Hidup tanpa teman satupun dari Indonesia membuat lidah saya
hanya mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Indonesia 2-3 hari sekali. Itu jadwal
rutin telpon-telponan dengan suami di tanah air. Dalam waktu 3 bulan saja,
beberapa kata mulai susah saya temukan padanannya dalam bahasa Indonesia.
Mungkin terasa arogan, tapi begitulah adanya. Mau cerita baru masak terong ke
suami, susah sekali mengingat padanan ‘eggplant’ dalam bahasa Indonesia. Mau
bilang jendela, yang keluar adalah ‘window.’ Saya sempat resah, sedikit
khawatir mulai tercerabut dari akar saya.
Akar lain yang membuat saya tetap bersemangat akhirnya saya
temukan di dunia maya. Dari beberapa teman sesama Fulbrighters yang menyebar di
berbagai negara bagian, saya mengenal komunitas mahasiswa Indonesia muslim di
Amerika. Saya kemudian bergabung di milis IMSA (Indonesian Muslim Students’ Association
in America) dan IMSA Sisters, untuk para muslimahnya. Lalu lintas IMSA yang
amat ramai membuat saya tidak pernah melewatkan diskusi, mulai yang serius
tentang ibadah, kondisi politik ekonomi di tanah air, sampai urusan resep
masakan yang baru. Yang terakhir ini biasanya lebih ramai di milis IMSA
Sisters. Akhirnya urusan ibadah bersama
bisa jalan secara aktual dengan komunitas muslim di masjid Ibrahim, dan secara
virtual di milis IMSA.
Meski demikian, kesempatan bersemuka dengan sesama muslim Indonesia
selalu saya rindukan. Tidak mudah memang. Kami terpisah jarak yang tidak
main-main. Perlu ada alasan kuat untuk bertemu, yang tidak sekedar dolan dan
menghamburkan dolar. Maka ketika datang berita akan diadakannya Muktamar IMSA
di Columbia, negara bagian Missouri, langsung saja saya mendaftar. Muktamar
IMSA selalu diadakan tiap akhir tahun, tepat pada hari Natal. Itu saat
penginapan di hotel murah, karena mayoritas masyarakat Amerika ingin berkumpul
dengan keluarganya. Maka akan mudah bagi panitia untuk menyewa banyak kamar
untuk peserta muktamar, dan ruang pertemuan untuk sesi-sesi yang dilaksanakan. Selama
2 tahun di Amerika, saya sempatkan betul mengikuti Muktamar IMSA. Tahun 2002 di
Columbia, Missouri, dan tahun 2003 di Atlanta, Georgia.
Everything happens for
a reason. Itu yang selalu saya yakini, meski tidak selalu saya sadari. Saat
saya hadir di Muktamar IMSA pada tahun 2002, saya terbang bersama Zahida ke
Kansas. Zahida kebetulan juga ada rencana silaturahim ke teman-temannya di
sana. Rencananya dari Kansas, saya akan naik bus Greyhound ke Columbia,
Missouri. Kedua negara bagian ini memang bertetangga.. Kami menginap di
apartemen brother Ahmad, mahasiswa PhD di dari Arab Saudi. Dan siapa menduga bahwa istri mas Ahmad ini
ternyata dari Ponorogo. Saat saya dikenalkan dengan mbak Nur, istri mas Ahmad,
sontak kami berdua berpelukan, serasa bertemu dengan saudara yang lama hilang.
Tanpa harus bertanya, wajah kami sudah nyata Jawa Timurnya. Kejutan yang lain
adalah, ternyata mas Ahmad juga dosen bahasa Inggris di Arab Saudi. Jadilah
kami berdua sering ngobrol tentang dunia pembelajaran Bahasa Inggris. Dengan
mbak Nur, saya serasa menemukan outlet untuk ngobrol cara Jawa. Saat itu saya
sempat berpikir. Mbak Nur dan mas Ahmad ketemu di mana ya? Saya hanya sempat
menduga dari cerita-cerita mbak Nur. Kemungkinan besar dia dulu menjadi TKW di
keluarga mas Ahmad. Akhirnya malah disunting oleh anak majikannya sendiri, dan
diboyong ke Amerika bersama 2 anak mereka yang lucu-lucu. Wajah Indonesia
banget, tapi ngomongnya campur-campur Inggris dan Arab.
Kembali ke urusan muktamar. Perjalanan naik bus selama 4 jam
dari Lawrence, Kansas ke Columbia, Missouri saya nikmati betul. Di situlah
pertama kali saya melihat salju yang menutupi bukit-bukit. Putih sepanjang
jalan. Persis seperti gambar di postcards. Jujur, salah satu alasan saya datang
ke Missouri adalah untuk melihat dan memegang salju dengan kepalan saya
sendiri. Di Texas, musim dingin hanya akan menggigilkan raga, namun jangan
bermimpi salju akan tiba.
Ketika saya sampai di hotel tempat muktamar berlangsung,
saya merasa ‘kembali’ ke tanah air. Wajah-wajah yang sangat Indonesia saling
menyapa dan memberi salam. Betul-betul menghangatkan suasana yang amat dingin
di luar sana. Semua sesi yang dilaksanakan selama 2 haripun serasa oase di
padang pasir. Meski kami jauh dari tanah air, kehausan akan siraman rohani
betul-betul terpuaskan melalui ceramah-ceramah yang disampaikan oleh para dai.
Di antaranya adalah Ustadz Syamsi Ali, imam masjid Al-Hikmah New York yang
masih muda dan berasal dari Indonesia, juga ustadz Muhammad Joban, seorang
muslim chaplain dari Indonesia, yang bertugas di Olympia, negara bagian
Washington. Sudah lewat 9 tahun berlalu, namun saya masih ingat suara merdu
menusuk kalbu ustadz Syamsi saat mengimami shalat malam berjamaah. Suara isak
tangis terdengar di sekitar saya. Saya juga masih ingat ceramah Ustadz Joban (alm)
tentang siksa kubur. Membuat saya ingin selalu menjaga langkah saya dalam
hidup.
Dari komunitas IMSA yang saya kenal di muktamar inilah,
akhirnya kehidupan saya di semester-semester berikutnya lebih berwarna. Saya mengikuti
program tahsin Al-Qur’an secara teleconference. Gurunya di negara bagian A, dan
murid-muridnya menyebar di negara bagian lain. Saya juga jadi akrab dengan mbak Cynthia, teman
dari LIPI yang menjadi postdoctoral fellow di University of Missouri, Rolla. Hampir
tiap malam mbak Cynthia menelpon saya selama berjam-jam. Kami ngobrol dan
curhat tentang banyak hal sampai kuping panas dan mata gak bisa melek lagi. Pertemanan
ini membawa saya kembali bertemu mbak Cynthia saat muktamar IMSA 2003.
Saya memang niat banget kumpul-kumpul lagi, dan untuk itu
giat menabung untuk biaya perjalanan yang tidak murah. Mbak Cynthia mengajak
saya untuk melakukan road trip dari Missouri ke Georgia. Muktamar IMSA 2003 ini
diselenggarakan di satu kota kecil dekat Atlanta, negara bagian Georgia. Jadi
saya perlu terbang dulu dari Austin, Texas ke St. Louis, Missouri. Untuk
kemudian melanjutkan perjalanan lewat darat, melewati 4 negara bagian. Tentu
saja bukan saya yang menyetir. Cerita perjalanannya akan saya tulis kapan-kapan
di lain waktu.
Seperti muktamar sebelumnya, peserta datang dari berbagai
penjuru Amerika Serikat. Rata-rata memang diniati melakukan perjalanan darat.
Sekalian liburan akhir tahun buat keluarga. Acara siraman rohani dari ustadz
Syamsi Ali memang yang paling ditunggu. Namun ada beberapa hal yang membekas di
benak saya. Saya ingat di muktamar ini saya pertama kali kenal Anies Baswedan.
Saat itu dia masih berstatus mahasiswa PhD. Namun kharisma kepemimpinannya sudah
terpancar dari wajahnya. Tak heran ketika selesai studi, karir dia langsung
meroket di tanah air. Wajahnya sering muncul di layar TV, dan tidak lama
kemudian menjadi Rektor Universitas Paramadina. Saya juga ingat ketika saya
didapuk jadi sutradara dan narrator oleh teman-teman, saat kami tampil di
panggung dan main drama komedi. Saya sudah lupa judulnya, tapi teman-teman
kemudian mengingat saya sebagai tokoh di balik layar. Dan yang paling saya
ingat sebenarnya adalah ketika cerpen saya diumumkan sebagai cerpen terfavorit
dalam lomba menulis IMSA Sisters. Alhamdulillah, cerpen hasil menulis 3 jam menjelang
deadline terpilih juga. Cek 150 dolar akhirnya saya kantongi. Lumayan untuk
menambah uang saku selama perjalanan.
Hidup di luar negeri dengan status sendirian tanpa ditemani
keluarga memang ada plus minusnya. Rasa kangen lebih sering menghimpit. Apalagi
saat itu teknologi belum secanggih sekarang. Email dan chatting lebih banyak
diandalkan. Hikmahnya, saya punya lebih banyak waktu untuk konsentrasi pada
studi dan juga memanfaatkan waktu yang saya punya untuk betul-betul mencari
pengalaman budaya. Saya kira, salah satu alasan kenapa saya bisa tetap waras
sampai pulang ke tanah air adalah karena saya punya lifeline. Berada di
komunitas muslim membuat saya tetap menginjak tanah. Saya yakin akan selalu ada
yang menjadi sandaran ketika saya sedang mengalami masalah. Saya tidak perlu
merasa sendiri. Namun kalau diminta
sekolah lagi di luar negeri tanpa keluarga, saya akan menjawab: Not again!
Itulah sebabnya ketika pada tahun 2011 saya memperoleh kesempatan studi S3 di
Australia, saya memutuskan untuk mengajak serta anak-anak saya tinggal dan
belajar di Melbourne sekarang. Dengan segala konsekuensinya. Saya tahu pasti,
kami akan membutuhkan lifeline yang berbeda dengan apa yang sudah pernah saya
rasakan dulu di Amerika.
No comments:
Post a Comment