Jumat pagi yang lalu saya menerima kiriman CD film Hong Kong Helper Ngampus (HHN) dari Ani
Ema Susanti. Seperti yang sudah pernah saya ceritakan di tulisan saya sebelumnya,
Ani adalah mantan buruh migran yang sukses menyelesaikan kuliahnya di bidang
psikologi. Saat ini Ani lebih menekuni bidang penyutradaraan film.
Film HHN sendiri adalah film dokumenter pertama Ani. Digarap
bersama dengan rekannya, Yuni Dhevie Hapsari, HHN menjadi finalis dalam Eagle Award 2007
yang diadakan Metro TV.
HHN yang berdurasi sekitar 17 menit ini berkisah tentang dua
mantan TKW Hong Kong. Subiantini bekerja di HK selama 8 tahun, sedangkan Acik
Saadah hanya bekerja selama 1 tahun 4 bulan. Tidak sampai finish kontrak. Dari hasil kerjanya , Tini memiliki cukup dana
untuk membayar hutang orang-tua dan membeli sawah, sedangkan Acik hanya
memegang cukup uang untuk membantu pengobatan ibunya dan membayar hutang
bapaknya. Dengan sisa dana terbatas dan dorongan orang-tua, Acik bertekad merealisasikan
cita-citanya kuliah di perguruan tinggi.
Sebagai media yang tidak terlalu panjang, HHN cukup utuh memotret
lika-liku TKW dari sudut pandang yang berbeda. Dari kacamata Tini dan Acik
misalnya, penonton disuguhi persepsi bahwa TKW bukanlah pekerjaan yang memiliki
martabat tinggi di mata masyarakat.
“Tahu sendirilah apa pekerjaan TKW. Tidak seperti guru yang
sangat dihormati, TKW atau petani itu sama, kayak orang biasa,” begitu
penuturan Acik.
Meski demikian, Tini menganggap bahwa pekerjaan TKW memberi
penghidupan bagi orang lain yang merasa lebih tinggi statusnya. Itu dia
ungkapkan ketika seorang pengusaha PJTKI (sekarang PPTKIS) merendahkannya.” Kamu
tahu nggak, kamu itu cuman babu.” begitu tirunya. Tini menimpali perlakuan itu
dengan cerdas, “Lho, bapak ini jangan seenaknya menghina babu, bapak ini bisa
makan juga dari babu.”
HHN juga tak lupa mengambil sudut pandang pengusaha PJTKI.
Situasi Balai Latihan Kerja milik PJTKI, di mana calon TKW yang belajar tentang
pengasuhan anak, belajar bahasa, dan saat proses pemberangkatan menjadi bagian
beberapa scene. Pelatihan seperti ini
diperlukan untuk menyiapkan calon TKW dengan kompetensi yang diperlukan sesuai
kontrak kerja. Pak Welem, sang pengusaha, mengatakan bahwa dia dan beberapa
koleganya juga menerapkan strategi pelatihan yang sama untuk pembekalan. “Saya
berharap sebagai pengusaha, mereka tidak hanya berorientasi pada keuntungan.
Namun juga ada pertimbangan kemanusiaan dan kepentingan sosial. Itu harusnya
jadi tujuan utama”
Potret pelatihan ini mengingatkan saya pada suasana balai
latihan kerja di kawasan Gempol di Jawa Timur. Sehari sebelum saya terbang ke
Hong Kong pada awal Januari 2013 yang lalu, saya mendapat ijin untuk melihat
sendiri kondisinya yang bersih dan cukup nyaman. Ada ruang pelatihan bahasa,
pengasuhan anak, perawatan orang-tua, dapur, ruang makan untuk praktek
penyajian makanan, dan mesin cuci berbagai model. Salah seorang managernya,
sebut saja Bu Puji, menyatakan bahwa sebelum kontrak kerja turun, semua calon
TKW memperoleh semua jenis pelatihan. Begitu kontrak kerja turun, mereka akan
dilatih lebih khusus sesuai dengan jenis pekerjaan yang tercantum di kontrak
kerja. Bu Puji sempat bercerita bahwa di kalangan PPTKIS memang ada pengusaha
yang cenderung profit-oriented. Bu
Puji malah mengaku bahwa dia bisa hidup dari para TKW juga. Itu sebabnya secara
pribadi, sebutan TKW atau buruh justru kurang dia sukai. Bu Puji lebih suka
menyebutkan mereka siswi Hong Kong atau Taiwan, bergantung pada negara yang
akan dituju. Setidaknya kode etik ini yang dia coba terapkan di antara para
stafnya.
Dengan judul HHN, sosok Acik memang menjadi sorotan film
ini. Meski tidak sampai menyelesaikan kontraknya, gara-gara majikannya dipecat
dan tidak mampu lagi membayar gaji, Acik tetap mempertahankan keinginannya
kuliah. Acik mengingat kembali masa-masa di mana dia selalu merasa minder bila
melihat sosok mahasiswa. Di matanya, mahasiswa adalah figur yang cerdas. Keinginan
ini tersampaikan ketika dia bisa duduk di bangku kuliah di Fakultas Tarbiyah di
salah satu universitas Islam swasta di Jawa Timur. Sambil kuliah, dia juga
mengajar SD di desanya di Jombang. Status guru di desa amat dihargai, dan ini
memberikannya identitas diri yang lebih berdaya. “Bila saya jadi TKW lagi, maka
selamanya ya akan tetap jadi TKW. Beda dengan kalau saya kuliah.” Dengan
memperoleh ilmu dari bangku kuliah, Acik melihat masa depan yang lebih cerah.
Dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, dan tidak perlu menjadi TKW
lagi. “Orang jadi TKW itu kan karena tidak ada lapangan pekerjaan di
Indonesia.”
Sebagai sebuah film dokumenter, HHN cukup berhasil mengajak
pemirsanya mengubah persepsi bahwa buruh migran adalah sosok yang tidak berdaya.
Acik sendiri menuturkan bahwa teman-teman
kuliahnya tahu statusnya sebagai mantan TKW. Bagi mereka, tidak ada masalah
dengan pekerjaan itu. Bahkan ketika mereka tahu bahwa Acik menggunakan hasil
kerjanya untuk membiayai kuliahnya dan adiknya, mereka sangat mengapresiasi
tekad dan semangat Acik. Sementara itu,
Tini bertekad mengupayakan agar anaknya yang berusia balita nanti dapat
mengenyam pendidikan tinggi, agar tidak bernasib sama seperti orang-tuanya.
Kalau untuk itu dia harus berangkat lagi menjadi TKW, asalkan suaminya
mengijinkan, dia mungkin akan berangkat lagi.
Pemberdayaan masyarakat membutuhkan banyak pihak untuk
berperan sebagai katalisator. Tentunya diperlukan peran PPTKIS yang
berorientasi kemanusiaan dan pemberdayaan perempuan. PPTKIS yang mau membuka
diri terhadap kalangan di luar, agar mereka juga bisa menjalankan perannya
dengan baik. Dalam hal ini, Ani, sang sutradara, menilik pengusaha PJTKI yang
membuka pintu perusahaannya menjadi tempat shooting.
Sang pengusaha ini akhirnya malah mengajak Ani untuk terlibat dalam pembekalan
calon TKW. Film HHN menjadi andalan Ani sebagai media informasi. Atas ijin Ani,
saya sendiri berharap bisa memberikan copy
CD film ini ke kalangan PPTKIS, bila mereka tertarik menggunakannya untuk
pembekalan. Berangkat ke luar negeri dengan misi jelas akan menjadi suntikan
semangat luar biasa bagi para calon TKW.
Di mata saya, Acik mewakili suara Ani sendiri. Sebagai
mantan BMI yang berhasil lulus kuliah, Ani (dan Acik) menorehkan harapan bagi
teman-temannya yang masih bekerja di Hong Kong atau negara lain, dan juga para
calon TKW yang berada di pembekalan. “Janganlah menyia-nyiakan kerja kerasmu. Kalau
kamu punya impian, apapun itu, kejarlah sampai dapat. Setiap orang yang mau
berusaha, pasti bisa.”
Ani, Acik, dan banyak mantan buruh migran yang sudah membuktikannya.
Sebagaimana pernyataan di awal film, “Bye
bye Hong Kong, I'm a teacher now.”
No comments:
Post a Comment