mengambil 2 box buku-buku sastra yang tebal-tebal. Gratis..tis. Tidak bisa saya bayangkan habis berapa juta kalau saya harus membeli semua buku itu. 

Hampir semua buku saya di ruang baca saya di rumah merupakan hasil perburuan harta karun, baik yang model 2 dolar per buku, atau yang model kiloan. Ya, persis seperti orang beli kain kiloan. Perpustakaan di Texas State University-San Marcos, tempat saya sekolah dulu, sering mengadakan sidewalk sale dan menjual buku-buku yang sudah dianggap out-of-date. Ini bukan berarti bukunya jadul, tapi karena edisi terbaru sudah keluar, jadi edisi tahun sebelumnya otomatis jatuh harga. Bayangkan nikmatnya membeli buku-buku yang masih kinyis-kinyis, dengan harga 25 cents/lbs. Di tahun 2004, itu kira-kira seharga 2500 rupiah/2,5 kg. Buku apapun, pokoknya ditimbang untuk menentukan harga.

Saya masih belum tahu apakah perpustakaan atau bookstore di kampus saya sekarang juga punya model penjualan seperti ini. Tapi pojok-pojok kota sudah memberikan tantangan perburuan harta karun. Jadi, kalau awalnya niat blusukan ke second-hand stores untuk cari winter clothes, sekarang arah angin tampaknya sudah berubah. They're certainly not trash, but real treasure!

Brunswick yang cukup hangat hari ini,
13 Oktober 2011

3 comments:

arara carter said...

wah asik banget ya ma'am, bs dpt banyak buku-buku bagus dg harga murah. I love books.They're my treasure. kapan ya di indo (khususnya surabaya) ada toko buku bekas yang kayak gitu? :(ngarep.com)

tiwi-lioness.blogspot.com said...

Gimana kalau kita aja yang mulai bisnis buku bekas, hehe. Soalnya pasar buku bekas di jalan Semarang kurang asik tampilannya,padahal banyak treasure di sana. Kalau di Yogya malah sudah ada, namanya area Shopping, di ujung jalan Malioboro. Dulu waktu sekolah di UGM suka nongkrong di sana.

Pratiwi Utaminingsih said...

maammmm, saya setuju sekali dengan ide bisnis buku bekas. tolong utamakan buku impor yaa, hehe