Sunday, March 11, 2012

MAINTAINING LIFELINE (1): A GLIMPSE AT MUSLIM COMMUNITY IN TEXAS


Di manapun kita berada, menurut saya sangat penting menjaga agar kita tetap ‘hidup.’ Maksud saya adalah, kita selalu terhubung dengan akar kita. Ibaratnya pohon yang tetap bisa tegak berdiri bila akarnya tertancap kuat di dalam tanah.

Bagi orang-orang yang kebetulan tinggal jauh dari tanah air seperti saya sekarang ini, lifeline berarti bahwa saya perlu tahu dan kenal dengan orang-orang yang memiliki banyak kesamaan dengan saya. Apakah itu sesama orang Indonesia, sesama muslim, atau sesama mahasiswa Internasional. Setidak-tidaknya, mereka juga menjalani hidup yang hampir sama dengan saya. Dengan begitu, kita bisa saling membantu dan berbagi rasa.

Saat saya studi di San Marcos, Texas tahun 2002-2004 yang lalu, praktis tidak ada orang Indonesia yang saya temui di kampus saya di Texas State University-San Marcos. Dalam kurun waktu 2 tahun, hanya ada 2 mahasiswa undergraduate. Masing-masing hanya saya ketemu 1 kali saja. Mungkin lain ceritanya kalau saya tinggal di Austin, ibukota Texas. Anak PPIA lebih banyak yang sekolah di kota. Tapi Austin berjarak 30 mil atau 50 km dari San Marcos. San Marcos sendiri terletak di tengah antara Austin dan San Antonio. Transportasi ke kedua kota besar ini adalah pakai bus Greyhound atau nyetir mobil sendiri. Jadilah saya tidak pernah berniat bepergian sendiri kalau tidak betul-betul penting. Meski begitu, saya cukup sering ke Austin. Ada tiga teman muslimah yang menjadi teman dekat saya. Zeenat, teman sekamar saya di semester 1, dari Bangladesh. Kakaknya tinggal di Austin bersama keluarga, dan Zeenat pulang ke Austin tiap akhir pekan. Jadi sesekali saya ikut juga berakhir pekan ke sana. Ada lagi Shazia, teman dari Pakistan. Dia tinggal di Round Rock, kota kecil di pinggiran Austin, bersama keluarga kakaknya. Tiap hari dia nyetir mobil ke San Marcos. Bila kemalaman, dia suka menginap di apartemen saya atau tempat Zahida, teman dari India. Bila kami bertiga adalah mahasiswa master’s, Zahida bekerja di kampus kami sebagai research assistant. Bidang kami amat berbeda. Saya ambil Literature, Zeenat anak Engineering, Shazia di Biology, dan Zahida di Chemistry. Tapi kami disatukan oleh keyakinan, sehingga cukup banyak waktu yang kami habiskan bersama. Terutama saat Ramadhan tiba, kami bergantian berbuka puasa di tempatku dan Zeenat atau di Zahida. Kami juga tadarus bersama. Di akhir pekan, saya ikut salah satu dari mereka ke masjid Ibrahim di Austin untuk Iftar (buka puasa bersama) dan shalat tarawih. Saya hanya bisa lakukan ini di akhir pekan ketika tidak ada kuliah. Selain itu, jarak yang jauh membuat kami perlu berangkat pukul 3-4 sore, untuk kemudian shalat Maghrib pukul 6. Shalat Isya dan Tarawih sendiri baru akan dimulai pukul sekitar pukul 7. Dengan bacaan 1 juz tiap hari, saya biasanya baru akan sampai apartemen pukul 11-12 malam.
Meski begitu, kegiatan seperti ini saya nikmati betul. Kapan lagi saya bisa merasakan beribadah di negeri orang, dengan komunitas muslim dari berbagai negara. Masjid Ibrahim termasuk masjid salafi, sehingga banyak hal baru yang kemudian saya pelajari dari teman-teman muslimah di sana. Saya ingat bagaimana cara berpakaian saya sempat terpengaruh oleh gaya Pakistan/India selama beberapa lama. Di masjid ini saya mengetahui bagaimana tempat shalat laki-laki dan perempuan dipisah di ruang yang berbeda. Kami para muslimah mendengarkan ceramah atau bacaan shalat dari sound system. Di sini pula saya mengenal muslimah Amerika yang bercadar, para muslimah dari Arab yang subhanallah cantiknya, juga pernah menyaksikan seorang gadis Amerika menjadi mualaf. Di sini pula saya mengetahui cara bergaul laki-laki dan perempuan yang betul-betul menjaga pandangan mata antara satu sama lain. 

No comments: