Thursday, October 24, 2013

Bagaimana Literasi Merekatkan Keluarga

Kemarin dulu aku ngobrol dengan bapak via telpon. Kegiatan rutin saja. Saling menanyakan kabar. Cerita kegiatan masing-masing dalam seminggu ini. Bapak kemudian menyebut nama Ella. Bapak memang masih mengingat dengan baik sahabat-sahabatku sejak jaman SMP sampai kuliah. Termasuk di antaranya, Prof. Luthfiyah Nurlaela, "Kapan-kapan bapak pingin ngobrol sama Ella. Mudah-mudahan masih ingat bapak ya. Dulu pas jaman Himapala kan sering ketemu." Bapak kemudian bertanya lebih lanjut tentang aktivitas Ella sekarang. Aku ceritakan semua yang terekam tentang Ella. Dan bahwa sampai kini tetap berhubungan via milis Keluarga Unesa.

Bapak juga bertanya apakah Ella sekarang sudah pindah ke Tanggulangin. Aku jadi penasaran. "Kok bapak tahu tentang Ella dan rumah Tanggulangin?" Eh, ternyata buku Jejak-jejak Penuh Kesan yang bergambar Ella payungan sudah habis dibaca bapak. Bahkan buku itu sudah muter dari tangan satu ke tangan lain. Mulai ibu, Yanti adikku yang tinggal di Sidoarjo, Riris dan Inez, dua ponakanku, anak Yanti, yang juga kutu buku. 

Begitulah kebiasaan literasi di keluargaku. Rak buku di Kebraon selalu menjadi jujugan bapak dan ponakan, bila mereka sedang dolan ke rumah. Itulah sebabnya, setiap ada buku baru, aku segerakan membaca. Karena tiap kali bapak dan ibu menginap ke rumah, yang dicari selalu buku yang belum selesai dibaca atau yang baru datang. Kalau tidak segera aku selesaikan, alamat tidak sempat menghabiskan. Keburu berpindah tangan. Berpindah lokasi. Dari Ngagel ke Sidoarjo dan ke Pondok Candra. Yang terakhir adalah rumah mertua Iin, adik perempuanku yang keempat. Dia juga suka melalap buku apapun yang baru selesai aku baca.

Jadi jangan heran bila buku The Twenty Years of Joy and Happiness punya mas Satria juga sudah menjadi bahan obrolan kami. Buku Ibu Guru, saya Ingin Membaca, hasil kompilasi Rukin, juga sudah disantap bapak. Kalau tidak saya bawa ke Melbourne untuk bahan tambahan tesis, mungkin buku itu sudah terbang ke mana lagi. Novel-novel Andrea Hirata baru saja kembali ke rumah setelah berbulan-bulan beredar dari satu rumah ke rumah lain di keluarga kami. Novel dan antologi para buruh migran Hong Kong juga sudah membuat hati bapakku terharu. Pendeknya, bahan yang aku gunakan untuk tesis sudah dibaca bapak juga.  

Menengok ke belakang, aku harus berterima kasih kepada bapak dan ibu. Merekalah yang meletakkan dasar kuat cintaku atas buku. Saat SD dulu, salah satu kenangan yang membekas adalah kebiasaan bapak mengajakku ke Sari Agung di jalan Tunjungan. Aku dilepas saja di situ. Ndhodhok membaca habis beberapa komik atau cerita rakyat. Dongeng epik Ramayana dan Mahabarata lebih banyak kunikmati dari hasil nongkrong berjam-jam di toko buku. Baru setelah itu mengambil 1-2 buku untuk dibeli. Itu di luar acara nonton film silat atau koboi, dan tak lupa, nonton bola di Gelora Tambaksari. Ya, anak-anak perempuan bapak juga penggila bola dulu. Tapi kapan-kapan saja aku cerita yang ini.

Ibu menegaskan cintaku terhadap sastra tanpa disadari melalui dongeng sebelum tidur. Tempat tidur yang kami pakai seperti pindang berjajar menjadi saksi lelapnya tidur kami, yang dialun oleh "Pada Suatu Hari" atau "Ing sakwijining dino." Cerita-cerita Bawang Putih, Timun Mas dan Buto Ijo sudah aku kenal melalui naratif lisan dari ibu. Sebelum kemudian kutemukan versi tulisnya dari koleksi buku cerita. 

Seingatku, hampir tidak ada koleksi mainan di rumah masa kecilku. Kalaupun ada, mungkin itu dibeli saat ada keramaian Mauludan di pasar Wonokromo. Tapi aku cukup bangga punya banyak koleksi buku. Saat kelas 4 atau 5 SD dulu kalau tidak salah, saya ingat sudah membuat daftar judul buku dan pengarangnya. Jumlahnya ada sekitar 50an judul. Juga setumpukan majalah langganan Bobo .Tentu saja itu di luar buku komik pinjaman dari persewaan dekat rumah.  Bahkan juga cerita seri Api di Bukit Menoreh yang rutin dipinjam bapak dari persewaan di Ngagel Rejo. Aku sering diminta meminjam atau mengembalikan lanjutannya. Jadinya aku juga ikut tenggelam dalam lamunan Ratri, salah satu tokoh dalam cerita itu. Saking demennya, aku masih ingat kata regol yang pertama kali kukenal lewat cerita seri itu. Kesengsem dengan nama-nama tokohnya, Ratri, Panggiring, Bramanti. Di telingaku, nama-nama ini terdengar eksotis. 

Kami juga pelanggan Kompas dan Intisari sejak dulu. Karena saking akrabnya dengan bahasa Kompas, aku jadi tahu kemudian bahwa membaca koran lain jadi 'terlalu' ringan. Entah karena kecintaan terhadap sastra sudah tertanam atau bagaimana, yang jelas cerita bersambung di Kompas tak pernah lewat kami baca sekeluarga. Aku dan adik-adik bergiliran menggunting bagian cerbung untuk dikompilasi. Ronggeng Dukuh Paruk sudah habis kubaca dalam format cerbung, jauh sebelum versi novelnya beredar.  

Karena sudah terbiasa menghabiskan akhir pekan nongkrong ke Sari Agung, aku kadang tidak sadar bahwa ada tempat-tempat lain yang barangkali lebih menarik buat para remaja. Saat SMA dulu, ketika sudah bisa dolan sendiri, aku teruskan kebiasaan itu. Hanya saja tempatnya bertambah dengan adanya Gramedia. Juga kemudian setelah Sari Agung ditutup. Tapi seingatku, semua teman yang pernah dekat jaman SMA dan kuliah lebih sering kuarahkan ke Gramedia. Entah itu membuat bosan bagi teman atau tidak. Saat itu, aku tidak terlalu peduli. Yang penting bisa nongkrong beberapa jam membaca gratis sampai bosan. 

Aku baru sadar bahwa beberapa buku-buku yang pernah kubaca ternyata sastra klasik. Saat SMA, aku sudah mulai membaca drama-drama Shakespeare dalam versi bahasa Inggris. Tentu saja masih simplified version. Bisa jadi karena saat itu lagi getol kursus bahasa Inggris di PPIA Dr. Soetomo. Perpustakaannya sering menantangku untuk memperluas bahan bacaan dalam bahasa asing. Setelah kuliah di IKIP Surabaya, barulah aku ngeh dengan nama-nama Shakespeare, Hemingway, Mark Twain. Ternyata ada bagian dari masa kecil yang ikut andil di dalamnya. Padahal dulu kukira cerita Tom Sawyer dan Huck Finn adalah cerita anak-anak. 

Meloncat kembali ke masa kini, aku sering merenungkan betapa kedekatanku dengan buku adalah hasil bentukan orang-tua. Dalam pandanganku sekarang ini, bapak dan ibu telah berhasil memadukan sastra lisan dan tulis dalam membentuk dunia literasiku seperti sekarang ini. Sebagai seorang dosen, yang cenderung mencari penegasan teori untuk praktik literasi dalam keluarga, aku juga semakin lega bahwa parent-child attachment theory dalam dunia psikologi memang amat berperan membentuk kebiasaan literasi pada anak. Aku lihat Adzra, misalnya. Sebelum lelap tidur, dia sering bilang, "Mommy, you keep reading okay. I'm going to sleep." Persis seperti masa-masa kecilku yang lelap dalam dongengan ibu yang belum selesai. Kalau dia belum bisa tidur, biasanya teringat buku-buku yang ingin dia usung ke tempat tidur. Aku sering membayangkan Tiwik kecil dalam diri Adzra. Only the revised and more sophisticated version. 

Ketika jauh seperti sekarang ini, aku tahu bapak ibu rindu dengan anaknya. Sebagaimana rinduku kepada mereka berdua. Namun aku tahu, kehadiran buku-buku tulisan sahabat-sahabatku, akan senantiasa merekatkan hati bapak-ibu-anak. Tulisan-tulisan di blogku senantiasa menggantikan kehadiranku secara fisik.Giliranku sebagai anak yang berbagi cerita kepada keluarga. 

Aku tahu kini, mengapa bapak menyuruhku masuk jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Surabaya. Itu hasil tes Sipenmaru. Bukannya meneruskan langkah ke D3 Teknik Kimia ITS yang sebenarnya sudah membuka pintunya buatku lewat jalur tes lokal di ITS. Entah alasan apa juga yang membuatku akhirnya mengarahkan sepeda motor ke arah Ketintang. Registrasi sebagai calon guru. Meski hari-hari sebelumnya, bantal sudah basah dengan tetesan air mata. Orang-tua memang tahu yang terbaik untuk anak-anaknya. 

No comments: