Tuesday, April 09, 2013

Membiasakan Literasi sejak Dini

Kapan dulu saya datang ke sekolah Ganta untuk 'rapotan.' Seperti pada umumnya di luar negeri, orang-tua bisa ketemu dengan masing-masing guru mata pelajaran selama 5 menit. Guru yang pertama saya temui adalah guru ESL-nya. Saya tahu bahwa selama term 1 di Year 11 ini, Ganta 'sibuk' membaca novel I'm Not Scared karya penulis Italy Niccolo Ammaniti. Dia juga nonton filmnya di kelas. Komentar gurunya, 'I know that Ganta is not a reader. But for a person like him, his report is quite good.' 

Saya suka gemes dengan Ganta yang suka menunda baca bab-bab yang ditugaskan. Dan dia juga tahu berapa kali ibunya ngomel agar lebih banyak baca, baca, dan baca. Padahal jaman kecil dulu, kebiasaan dongeng juga rutin saya lakukan. Kalau pas liburan juga sering saya kasih tugas baca dan buat summary. Itu jaman SD dulu, pas masih rada nurut. Jaman SMP dan SMA, nge-band dan dolan lebih banyak menyita hari-harinya.

Saat mulai sekolah di sini, saya mensyukuri (baca: Gan, kapokmu kapan) 'pemaksaan' kegiatan membaca di sekolah. Mas Eko Prasetyo, teman di milis Ganesa bilang, membaca kadangkala memang harus dipaksakan. Saya mengamini pendapatnya, karena memang ada dampak positifnya. Selama 1 tahun sekolah di Melbourne, yakni sejak di Language Centre selama 20 minggu, 2 term di year 10, dan 1 term yang baru usai di Year 11, setidaknya Ganta dipaksa membaca sekitar 5 simplified novels dan 3 unabridged novels. Meski tidak semuanya klasik, tapi sudah masuk kelas sastra berkualitas, seperti The Pearl-nya John Steinbeck dan Animal Farm karya George Orwell. Di mata ibunya yang rada melek sastra, tugas-tugasnya juga membuat saya bertepuk tangan. Nulis summary, report, analysis, interpretation, dan whatever-lah, yang biasanya menjadi bagian dari tugas yang saya dan teman-teman berikan di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa. 

Apa Ganta keponthal-ponthal? Untuk pahami ceritanya sih gak sampai gulung kuming, tapi bahwa dia harus membiasakan baca detil dan cari quote di novel untuk support analisis tentang tema tertentu, ini yang buat dia harus membentuk kebiasaan baru. Barangkali abot juga untuk model kayak Ganta, hasil pendidikan di Indonesia yang praktis tidak membudayakan literasi, bahkan di pelajaran Bahasa Indonesiapun. Di sini, Ganta harus teliti membuka halaman per halaman novelnya. Kadang dia harus menelan egonya (maklum anak remaja) dengan tanya-tanya ibunya. Tapi membaca summary dan analysis yang pernah dia buat sampai 3 halaman, tak urung saya membatin, 'eh, anakku boleh juga nih.' 
 
Saya selalu mencari cara agar Ganta membaca di luar yang diwajibkan sekolah. Pernah suatu saat dia tanya, 

Ganta : Ibu' dulu pakai language program gak?
Aku         : Nggak
Ganta     : Waktu di Texas?
Aku         : Nggak, begitu datang langsung kuliah.
Ganta     : Kok ada teman-teman ibu' di sini sik ikut English program lho?
Aku         : Yo be'e TOEFL-nya sudah bagus.
Ganta     : Berarti ibu' pinter
Aku         : Ya yok apa lo jaremu?
Ganta     : Kok iso pinter gitu?
Aku         : (Kesempatan) Merga senang MACA!
Ganta     : (Lempar bantal ke ibunya)

Tidak semudah membalik tangan memang, tapi setidaknya buku sudah diliriknya (meski belum tentu dibaca tuntas). Saya kira ini karena pembiasaan literasi yang diterapkan di sekolah. Bagaimanapun bedanya minat Ganta sekarang yang lebih ke musik, setidaknya semua mapel yang dia ambil (Music, Media, English, Psychology, Biology, Indonesian as First Language) lumayan membuat dia lebih banyak baca dan nulis report

Di kelas Media, gurunya bilang bahwa sebenarnya mapel ini mirip dengan English. Katanya, 'if a student finds literature too hard in English class, then they will like Media.' Saya nggak heran juga, wong memang sekarang ini saya lagi menekuni Media and Cultural Studies. Gak heran juga kenapa Ganta suka mapel ini, karena banyak nonton dan review film dan belajar digital production

Saya sering ditanya/setengah dicurhati oleh teman-teman sesama mahasiswa dari Indonesia, terutama anak-anak Master. "Kenapa ya mbak, anak-anak sini enak dan lancar aja kasih pendapat dan me-review bahan bacaan yang lagi dibahas. Kita mau ngomong mikir dulu, gimana caranya ngomong, apa yang harus ditulis, belum lagi perasaan 'penting nggak ya yang mau saya sampaikan. Eh, ternyata anak-anak sini jawabannya ya sebenarnya gitu-gitu aja, yang kita sebenarnya sudah tahu." Saya tahu benar perasaan seperti ini. Saat sekolah S2 di Texas dulu, rasa yang sama sering menghantui. Apalagi di jurusan Literature yang saya ambil saat itu, jumlah mahasiswa internasional tidak pernah melampaui angka 3. Di semua kelas yang pernah saya ikuti, praktis saya satu-satunya mahasiswa internasional. Pernah suatu saat di kelas Medieval literature, kami membahas dan berlatih membaca keras 18 baris pertama dari The General Prologue karya Chaucer. Bahasanya middle English yang buat lidah keriting. Eh, ada teman sekelas yang malah bilang bahwa karya itu menjadi bahan wajib di SMAnya dulu. Glodak!

Kalau mau merunut pembiasaan literasi sejak di bangku sekolah, saya jadi nemu jawabannya. Di tulisan sebelumnya saya bicara tentang tentang Home reading sejak Prep-Year. Sorenya saya ngobrol dengan mbak Diana, teman PhD, dosen Psikologi dari UGM. Anaknya satu sekolah dengan Adzra, dan yang gede sudah Year 4, sementara adiknya Year 1. Mereka tinggal di sini 1 tahun lebih awal daripada saya. Nah, menurut mbak Diana, yang juga getol dengan dunia anak, Home Reading untuk Year 2 ke atas sudah tidak lagi diwarnai dengan award sticker sebagai tanda pencapaian (25 books, 50 books, 100 books, dst). Anak-anak tingkat atas sudah diberi tugas report writing. Mereka menuliskan character, theme, setting, plot, dan elemen-elemen penting dari buku yang sudah dibaca. Weleh, lha tugas model begini baru dikenalkan ke mahasiswa semester 1 di jurusan Inggris, di sini sudah dimulai sejak SD. Pantes saja anak-anak lokal sudah nglonthok dengan tugas book review!

Hmm, saya kok merasa PR saya nanti saat pulang semakin panjang ya! Tugas tambahan: membuat anak-anak (tetangga, ponakan) terbiasa dengan dunia baca tulis yang membebaskan interpretasi.

1 comment:

Halina Said said...

Saya speechless, asli.. T_T

SMP dulu saya baca karya karya Balai Pustaka. SMA saya baca Esai Emha Ainun Najib (dan gak mudeng waktu itu)

Lha, Ganta sudah baca Animal Farm di sana, saya hari ini baca novelnya Harukimurakami juga belum kelar -_-