Friday, January 11, 2013

Kisah-kisah yang Tertinggal di Hong Kong


Di antara hari-hari saya menguntit buruh migran penulis, sebenarnya ada banyak kisah yang tak ada hubungannya dengan penelitian saya. Cerita yang tak akan masuk dalam disertasi saya, namun lebih banyak memaksa saya untuk merenungi alasan saya di sini.

Tempat saya menginap adalah sebuah apartemen yang disewakan oleh sebut saja Ramon, seorang BMI yang stay out. Selama seminggu saya tinggal di unit di daerah hiruk pikuk Causeway Bay, praktis tiap hari penghuninya keluar masuk. Kalau bukan orangnya, minimalnya kopernya. Ya, unit ini memang multi-fungsi. Tempat BMI stay out pulang selepas kerja, transit sementara BMI yang sudah finish kontrak dan menunggu visa, dan penginapan sementara mereka yang siap-siap mau pulang. Ada lebih banyak lagi yang hanya ditandai dengan keberadaan kopernya. Baik milik mereka yang tidak boleh menyimpan banyak barang di rumah majikan, maupun yang tiba-tiba datang malam-malam karena di-terminate oleh majikannya.

Bayangkan sendiri kondisi tempatnya. Unit ini terletak di lantai 6 bangunan yang tidak bisa dikatakan modern, meski juga tidak sampai harus dikatakan tua. Jauh dari kesan kumuh. Dua kamar yang tidak terlalu luas saat ini disewa oleh pak Edi, seorang aktivis LSM dari Tulungagung, dan saya sendiri. Property yang sangat mahal di Hong Kong membuat saya dan pak Edi masing-masing harus merogoh HK $ 350/malam. Itu sekitar 400 ribu rupiah lebih sedikit. Tidak usah dibayangkan kamar hotel yang nyaman. Praktis kondisinya seperti kos-kosan. Itupun sudah termasuk murah sekali, daripada tinggal di hotel. Lalu bagaimana dengan para BMI yang juga tinggal di sini? Ada Ramon si bos, Rani dan Nia yang sama-sama stay-out. Mereka bertiga bekerja untuk majikan bule. Ada Yufi yang baru finish kontrak dan sedang menunggu visa turun untuk pindah majikan. Ada lagi Nuri yang akan terbang ke tanah air besok pagi untuk pulang seterusnya. Mereka semua tidur di lantai ruang tamu, dengan kasur yang digelar bila sudah saatnya tidur. Di tengah-tengah ruang tamu penuh dengan tumpukan koper, dan belum lagi sela-sela ruang yang bisa dislempiti koper. Untuk bisa tidur model pindang ini, penyewa cukup membayar 40 dolar/malam.

Meski sempat terhenyak dengan kondisi penginapan seperti ini, pada akhirnya saya malah bersyukur. Saya tidak usah jauh-jauh menyelami secuil kehidupan para BMI. Hampir tiap malam ada saja BMI yang datang menitipkan koper. Saya biasanya masih cangkrukan dengan anak-anak sambil lesehan di kasur mereka. Lilik misalnya, datang 2 hari yang lalu, sambil membawa 2 koper besar.

"Titip ya bos," katanya.
Aku ikut nimbrung. "Lapo mbak kok bengi-bengi?"
"Interminit mbak," jawab Lilik. Itu istilah anak-anak untuk contract termination oleh majikan. Bila buruh migrannya yang memutus kontrak, istilahnya adalah nge-break kontrak. Bila interminit terjadi dengan mendadak, maka menit itu juga si BMI harus ringkes-ringkes keluar dari rumah majikan. Tak peduli jam berapapun.

"Lha nyapo kok interminit," tanya Rani yang juga baru pulang kerja.
"Cemburu kayake mbak," jawab Lilik dengan logat Kendal yang medok.
Semua ketawa. Apalagi setelah Rani menimpali. "Lha wong awakmu yo ora ayu-ayu banget, apane sing dicemburoni?" Rani suka ceplas-ceplos. untungnya Lilik juga tenang saja menanggapi. "Lha mbuh, wong bos wedok kuwi ayu banget. Ora duwe duit nggo mbayar babu ketoke."

"Terus tidur di mana nanti?" tanya yang lain.
"Di tempat agent, sambil cari majikan. Pingin stay out aja, cari yang bule."

Selama seminggu lebih tinggal di sini, saya sering keluar cari makan bareng dengan beberapa teman BMI yang juga tinggal di situ. Kami menelusuri warung-warung Indonesia yang cukup banyak di sekitar situ. Sambil makan, saya nanggap kisah-kisah mereka. Pemilik warung dan buruh migran lain yang sama-sama makan di situ pasti menganggap saya bagian dari mereka juga. Dari situlah cerita-cerita lain meluncur deras. Yufi ternyata underpaid selama 2 tahun. Dia digaji cuma 2000 dolar, dari standar gaji 3920. Yang lain setengah menggoblok-goblokkan Yufi yang masih lugu. Setengahnya salut atas kesabarannya, atau tepatnya, kepasrahannya. Banyak BMI yang paham akan hak-haknya, dan bisa saja menuntut ke pengadilan, agar majikan memberikan kompensasi. Cukup banyak yang berhasil membuat majikan nego supaya tidak kena denda tinggi dari pemerintah. Untunglah Yufi sudah memperoleh majikan baru. Kali ini dengan gaji yang standar. Dia tersenyum lebar. Begitu visa turun, dia sudah langsung bekerja, tanpa potongan gaji seperti saat kontrak pertama. Dan langsung dapat hari libur juga. Yufi yang paling muda di antara kami banyak mendapatkan nasehat untuk tidak ikut neko-neko nanti.

Ada lagi cerita Nia, anak Yogya berwajah Manado. Menjelang tengah malam, bosnya yang masih muda meng-interminit dia. Gara-garanya, si bos menyukainya, tapi cinta bertepuk sebelah tangan. Mungkin sang majikan jengkel sudah keluar duit buat membelikan gadget canggih dan macam-macam, tapi Nia tak menanggapi cintanya. Cemburu mewarnai kasus ini, karena saat itu Nia sedang dekat dengan bule dari Amerika. Orang-tua si majikan sampai nangis-nangis nggondheli Nia. Tugasnya memang melayani kedua orang tua si bos. Nia yang memang pemberani menuding-nuding si bos yang tidak punya perasaan. Tapi tetap saja dia harus menggeret koper-kopernya. Naik taksi mencari penginapan dari satu tempat ke tempat lain. Sebelum akhirnya terdampar di tempat Ramon. "Aku ya gengsi turu nang shelter, wong aku ya duwe dhuwit." Tempat kami tinggal memang dekat dengan beberapa shelter di kawasan Causeway Bay. Shelter ini biasanya jadi jujugan mereka yang berkasus dan tidak ada dana.

Cerita hidup Nia membuat saya mengernyitkan dahi, ketika dengan santainya dia bercerita tentang 'bos'nya sekarang yang orang Eropa. Saat kami makan, memang Nia beberapa kali ngobrol dalam Bahasa Inggris dengan bos-nya. Dengan percakapan yang lebih pas dianggap sebagai bentuk kedekatan. "Timbangane munafik sok bersih, mending kaya aku iki jujur apa anane." Yufi dan Nuri suka cekikikan bila Nia sudah bilang begitu.

Cerita Nia mirip dengan seorang BMI stay-out lain yang juga sama-sama makan saat itu. Sebut saja Lisa namanya. Bahasa Inggrisnya mahir. Sedikit agak show off ketika ngobrol dengan temannya. Ketika Nia mengenalkan bahwa aku dari Australia, aku mendelik sama dia. "Halah apa to yo'. Dari Surabaya kok dik." Ternyata pancingan itu membuat Lisa bercerita lebih panjang. Dia stay out dengan majikan bule. Sama seperti Nia, dia juga berani memaki majikan ketika di-interminit. Gara-garanya, setiap libur Lisa suka berdandan sexy. Majikan tidak suka, dan dengan entengnya Lisa bilang, "It's my holiday, right. I can do whatever I want and wear whatever I like." Itulah salah satu alasan akhirnya dia di-terminate. Dengan kondisi sekarang, Lisa merasa nyaman karena majikan bulenya memperlakukan dia seperti teman. Saat libur mereka bisa hang out bareng. "We drink together, smoke together. When I got hangover, he would cook for me." Saya perhatikan Lisa lebih jeli. Bajunya terlalu tipis untuk winter, bahkan angin akan mudah menerobos kaos hitam you-can-see nya.

Kisah-kisah sebagian BMI ini membuat perasaan saya bergerak seperti pendulum. Dikasihani, wong mereka kelihatan menikmati hidup. Setidaknya, gadget-gadget canggih mereka menjadi penanda. Mulai IPhone, IPad 3, Samsung Galaxy Note, dan Mac akrab dengan diri mereka. Dan sepanjang yang saya tahu, teman-teman saya ini juga berinvestasi dengan uang mereka. Berhadapan dengan Ramon dan Rani, misalnya, adalah bicara dengan sosok perempuan profesional yang mandiri dengan visi masa depan yang jelas.

Rasa prihatin lebih layak diarahkan ke mereka yang tinggal di shelter. Seperti mbak Tari yang patah tangannya karena dianiaya majikan sehingga dia kabur. Atau Sa'adah yang di-terminate karena menampar anak majikannya demi pembelaan diri. BMI seperti merekalah yang perlu pendampingan saat kasus maju ke pengadilan. Saat saya keluar dari shelter Kothiko, saya tidak tahan untuk tidak menangis. Saya akan merasa malu bila kehadiran saya di HK ini hanya untuk mengeksploitasi cerita hidup mereka.

Ketika saya kembali ke Surabaya dalam beberapa hari lagi, teman-teman saya ini masih akan berjuang untuk keluarganya. Entah untuk berapa kali kontrak lagi. Banyak yang ragu kapan akan berhenti. Meskipun begitu, seberapapun nyamannya kehidupan sebagian BMI di HK, tak seorangpun berfikir untuk menghabiskan sisa hidupnya jauh dari keluarga. Andai saja negara hadir untuk mereka.

No comments: