Awal September, saat kedatanganku di Melbourne, sebenarnya
telah memasuki musim semi. Itu teorinya. Dalam kenyataannya, cuaca masih
terlalu dingin, terutama untuk tubuhku yang kecil dan tidak memiliki simpanan
lemak. Temperatur tiap hari juga berubah-ubah, dan berkisar antara 8-180 C.
Pada hari pertamaku, aku sudah hunting electric
blanket di hypermart, dan
akhirnya menemukan sisa stock di Coles, dengan harga diskon 7 dolar dari harga
normal 20 dolar. Lumayan. Di K-Mart justru sudah tidak ada lagi, karena sudah
dianggap out-of-season. Maka tidurku
di malam pertamapun sukses dengan kehangatan mengalir ke seluruh tubuh, sampai
aku harus bangun amat kesiangan saking pulasnya. Pada hari kedua, aku harus
menambahkan jaket tebal, sweater, topi wool, dan sarung tangan sebagai senjata
melawan udara dingin. Dan tidak sampai seminggu aku di sini, koleksi pakaian
musim dinginku sudah bertambah lagi, ketika Savers, second-hand store, menggelar diskon 50%. Kuborong legging, long coat, turtleneck sweater, dan jacket. Di mana-mana, baik ke kampus,
belanja, maupun cuma di apartemen saja, paling tidak tiga lapis pakaian
kukenakan.
Aku pikir cuma aku yang aneh. Tidak heran kalau aku masih
berperasaan seperti ini. Ketika pertama kali datang di San Marcos, Texas pada
pertengahan Agustus 2002 yang lalu, sebenarnya masih musim panas di Amerika.
Namun aku hampir selalu berpakaian minimal 2 lapis, sampai-sampai academic advisorku selalu mengingatku
sebagai ‘the little lady from Sumatra who
is wearing sweater in this hot sunny Texas day.’ Ya, advisorku, Dr. Paul Cohen, seorang Yahudi tulen yang hanya makan kosher meat (semacam daging halal)
selalu mencampur-adukkan antara Indonesia dengan Sumatra. Mungkin dia pernah
baca buku tentang Sumatra, yang mungkin berisi tipikal perempuan kecil
berjilbab seperti aku.
Melbourne ternyata memang unik dari segi cuaca. Dalam satu
hari, cuaca bisa berubah dari berangin, hangat, kemudian hujan, dan menjadi
dingin. Tidak heran banyak yang mengatakan bahwa Melbourne adalah kota dengan 4
musim dalam 1 hari. Bahkan ada yang guyon mengatakan, “people say that there are four seasons in a day in Melbourne. They lie.
There is autumn, winter, and spring, but without summer.”
Kalau anda punya kesempatan datang ke Melbourne, tidak perlu
khawatir salah kostum. Setiap orang akan cenderung keluar rumah dengan
mengenakan beberapa lapis pakaian. Istilah ‘just
in case’ menjadi alasan utama. Kalau cuaca menjadi lebih hangat, tinggal
lepas pakaian/jaket terluar, dan bila
menjadi lebih dingin, kenakan lagi. Tidak heran kalau kita jalan-jalan, akan selalu
ada orang yang hanya mengenakan kaos tipis dan celana pendek bersepeda, atau
gadis manis dengan jaket dan syal melilit di lehernya pada saat yang sama. Just in case. Apalagi kekuatan tiap
orang terhadap udara dinginpun berbeda-beda. Aturan tidak tertulis ini kabarnya berlaku
pula di musim panas. Hanya saja pakaian yang dikenakan lebih tipis, dari katun
misalnya, bukan wool, tapi tetap berlapis-lapis. Just in case, sekali lagi.
Sore hari ini udara nampak sangat ramah. Aku memutuskan
untuk ke luar rumah untuk mencari sayur dan daging halal di Sidney Road.
Kebetulan daerah di mana aku tinggal merupakan daerah komunitas orang-orang
Timur Tengah. Mau masak sendiri atau makan di restoran halal, semua ada di
sini, tinggal jalan saja. Prakiraan cuaca di IPhone-ku menunjukkan temperatur
200C. Aku putuskan hanya mengenakan sandal saja. Sweater tentu saja
tetap kukenakan. Just in case.
Ternyata ini betul-betul Sabtu yang menyenangkan. Warr Park
di dekat kompleks apartemenku sudah ramai dipenuhi beberapa keluarga yang ‘berpiknik,
’ menggelar karpet plastik di taman. Anak-anak kecil bermain ayunan. Tiga orang
remaja laki-laki bermain lempar-lemparan. Dua orang sejoli sedang duduk di
bangku, bercengkerama hangat, sehangat sinar matahari yang menerpa wajah
mereka. Kuayunkan langkahku menuju Sidney Road, hanya 5 menit dari apartemenku.
Dan suasana jalan betul-betul seperti menertawakan dua lapis kaos panjang dan
sweater yang kukenakan. Di depan café di sebelah Madina Halal Meat, berjajar
sepeda motor Harley Davidson, lengkap dengan pengendaranya yang rata-rata
berbadan besar. Aku melongok ke dalam salah
satu playplace, yang ternyata juga
penuh dengan anak-anak bermain trampoline dan beragam permainan lainnya. Lalu lintas sedikit lebih padat daripada
biasanya. Mungkin karena banyak orang
ingin menikmati matahari.
Aku jadi ingin berlama-lama menelusuri Sidney Road. Sayur
dan daging sudah terbeli. Lalu ke mana lagi. Aku putuskan untuk menyeberang ke
Salvos, salah satu second-hand store
seperti Salvation Army, yang menjual barang-barang hasil donasi masyarakat.
Bila teliti, seringkali kita dapat barang bagus di sini. Untuk kantong
mahasiswa, toko-toko seperti Savers, Salvos, atau Goodwill kalau di Amerika,
memang menjadi jujugan mencari barang bagus, berkualitas, dengan harga sangat
miring. Bahkan kadang-kadang, barang yang dijual juga masih baru. Kali ini aku
tidak melihat deretan baju. Aku langsung menuju ke ujung toko, di mana
buku-buku dipajang rapi. Berbagai novel populer dan klasik terpampang di
depanku. Aku seperti menemukan harta karun. Akhirnya kupilih 2 novel oleh
Maxine Hong Kingston, China Men dan Woman Warrior, Tender is the Night karangan F.Scott Fitzgerald, dan DaVinci Code tulisan Dan Brown, semuanya
total . Semuanya aku sudah kenal sebenarnya. Tapi entah, lapar mata kalau lihat
buku, selalu ingin menambah koleksi. Masih banyak yang kuinginkan, tapi untuk
sementara cukuplah.
Hari semakin malam. Cuaca di luar turun ke level 160C.
Masih cukup hangat dibandingkan hari-hari sebelumnya yang bisa sampai 8-90C,
ditambah dengan windchill yang
membuat udara semakin menggigit. Pada malam-malam yang dingin itu, biasanya aku
baru pulang dari kampus sekitar jam 8.30, berbalut pakaian 4 lapis dan pashmina
yang kulilitkan di leher. Malam ini, malam minggu, kuhabiskan dengan ber-skype
dengan anak-anakku di rumah. Cuaca Surabaya yang panas dan celoteh Adzra
membantu menghangatkan kamarku yang cenderung selalu dingin meski di luar bisa
lebih hangat.
Aku masih terus beradaptasi dengan cuaca yang berubah-ubah.
Aku berharap hari-hari hangat segera datang, namun ingin jauh-jauh hari
bersiap-siap untuk musim dingin yang bisa ekstrim. Winter baru akan tiba lagi pertengahan tahun depan. Masih cukup
banyak waktu untuk menggemukkan badan dan menambah cadangan lemak.
Mudah-mudahan salah satu target ini bisa
aku capai sebelum musim panas awal tahun depan berakhir. Just in case.
Brunswick, 17 September 2011
3 comments:
Hehehe.. Smoga kerasan dan sabar ma'am :D
take care yourself, bu tiwik..
“people say that there are four seasons in a day in Melbourne. They lie. There is autumn, winter, and spring, but without summer.” Hahaha Dingin banget donk Mam,,, Tapi musim dingin masih bisa bikin es campur,,, Miss You Mam,,, Semoga sukses,,
Post a Comment