Tuesday, February 21, 2012

TIDAK LAGI KE MALAYSIA


Aku baru saja mau menyalakan kompor dan menaruh wajan Teflon di atasnya ketika kulihat ada yang aneh di permukaan wajan.
“Marni, kenapa wajan Teflonnya jadi putih begini? Ibu kan baru beli 1 bulan yang lalu?” teriakku dari dapur.
Marni mematikan setrika, dan bergegas mendekatiku.
Ngapunten bu, itu tadi saya gosok. Saya pikir... ehm niku kok warnanya hitam. Jadi ya... saya bersihkan ... pakai sabut yang dari logam itu,” jawab Marni terbata-bata.
“Waduh, Marni, Marni. Teflon ya begini warnanya. Kalau sudah putih begini malah tidak bisa dipakai lagi. Bahaya. Bisa sebabkan kanker,” ujarku.
“Aduh, aduh, nggih to Bu?. Ngapunten ingkang sanget, bu,” jawab Marni. “Mboten ngertos. Nggih, maklum, tiyang ndusun.”
“Ya, sudah, Mar. Gak apa, wong ya sudah kadung. Maksudku itu lho, kamu mestinya tanya dulu kalau gak tahu. Kamu kan lagi PKL disini. Belajar nyambut gawe di luar negeri. Lha nanti kalau kamu buat kesalahan kayak gini, trus ... majikanmu gak begitu baik, lak bisa gawat nasibmu.”

Marni merupakan calon TKW yang kesekian kalinya bekerja di rumahku. Susah cari pembantu yang bisa bertahan lama sekarang. Sementara aku harus segera kembali masuk kerja. Sani, putri kecilku sudah menginjak 3 bulan usianya. Harus ada yang membantu menjaga bayiku bila kutinggal kerja. Kebetulan mas Bagas, suamiku, punya teman pengusaha PJTKI. Jadilah, tiap 3-6 bulan sekali, pembantuku berganti-ganti. Marni baru saja ikut aku 1 minggu yang lalu. Dia sudah selesai pasporan. Sekarang dia menjalani PKL di rumahku, sambil menunggu calling visa-nya turun. 
“Kamu mau diberangkatkan kemana, Mar?” tanyaku. Ini pertanyaan standar yang kuberikan setiap ada calon TKW baru di rumahku. Seperti sudah kuduga, jawabannya Malaysia. Kadang-kadang saja Singapura.
“Kenapa mau jadi TKW?” tanyaku lagi.
Setiap kali menanyakan hal yang satu ini, perutku selalu mules tanpa sebab. Kalau bukan karena suami yang suka main pukul, atau cerai, dan anak masih kecil-kecil, seringkali juga karena punya hutang di kampung.
“Lha nggih niku bu, suami saya kena tipu. Maunya usaha sama temannya, sampai jual sawah segala,” jawab Marni.  “Eh, ternyata temannya membawa lari duitnya. Sekarang suami saya jadi stress mikir utangnya,”
“Lha kok kamu yang jadi TKW? Kenapa bukan suamimu yang daftar jadi TKI. Kan banyak job di perkebunan atau konstruksi bangunan di Malaysia?” tanyaku setengah menyelidik.
Leres bu, ning suami saya jadi sakit-sakitan. Jadi unfit waktu tes kesehatan. Akhirnya saya yang disuruh berangkat.”

***********
Aku sedang mengoreksi tugas-tugas mahasiswaku ketika HP-ku berdering. Telpon dari Santi, teman suamiku yang pengusaha PJTKI.
“Assalamu’alaikum mbak, gimana kabarnya?” tanyanya merdu di seberang sana.
“Wa’alaikumsalam, baik dik. Tumben telpon?” aku balik bertanya.
“Iya nih mbak, cuma mau pesan. Tolong kalau Marni ijin pulang kampung, jangan diperbolehkan ya,” kata Santi.
“Kenapa dik?” Ada masalah ta?”
“Ya sedikit. Ini ada calon TKW dari NTT yang lari dari penampungan,” Santi menjelaskan. “Arek-arek lagi berusaha cari kemana kira-kira perginya.”
Oh gitu. Yah, jadi repot juga ngurus yang beginian ya?”
“Ya gitulah mbak. Yulia, anak NTT itu sebenarnya sudah mau berangkat. Calling visa-nya dah mau turun. Kantor dah keluar dana banyak kan kalau sudah sampai sejauh ini prosesnya. Agent-ku di Malaysia ngomel-ngomel nih.
“Ok deh dik, ntar aku info kok kalau ada apa-apa. Sejauh ini, Marni baik-baik saja kok.”
Kututup gagang telpon. Sedikit keheranan mampir di pikiranku. Tumben urusan TKW gini Santi langsung telpon sendiri ke aku. Biasanya dia selalu titip pesan lewat suamiku. Lalu aku jadi ingat kejadian yang hampir sama 9 bulan yang lalu. Yayuk, calon TKW yang kerja di rumahku, meminta ijin pulang kampung. Alasannya, ibunya kecelakaan, ditabrak sepeda motor. Sambil menangis-nangis, dia mohon untuk menengok barang sehari-dua hari ke Kediri. Tidak tega aku melihatnya. Apalagi aku sendiri yang menerima telpon dari keluarganya di Kediri. Akhirnya Yayuk pulang, kuberi sangu 100 ribu untuk perjalanan.
Sorenya, ketika suamiku pulang, kuberitahu dia bahwa Yayuk kuijinkan pulang 2 hari.
“Kamu itu lho, kok bisa ngasih ijin seenaknya, tanpa kasih tahu kantor Santi dulu.” tanya mas Bagas.
“Walah mas, wong cuma 2 hari aja. Toh Yayuk sudah ikut kita 3 bulan, dan dia baik-baik saja. Rajin dan sopan banget malahan. Apalagi dia sudah pernah kerja di Singapura. Kan dia sudah paham aturan PJTKI?” kucoba menjelaskan.
“Rasa empatimu yang berlebihan itu kadang-kadang dimanfaatkan orang.”
“Huh, sebel aku, sama orang kok gampang curiga,” grundelku dalam hati. Punya banyak teman di PJTKI nampaknya mulai melunturkan kepekaanya.
“Coba cek kamarnya, masih ada nggak baju-bajunya?” tanya mas Bagas lagi.
Tersentak aku lari ke kamar belakang. Kubuka lemari kecil di ujung kamar. Kosong. Tak satu helai bajupun tertinggal. Di atas sprei kasur, tergeletak salah satu novel koleksiku, Catatan Harian seorang Pramuwisma. Novel itu ditulis oleh mantan TKW di Hongkong. Lemas rasanya badanku.
Tidak, tidak mungkin Yayuk bohong padaku. Dia termasuk salah satu calon TKW yang banyak ngobrol tentang keinginan-keinginannya. Setelah pulang dari Malaysia nanti, dia ingin kawin, dan buka usaha. Makanya dia mau tabungkan gajinya setelah 7 bulan bekerja di sana.  
Dua hari kemudian, suamiku membawa kabar tentang Yayuk.
“Pegawai di kantor PJTKI-nya Santi sudah nelpon pak Ali, petugas lapangan di Kediri. Pak Ali cek ke rumah Yayuk di tetangga desa. Tahu nggak? Rumah Ibu Yayuk kosong. Yayuk dan Ibunya meninggalkan rumah 2 hari yang lalu. Tetangganya tidak ada yang tahu kemana mereka pergi,” cerita mas Bagas panjang lebar.
“Masalahnya, calling visa Yayuk dan rekom-nya sudah turun. Dia mestinya terbang 3 hari lagi. Tahu nggak berapa juta kerugian kantor PJTKI kalau ada TKW kabur kayak gini?” Belum lagi turunnya kepercayaan agent di Malaysia,” suara suamiku mulai sedikit naik.
                Aku terdiam, mencoba mencari jawaban. Mencari pembenaran atas keteledoranku. Mencoba memahami kemarahan suamiku. Mungkin dia sendiri habis didamprat temannya juga.
     Aku teringat novel-novel para TKW Hongkong yang ada di rak perpustakaan kecilku. Teringat wajah antusias Yayuk ketika kuceritakan tentang para TKW yang sukses menjadi penulis. Terbayang mata Yayuk yang cerdas saat menghabiskan waktu luangnya dengan membaca novel-novel TKW itu. Dia suka duduk selonjor di karpet, sambil menemani aku mengetik di depan laptop. Terbayang percakapan kami tentang Nirmala Bonat yang diberitakan di koran beberapa waktu yang lalu.
 
                                                                ***********

     Penantian Marni akhirnya terbayar sudah. Setelah 6 bulan ikut aku, lebih lama dibandingkan para calon TKW sebelumnya, akhirnya calling visa-nya turun. Dia pamit berangkat, minta doa restu agar semuanya lancar.
“Bu, matur nuwun sanget. Ibu sudah perlakukan saya dengan baik. Saya sudah dianggap keluarga sendiri. Mugi-mugi saya dapat majikan kados njenengan, bu.”
“Insha Allah, Mar.  Ati-ati ya. Ini kukasih mukena, buat shalat kamu selama di sana,” ujarku sambil memberikan bungkusan koran berisi mukena baru.
“Oh, nggih bu. Matur nuwun. Ning, ngapunten niki. Saya sudah dipeseni untuk tidak bawa mukena yang putih-putih gitu. Katanya, nanti bisa dimarahi majikan. Saya dah bawa sarung kok, bu.  Insha Allah saya tetap bisa cari cara untuk tetap shalat,” Marni menjelaskan.
Aku ternganga mendengar penjelasan Marni.
Geregetan dengan masalah ini, kucari nomor telpon kantor PJTKI. Santi sendiri yang mengangkat telpon.
“Edan, iki dik,” ujarku lewat telpon. Tolong dong dik Santi. Kan njenengan dan lama di PJTKI. Masak urusan shalat dipersulit. Apa gak bisa diomongkan dengan para agent di Malaysia.”
Iya, iya, aku ngerti. Ini masalah klasik, mbak. Aku sendiri juga resah. Tapi itu memang kalau majikannya non-Melayu, kok, mbak,” jawab Santi.
“Iya... kalau gitu ngirimnya TKW hanya ke majikan yang Melayu saja, dik. Kasihan kan. Masak njenengan tega nasib bangsane dewe dibiarkan sengsara. Kenapa juga nasib TKW non-formal di Malaysia tidak sebaik yang di Hongkong? Dik Santi pasti tahu kenapa bisa beda peraturannya,” tanyaku panjang lebar. Novel-novel TKW Hongkong nampaknya sudah mampu membuatkan sedikit lebih cerdas kali ini.
“Mbak, memangnya ini perusahaan sampeyan sendiri. Gak semudah itu urusannya. Banyak yang dikompromikan. Lha itu antrian TKW di penampungan itu kan ya cemas nunggu kapan berangkat. Masalah gini mestinya nggak usah terlalu dibesar-besarkan lah.” Suara Santi terdengar jengkel.  
Terdengar gagang telpon ditutup agak kasar di seberang sana. Gagang telpon masih kugenggam, kaget dengan jawaban Santi.

************
Lima bulan berselang. Aku tidak lagi mencari calon TKW untuk membantuku membereskan pekerjaan di rumah.  Sudah ada pembantu yang menetap dari Madura. Sejauh ini, semua pekerjaan momong si kecil dan membersihkan rumah berjalan dengan lancar.
Seusai Maghrib, aku dan suamiku ngobrol di teras depan. “Aku kemarin ketemu Santi. Dia cerita, kalau Marni lari dari majikannya. Sudah 2 bulan yang lalu. Sampai sekarang tak tahu dimana keberadaannya,” ujar mas Bagas membuka percakapan.
“Ooh,” cuma itu yang keluar dari mulutku. Membayangkan Marni berada di tengah hutan, menjauh dari kejaran polisi imigrasi Malaysia yang mencari para TKI ilegal. Atau bisa saja dia bersembunyi di perkampungan para TKI formal yang bekerja di perkebunan. Lari dari majikan sudah mengubah status Marni menjadi TKW ilegal. Paspornya pasti masih dipegang majikannya, atau barangkali agent-nya.
“Oh ya, dia juga titip salam ke kamu,” mas Bagas menambahkan. “Khusus titip info, kalau PJTKI-nya dia tidak lagi mengirim TKW non-formal ke Malaysia. Job-job dia tetap masih banyak. Dia bahkan kewalahan menangani permintaan TKI untuk perkebunan. Dia juga bilang kalau mau ajak aku ikut gabung ke PJTKI-nya. Boleh nggak?”
Kuraih koran hari ini yang belum selesai kubaca. Mataku tertumbuk pada satu baris berita. “Pemerintah Indonesia menghentikan pengiriman TKW non-formal sampai peraturan tentang hak-hak TKW non-formal disepakati.”
Aku menoleh ke suamiku. Dia masih menunggu jawabanku. Aku tersenyum lebar sambil menepuk bahunya. Hidup bersama selama delapan tahun lebih sudah cukup baginya untuk memaknai senyumku.

Surabaya, Mei 2011 

Cerpen ini dimuat di Antologi Cerpen Alumni Unesa, Ndoro, Saya Ingin Bicara (IKA Unesa Publishing, 2011)

1 comment:

Rie Rie said...

cerpen ini berdasarkan kisah nyata njenengan ya Bu? Menarik sekali :)