Wednesday, May 02, 2012

BIARKAN ANAK-ANAK BERMAIN, AGAR MEREKA BISA MEMBACA DAN MENULIS


Hari ini saya menerima kabar gembira. Teman-teman saya sesama alumni Unesa meluncurkan kegiatan Jatim Menulis, tepat pada tanggal 2 Mei 2012. Pemilihan hari Pendidikan Nasional sebagai hari launching kegiatan Indonesia Menulis juga momentum yang pas. Saya bisa merasakan semangat dan gairah teman-teman dalam menumbuhkan kegiatan membaca dan menulis sebagai bagian yang amat penting dalam pendidikan anak-anak bangsa.

Dalam beberapa bulan terakhir ini, saya sendiri sedang menggeluti banyak referensi yang terkait dengan gerakan literasi untuk persiapan penelitian saya. Beberapa buku yang sedang saya baca antara lain adalah Creative Writing Handbook, Using Blogs to Enhance Literacy, dan Popular Culture and Representations of Literacy. Semua referensi ini sangat memperkaya pemahaman saya tentang bagaimana proses kreatif perlu dan bisa ditumbuh-kembangkan pada siapa saja, tanpa harus menunggu ada bakat. 

Satu pertanyaan yang menggelitik saya adalah bagaimana menumbuhkan cinta baca dan menulis sejak dini.  Kalau kita lihat di sekitar kita, kursus calistung (baca tulis hitung) semakin menjamur di kota-kota besar. Target pasarnya adalah anak-anak usia 3 tahun, atau tepatnya, orang-tua yang menginginkan anak-anaknya bisa segera membaca, menulis, dan berhitung sedini mungkin. Kalau bisa, saat masuk SD, anak-anak sudah mampu calistung. 

Bila mengikuti definisi kemampuan calistung di atas, Adzra, anak saya yang berumur 4 tahun, belum bisa membaca dan menulis. Sekarang ini Adzra menghabiskan hari-harinya di Bindi Child Care and Kindergarten di Brunswick, daerah pinggiran Melbourne. Di sini, selama selama 6-7 jam 4 hari dalam seminggu, kegiatannya praktis lebih banyak ‘main.’ Saya jadi penasaran bagaimana proses calistung dikenalkan kepada anak-anak. Suatu saat, ketika menunggu di reading corner di ruang bermain, saya menemukan jawabannya.

 

Yang dimaksud Reading Centre ini sebenarnya hanyalah salah satu ujung ruang bermain seluas 1 X 1 meter persegi. Ada rak buku kecil dan beberapa buku. Di atas rak yang lain ada beberapa kardus berisi buku. 4 kursi sofa untuk ukuran anak-anak ditata seperti ruang tamu. Tidak luas, namun nyaman.Poster pertama seperti foto di atas ini menyebutkan fungsi Reading Centre sebagai tempat anak-anak untuk bersantai, menikmati dan mengeksplorasi buku-buku dalam suasana yang tenang dan menyenangkan. Anak-anak bisa merasakan pengalaman memegang dan membaca buku, terlibat dalam komunikasi non-verbal, memaknai gambar dan teks, dan bercakap-cakap tentang apa yang mereka temukan dalam buku-buku tersebut. Pengalaman-pengalaman inilah yang akan membawa mereka ke ‘pengalaman membaca yang sebenarnya.’

Saat minggu-minggu pertama Adzra di Bindi, pastilah dia masih sering menangis karena tidak mau ditinggal. Wajar saja, berada di tempat yang asing, dengan bahasa yang tidak dia pahami, Adzra butuh waktu 3 minggu untuk lebih nyaman. Reading Centre inilah salah satu tempat ‘persembunyian’ dia. Setiap kali mau saya tinggal, dan dia mulai berkaca-kaca, saya tatap matanya dan saya katakan, “Adzra, kalau Adzra nanti ingat dan kangen Ibu, duduk di sini ya nak. Ambil buku, dan bayangkan Ibu sedang mendongeng untuk Adzra.” Setelah beberapa minggu, ketika Adzra sudah mulai kenal lingkungannya yang baru, dia malah bisa menenangkan saya. “Bu, nanti kalau Ibu belum jemput, terus aku pingin nangis, aku mau baca buku saja ya.”
Setelah 3 bulan Adzra di Bindi, kegiatan sehari-hari di sekolah masih tetap sama.  Bernyanyi, mendengarkan dongeng, menggambar, melukis. Pokoknya bermain dan bermain terus.  Dan poster kedua ini menyadarkan saya bahwa semua pengalaman bermain ini akan mengarah pada belajar membaca dan menulis.  


Lagu-lagu baru yang dikenal Adzra bertambah setiap minggu. Setiap lagu yang dikenalnya juga diikuti dengan gestures yang senada dengan lagu. Bersamaan dengan itu, perbendaharaan kata dan kalimatnya semakin kaya. Apalagi Adzra sendiri suka menyanyi sambil ‘perform,’ sehingga saya tahu bahwa Adzra cukup paham makna lagunya. Kegiatan menggambar, membuat bentuk dengan lilin (di sini disebut dengan Play Dough), dan juga bermain lego atau kitchen set juga akan menambah pemahaman anak tentang ukuran, bentuk, warna, garis, dan arah, selain juga melatih jari-jarinya dengan kemampuan motorik halus. Yang paling penting, guru-guru dan pengasuhnya bergantian menemani anak-anak bermain dan membacakan cerita. Mendongeng dan bermain adalah saat-saat di mana mereka duduk bersama. Ada pula jam-jam bebas di mana anak-anak bisa bermain di playground, saat cuaca bersahabat, atau tetap di dalam ruangan.  Banyaknya jenis mainan dan buku yang tersedia di ruang Kindergarten memang memberi kebebasan anak-anak untuk bermain sesuai keinginannya. 

Meskipun Adzra pergi ke sekolah hampir tiap hari, praktis tidak ada buku yang perlu dia bawa. Isi tasnya hanyalah cadangan baju dan pakaian dalam, topi, dan botol minum. Meskipun begitu, setiap pulang sekolah, saat saya jemput antara pukul 3-4 sore, Adzra selalu membawa hasil karyanya. Entah itu gambar, kardus bekas yang ditempeli, origami, kartu ucapan, dsb. Yang menyenangkan, selalu ada cerita di dalam hasil karyanya. Ada ‘lion’ di coretan warna orange dan hitam tanpa bentuk, ada ‘mommy’ di garis dan lingkaran berwujud orang, dan ucapan ‘I love you, Mommy’ menyertai keriangannya saat saya jemput kemarin. Dia tunjukkan guntingan hati yang ditempel di kartu ucapan. Kartu itu dia buat dalam rangka Mother’s Day. Kata Dong, gurunya yang berasal dari Cina, Adzra satu-satunya anak yang bisa menggunting dan menempel, serta menyiapkan dekorasi kartu ucapannya. 


Kegiatan yang simpel nyatanya memang amat bermakna dalam mempersiapkan anak-anak untuk membaca dan menulis. Anak perlu sebuah cerita untuk ditulis, dan cerita itu datang dari imajinasinya saat menggambar atau membuat satu karya. Coretan bentuk dan warna yang mungkin tak bermakna di mata orang dewasa sebenarnya menyimpan cerita seru di benak anak-anak. Bahkan kegiatan bermain di luar seperti memanjatpun ternyata penting untuk melatih otot-otot anak agar mampu duduk tegak saat menulis. Yang tidak kalah pentingnya adalah hadirnya seseorang untuk menunjukkan bahwa menulis itu penting. 

Ketiga poster sederhana di atas mengingatkan saya betapa setiap coretan dan celotehan Adzra perlu direspon positif. Dalam role play yang dia lakoni dengan boneka-bonekanya, meluncur semua kalimat berbahasa Inggris yang tidak beraturan di telinga saya, namun sarat cerita di benak Adzra. Dia sedang menapakkan langkahnya di anak tangga literasi, dan saya perlu senantiasa menggali cerita lebih seru dari coretan-coretannya.Terutama ketika saya tersadar bahwa kata pertama yang bisa dia tuliskan di kaca yang berembun adalah IBU.  

Brunswick yang dingin, 2 Mei 2012

2 comments:

hanaphie's idea said...

benar2 sebuah tulisan yang luar biasa sekaligus ide bagi saya yang saat ni jg menangani anak-anak TKI yang ada di Malaysia yang kebanyakan belum bisa baca tulis. kendala yang saya hadapi disini ialah sangat kurangnya peralatan untuk mereka gunakan. masa sekolah TK sudah ditekankan untuk membaca dan menulis tanpa adanya alat2 untuk bermain ketika saya dulu sekolah TK

hanaphie's idea said...

sesekali kunjungi blog saya bu prat :). sekalian numpang backlink