Friday, June 07, 2013

Catatan Literasi BMI: Memecah Kebisuan

Enam bulan berlalu, sejak kedatangan saya ke Hong Kong untuk mengamati praktik literasi para buruh migran Indonesia pada bulan Januari 2013 yang lalu. Sampai detik ini, lomba demi lomba bergulir, dan agenda literasi serasa tak berhenti berdenyut di kalangan BMI. Pada paruh pertama tahun ini saja, saya sudah ditarik untuk nyemplung ke berbagai peristiwa literasi BMI. Ini di luar tugas utama menulis tesis saya sendiri. Tak lama setelah balik ke Melbourne, saya memulai proses penterjemahan antologi cerpen Bauhinia Ungu karya Arista Devi ke dalam Bahasa Inggris, yang disponsori oleh organisasi migrant care dari masyarakat lokal Hongkong. Pekerjaan ini hasil dari obrolan selama saya berinteraksi dengan Arista Devi di HK, dan kemudian ditindak-lanjuti oleh Doris Lee, pengurus migrant care

Agenda berlanjut dengan menjadi juri lomba penulisan cerpen yang diadakan oleh FLP-HK. Melalui Dhieny Megawati, ketuanya, FLP-HK juga mengajak saya menulis puisi untuk antologi Senandung Mimpi Hawa yang baru launching bersamaan dengan antologi cerpen The Miracle of Life. Untuk karya yang kedua ini, saya dijawil untuk memberikan kata pengantar. 

Baru saja jeda 2 minggu, dan kembali fokus ke tugas utama saya, gantian Fera Nuraini, seorang BMI blogger/Kompasianer  meminta kesediaan saya untuk menjadi juri lomba penulisan surat. Kali ini, giliran organisasi BMI-HK yang  bernama Pilar (Persatuan BMI Tolak Overcharging) yang mengadakan lomba Surat dari Seberang. Selama 1 minggu, saya selesaikan pembacaan 57 surat dari buruh migran Hong Kong. Temanya bukan sekedar penyampaian kabar kepada keluarga di kampung halaman. Lebih dari itu, Pilar ingin mengajak para BMI-HK untuk 'mendidik' sanak keluarga tentang isu-isu ketenaga-kerjaan transnasional.

Lomba ini mengingatkan saya pada kegiatan serupa pada tahun 2010. Lomba Surat kepada Presiden SBY yang diadakan oleh Dompet Dhuafa Hong Kong mengantarkan Daniella Jaladara menjadi pemenang, melalui suratnya 'Surat Berdarah kepada Bapak Presiden.' Kumpulan surat yang terbaik juga dari lomba itu juga sudah dibukukan dengan judul yang sama. Antologi ini bahkan membawa nilai politis, ketika migrant care di Surabaya membawa buku ini sebagai simbol perjuangan, diserahkan kepada Pakde Karwo dan SBY. Meski orang-orang penting ini belum tentu membacanya, tak urung liputan media mendongkrak nilai politisnya. Cerita 'Surat Berdarah' bahkan berulang-kali dibaca dalam demo perburuhan, dan peragawati kondang Ratih Sanggarwati sempat menjadi pembaca surat itu di depan publik. 

Apakah lomba Surat dari Seberang ini nantinya akan bermuara sama, saya tidak tahu pasti. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa semangat perlawanan memang menjadi nafas berbagai agenda organisasi perburuhan. Nama Pilar sendiri sudah mewakilinya, Tolak Overcharging. Ini untuk menyuarakan perlawanan terhadap praktik-praktik pemerasan, sebagai hasil 'konspirasi ' agen tenaga-kerja di Indonesia, pemerintah Indonesia sendiri, agen di HK, dan juga para majikan. 

Meski mengusung semangat perlawanan seperti itu, toh para BMI yang berpartisipasi memaknai lomba ini secara bervariasi. Cerita beraneka warna tertuang. Isu-isu dari negeri hutan beton diwakili oleh kisah-kisah sedih tentang majikan yang pelit, menahan gaji, underpayment, tidak ada libur. Banyak juga cerita manis seperti persahabatan dengan warga lokal Hong Kong dan aktivitas menulis yang diikuti penulis surat. Di sisi lain, luapan emosi yang bergerak dari kerinduan terhadap anak, suami, dan orang-tua berlomba dengan kekecewaan dan kemarahan atas sikap konsumtif keluarga dan bahkan ketidak-setiaan pasangan. Ungkapan-ungkapan seperti 'apa kalian tidak bisa ikut memikirkan perasaanku, selain minta uang dan uang terus,' 'pikirkan ulang untuk mentalakku,' sampai permintaan cerai bisa ditemui di sebagian surat. 

Tentu saja semangat perjuangan tak lepas dari isi tiap surat. Seperti yang saya duga, dari hasil pengamatan dan wawancara selama ini, dorongan untuk terus mengedukasi diri inilah yang membuat para BMI berani menyuarakan hatinya. Gayatri Spivak, pakar postcolonial studies, melontarkan pertanyaan yang fenomenal, 'Can Subaltern Speak?' Para buruh migran adalah figur 'subaltern,' baik dari sisi gender, ras, maupun kelas. Saya berani memastikan bahwa lomba Surat dari Seberang ini menjawab pertanyaan Spivak. Melalui literasi, sekali lagi BMI meneguhkan bahwa mereka juga punya suara. 

Batas spasial bukan lagi tantangan. Dengan literasi digital yang sudah mereka kuasai, batas darat dan air semakin kabur di udara. Para BMI tak henti berupaya sampai berdarah-darah untuk membuktikan bahwa suara mereka layak didengar. 

Ketika kebisuan harus dipecah, wahana apa yang lebih abadi daripada menuliskan kata-katamu sendiri? 

No comments: