Tuesday, March 05, 2013

Literacy Program di SD di Australia


Anak-anak di Indonesia rata-rata sudah bisa membaca saat masuk SD, bahkan sejak di TK. Tapi mengapa minat baca anak Indonesia amat rendah? Pertanyaan ini sering mengganggu pikiran saya. Pasti ada yang salah dengan program literasi kita (bila memang ada).

Saya tahu bahwa metode Phonics digunakan untuk memulai program literasi di Australia, namun saya belum tahu pasti bagaimana modelnya. Selama ini, saya hanya mendengar cerita teman-teman yang anaknya di SD di sini. Waktu masuk di Prep Year, rata-rata belum ada yang bisa membaca. Tapi tak satupun teman yang resah. Setidaknya, saya bisa melihat hasilnya dari anak-anak Indonesia yang sudah di Grade 1. Dari hanya mengenal alphabet pada bulan pertama, pada akhir tahun pelajaran anak Prep sudah bisa menulis surat sederhana dalam bahasa Inggris. Tak usah heran sebenarnya. Tiap hari anak-anak kelas Prep sampai Grade 3 menenteng tas biru milik tiap siswa, membawa pulang buku bacaan dari sekolah sebagai tugas membaca.

Kesempatan untuk mengamati bagaimana program literasi diterapkan di sekolah-sekolah Australia akhirnya saya dapatkan sekarang. Adzra sudah menjadi anak Prep. Saat masuk ke Moreland Primary School (MPS), satu-satunya kriteria diterima adalah usia, yakni sudah (akan) berusia 5 tahun pada bulan April di tahun berjalan. Syarat ini berlaku untuk semua SD. Kemampuan literasi dan numerasi tiap anak dideteksi melalui interview secara individu dengan tiap anak. Di MPS, interview ini dilaksanakan pada hari Rabu selama bulan Februari kemarin. Secara bergiliran, Setiap anak dijadwalkan interview selama 40 menit dengan satu guru, dan kemudian 10 menit dengan speech pathologist. Dengan demikian hari Rabu adalah hari libur untuk anak Prep selama 1 bulan pertama.

Menarik kiranya menyimak bagaimana interview ini dilakukan. Adzra mendapat giliran di minggu pertama. Saya lihat dari jauh, Adzra diajak bermain-main oleh Kerry, salah satu gurunya. Saya tidak terlalu asing dengan cara ini, karena beberapa kali melihat bagaimana mas Prapto melaksanakan tes psikologi dengan anak-anak. Setelah 40 menit berlalu, barulah Kerry ngobrol dengan saya, sementara Adzra berpindah ke speech pathologist. Dari penjelasan Kerry, kemampuan numerasi dilihat Adzra diminta mengeluarkan boneka-boneka kecil dari kotak, dan menghitungnya, baik secara urut maupun menghitung mundur. Kerry bilang, “Adzra is very organized.” Ternyata ini hasil pengamatan bagaimana Adzra menata dulu mainannya berdasarkan warna atau model, sebelum dia mulai menghitungnya. Saya mengiyakan. Lha wong di rumah hobinya adalah menata mainannya dengan cara dia sendiri. Tidak heran bila Adzra suka ngambek bila posisi mainannya berpindah, ketika saya merapikannya (dengan kacamata orang dewasa). Sementara itu, kemampuan literasi diamati melalui storytelling. Kerry membacakan buku cerita bergambar. Setelah itu Adzra diminta menceritakan kembali. Menurut Kerry, Adzra memiliki comprehension yang baik. Dengan melihat gambarnya, dia bisa merekonstruksi cerita, dengan menggabungkan versi buku dan versinya sendiri. Jadi ternyata bukan dites bisa membaca atau tidak. Sementara itu, speech pathologist berupaya menggali apakah si anak punya masalah dengan komunikasi atau tidak. Dari obrolan kami, Adzra punya kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk berkomunikasi. Untuk ukuran anak yang baru bisa bicara dalam Bahasa Inggris (production stage) kurang dari 1 tahun, Adzra cukup mampu mengkomunikasikan pikirannya.

Masalah komunikasi dan sosialisasi dianggap penting. Ini saya ketahui ketika salah seorang teman Adzra di Prep, anak Indonesia juga, diikutkan Friendship program. Program ini akan melatih anak bersosialisasi, seperti kontak mata, bermain dalam kelompok, mengatakan 'thank you,' excuse me, dan sejenisnya. Ketika saya tanyakan mengapa Adzra tidak mendapatkan note tentang Friendship program ini, kata Kerry gurunya, "Oh, Adzra is just a confident girl. I don't know. She seems to know many things. She's a bright little chicken.'

Pihak sekolah dan Victorian Education Department menganggap pentingnya peran orang-tua dalam mendukung program literasi di sekolah. Banyak brosur dan poster yang disediakan pemerintah untuk tujuan ini. Pada prinsipnya, kegiatan sehari-hari di rumah harus diwarnai dengan literasi. Itu tidak hanya berarti bahwa kita mengandalkan buku cerita. Lebih dari itu, bermain peran, bernyanyi, bercerita tentang foto-foto keluarga, membaca label di kemasan makanan atau billboard di jalan adalah latihan membaca dan menemukan ide untuk menulis. Hasil coretan dan gambar yang dihasilkan anak perlu kita gali dengan banyak pertanyaan, agar dia bisa bercerita dengan imajinasinya.

Pikiran saya melayang ke keseharian Adzra. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Adzra suka sekali corat-coret. Setiap pegang kertas, dia akan menirukan tulisan di mana saja. Tulisan ‘ASTOR’ di kaleng, ‘Toshiba’ dari laptop, ‘Happy Holiday’ dari kartu ucapan. Setelah itu dia akan bertanya, ‘ini bacanya apa?’ Adzra juga punya buku tulis kecil bergambar Hello Kitty. Di setiap coretan atau gambar, selalu ada namanya. Adzra memang sudah bisa menulis namanya sendiri. Suatu saat saya buka, ternyata ‘buku harian’nya sudah hampir penuh. Ini salah satu gambarnya:

Gambar sisip 2

Cerita versi Adzra:

This is mas Ganta. This is me. Ini Love-nya dicoret. Karena aku gak love mas.

‘Kenapa?’ tanya saya

“Because I don’t like him. He’s always joking.”


Imajinasi anak memang betul-betul bisa dieksplorasi bila orang-tua selalu siap menjawab pertanyaan dan ocehan yang tak ada habisnya. Sekedar mencari penguatan, saya mau berbagi salah satu pamphlet yang diberikan kepada semua orang-tua murid di Prep Year.
In the early years of primary school, students learn through rymes, storytelling, and following along with their favourite bookand following along with their favourite book. Learning to write begins with scribble and drawings. The activities below will help your child develop these skills.

  1.  Share rhymes and songs and encourage your child to join in.   
  2. Save safe cardboard and household items for your child to build with. Ask your child to describe what they are building.                                            
  3. Have a dress-up box for your child to use for imaginative play.
  4. Listen to your child and respond to their ideas with questions and ask for more information. 
  5. Write down your child’s stories as they tell you and encourage him or her to read it back to you.
  6. Point out and talk about letters and words all around you. For example, on cereal boxes, car number plates, signs.
  7.  Cook simple things together. Read out the recipe, talk through what you are doing.
  8. Join a toy library and choose toys together. 
  9. Look at junk mail and talk about the things for sale.
  10. Provide materials and create a writing/drawing table or area.
  11. Talk about family photos and histories.


Siapa menyangka bahwa obrolan remeh-temeh tentang hal di atas ternyata bisa menumbuhkan kemampuan literasi anak. Insya Allah saya akan berbagi cerita lagi tentang bagaimana menjadi Parent Helper untuk program literasi. Hobi saya ikut volunteering program membawa saya pada peran yang akan saya awali minggu depan. Membacakan buku cerita, dan ikut mendampingi anak-anak Prep belajar membaca. I can't wait to experience this!

No comments: