Saturday, September 01, 2012

IT'S SPRING AGAIN: A ONE-YEAR REFLECTION OF A PHD MOMMY


September 2012. Tidak terasa genap 1 tahun sudah aku meninggalkan tanah air tercinta. Saat aku menginjakkan kakiku pertama kalinya di negeri kangguru, aku disambut oleh musim semi yang masih malu-malu. Aku diingatkan oleh sebutan Melbourne, a city with four seasons a day. Itu judul posting awalku di blog saat hari-hari pertamaku di sini. Angin dingin yang tak henti menerobos seolah memberi tanda, “life is not gonna be predictable, here.” 

Menengok kembali ke belakang, terlihat kilatan kenyamanan hidup yang kulepaskan. Mulai jajanan di warung yang hanya sejengkal dari rumah, pekerjaan yang meski melelahkan namun amat menyenangkan, atau keberadaan suami, keluarga, dan tetangga yang siap sedia bila dibutuhkan. Kutinggalkan zona nyamanku, dan kutapakkan langkahku pada hidup penuh tantangan dan gulatan emosi. Status baru yang kusandang: I’m just a struggling PhD mommy.  Menyeimbangkan antara tuntutan studi yang membutuhkan konsentrasi dan kemandirian tingkat tinggi dengan tanggung-jawab seorang ibu untuk dua anak yang juga belajar dengan cara yang baru. Ditambah dengan hubungan jarak jauh dengan suami yang membutuhkan kesabaran, ketahanan, dan saling pengertian tanpa syarat.

Tantangan dan pencapaian dalam 1 tahun ini bisa kugambarkan seperti pendakian gunung. Kalau dianalogikan dengan gunung Semeru, boleh dikata Ranu Kumbala sudah tercapai. Mengingat bulan-bulan saat proposal tidak kunjung kelar, anak yang kadang rewel atau sakit, sampai keuangan cepak sehingga perlu mengais dolar dengan kerja sambilan, sekarang aku bisa sejenak tersenyum lega. Dengan berbagai tanjakan dan turunan, alhamdulillah masa probationary candidature di tahun pertama bisa kulalui 1 bulan lebih awal daripada tenggat waktu. 

Masa rehat yang menenangkan, meski tidak lama, sempat kunikmati bersama, lengkap sekeluarga.  Itu saat suami datang menemani aku menghadapi ujian konfirmasi, dan yang terpenting, bersama dengan anak-anak berpuasa minggu terakhir dan berlebaran bersama. Mas Prapto ikut masak, bersih-bersih rumah, mengantar-jemput Adzra, menemani ke kampus, atau sekedar jalan-jalan tiap hari selama 10 hari. Aku sempat bilang padanya. “Mas ada di sini, hidupku serasa normal.” Biasanya serasa living around the clock. Belum lagi obrolan amat produktif tentang instrumen penelitianku. Mas Prapto menjadi informan uji coba interview questions yang sudah kusiapkan. Alhasil, beberapa perbaikan berhasil kulakukan berkat masukan kritis yang dia berikan. Hmm, kehadirannya benar-benar paket lengkap. Adzra sendiri punya cara sendiri mengungkapkan perasaannya. “Daddy, I don’t want you to go. Stay here with me. Please. Because I love you, forever.” Aku tahu, saat mas Prapto melambaikan tangannya di Skybus menuju bandara Tullamarine, sejatinya batinnya tidak mampu beranjak pergi.
Keberadaan ayahnya nampak membekas bagi Adzra. Sampai beberapa hari setelah ayahnya kembali ke Surabaya, Adzra menjadi agak sensitif. Bila pulang sekolah, yang ditanya adalah kenapa ayahnya harus pulang. Pola makan menjadi berubah. Kadang makan terus seperti tidak pernah kenyang, kadang tidak mau makan. Saat ber-skype dengan ayahnya, dan ditanya “How are you?,” jawabnya, “I’m not happy, I’m angry. Because you’re not here with me.” Seminggu setelah kepulangan mas Prapto ke tanah air adalah hari-hari penyesuaian kembali. Bila ingin jujur dengan perasaan, ternyata terasa sedikit lebih berat menjalani hari-hari sendiri lagi.

Bagaimanapun, kami harus kembali pada realitas. Hidup harus tetap berjalan, tanggung-jawab terhadap pekerjaan masing-masing harus tetap dilaksanakan. Pikiranku yang masih melayang dibuat terbangun oleh pesan-pesan YM mas Prapto. “Ayo ndang diurus travel grants untuk fieldwork. Mumpung masih anget informasinya dari supervisor.” Kebetulan saat ujian konfirmasi, kedua pembimbingku mengupayakan agar School of Culture and Communication mengupayakan dana talangan, mengingat beberapa travel grants dari kampus sudah lewat deadlinenya. Aku bilang ‘iya, iya,’ namun akhirnya sedikit panik setelah tahu bahwa ternyata ada travel grant dari Graduate School of Humanities and Social Sciences, yang deadline tinggal 3 hari. Itupun aku temukan saat iseng browsing di tengah kegalauan hati. Aku merasa tolol menjadi sosok yang terlalu melankolis. Kemana saja aku selama ini? Wake up, girl! Tanpa travel grants, hampir tidak mungkin aku bisa melaksanakan fieldwork di tanah air dan Hong Kong selama 2 bulan. Untunglah aku punya supervisor yang sangat supportive. Alhamdulillah akhirnya semua berkas persyaratan bisa aku serahkan 1 hari sebelum tenggat waktu.

It’s spring again. Datangnya musim semi kembali menjadi penanda tahun pertama studi lanjutku. Target-target penting seperti penyelesaian proposal, pengajuan beasiswa, dan etika penelitian bisa kuselesaikan lebih awal dari rencana. Hari-hari yang lebih menantang telah menanti di depan mata. Bab-bab berikutnya menunggu sentuhan, ada conference paper yang harus segera disiapkan, fieldwork yang aku geber 3 bulan mendatang juga memerlukan persiapan matang. Life is not a picnic, here. Semoga tempaan perjalanan sebelumnya memberikan arah dan cara melangkah yang lebih mantap untuk meneruskan pendakian. Puncak gunung mungkin masih belum akan terlihat. But I’ll be there eventually, insha Allah!    

Brunswick, 1 September 2012

Wednesday, July 04, 2012

BMI DAN LITERASI DIGITAL: SOSOK SEORANG RIE RIE


Suatu ketika, SBY prihatin terhadap kasus-kasus kekerasan yang masih saja menimpa para TKW di luar negeri. Kemudian SBY menyatakan:

Masih dalam perumusan agar mereka diberi HP, dan dijelaskan kepada siapa mereka harus memberi tahu dan apa saja yang dilaporkan. Di telepon genggam itu nantinya akan ada nomor telepon konsulat jenderal dan nomor darurat lainnya, agar mereka tetap dapat berkomunikasi (Presiden SBY)

Membaca keprihatinan SBY dan idenya tentang HP, saya ingin ketawa saja. Kemana saja dikau, Pak? TKW sekarang tidak perlu HP. Mereka sudah menjadi warga cybercommunity. Apa bapak tidak tahu bahwa banyak di antara mereka sudah banyak yang aktif menjadi blogger atau menjadi bagian dari citizen journalism?

Bicara tentang blogging adalah berbincang tentang literasi digital. Di dunia yang serba canggih seperti sekarang ini, kemampuan membaca dan menulis tidak lagi cukup untuk membantu kita melakukan aktivitas sehari-hari. Kita semakin dituntut untuk menjadi orang yang digitally literate, termasuk kenal dengan internet. Praktek-praktek literasi yang terkait dengan penggunaan internet di antaranya adalah blogging, chatting, instant messaging, social media networking, dan gaming.

Penggunaan internet yang semakin meningkat dalam kehidupan kita sehari-hari telah menggeser trend dalam dunia literasi, dari ‘read-only’ menjadi ‘read-write’ literacy. Hebatnya, kemampuan menulis menjadi titik focus dalam literasi digital, di mana setiap pengguna sekaligus juga menjadi penghasil teks. Baik pembuat maupun pengguna teks (dalam bentuk tulisan, gambar, suara, maupun video) dimungkinkan untuk terlibat secara interaktif.

Ketika seseorang memiliki digital capital, maka jarak dan waktu tidak akan terlalu signifikan lagi dalam membatasi ruang gerak. Ini berlaku untuk siapa saja. Pelaku bisnis yang terbang dari satu negara ke negara lain, guru yang mengajar di pelosok provinsi, dan  tak terkecuali para buruh migran Indonesia yang mengais dolar di Hong Kong atau Taiwan. Meski menit-menit mereka diisi dengan pekerjaan rumah tangga yang hampir tak ada habisnya, dengan libur hanya 1 hari/minggu, digital capital yang mereka miliki telah mampu menembus ruang jarak dan waktu, mengaburkan batas antara ruang publik/privat.

Mari kita tengok sosok seorang Rie rie, BMI Hong Kong yang berasal dari Blora. Rie rie dengan bangga menyebut dirinya sebagai seorang blogger. Rie rie memberi nama blognya Babu Ngeblog, dengan URL: http://babungeblog.blogspot.com. Disadari atau tidak oleh si empunya, pemberian nama blog ini sarat dengan permainan kata dalam politik identitas. Kita tahu bahwa kata ‘babu’ memiliki makna pejoratif dalam bahasa Jawa, dan lebih rendah daripada kata ‘pembantu’ misalnya. Sebaliknya, istilah ngeblog menyiratkan tingkat intelektualitas dan ketrampilan yang tidak dimiliki semua orang. Menabrakkan kedua kata ini sama halnya dengan sebuah perlawanan yang produktif, yang oleh Foucault disebut dengan reverse discourse. Makna nama blog Rie rie dikuatkan dengan profil sang blogger sendiri. “Not so ordinary ‘babu’ with not so ordinary thought.” Profil ini adalah sebuah upaya self-marketing yang cerdas dalam pencitraan diri sang blogger.

Kalau nama dan profil adalah bagian dari sampul buku, maka blogposts adalah isinya. Dan Rie rie mampu membuktikan bahwa bahwa dia tidak hanya membual di profilnya. Blog Rie rie sarat dengan berbagai jenis teks. Tidak hanya tulisan, namun juga gambar dan audio-visual, yang atraktif dan fungsional menjelaskan isi tiap tulisan. Besar kemungkinan gambar dan video yang diunggah juga hasil karya Rie rie sendiri. Di kalangan BMI Hong Kong, nama Rie rie nampaknya sudah dikenal sebagai seorang fotografer handal untuk acara-acara komunitas BMI.

Menengok tulisan-tulisan Rie rie seperti melakukan perjalanan budaya yang sarat dengan nuansa rasa. Rie rie menulis dalam berbagai ragam, mulai berita, cerpen, puisi, opini, bahkan cerita serial yang dia beri judul Serial Srinthil. Dari segi bahasa, Rie rie menunjukkan kualitas literasi multilingualnya dengan tidak hanya menggunakan bahasa Indonesia, namun juga bahasa Jawa, bahasa ibu Rie rie yang berasal dari Blitar. Tidak banyak orang yang menulis dalam bahasa ibunya, namun membaca cerita-cerita Rie dalam blog page-nya, Njawani, kita diajak untuk menikmati ramuan tradisional dalam balutan dunia modern. Bahasanya ‘mbeling.’ se-mbeling fantasi Rie rie tentang duet Lady Gaga dan Justin Bieber yang menyanyikan Jangkrik Genggong dalam cerita Punakawan Mbeling. Gurih dan menggelitik.

Rie rie juga membuktikan kualitasnya sebagai bagian dari mobilitas transnasional dengan kemampuan Bahasa Inggrisnya yang baik. Rie rie tidak hanya sekedar menyisipkan kata atau kalimat berbahasa Inggris.Lebih dari itu, dia menulis cerpen dalam Bahasa Inggris yang apik dan tertata. Cerpennya, My Magical Story, misalnya, berkisah tentang kemampuannya mendongeng dalam Bahasa Inggris, yang membuat anak majikannya lengket padanya. Dalam cerpen yang juga cerminan kesehariannya, nampak bahwa Rie rie sangat berbakat sebagai seorang pendongeng, yang bukan hanya membacakan cerita, namun menciptakan dongeng sendiri dalam Bahasa Inggris.

Tulisan-tulisan Rie rie, meski tentang kehidupan BMI, bukanlah cerita yang penuh air mata. Jari jemari Rie rie di atas keyboard menghasilkan cerita yang penuh semangat, menggugah tawa, namun sekaligus menyisakan perih di dada. Meski demikian, optimisme dalam hidup tetap menjiwai semua tulisan Rie Rie. Dalam semangat mendobrak stereotip TKW yang penurut, dungu, dan pasif, sebagaimana sering dicitrakan di media, Rie rie telah mampu mewakili teman-teman sesama BMInya untuk menyuarakan diri sendiri melalui praktek literasi digitalnya. Rie rie dan teman-temannya yang terjun aktif di dunia literasi menunjukkan pada dunia bahwa hidup mereka tidaklah sesempit dapur majikan. Mereka juga punya kehidupan lain yang memberikan peran berbeda bagi diri dan komunitas mereka. Sebagai representasi budaya, praktek literasi digital Rie rie adalah strategi perlawanan, yang sekaligus adalah kekuatan produktif untuk merekonstruksi identitas diri dan memberdayakan komunitasnya.

Monday, July 02, 2012

Adzra ceriwis in English

Biasanya hari Minggu kuhabiskan jalan-jalan ke kota atau sekedar belanja kebutuhan sehari-hari di toko-toko terdekat di sepanjang Sidney Road. Tinggal jalan saja 5-10 menit. Mencari panas matahari, untuk melawan geberan angin winter yang menggigit tulang. Tapi hari Minggu kali ini, hujan rintik sejak pagi. Suhu sudah jarang melewati 1 digit. Selain malas keluar,seharian aku berada di depan laptop. Menyelesaikan draft proposal yang rasanya tidak kunjung kelar saja. Setiap kali kubaca, selalu masih ada yang terlewatkan. Tapi hari ini aku ingin merampungkannya, apapun hasilnya nanti. 

Berkutat di depan laptop membuatku menjadi tidak terlalu banyak bermain dengan Adzra. Agak merasa bersalah sedikit, sih, tapi aku lihat dia sibuk bermain role play dengan boneka-bonekanya. Sesekali minta dibuatkan susu, atau digorengkan telur, atau pingin pipis. 

Menjelang mahgrib, mungkin Adzra sudah mulai tidak tenang ditinggal sibuk sendirian. Maka muncullah kebiasaannya. Adzra naik ke atas kursi dan minta dipangku. Dengan halus aku bilang, "Adzra, duduk sendiri gitu lho, ibu mau ngetik. Dan meluncurlah kalimat-kalimat 'aneh' dari mulutnya:

Adzra: I wanna sit here, Mommy. I wanna tell you something.
Aku (kaget, gembira tp berusaha tenang): What do you want to tell me?

Adzra utak-atik Note di I-Phoneku, menulis kata-kata yang sudah dia tahu, yakni namanya sendiri dan kata 'IBU.' Kemudian dia bertanya: What's this, mommy? 
Aku: That's your name.
Adzra: I want mas Ganta name?
Aku: O, you want mas Ganta's name?
Adzra: Yeah

Lalu kueja G-A-N-T-A dalam bahasa Inggris, sambil menunjukkan huruf yang belum dia hapal. Adzra sendiri sudah mulai terbiasa dengan pengucapan English alphabets.

Adzra: I want ayah's name. Prapto (sambil mengucapkan 'r' yang tidak jelas)

Sambil mengeja nama ayahnya, aku membatin. Adzra mungkin sudah mulai masuk ke production stage. Uh, jadi ingat teori Natural Approach yang diusung Krashen & Terrel tentang L2 Acquisition. Minggu ini Adzra semakin sering menghasilkan kalimat lengkap dalam Bahasa Inggris. Saat masnya belum pulang sekolah, dia bilang, 'I want mas Ganta here.' Bahkan beberapa malam yang lalu dia sempat nglindur, "Why? Why?... No...No." 

Kupeluk Adzra, dan kemudian dia katakan lagi. 

Adzra: I wanna sit on your la.
Aku: You mean, you wanna sit on my lap?
Adzra: Yeah, I wanna sit on your lap. I want with you forever.
Aku: You wanna be with me forever? Why?
Adzra: I wanna be with you forever. I want forever with you.
Aku: Why? Do you love me?
Adzra: Yeah, I love you. (sambil cium pipiku)
Aku: You're funny, sayang.
Adzra: I'm funny? Ok, you can play with me now.

Aku sudahi sementara pekerjaanku. Adzra terus ceriwis sendiri, ber-code switching dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Sambil membiarkan Adzra memainkan rambutku yang dia kuncir semaunya, cepat-cepat aku rekam kejadian barusan dalam tulisan. Kuatir kehilangan moment yang sangat berharga ini.