Sunday, March 11, 2012

MAINTAINING LIFELINE (2): A GLIMPSE AT INDONESIAN MUSLIM COMMUNITY IN NORTH AMERICA


Hidup tanpa teman satupun dari Indonesia membuat lidah saya hanya mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Indonesia 2-3 hari sekali. Itu jadwal rutin telpon-telponan dengan suami di tanah air. Dalam waktu 3 bulan saja, beberapa kata mulai susah saya temukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Mungkin terasa arogan, tapi begitulah adanya. Mau cerita baru masak terong ke suami, susah sekali mengingat padanan ‘eggplant’ dalam bahasa Indonesia. Mau bilang jendela, yang keluar adalah ‘window.’ Saya sempat resah, sedikit khawatir mulai tercerabut dari akar saya.

Akar lain yang membuat saya tetap bersemangat akhirnya saya temukan di dunia maya. Dari beberapa teman sesama Fulbrighters yang menyebar di berbagai negara bagian, saya mengenal komunitas mahasiswa Indonesia muslim di Amerika. Saya kemudian bergabung di milis IMSA (Indonesian Muslim Students’ Association in America) dan IMSA Sisters, untuk para muslimahnya. Lalu lintas IMSA yang amat ramai membuat saya tidak pernah melewatkan diskusi, mulai yang serius tentang ibadah, kondisi politik ekonomi di tanah air, sampai urusan resep masakan yang baru. Yang terakhir ini biasanya lebih ramai di milis IMSA Sisters.  Akhirnya urusan ibadah bersama bisa jalan secara aktual dengan komunitas muslim di masjid Ibrahim, dan secara virtual di milis IMSA.

Meski demikian, kesempatan bersemuka dengan sesama muslim Indonesia selalu saya rindukan. Tidak mudah memang. Kami terpisah jarak yang tidak main-main. Perlu ada alasan kuat untuk bertemu, yang tidak sekedar dolan dan menghamburkan dolar. Maka ketika datang berita akan diadakannya Muktamar IMSA di Columbia, negara bagian Missouri, langsung saja saya mendaftar. Muktamar IMSA selalu diadakan tiap akhir tahun, tepat pada hari Natal. Itu saat penginapan di hotel murah, karena mayoritas masyarakat Amerika ingin berkumpul dengan keluarganya. Maka akan mudah bagi panitia untuk menyewa banyak kamar untuk peserta muktamar, dan ruang pertemuan untuk sesi-sesi yang dilaksanakan. Selama 2 tahun di Amerika, saya sempatkan betul mengikuti Muktamar IMSA. Tahun 2002 di Columbia, Missouri, dan tahun 2003 di Atlanta, Georgia.

Everything happens for a reason. Itu yang selalu saya yakini, meski tidak selalu saya sadari. Saat saya hadir di Muktamar IMSA pada tahun 2002, saya terbang bersama Zahida ke Kansas. Zahida kebetulan juga ada rencana silaturahim ke teman-temannya di sana. Rencananya dari Kansas, saya akan naik bus Greyhound ke Columbia, Missouri. Kedua negara bagian ini memang bertetangga.. Kami menginap di apartemen brother Ahmad, mahasiswa PhD di dari Arab Saudi.  Dan siapa menduga bahwa istri mas Ahmad ini ternyata dari Ponorogo. Saat saya dikenalkan dengan mbak Nur, istri mas Ahmad, sontak kami berdua berpelukan, serasa bertemu dengan saudara yang lama hilang. Tanpa harus bertanya, wajah kami sudah nyata Jawa Timurnya. Kejutan yang lain adalah, ternyata mas Ahmad juga dosen bahasa Inggris di Arab Saudi. Jadilah kami berdua sering ngobrol tentang dunia pembelajaran Bahasa Inggris. Dengan mbak Nur, saya serasa menemukan outlet untuk ngobrol cara Jawa. Saat itu saya sempat berpikir. Mbak Nur dan mas Ahmad ketemu di mana ya? Saya hanya sempat menduga dari cerita-cerita mbak Nur. Kemungkinan besar dia dulu menjadi TKW di keluarga mas Ahmad. Akhirnya malah disunting oleh anak majikannya sendiri, dan diboyong ke Amerika bersama 2 anak mereka yang lucu-lucu. Wajah Indonesia banget, tapi ngomongnya campur-campur Inggris dan Arab.

Kembali ke urusan muktamar. Perjalanan naik bus selama 4 jam dari Lawrence, Kansas ke Columbia, Missouri saya nikmati betul. Di situlah pertama kali saya melihat salju yang menutupi bukit-bukit. Putih sepanjang jalan. Persis seperti gambar di postcards. Jujur, salah satu alasan saya datang ke Missouri adalah untuk melihat dan memegang salju dengan kepalan saya sendiri. Di Texas, musim dingin hanya akan menggigilkan raga, namun jangan bermimpi salju akan tiba.

Ketika saya sampai di hotel tempat muktamar berlangsung, saya merasa ‘kembali’ ke tanah air. Wajah-wajah yang sangat Indonesia saling menyapa dan memberi salam. Betul-betul menghangatkan suasana yang amat dingin di luar sana. Semua sesi yang dilaksanakan selama 2 haripun serasa oase di padang pasir. Meski kami jauh dari tanah air, kehausan akan siraman rohani betul-betul terpuaskan melalui ceramah-ceramah yang disampaikan oleh para dai. Di antaranya adalah Ustadz Syamsi Ali, imam masjid Al-Hikmah New York yang masih muda dan berasal dari Indonesia, juga ustadz Muhammad Joban, seorang muslim chaplain dari Indonesia, yang bertugas di Olympia, negara bagian Washington. Sudah lewat 9 tahun berlalu, namun saya masih ingat suara merdu menusuk kalbu ustadz Syamsi saat mengimami shalat malam berjamaah. Suara isak tangis terdengar di sekitar saya. Saya juga masih ingat ceramah Ustadz Joban (alm) tentang siksa kubur. Membuat saya ingin selalu menjaga langkah saya dalam hidup.

Dari komunitas IMSA yang saya kenal di muktamar inilah, akhirnya kehidupan saya di semester-semester berikutnya lebih berwarna. Saya mengikuti program tahsin Al-Qur’an secara teleconference. Gurunya di negara bagian A, dan murid-muridnya menyebar di negara bagian lain.  Saya juga jadi akrab dengan mbak Cynthia, teman dari LIPI yang menjadi postdoctoral fellow di University of Missouri, Rolla. Hampir tiap malam mbak Cynthia menelpon saya selama berjam-jam. Kami ngobrol dan curhat tentang banyak hal sampai kuping panas dan mata gak bisa melek lagi. Pertemanan ini membawa saya kembali bertemu mbak Cynthia saat muktamar IMSA 2003.

Saya memang niat banget kumpul-kumpul lagi, dan untuk itu giat menabung untuk biaya perjalanan yang tidak murah. Mbak Cynthia mengajak saya untuk melakukan road trip dari Missouri ke Georgia. Muktamar IMSA 2003 ini diselenggarakan di satu kota kecil dekat Atlanta, negara bagian Georgia. Jadi saya perlu terbang dulu dari Austin, Texas ke St. Louis, Missouri. Untuk kemudian melanjutkan perjalanan lewat darat, melewati 4 negara bagian. Tentu saja bukan saya yang menyetir. Cerita perjalanannya akan saya tulis kapan-kapan di lain waktu.

Seperti muktamar sebelumnya, peserta datang dari berbagai penjuru Amerika Serikat. Rata-rata memang diniati melakukan perjalanan darat. Sekalian liburan akhir tahun buat keluarga. Acara siraman rohani dari ustadz Syamsi Ali memang yang paling ditunggu. Namun ada beberapa hal yang membekas di benak saya. Saya ingat di muktamar ini saya pertama kali kenal Anies Baswedan. Saat itu dia masih berstatus mahasiswa PhD. Namun kharisma kepemimpinannya sudah terpancar dari wajahnya. Tak heran ketika selesai studi, karir dia langsung meroket di tanah air. Wajahnya sering muncul di layar TV, dan tidak lama kemudian menjadi Rektor Universitas Paramadina. Saya juga ingat ketika saya didapuk jadi sutradara dan narrator oleh teman-teman, saat kami tampil di panggung dan main drama komedi. Saya sudah lupa judulnya, tapi teman-teman kemudian mengingat saya sebagai tokoh di balik layar. Dan yang paling saya ingat sebenarnya adalah ketika cerpen saya diumumkan sebagai cerpen terfavorit dalam lomba menulis IMSA Sisters. Alhamdulillah, cerpen hasil menulis 3 jam menjelang deadline terpilih juga. Cek 150 dolar akhirnya saya kantongi. Lumayan untuk menambah uang saku selama perjalanan.

Hidup di luar negeri dengan status sendirian tanpa ditemani keluarga memang ada plus minusnya. Rasa kangen lebih sering menghimpit. Apalagi saat itu teknologi belum secanggih sekarang. Email dan chatting lebih banyak diandalkan. Hikmahnya, saya punya lebih banyak waktu untuk konsentrasi pada studi dan juga memanfaatkan waktu yang saya punya untuk betul-betul mencari pengalaman budaya. Saya kira, salah satu alasan kenapa saya bisa tetap waras sampai pulang ke tanah air adalah karena saya punya lifeline. Berada di komunitas muslim membuat saya tetap menginjak tanah. Saya yakin akan selalu ada yang menjadi sandaran ketika saya sedang mengalami masalah. Saya tidak perlu merasa sendiri.  Namun kalau diminta sekolah lagi di luar negeri tanpa keluarga, saya akan menjawab: Not again! Itulah sebabnya ketika pada tahun 2011 saya memperoleh kesempatan studi S3 di Australia, saya memutuskan untuk mengajak serta anak-anak saya tinggal dan belajar di Melbourne sekarang. Dengan segala konsekuensinya. Saya tahu pasti, kami akan membutuhkan lifeline yang berbeda dengan apa yang sudah pernah saya rasakan dulu di Amerika. 

No comments: