Tahukah
beda antara masyarakat yang berbudaya lisan dan tulis? Walter Ong menuliskan
dengan gamblang betapa jauhnya disparitas antara orality dan literacy dalam
bukunya Orality and Literacy: The Technologizing of the World (1982).
Dalam masyarakat lisan, tidak ada istilah ungkapan seperti ‘coba dicek di
buku,’ atau kalau dalam bahasa Inggris dengan idiom ‘look up something.’
Itu karena kata-kata memang tidak pernah divisualisasikan, dan hanya berupa
bunyi. Dan karena hanya bunyi, maka akan cepat punah bila tidak dilestarikan.
Kalaupun diabadikan, masyarakat lisan harus bergantung pada 'para tetua' yang
dianggap lebih bijak dan berpengetahuan.
Dalam masyarakat lisan, pemikiran (dalam bentuk tulisan) cenderung
dianggap kurang penting, karena asumsi-asumsi sebagai berikut:
Ekspresi
dan pemikiran yang dituangkan dalam tulisan dianggap hanya tambahan saja, bukan
subordinatif. Saya memaknainya sebagai cara berpikir di mana masyarakat lisan
cenderung mengabaikan tulisan. Kalaupun ada, tidak terlalu dianggap
keberadaannya, karena mereka lebih percaya ‘kata orang’ daripada ‘menurut
buku.’ Sebaliknya, pemikiran yang subordinatif melihat tulisan sebagai rujukan
yang diperlukan untuk memastikan kebenaran akan sesuatu.
2. It is aggregative rather
than analytic.
Masyarakat
lisan cenderung membawa kebenaran kolektif, apa kata kebanyakan orang, dan
tidak membuka peluang untuk dikritisi. Itulah yang kemudian mengapa masyarakat
lisan cenderung menjadi ‘follower,’ bukan ‘pioneer.’
3. It tends to be redundant or
"copious."
Apa
yang terungkap dari benak masyarakat lisan tidak terekam dalam teks, sehingga
akan cenderung kabur dan gampang hilang. Teks itu sendiri berada ‘di luar’
benak, yang bisa senantiasa dirujuk bila pemikiran perlu dicek kembali
kebenarannya. Teks yang dibaca akan membawa pikiran lebih lambat memproses
informasi, dan memungkinkan masukkan pertanyaan-pertanyaan kritis.
Masyarakat lisan tidak memiliki ritual seperti ini.
4. There is a tendency for it
to be conservative.
Pengetahuan
yang tidak diulang-ulang akan mudah hilang, dan untuk itu, masyarakat lisan
berupaya keras mengingatnya. Ini membawa konsekuensi cara yang konservatif,
dengan mengandalkan ‘para tetua’ yang dianggap lebih bijak dan berilmu sebagai
sumber informasi. Akibatnya adalah tertutupnya peluang ‘bereksperimen.’
Sementara itu, masyarakat tulis menempatkan ilmu keluar dari pikiran dan
menuangkannya di teks, dan merevolusi anggapan bahwa yang senior adalah yang
lebih paham. ‘Repeaters of the past’ digantikan perannya oleh mereka yang lebih
muda dan berani berinovasi.
5. Out of necessity, thought
is conceptualized and then expressed with relatively close reference to the
human lifeworld.
Pemikiran
yang dianggap tidak ada kaitannya dengan kehidupan nyata atau yang dialami
langsung pada saat itu cenderung dianggap tidak bermanfaat. Barangkali ini
alasannya mengapa dunia literasi (baca-tulis) dianggap tidak popular atau
penting bagi sebagian orang-tua. Buku tidak membuat kenyang, dan tidak nampak
hasilnya secara langsung.
6. Expression is agonistic
ally toned.
Dalam
masyarakat lisan, orang-orang yang ‘literate’ cenderung dianggap memicu
perilaku agonistik. Perilaku ini lebih dari sekedar agresif, dan mengacu pada
pergulatan dan persaingan. Jangan heran bila kemudian kita melihat reaksi
masyarakat terhadap sebuah buku atau pemikiran yang controversial atau dianggap
keluar dari pakem sosial. Tulisan tidak dilawan dengan tulisan tanding, namun
dengan kebrutalan yang bahkan melibatkan konflik fisik.
7. It is empathetic and
participatory rather than objectively distanced.
Dalam
masyarakat lisan, pengetahuan baru dilihat sebagai sarana untuk identifikasi
komunal dan menimbulkan kedekatan emosional. Sebaliknya, dalam masyarakat
tulis, pemikiran yang didapat dari proses pembacaan memungkinkan mereka untuk
mengambil jarak antara diri dengan pemikiran baru tersebut. Membaca pemikiran
Karl Marx bukan berarti setuju dengan Marxisme. Namun bagi masyarakat lisan,
mengenal pemikiran Karl Marx bisa dianggap sebagai pendukung komunisme.
8. It is Homeostatic.
Masyarakat
lisan hidup pada jaman kekinian, dan mengambil makna ujaran atas dasar apa yang
ditangkap pada saat itu. Sementara itu, tulisan tak lekang dimakan waktu, dan
membuka peluang berlapis-lapis pemaknaan. Karena masyarakat lisan tidak
memiliki kamus, maka makna sebuah kata atau konsep bergantung pada kondisi
‘sekarang dan di sini.’
9. It is situational
rather than abstract.
Tanpa
tulisan, konsep pemikiran akan bergantung pada situasi di mana satu kejadian
berlangsung.
Kita
lihat sekarang betapa dahsyatnya kebodohan dan pembodohan berlangsung bila
literasi tidak menjadi nafas masyarakat kita. Jalan satu-satunya adalah
mentransformasi diri dan memberdayakan masyarakat kita menjadi bangsa yang
‘literate.’ Sejujurnya, Islam adalah agama yang sangat advanced dalam hal
pentingnya tulisan. Lima ayat Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad SAW menjadi dasar yang tidak bisa dibantah. Menurut Yedullah
Kazmi, dalam artikelnya, "The Rise and Fall of Culture of Learning in
Early Islam (Islamic Studies 44, no. 1 (2005)), posisi ayat-ayat
ini begitu berdaya untuk mentransformasikan masyarakat dari yang berbasis orality menuju literacy.
Masyarakat lisan adalah mereka yang terkungkung dalam mitos, dan Allah
menurunkan Al-Qur’an, mewajibkan manusia untuk tidak hanya membaca dan membaca
kembali, namun juga untuk menciptakan kondisi yang mendorong masyarakat
meninggalkan mitos dari kebiasaan hidupnya. Sebagai gantinya, mereka harus
menumbuhkan kebiasaan berpikir melalui pembacaan terhadap dunia dengan cara
yang ilmiah, dengan tetap berpegang pada Allah sebagai pencipta alam semesta.
Jadi,
apalagi yang kita tunggu? Ayo menuju masyarakat berbasis literasi. Sekarang!
1 comment:
Ayo kita gerakkan terus setiap elemen masyarakat menuju masyarakat literasi. Salam JLI (Jaringan Literasi Indonesia).
Post a Comment