Wednesday, February 22, 2012

Through Literature, Learning English is Fun


Terkait dengan literacy education, saya ingin share pengalaman saya selama tiga minggu mengamati proses belajar anak-anak. Ganta, anak saya yang pertama, sekarang sedang di Brunswick English Language Centre (BELC). Lembaga bahasa ini terpadu dengan SMAnya, Brunswick Secondary College. Kemungkinan Ganta akan di sini selama 20 minggu, untuk kemudian nyemplung ke SMA-nya, bila kemampuan bahasanya sudah siap.

Setelah 1 minggu di pre-intermediate level, Ganta dipindahkan ke intermediate pada minggu kedua. Saya beruntung menjadi ibu yang juga guru Bahasa Inggris, sehingga betul-betul tahu bagaimana materinya dan kira-kira bagaimana penyampaiannya. Pada pre-intermediate level saya sebenarnya cukup kaget dengan materi bacaan pendek yang sebenarnya hampir sama dengan level mahasiswa semester 1 di Jurusan Inggris. Tapi alhamdulillah Ganta bisa jalani dan bahkan langsung masuk ke level berikutnya dalam 1 minggu. Nah, di intermediate level ini tantangan membaca menjadi terasa benar. Pada minggu kedua, setelah masuk level ini, kelas Ganta ditugasi membaca novel pendek, semacam ringkasan dengan bahasa yang lebih mudah. Biasanya digunakan untuk latihan membaca sesuai level siswa. Di jurusan Inggris, metode ini kami terapkan di semester 1, sebagai bagian dari Independent Study. Buku yang dibaca berjudul Touching the Void. Tentang perjalanan seorang pendaki gunung, Joe Simpson, yang mengalami kecelakaan dan hampir mati. Pengalaman hidup ini membuatnya menjadi seorang penulis (dan tetap mendaki gunung). 

Jujur saja, Ganta sebenarnya tidak terlalu suka membaca. Dia lebih banyak nongkrong di depan komputer. Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana proses pembelajaran yang disampaikan di sekolah, yang membuat Ganta jadi tekun membaca. Tak terlihat wajah mengeluh di wajahnya. Sebentar-sebentar dia bertanya tentang isi cerita. Tugasnya juga lumayan. Membuat ringkasan per chapter, dan menggunakan mapping untuk story events. Mengenali karakter dalam cerita. Semuanya adalah 'makanan saya sehari-hari.' Di sinilah saya merasa bersyukur bisa langsung turun mendampingi anak belajar. Saya ikut membaca novelnya, sebelum dia sendiri selesai baca. Pendeknya, terasa saya berada di kelas sastra saya sendiri. Nikmat rasanya.

Minggu ketiga ini, giliran nonton film yang menjadi bahan pelajarannya. Saat Ganta ndlosor di kasur saya sambil buka PR dan tanya-tanya, aku baru tahu bahwa kelasnya sedang membahas Bend it Like Beckham. Yang ini saya yakin Ganta juga akan suka. Dia hobi nonton dan main bola. Dengan sentuhan multikulturalisme, pasti ada nilai tambah yang akan dia peroleh. "Ibu sudah nonton." "Iya bu, masih belum selesai nontonnya. Baru separo, katanya." Tugasnya hampir sama. Membedah tokoh cerita dan plot cerita. Saya juga yakin Ganta akan bisa mengerjakannya. Dia sudah mulai terbiasa dengan pola belajar dan tugas yang diberikan.

Senin-Jum'at belajar bahasa Inggris mulai jam 9 pagi-3 sore memang beda dengan 4 X 45 menit pelajaran Bahasa Inggris di SMA di Indonesia. Meski begitu, 'lompatan besar' yang terjadi pada anak saya secara psikologis dalam hal belajar bisa jadi juga dipengaruhi oleh cara penyampaian pelajaran. Saya jadi berfikir tentang pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia. Kenapa anak saya selama ini seperti kena stigma 'mbeler dan kurang tanggung-jawab' oleh gurunya. Sementara di sini saya rasakan sendiri motivasi belajar keluar dari dirinya sendiri. Tiap hari saya chatting sama suami. Dia surprise dengan banyaknya perubahan positif yang dia tidak bisa ikut rasakan. Mas Prapto juga guru dan psikolog. Aku curhati, kenapa pendidikan di negara kita kurang memberi ruang terhadap kreativitas dan imajinasi anak. Ganta seperti jadi 'a newly-born young man' di sini. 

Saya bermimpi tentang mahasiswa saya di jurusan. Kalau dosen-dosennya lebih banyak mengajarkan teknik-teknik pembelajaran yang kreatif dan inovatif, dan tidak terlalu ribut dengan format RPP, harusnya mereka akan bisa menjadi agents of change bagi anak didiknya kelak. Sayangnya, sementara ini pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia masih terjebak pada format belaka. Workshop lebih banyak berkutat tentang pembuatan silabus, RPP, dan asesmen yang benar. Hal ini memang penting, tapi membuat siswa menikmati belajar jauh lebih penting. 

Saya tahu banyak guru yang sebenarnya sangat kreatif di di kelasnya. Seorang teman, Dina Hanif Mufidah, guru SMA di Gresik, memenangkan tiket mengikuti seminar internasional berkat kepiawaiannya menggunakan story-telling dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Teman yang lain, Ida Tisrina, guru Bahasa Inggris sebuah SMA di Sidoarjo, membebaskan siswanya untuk memberikan opini bebas tentang pendidikan. Ini dia lakukan saat menyentuh materi Hortatory Exposition, yang memang intinya adalah belajar memberikan opini secara lisan dan tulisan. Antusiasme siswa terasa saat mereka mempresentasikan opini mereka, yang kadang juga mengkritik kebijakan sekolah. Bagi Ida, bila siswa diberi ruang lebih bebas, mereka akan lebih kreatif. Sekarang terserah pada guru, the agent of change, apa ingin mempertahankan cara-cara lama atau mengubah mindset mereka untuk memberikan pengajaran yang kreatif. Dua kalimat terakhir ini saya kutip langsung dari email Ida, di milis alumni Unesa, di mana kami sama-sama jadi anggotanya. 

Saya optimis bahwa ke depan akan semakin banyak guru yang kreatif. Sebagai dosen Bahasa Inggris, saya merasa ikut menyandang amanah ini, dengan lebih banyak membagikan pengetahuan dan pengalaman saya mengajarkan sastra. Bagi saya, melalui sastra, belajar bahasa Inggris bisa lebih menyenangkan.



2 comments:

Gustaf Wijaya said...

ya, ya itu Mam :( di Indonesia, di Jawa timur, pelajaran yang saya lahap di SMA dengan susah payah, sekarang sudah menjadi sarapan pagi anak - anak SMP :(

kemajuan pendidikan atau memang waktu itu otak kami yang belum mampu Mam :((

tiwi-lioness.blogspot.com said...

Pelajaran di Indonesia memang lebih banyak ke ranah kognitif. Kurang memberikan ruang untuk sisi kreatif siswa. Anak-anak Asia (Cina, Indonesia) yang datang di Aussie rata-rata bisa jadi yang paling pinter dalam hal pemahaman pelajaran, karena sudah pernah dipelajari sebelumnya. Tapi giliran diminta untuk memberikan pendapat atau interpretasi tentang suatu fakta, mereka akan bungkam atau menundukkkan kepala, karena tidak terbiasa mengemukakan pendapat. Tiap hari dicekoki ilmu saja, tanpa diasah kemampuan kritisnya.