Saturday, September 13, 2014

MEMAHAMI SUSTAINED SILENT READING (2)

Meneruskan tulisan sebelumnya tentang SSR, saya kebetulan sudah membaca tulisan di blog mas Satria Dharma beberapa tahun yang lalu. (Ini saya beri link-nya lagi ya, http://satriadharma.com/2006/02/21/%e2%80%9csustained-silent-reading%e2%80%9d-di-ruang-makan-saya/
dan
http://satriadharma.com/2006/02/23/ssr-di-ruang-makan-saya-part-ii/) Saya suka banget saat baca itu. Terfikir untuk menerapkannya di keluarga. Tapi belum ketuturan sampai sekarang.

Jujur, setelah saya baca lagi kedua tulisan itu, resepsi saya saat ini beda banget. Sekarang saya bisa menkonfirmasi dahsyatnya SSR. Barangkali karena dalam keseharian di sekolah, kedua anak saya, Adzra dan Ganta juga menjalani SSR. Itu bisa dilihat dari perubahan perilaku mereka terhadap buku. Ganta memang masih belum pada taraf avid reader. Tapi setidaknya saya perhatikan dia kadang menyelipkan buku di tasnya, dan saya tahu dia tidak sedang berangkat ke sekolah untuk pelajaran English.

Saya sempat mengamati bagaimana rutinitas SSR dijalankan di kelas Adzra tahun lalu. Saat itu saya membantu kegiatan literasi kelas sebagai parent helper. Di tingkat Prep, mayoritas anak belum bisa membaca, Namun mereka dibiasakan dengan rutinitas duduk bersama secara berpasangan. Satu buku 'dibaca' bareng. Uniknya, tiap pasangan duduk di karpet di dalam hola hoop besar. Cuma 10 menit. Setelah selesai, mereka mengembalikan buku. Rewardnya adalah satu cup susu coklat hangat dan cookies.

Di grade 1 ini, sekarang Adzra sudah mencapai reading level 19. Membacanya sudah cukup cepat. Bukunya juga lebih banyak halamannya, dengan kalimat yang mulai panjang dan lebih kompleks. Tadi pagi sambil sarapan, saya tanya apakah dia sudah bisa membaca diam (silent reading) Maka bercelotehlah dia.

"Of course Mommy, I do silent reading everyday. I do it in my literacy group. We usually do it after the roll."

Jadi SSR sudah menjadi bagian rutin di kelas Adzra. Setiap pagi setelah gurunya mengabsen, anak-anak diminta menukar buku yang dibawa pulang tadi malam. Memilih sendiri buku yang diinginkan sesuai levelnya. (Ada ratusan buku di rak dan box di kelas Adzra). Dan mereka akan membaca diam di kelompok masing-masing, sampai gurunya meminta mereka berhenti. Memasukkan buku tersebut untuk dibawa pulang sebagai home reading. Baru kemudian kegiatan lain berjalan. Dan kegiatan berikutnya ya tetap literasi.

Saya lama termenung sebelum menulis ini. Mengapa hal sesimpel ini tidak pernah diterapkan di sekolah-sekolah di tanah air ya. Padahal ini kegiatan yang cost-effective. Murah meriah. Terutama bila buku dibawa sendiri oleh siswa (seperti yang diterapkan oleh Steve Gardiner). Dan sama sekali tidak mengganggu rangkaian agenda kurikulum yang diwajibkan. Hal yang terakhir ini penting untuk menjawab banyak kekhawatiran apakah SSR akan mengganggu kelancaran proses belajar mengajar dan penerapan kurikulum (Akan saya tuliskan lebih detil di bagian lain nanti). Untuk menjawab pertanyaan saya, mas Satria memberi jawaban yang cukup menohok. "Because reading skill is never our concern as a nation. Never. Unas is.

Melihat besarnya kesenjangan penerapan literasi di negara-negara lain dan di tanah air, saya sampai pada kesimpulan bahwa kita tidak perlu menelusuri salahnya di mana. LPTK harus bisa menjadi garda depan. Bila guru-guru, terutama guru bahasa dan, terutama PGSD (dan pastinya program PPG) dilatih menjalankan SSR, saya optimis beberapa tahun ke depan akan bisa kita lihat perubahan di dunia literasi sekolah.

Salah satu kuncinya sekarang ada di jurusan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Saya berharap sekali kedua tetangga ini bisa berkolaborasi mendalami SSR  sebagai salah satu program literasi sekolah. Menggarap ini saja dulu sudah akan memberi dampak besar.

Saya harap teman-teman pendidik di manapun menyambut ajakan ini. Kita tidak mungkin berjalan sendirian. Ayo berkolaborasi menggerakkan literasi.

No comments: