Membaca pengalaman `baru' mbak Sirikit Syah tentang suasana intimidatif forum ilmiah akademik di lingkungan perguruan tinggi, saya jadi ingat pengalaman saya saat ikut Masterclass hari Jum'at yang lalu. Bermula dari kebuntuan saya dalam meneruskan draft proposal, supervisor menyarankan untuk ikut Masterclass series dengan isu `Reception and Readerships.' Saya langsung sign up, karena topic ini memang
menjadi bagian penelitian saya. Dalam bayangan saya, masterclass ini adalah semacam seminar atau kuliah umum, yang pesertanya mahasiswa S2/S3 di sekitar Melbourne area. Masterclass ini sendiri diadakan oleh Media & Communication Program di Monash University. Meski begitu, kuliah diadakan di The Wheeler Centre di pusat kota Melbourne.
Saya masuk ke gang kecil di Little Lonsdale Street, di sisi kiri belakang Victoria State Library, mencari-cari di mana letak The Wheeler Centre. Begitu saya mendapati gedung berarsitektur Victorian ini, saya tercenung dengan berbagai tulisan dan poster tentang event-event yang diselenggarakan institusi ini. Atmosfer dunia menulis dan sastra sangat terasa di sepanjang lorong. The Wheeler Centre. Books. Writing. Ideas. Pantas saja Unesco memberi gelar Melbourne sebagai the city of literature. Komitmen pemerintah kota terhadap perkembangan dunia literasi nampak dari penuhnya kalender resensi buku, diskusi film dan media, dan berbagai kegiatan tentang literasi. (www.wheelercentre.com).
Di ujung tangga, seorang gadis cantik dengan busana yang fashionable menyapa. "Hi, are you here for the masterclass.? I'm Jinna. Let's go upstairs." Saya dan Shu Min, teman satu jurusan yang berasal dari Singapore beranjak ke ruang atas mengikuti dia. Baru saya tahu kemudian bahwa gadis modis itu adalah Dr. Jinna Tay, ketua panitia, yang juga dosen di Media & Communication Program di Monash. Satu persatu peserta datang. Ruang yang digunakan ternyata kecil. Kursi ditata saling berhadapan. Saya hitung, kursi yang disediakan tidak lebih dari 20 buah. Padahal kuliahnya mulai pukul 9 pagi sampai 4 sore. Wah, ini kayaknya bukan kuliah umum deh!
Begitulah, ternyata forum-forum akademik yang selama ini sempat saya ikuti lebih terasa seperti diskusi daripada kuliah umum yang cenderung one-way interaction. Tidak peduli pembicaranya professor ulung, jumlah peserta tidak akan mempengaruhi kualitas diskursi akademik. Di forum yang satu ini, pembicaranya adalah Prof. Sue Turnbull dari Media and Communications, The University of Wollongong. Sosok akademisi yang cukup terkenal sebagai `celebrity' di radio dan TV.' Beliau acapkali berbicara sebagai komentator media. Minat penelitiannya di bidang audience research, dan juga sedang mendalami representasi kriminalitas di media, termasuk di antaranya crime fiction. Dengan reputasi seperti ini, berbicara di depan `hanya' 18 orang, yang 5 di antaranya adalah panitia dari Monash (semuanya doctor atau Associate Professor), semangat berbagi yang ditunjukkan Prof. Turnbull terasa mengagumkan. Saya tidak tahu apakah suasana yang sama akan ditemukan juga bila seorang professor terkenal diundang berbicara, dan pesertanya ternyata hanya kelas kecil.
Dengan durasi kelas yang panjang itu, tidak mengherankan bila memang panitia dan Prof. Turnbull menginginkan partisipasi aktif peserta. Ini satu hal yang saya kagumi juga. Baik peserta yang sudah professor maupun yang baru merangkak di tangga studi S3 diperlakukan sama. Kami semua diminta menyampaikan minat penelitian, dan bagaimana kaitannya dengan reception studies dan audience research. Ada mahasiswa S2 dari RMIT yang meneliti product design and reception of IKEA. IKEA adalah produk furniture gaya Scandinavia yang sudah terkenal di seluruh penjuru dunia. Yang menarik dari penelitian si Melissa dari Colombia itu, ternyata ada persepsi berbeda antara consumer di negaranya dengan di Australia. Bagi orang Kolombia, IKEA adalah prestige. Simbol modernitas dan status sosial. Bagi orang Australia, IKEA adalah jaminan mutu barang bagus dengan harga terjangkau. Shu Min meneliti reception of sexual minorities in Japanese mainstream media and subculture. Saya sendiri akan menengok berbagai sisi budaya yang bisa terkuak dari karya-karya buruh migran, termasuk di antaranya, bagaimana `sastra Buruh Migran' diresepsi oleh masyarakat pembaca di Indonesia.
Dengan berbagai topik dan model penelitian yang bergulir dalam diskusi, Prof. Turnbull ikut lebur dalam antusiasme diskusi. Baik saat sesi kelompok maupun panel. Peserta yang lebih senior juga memberi masukan bagi peserta yang masih `krucuk' seperti saya. Bahkan saat kelas berakhir, Prof. Turnbull menawarkan diri untuk menjadi referee bagi siapapun yang hadir yang berminat mengirimkan artikel ilmiah di jurnal yang dia review. Saya membatin, beginilah seharusnya seorang akademisi membagikan ilmunya. Yang lebih pinter dan berpengalaman mencoba menunduk dan berjongkok agar bisa sejajar dengan mereka yang butuh dibimbing.
Mengingat kembali suasana akademik di institusi pendidikan di Indonesia, sudah bukan jamannya lagi forum ilmiah diisi dengan pertanyaan yang maunya kritis tapi sebenarnya membantai. Meski saya pribadi selalu berupaya berbicara semenarik mungkin agar menimbulkan banyak pertanyaan, banyak juga teman yang sudah keder dengan intimidasi tembok ruang seminar. Mungkin di mata mereka, forum ilmiah
bisa membuat mereka tersudut atau salah menjawab, dan barangkali si penanya akan 'puas' sudah bisa mengintimidasi.
Sudah saatnya diskusi akademik bernafaskan niat untuk saling berbagi. Dengan niat begitu, even the hardest comments can be successfully tackled. Itu artinya, si pembicara tidak hanya datang demi selembar sertifikat sebagai presenter. Kalau yang model begini nih, biasanya malah bisik-bisik dulu, "aja melu takon lho ya."
1 comment:
Saya sering punya pemikiran yang sama, Bu Tiwi. Gimana cara membangun budaya akademis agar tdk terlalu tebal tembok sekat 'professor' dan 'mahasiswa'.. ;)
Post a Comment