Saturday, February 18, 2012

Gambaran Ibu dalam Soal Bahasa Indonesia kelas 1 SD: Masyarakat Urban sudah Berubah


     Seorang teman mengirimkan sebuah posting di milis. Ada attachment yang isinya scan butir soal tes formatif untuk anak kelas 1 SD untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Di situ ada gambar seorang anak didampingi perempuan berkebaya yang membantunya bersiap-siap untuk bersekolah. Gambar anak diberi label 'aku,' sedangkan perempuan berkebaya menjadi bagian dari pertanyaan. Siswa diminta mengidentifikasi sosok perempuan itu. Pilihan jawaban yang disediakan adalah: Ibu; Pembantu; Ayah; dan Guru. Yang mengejutkan, hasil scan jawaban menunjukkan bahwa si siswa yang bersangkutan memilih jawaban "Pembantu." Guru menyalahkan jawaban ini, karena kisi-kisi menentukan jawaban yang benar adalah "Ibu." 

Adakah yang salah dalam soal ini?

     Kasus ini menarik dikaji, karena sifatnya multi-interpretatif. Dari sisi kaidah asesmen pembelajaran, pembuatan soal dengan disertai gambar tersebut merepresentasikan pikiran pembuatnya yang masih tradisional dan konvensional. Ini terlihat dari pakaian 'si ibu' yang memakai kebaya. Bukankah secara tidak sadar, pikiran kita sudah terkonstruksi oleh image ibu ideal yang seperti ini. Si pembuat soal lupa bahwa dunia nyata tidaklah seperti itu. Secara kultural, pikiran pembuat soal bisa dikatakan mewakili sebagian masyarakat kita yang menggambarkan sosok ibu yang tradisional itu. Secara asesmen, butir soal tersebut kurang bagus. Kata 'ayah' sebagai pilihan bukanlah distractor jawaban yang baik, karena sosok yang ditanyakan jelas-jelas seorang perempuan. Soal ini mungkin dianggap bagus di masyarakat yang 'neutral gender.' Namun di dalam konteks masyarakat Indonesia, ini rasanya tidak mungkin.
     Bagaimana dengan pilihan yang diambil si siswa sebagai jawabannya? Ketika si siswa memilih jawaban 'pembantu,' ini juga sama sekali tidak salah. Pilihan yang diambil si siswa mengindikasikan persepsi anak tentang sosok pembantu, yang sering kita stereotipikan sebagai orang dari desa, dan ini ditunjukkan dari pakaian kebayanya. Di satu sisi, ini juga menunjukkan spatial setting lingkungan di mana anak tumbuh. Besar kemungkinan dia anak kota, punya pembantu yang tipikal seperti itu, atau setidak-tidaknya, melihat lingkungannya. Mamanya kemungkinan besar tidak pernah pakai kebaya juga.
     Kalau kita baca soal ini lebih dalam di deep structure-nya, pilihan siswa atas jawaban pembantu menunjukkan perubahan nilai tentang nurturing. Surrogate mothering, yang diwakili si pembantu, betul-betul refleksi transformasi sosial tentang peran perempuan sebagai ibu dan wanita karir. Semakin banyaknya ibu yang berkarir, sebagai dampak dari global demand, membuat banyak rumah tangga memerlukan sosok 'pengasuh.' Banyaknya waktu yang dihabiskan bersama oleh si anak dan 'mbok'nya,  dan kehangatan yang didapatkan dari si mbok juga refleksi dari berubahnya nilai tentang 'motherhood.' ketika ibu kurang memiliki waktu untuk fungsi ini.
     Nah, jujur ya, sebagian dari kita yang menjadi ibu, ketika kita kaget dengan kasus di dunia pendidikan kita ini, sebenarnya di alam bawah sadar, kita sedang mengalami pergolakan, adanya contestation antara ibu dan pembantu dalam 'mendapatkan' perhatian anak. Ini refleksi perasaan insecure bahwa kita takut kehilangan peran sebagai ibu. Itu makanya banyak ibu yang berupaya untuk menjadi supermom, tetap berkarir, tapi tidak mau 'kalah' dengan si 'mbok'. It's power hegemony of class, ethnicity, and gender, dalam bahasa Antonio Gramsci. Tapi tekanan dunia global seringkali akhirnya mengubah contestation tadi menjadi negotiation, sehingga terjadi kerjasama antara ibu dan si mbok dalam pengaturan tugas-tugasnya, yang secara tradisional, masih dianggap menjadi bagian dari domestic, immaterial labor.
     Masalah ini tidaklah kasuistis, tapi sudah menjadi fenomena global, tentang negotiation of public/private space and surrogate mothering. Berbagai studi sosiologis tentang TKW Filipina dan Indonesia di Hong Kong, Taiwan, dan Singapore mengindikasikan fenomena yang sama. 
     Sebuah butir soal ternyata bisa mengungkap fenomena transformasi budaya yang terjadi di masyarakat urban di Indonesia. Pisau Cultural Studies yang telah membuatku lebih melek terhadap praktek-praktek budaya yang nampaknya sepele di lingkungan kita. Aku harus berterima kasih kepada bu Dian Rivia, kolega yang telah memberikan pancingan akademik dan personal dalam postingannya.  

3 comments:

kahfikaharuli said...

Ikut menyimak kuliah maya mam Tiwi...thank mam

kahfikaharuli said...

bukankah peran mass media juga turut berperan dalam menggeser "nilai2 keibuan"?
film dan sinetron misalnya..

Pratomo Nietzsche said...

Bukankah PRT juga seorang ibu bagi anak2nya,
Bagaimana jika sosok yang disebut "anak" itu adalah anak dari seorang wanita yang berprofesi sebagai PRT,
Maka keduanya; 'ibu' dan 'pembantu' adalah benar dalam kasus ini.
Namun, bukan itu yang jadi highlight dari uraian di atas...
Adalah bahwa telah terjadi fenomena beruntun, Wanita A berkarir meninggakkan anak2nya demi gepokan uang, Wanita B-yang juga merupakan ibu dari anak2nya di desa-bekerja sebagai PRT di rumah wanita A. Anak2 dari wanita A diurus oleh wanita B, anak2 dari wanita B diurus oleh suami/saudara/ibu dari wanita B. Jadi, di era Ipad ini telah terjadi pelimpahan tugas mengurus anak secara estafet...
hehehe...