Aku sudah menghasilkan sekitar 30 halaman proposal tesis selama bimbingan dengan Fran, supervisor pertamaku. Dalam waktu 3 bulan, aku mengira bahwa topikku, Redefinition of Femininity in Indonesian Migrant Literature, sudah cukup matang dan tinggal mempertajam. Tak dinyana, saat beralih ke supervisor kedua, Chris Healy, tuntutannya cukup berbeda. Fran saat ini sedang cuti sabbatical. Di mata Chris, proposal yang sudah kuhasilkan sebenarnya tidak masalah, namun sementara ini sebaiknya 'disimpan' saja dulu. Lebih baik aku memanfaatkan waktu 9 bulan pertama untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan dan isu yang terkait dengan ide besar, yakni Sastra Buruh Migran.
Sempat bingung dan agak kecewa karena harus memulai lagi dari awal, aku akhirnya malah harus berterima-kasih atas pencerahan yang diberikan Chris. Memang benar, aku tidak perlu terburu-buru mengenakan kacamata kuda. Di titik sekarang ini, setelah dua kali bertemu dengan Chris, kami membahas tentang sejarah perkembangan festival/lomba sastra migran. Aku melihat satu kemungkinan ide yang menantang, yakni tentang Literacy Movement as a Cultural Project of Migrant Literature. Aku mulai membaca buku-buku dan artikel yang berbeda dengan saat bersama Fran. 3 bulan terakhir aku berkutat dengan isu transnational migration, global care chain, dan modernity, sekarang aku mulai memahami bagaimana dimensi literasi, dan kaitan antara literasi dengan kekuasaan.
Dalam 2 minggu ke depan, tugasku membuat sketsa tulisan tentang sejarah perkembangan festival sastra migran. Di mata Chris, peran para mentor seperti mas Bonari, Teh Pipiet Senja, Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia layak diperbincangkan. Ini artinya aku perlu segera mencari tahu sepak terjang mereka. Seperti biasanya, nampaknya aku harus 'nodong' mas Bonari lagi untuk menjadi 'narasumber virtual.'
Proses masih sangat panjang, namun akan kubuka pikiranku terhadap segala kemungkinan. Mudah-mudahan titik-titik yang sedang mengarah ke berbagai arah akan bertemu juga di tempat yang sama.
No comments:
Post a Comment