Wednesday, March 12, 2014

MELEK LITERASI = MENJADI MODERN?

Saya lagi sedikit galau. Setelah hampir dua bulan berkutat dengan bab tentang proses kreatif para buruh migran Indonesia di Hong Kong yang aktif menulis, entah darimana asalnya, saya tiba-tiba mengarahkan bab ini ke tema Literacy and Modernity. Sebenarnya bukan muncul tiba-tiba ding. Supervisor saya pernah menyelipkan komentar tentang konsep modernity di bab sebelumnya tentang 'suitcase libraries' yang sementara saya anggap kelar.

Jadilah saya intip-intip lagi referensi tentang Modernity. Semakin bersemangat ketika supervisor malah mengusulkan tema ini untuk keseluruhan tesis. Namun sisi lain otak saya bicara, "waduh, ini akan jadi a big overhaul." Tesisnya akan lebih kompleks, meski tak berubah haluan seperti dugaan awal saya. Toh akhirnya saya terima 'tantangan' ini. 

Semakin banyak baca, saya jadi semakin ragu dengan argumen saya. Saya coba kaitkan antara literasi dengan modernitas, dan yang muncul adalah pandangan bahwa literasi adalah bagian dari proses modernisasi. Dalam konsep masyarakat modern, literasi adalah salah satu aspek yang menjadi tolok ukur terjadinya transformasi sosial. Tujuan peningkatan kemampuan literasi dalam tataran ini adalah adalah social mobility, advanced cognition, modern individuals (and community)

Sebenarnya tidak ada yang salah. Siapa pula yang akan menolak anggapan bahwa literasi tidak penting untuk arah modernisasi seperti yang saya katakan di atas? Masalahnya, saya sudah terlanjur menyatakan sejak awal tesis bahwa saya mengikuti ideological model of literacy. Dalam model ini, literasi adalah praktik sosial yang sarat dengan relasi kekuasaan dan amat dipengaruhi oleh konteks sosial budaya. Sedangkan pandangan tentang literasi sebagai jalan menuju modernisasi adalah inti dari 'autonomous model of literacy.' Bertolak belakang dengan model ideologis, model otonomi dinilai netral dari nilai-nilai sosial budaya.

Tentu saja saya tidak ingin mengubah model. Bagaimanapun, penelitian saya adalah literasi sebagai praktik sosial, terutama pada komunitas buruh migran. Lalu apa kemudian saya tidak bisa mengatakan bahwa literasi mereka adalah bagian dari proses menjadi 'lebih modern?'

Di sinilah saya mulai melek lagi dengan adanya berbagai lapisan konsep modernitas. Membaca lagi referensi ternyata membuat pikiran jadi lebih teliti dan kritis (hikks, kemana aja selama ini?). Modernitas yang diusung konsep literasi model otonomi adalah modernitas a la Barat. Proses menjadi modern dianggap sebagai proses yang linier, yang ditandai dengan prosedur, keteraturan, dan berbagai aspek yang membuktikan terjadinya transformasi sosial. Model ini mengacu pada dunia Barat (khususnya AS) sebagai tolok ukur. Negara (atau komunitas) lain bisa dianggap modern bila memenuhi ciri-ciri yang bisa ditemukan di masyarakat modern di berbagai belahan dunia (terutama 'negara berkembang').

Konsep modernitas yang tunggal ini sudah lama menjadi sasaran kritik para sosiolog dan pakar budaya. Alasan utamanya, modernitas tidaklah berarti 'kebarat-baratan.' Setiap negara dan komunitas masyarakat memiliki jalan sendiri-sendiri dalam mencapai masyarakat modern, dengan proses yang tidak linier. Lebih dari itu, makna modern itu beda di mata masyarakat lain. 

Maka muncullah konsep 'alternative modernity,' dan kemudian ada lagi 'multiple modernities.' Belum lagi 'varieties of modernity.' Asli saya sempat bingung mau yang mana (Emang lagi shopping?) Tapi ternyata saya bisa saja memadukan mana yang pas dengan argumen saya. Yang jelas sekarang saya sudah menemukan jawabannya (untuk sementara). Literasi para BMI adalah bagian dari proses modernisasi dalam perspektif 'multiple modernities.'

Lalu apa sebenarnya makna modern itu? Mungkin selama ini kita cenderung berasumsi bahwa kata modern memiliki aspek spatial. Maksudnya merujuk pada satu tempat. Surabaya itu modern, dan sebuah desa terpencil bernama A itu belum modern. Itu kalau kita pakai kacamata modernitas yang singular. 

Modern bukanlah semata-mata dilihat dari baju apa yang kita kenakan, HP merek apa yang kita genggam, di mana kita tinggal, di warung mana kita makan? Modern lebih tepat terarah pada apa yang ada di benak kita. Apakah kita senantiasa mempertanyakan realita yang ada di sekitar kita? Apakah kita mampu melakukan koreksi diri? Apakah kita mampu memainkan peran lain di luar yang sudah ditempelkan pada kita? Baik secara individu maupun kolektif. Bila jawabannya YA, maka di situlah sosok manusia modern ditemukan.

Kembali ke literasi dan modernitas. Apabila keterlibatan para BMI di dunia literasi mampu mengubah peran mereka dari 'sekedar' pekerja rumah tangga, saya berani mengangkat tema modernitas untuk keseluruhan tesis saya. Dan nyatanya, para BMI penulis yang saya kenal itu mampu berperan jamak. Mereka memang domestic helper, namun sekaligus penulis, jurnalis, editor, penggerak perpustakaan, blogger. Lebih dari itu, mereka menggerakkan literasi untuk pemberdayaan komunitas. 

Saya jadi bertanya pada diri sendiri. Untuk apa praktik literasi saya selama ini? Apakah saya membaca dan menulis hanya untuk kepentingan diri sendiri? Apakah bacaan dan tulisan saya membuat saya berperan lebih dari sekedar mahasiswa PhD atau dosen yang sedang tugas belajar? Pendeknya, apakah saya boleh memasang label 'modern' pada diri saya sendiri? 

Inilah sementara curhat saya tentang literasi (sambil membayangkan 3-4 minggu ke depan menata ulang kerangka teori*:| straight face).

1 comment:

Irfan Wahyudi said...

menarik sekali mbak. Salam kenal. Saya juga meneliti mengenai buruh migran :)