Tuesday, October 15, 2013

Saat Hati tengah Rapuh


Ada postingan yang amat menyentuh dikirim oleh mas Ihsan di milis Keluarga Unesa. Berikut kisahnya:

Ada kisah menarik tentang semangat dakwah, yang disampaikan oleh DR. Muhammad Ratib an-Nabulsy saat Khuthbah Jumat tertanggal 2 Juli 2010. Sebuah kisah inspiratif  terjadi di Amsterdam yang sangat menarik untuk disimak. 
“Menjadi kebiasaan di hari Jumat, seorang Imam masjid dan anaknya yang berumur 11 tahun membagi brosur di jalan-jalan dan keramaian, sebuah brosur dakwah yang berjudul “Thariiqun ilal jannah” (jalan menuju jannah).

Tapi kali ini, suasana sangat dingin ditambah rintik air hujan yang membuat orang benar-benar malas untuk keluar rumah. Si anak telah siap memakai pakaian tebal dan jas hujan untuk mencegah dinginnya udara, lalu ia berkata kepada sang ayah,

“Saya sudah siap, Ayah!”

“Siap untuk apa, Nak?”

“Ayah, bukankah ini waktunya kita menyebarkan brosur ‘jalan menuju jannah’?”

“Udara di luar sangat dingin, apalagi gerimis.”

“Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!” “Saya tidak tahan dengan suasana dingin di luar.”

“Ayah, jika diijinkan, saya ingin menyebarkan brosur ini sendirian.”

Sang ayah diam sejenak lalu berkata, “Baiklah, pergilah dengan membawa beberapa brosur yang ada.”

Anak itupun keluar ke jalanan kota untuk membagi brosur kepada orang yang dijumpainya, juga dari pintu ke pintu. Dua jam berjalan, dan brosur hanya tersisa sedikit saja. Jalanan sepi dan ia tak menjumpai lagi orang yang lalu lalang di jalanan. Ia pun mendatangi sebuah rumah untuk membagikan brosur itu. Ia pencet tombol bel rumah, namun tak ada jawaban. Ia pencet lagi, dan tak ada yang keluar. Hampir saja ia pergi, namun seakan ada suatu rasa yang menghalanginya. Untuk kesekian kali ia kembali memencet bel, dan ia ketuk pintu dengan lebih keras. Ia tunggu beberapa lama, hingga pintu terbuka pelan. Ada wanita tua keluar dengan raut wajah yang menyiratkan kesedihan yang dalam Wanita itu berkata, “Apa yang bisa dibantu wahai anakku?”

Dengan wajah ceria, senyum yang bersahabat si anak berkata, “Nek, mohon maaf jika saya mengganggu Anda, saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda, dan saya membawa brosur dakwah untuk Anda yang menjelaskan bagaimana Anda mengenal Allah, apa yang seharusnya dilakukan manusia dan bagaimana cara memperoleh ridha-Nya.”

Anak itu menyerahkan brosurnya, dan sebelum ia pergi wanita itu sempat berkata, “Terimakasih, Nak.”

Sepekan Kemudian

Usai shalat Jumat, seperti biasa Imam masjid berdiri dan menyampaikan sedikit taushiyah, lalu berkata, “Adakah di antara hadirin yang ingin bertanya, atau ingin mengutarakan sesuatu?”

Di barisan belakang, terdengar seorang wanita tua berkata,

“Tak ada di antara hadirin ini yang mengenaliku, dan baru kali ini saya datang ke tempat ini. Sebelum Jumat yang lalu saya belum menjadi seorang muslimah, dan tidak berfikir untuk menjadi seperti ini sebelumnya. Sekitar sebulan lalu suamiku meninggal, padahal ia satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Hari Jumat yang lalu, saat udara sangat dingin dan diiringi gerimis, saya kalap, karena tak tersisa lagi harapanku untuk hidup. Maka saya mengambil tali dan kursi, lalu saya membawanya ke kamar atas di rumahku. Saya ikat satu ujung tali di kayu atap. Saya berdiri di kursi, lalu saya kalungkan ujung tali yang satunya ke leher, saya memutuskan untuk bunuh diri.

Tapi, tiba-tiba terdengar olehku suara bel rumah di lantai bawah. Saya menunggu sesaat dan tidak menjawab, “paling sebentar lagi pergi”, batinku.

Tapi ternyata bel berdering lagi, dan kuperhatikan ketukan pintu semakin keras terdengar. Lalu saya lepas tali yang melingkar di leher, dan saya turun untuk sekedar melihat siapa yang mengetuk pintu.

Saat kubuka pintu, kulihat seorang bocah berwajah ceria, dengan senyuman laksana malaikat dan aku belum pernah melihat anak seperti itu. Ia mengucapkan kata-kata yang sangat menyentuh sanubariku, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.” Kemudian anak itu menyodorkan brosur kepadaku yang berjudul, “Jalan Menuju Jannah.”

Akupun segera menutup pintu, aku mulai membaca isi brosur. Setelah membacanya, aku naik ke lantai atas, melepaskan ikatan tali di atap dan menyingkirkan kursi. Saya telah mantap untuk tidak memerlukan itu lagi selamanya.

Anda tahu, sekarang ini saya benar-benar merasa sangat bahagia, karena bisa mengenal Allah yang Esa, tiada ilah yang haq selain Dia.

Dan karena alamat markaz dakwah tertera di brosur itu, maka saya datang ke sini sendirian utk mengucapkan pujian kepada Allah, kemudian berterimakasih kepada kalian, khususnya ‘malaikat’ kecil yang telah mendatangiku pada saat yang sangat tepat. Mudah-mudahan itu menjadi sebab selamat saya dari kesengsaraan menuju kebahagiaan jannah yang abadi.

Mengalirlah air mati para jamaah yang hadir di masjid, gemuruh takbir. Allahu Akbar. Menggema di ruangan. Sementara sang Imam turun dari mimbarnya, menuju shaf paling depan, tempat dimana puteranya yang tak lain adalah ‘malaikat’ kecil itu duduk. Sang ayah mendekap dan mencium anaknya diiringi tangisan haru. Allahu Akbar!”

Lihatlah bagaimana antusias anak kecil itu tatkala berdakwah, hingga dia mengatakan “Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!” Ia tidak bisa membiarkan manusia berjalan menuju neraka. Ia ingin kiranya bisa mencegah mereka, lalu membimbingnya menuju jalan ke jannah.

Lihat pula bagaimana ia berdakwah, menunjukkan wajah ceria dan memberikan kabar gembira, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.” Siapa yang tidak trenyuh hati mendengarkan kata-katanya?

Berdakwah dengan apa apa yang ia mampu, juga patut dijadikan teladan. Bisa jadi,tanpa kita sadari, cara dakwah sederhana yang kita lakukan ternyata berdampak luar biasa. Menjadi sebab datangnya hidayah bagi seseorang. Padahal, satu orang yang mendapat hidayah dengan sebab dakwah kita, lebih baik baik bagi kita daripada mendapat hadiah onta merah. Wallahu a’lam bishawab.

Sumber: arrisalah.net

========

Subhanallah. Merinding saya membaca kisah ini. Jadi mewek lagi.

Tadi pagi pas shalat Eid di Sports Center Unimelb, saya sudah mewek habis. Mengikuti bacaan surah Al-A'la di rakaat pertama, dan tiga ayat terakhir surah Al-Baqarah yang dilantunkan dengan syahdu oleh Ust. Hamim Jufri. 

Memang betul, memahami makna ayat-ayat atau doa yang kita baca selama dan sesudah shalat akan menghujam qalbu. Air mata menetes deras, jatuh ke sajadah saat ruku' dan sujud. Merasa amat kecil di mata Allah. Berharap ampunanNya. BerkahNya. 

Mungkin isak hening saya terdengar teman sebelah. drg. Epita, dosen USU, merangkul saya. Mendoakan saya untuk kesembuhan dan kemudahan urusan. Saya cium tangan ibu Leila Budiman, istri Prof. Arief Budiman. Beliau duduk di sebelah kak Evita. 

Pertemuan saya untuk kesekian kalinya dengan bu Leila di Melbourne tak pelak memberikan semangat. Meski saya sebenarnya tidak/belum pernah curhat apa-apa. Nama Leila Budiman sudah akrab di hari-hari Minggu saya berpuluh-puluh tahun lalu. Rubrik konsultasi psikologi Kompas Minggu tidak pernah saya lewatkan. Bahkan sejak masih diasuh M.A.W. Brouwer, yang kemudian digantikan bu Leila. Topik-topik yang bagus dan mengena di hati malah sempat saya kliping. Boleh dikata, kehadiran bu Leila lewat rubrik itu banyak membantu saya mengatasi masalah dalam hidup saya.

Ketika kemudian saya malah bertemu bu Leila dan pak Arief Budiman di Surau Kita saat Ramadhan, kenangan masa lalu seakan muncul kembali. Dalam bentuk suntikan semangat hidup yang terpancar teduh di wajah dua public figure yang sudah jadi Permanent Resident di Aussie. 

Hidup ini layaknya lukisan kruistik. Dilihat dari sisi belakang, yang nampak hanyalah untaian benang tak beraturan. Simpul di sana-sini. Potongan benang di banyak sudut. Namun dari sisi depan, dipandang dari kejauhan, alangkah indahnya karya tangan ini. 

Saya ingat sebuah kalimat dari seorang psikolog yang pernah saya surati ketika sedang butuh pencerahan. "Mungkin Allah sedang menyiapkan kado terindah buat dirimu." Kalimat ini terngiang lagi, saat hati sedang rapuh. Dibutuhkan kesabaran, keteguhan, dan keikhlasan dalam tiap langkah.


Entah mengapa, saya melihat banyak titik masa lalu sedang terhubung di masa sekarang. Semoga akan membentuk gambaran indah di masa depan. Lamunan ini seakan membangunkan saya untuk tetap tegak dalam kondisi apapun. Begitu banyak orang yang sudah berkorban untuk saya, tapi apakah saya sudah cukup memberi untuk orang-orang di sekitar saya. Semoga Allah memberi saya kesempatan hidup yang lebih bermanfaat buat sesama. 

No comments: