Wednesday, March 12, 2014

MENAPAK TANGGA LITERASI

Sekitar 1 bulan yang lalu, Adzra pulang sekolah dengan tergopoh-gopoh.
"Mommy, mommy, I wanna show you something!"

Begitulah dia selalu memulai celotehannya.Sambil mengeluarkan buku dari tas birunya, dia teruskan: 

"You know what. I'm level 12 now. Ooooh, I'm so happy."

Adzra pasti amat gembira. Reading level-nya menginjak level 12 di pertengahan term 1 grade 1 ini. Di awal term, dia memulai literacy program dari level 5-6. Itu level yang terakhir dia capai saat di Prep year.


Apa makna level 12 ini? Menurut reading benchmark di Australia, di level ini, teks yang dibaca memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:


- straightforward sentence and structures continue with supportive phrases and placement
- varied sentence patterns which may have repeated phrases or refrains
- complete story develops with more episodes using literary language
- illustrations provide lower level of support
- specialised vocabulary for some topics
- opportunities to extend reader’s understanding of words and their relationships
- continues theme of building on situations that are possibly familiar to students
- further opportunities to learn how words work


Secara sederhana, boleh saya katakan bahwa level 11 ke atas sudah melewati emergent literacy. Artinya, anak tidak lagi melalui proses sounding out. Alias sudah lancar membaca. Saya perhatikan di dalam buku yang dia bawa pulang tiap hari untuk home reading, pemilihan katanya sudah semakin meningkat taraf kesulitannya. Sudah mulai banyak kata yang terdiri dari 2-3 suku kata. Meski begitu, kalimatnya tetap berbentuk kalimar tunggal.


Perlu diingat bahwa tingkat kelas (grade 1-6 misalnya) dengan tingkat kemampuan membaca adalah dua hal yang berbeda. Meski untuk tiap tingkat ditetapkan reading level yang disarankan untuk dicapai, pada dasarnya tiap anak memiliki tingkat membaca yang berbeda. Misalnya saja, di prep dulu, Adzra punya teman baik, sesama anak Indonesia, yang reading levelnya sudah mencapai 20-an. Itu artinya struktur kalimat dalam buku mulai lebih panjang dan kompleks. Sementara itu, di grade 1 sekarang, ada temannya yang masih di level 5. Itu berarti masih banyak melibatkan sounding out ketika membaca. Kalimatnya juga pendek-pendek, dengan rata-rata satu suku kata per kata.


Kalau tiap anak punya level yang berbeda, lalu bagaimana literacy program dijalankan? Satu hal yang patut dicatat adalah, pada level early literacy, proses pembelajaran selalu dalam bentuk one-on-one atau group reading. Perkembangan tiap anak akan dicatat. Seorang anak bisa saja meloncat ke 2-3 level di atasnya bila dianggap siap, namun bisa juga 'ngendon' lama di level tertentu. Adzra misalnya, di grade 1 ini mulai dari level 6, meloncat ke 8, 10, dan sekarang 12. Dulu saat masih di Prep Year, durasi di level 1-3 saja lebih dari setengah tahun.


Toh itu tidak membuat saya cemas. Saya justru lebih khawatir ketika ada level yang diloncati. Jangan-jangan dia malah jadi kesulitan membaca, dan ujung-ujungnya malah jadi malas membaca. Bila ada level yang dilewati, saya biasanya mengecek garis warna-warni di halaman belakang buku. Ternyata level yang diloncati masih setara dengan level buku yang dia baca. Syukurlah kalau begitu. Saya pribadi tidak ingin Adzra buru-buru loncat ke level 15 misalnya. Too risky! Lebih asyik menikmati dia membaca cerita di level sesuai dengan kemampuannya. Di situ dia bisa membaca dengan tone yang pas dengan jalannya cerita. Bila ada 1-2 kata yang dia masih struggling, di situlah 'comprehensible input' masuk. Ini katanya teori Second Language Acquisition.


Bagaimana pula jenis teks yang dibaca? Di kacamata seorang pengajar bahasa Inggris seperti saya, menarik sekali mengamati bagaimana berbagai jenis teks (narrative, recount, descriptive, report, procedure) sudah menjadi bagian sehari-hari. Bahkan Adzrapun paham bahwa di dalam cerita fiksi, selalu ada problem (conflict). Akhirnya diskusi saya dengan dia setelah baca buku jadi menarik. Saya bisa tanya, "what's the problem in the story?," "who's the character," "do you think this is real?" Atau kadang Adzra sendiri yang berkomentar, "that can't be real." Atau bagaimana telinganya menangkap nuansa puitis dalam baris kalimat, "wow, these words rhyme."

Menengok program literasi di tanah air (bila ada), kita tidak perlu kaget mengapa ranking Indonesia di tes PISA 2013 hampir buncit (64 dari 65 negara peserta untuk reading literacy). Problemnya bukan hanya sekedar kebiasaan membaca di kelas dan di rumah. Critical literacy skill belum menjadi bagian dari proses pembelajaran. Sementara di sini, ketrampilan ini justru sudah dibangun sejak dini, sejak anak masih belajar membaca.

Mudah-mudahan saya tidak salah berasumsi. Tapi saya kok belum pernah melihat ada reading level yang dipakai untuk kategorisasi buku bacaan di tanah air. Bahkan kalau dilihat materi yang dibagikan sebagai bagian dari kurikulum, 2013 misalnya, jelas kelihatan bahwa anak diasumsikan berada di tingkat membaca yang sama. Buktinya, buku pegangan cuma satu. Saya tidak bicara tentang Lembar Kerja Siswa (LKS) atau buku penunjang.Tapi anak kelas 1 tidak bisa diasumsikan sudah pintar membaca kan? Bila sejak dini pembelajaran 'hanya' merujuk pada 1 sumber, bisa dibayangkan berapa ratus ribu anak yang berisiko 'belum melek literasi' dan tidak terdeteksi. Dan masalah ini akan berulang, menumpuk sampai ke level berikutnya.


Repotnya, pandangan umum tentang literasi adalah mampu baca tulis. Kalau sudah mampu mengeja huruf, membaca kalimat pendek, maka diasumsikan anak akan jalan sendiri. Lupa bahwa kemampuan membaca itu juga bertahap, perlu dilatihkan berulang-ulang. Supaya terbentuk menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Dan lebih penting lagi, anak perlu dipaparkan pada berbagai jenis teks. Lha untuk hal yang terakhir ini saja, nampaknya masih jauh panggang dari api.


Di sisi lain, reading level 1-26 di luar negeri ditargetkan untuk dilampaui ketika anak sudah sampai di grade 2/3. Setelah itu, anak-anak sudah mulai membaca chapter books (buku yang ada bab-babnya seperti novel anak-anak) sendiri. Meski begitu, chapter books juga sudah dikenal anak-anak sejak di grade 1, melalui storytelling session di kelas. Adzra sudah mengenal cerita Charlie and the Chocolate Factory karangan Roald Dahl karena gurunya yang baca buku di kelas.


Keikut-sertaan Indonesia di tes PISA sepertinya amat riskan dan sulit diharapkan mendongkrak ranking (meski ini bukan satu-satunya tujuan). Mau diganti berapa kalipun kurikulum pendidikan, selama program literasi tidak dibenahi dari tingkat dini, akan sulit diharapkan terbentuknya masyarakat yang melek literasi. Ini adalah proses yang akan memakan waktu yang lama. Mungkin 10 tahun. Mungkin 1 generasi. Tidak mungkin kita berangan-angan, bila kurikulum 2013 dibuat berbasis literasi misalnya, maka dalam tes PISA mendatang, ranking Indonesia akan terdongkrak di posisi 20 besar. Patutlah diapreasiasi kehendak pemerintah untuk ikut serta di tes internasional ini. Namun yang lebih penting adalah mempersiapkan program literasi yang solid dan menyentuh sejak pendidikan usia dini.


Pendidikan memang proses yang panjang dan tidak segera kelihatan hasilnya. Bila tidak dimulai sejak sekarang, kapan kita mau melihat keberhasilannya?

No comments: