Di manapun kita berada, menurut saya sangat penting menjaga
agar kita tetap ‘hidup.’ Maksud saya adalah, kita selalu terhubung dengan akar
kita. Ibaratnya pohon yang tetap bisa tegak berdiri bila akarnya tertancap kuat
di dalam tanah.
Bagi orang-orang yang kebetulan tinggal jauh dari tanah air
seperti saya sekarang ini, lifeline berarti bahwa saya perlu tahu dan kenal
dengan orang-orang yang memiliki banyak kesamaan dengan saya. Apakah itu sesama
orang Indonesia, sesama muslim, atau sesama mahasiswa Internasional.
Setidak-tidaknya, mereka juga menjalani hidup yang hampir sama dengan saya.
Dengan begitu, kita bisa saling membantu dan berbagi rasa.
Saat saya studi di San Marcos, Texas tahun 2002-2004 yang
lalu, praktis tidak ada orang Indonesia yang saya temui di kampus saya di Texas
State University-San Marcos. Dalam kurun waktu 2 tahun, hanya ada 2 mahasiswa
undergraduate. Masing-masing hanya saya ketemu 1 kali saja. Mungkin lain
ceritanya kalau saya tinggal di Austin, ibukota Texas. Anak PPIA lebih banyak
yang sekolah di kota. Tapi Austin berjarak 30 mil atau 50 km dari San Marcos.
San Marcos sendiri terletak di tengah antara Austin dan San Antonio.
Transportasi ke kedua kota besar ini adalah pakai bus Greyhound atau nyetir mobil
sendiri. Jadilah saya tidak pernah berniat bepergian sendiri kalau tidak
betul-betul penting. Meski begitu, saya cukup sering ke Austin. Ada tiga teman
muslimah yang menjadi teman dekat saya. Zeenat, teman sekamar saya di semester
1, dari Bangladesh. Kakaknya tinggal di Austin bersama keluarga, dan Zeenat
pulang ke Austin tiap akhir pekan. Jadi sesekali saya ikut juga berakhir pekan
ke sana. Ada lagi Shazia, teman dari Pakistan. Dia tinggal di Round Rock, kota
kecil di pinggiran Austin, bersama keluarga kakaknya. Tiap hari dia nyetir
mobil ke San Marcos. Bila kemalaman, dia suka menginap di apartemen saya atau
tempat Zahida, teman dari India. Bila kami bertiga adalah mahasiswa master’s,
Zahida bekerja di kampus kami sebagai research assistant. Bidang kami amat
berbeda. Saya ambil Literature, Zeenat anak Engineering, Shazia di Biology, dan
Zahida di Chemistry. Tapi kami disatukan oleh keyakinan, sehingga cukup banyak
waktu yang kami habiskan bersama. Terutama saat Ramadhan tiba, kami bergantian
berbuka puasa di tempatku dan Zeenat atau di Zahida. Kami juga tadarus bersama.
Di akhir pekan, saya ikut salah satu dari mereka ke masjid Ibrahim di Austin
untuk Iftar (buka puasa bersama) dan shalat tarawih. Saya hanya bisa lakukan
ini di akhir pekan ketika tidak ada kuliah. Selain itu, jarak yang jauh membuat
kami perlu berangkat pukul 3-4 sore, untuk kemudian shalat Maghrib pukul 6.
Shalat Isya dan Tarawih sendiri baru akan dimulai pukul sekitar pukul 7. Dengan
bacaan 1 juz tiap hari, saya biasanya baru akan sampai apartemen pukul 11-12
malam.
Meski begitu, kegiatan seperti ini saya nikmati betul. Kapan
lagi saya bisa merasakan beribadah di negeri orang, dengan komunitas muslim
dari berbagai negara. Masjid Ibrahim termasuk masjid salafi, sehingga banyak
hal baru yang kemudian saya pelajari dari teman-teman muslimah di sana. Saya
ingat bagaimana cara berpakaian saya sempat terpengaruh oleh gaya
Pakistan/India selama beberapa lama. Di masjid ini saya mengetahui bagaimana
tempat shalat laki-laki dan perempuan dipisah di ruang yang berbeda. Kami para
muslimah mendengarkan ceramah atau bacaan shalat dari sound system. Di sini
pula saya mengenal muslimah Amerika yang bercadar, para muslimah dari Arab yang
subhanallah cantiknya, juga pernah menyaksikan seorang gadis Amerika menjadi
mualaf. Di sini pula saya mengetahui cara bergaul laki-laki dan perempuan yang
betul-betul menjaga pandangan mata antara satu sama lain.
No comments:
Post a Comment