Meski secara fisik aku tidak lagi
bisa menatap wajah-wajah mereka kucintai, hubungan telpon tetap intensif kami
lakukan selama perjalanan. Ketika check-in, setiap 10 menit mas Prapto
menelpon, memastikan semua proses lancar. Meskipun jatah bagasiku 40 kg, dia
takut ada excess baggage. Di rumah sebenarnya sudah kami timbang, dan tidak ada
masalah. "37 kg mas, alhamdulillah lancar, dan bagasi langsung bisa
'check through' ke Melbourne, sehingga tidak perlu kerepotan lagi ketika
transit di Denpasar. Untunglah selalu kuturuti kecerewetan suamiku, sehingga
aku bisa melenggang hanya dengan backpack dan tas kecil menggantung di bahu.
Setelah proses check-in beres, barulah suami dan rombongan meninggalkan
bandara.
Pesawat Garuda yang kutumpangi
boarding tepat waktu. Penumpang di pesawat menuju Denpasar tidak terlalu padat.
Dan aku duduk sendirian di aisle seat. Kubuang pandanganku ke arah jendela, dan
lelehan air mata tak henti mengalir di sela-sela deru pesawat.
22.00. Aku sudah berada salah satu
depot di bandara Internasional Ngurah Rai. Di depanku ada semangkok soto kudus
dan teh hangat. Rasa menjadi tidak penting, karena lidahku terasa kelu, terlalu
pahit untuk menelan makanan. Tapi demi kesehatan, aku tetap harus makan. Tidak
boleh ada cerita masuk angin selama perjalanan nanti.
Check-in dan pemeriksaan imigrasi
berjalan mulus, dan aku langsung meluncur ke waiting room. Pemandangan turis
dari Australia yang berlibur mencari hangatnya mentari Bali bertebaran di
setiap pojok. Hampir semuanya berpakaian sangat santai, ala pantai. Kulihat
diriku yang terbalut kaos panjang, kemeja flanel Ganta yang tadi tiba-tiba saja
kusaut dari lemari, dan jaket tebal milik mas Prapto. Maunya, aku ingin tetap
merasa hangat 'ditemani' mereka. Beberapa kali masih kuhubungi mas Prapto,
Ganta dan bapakku via sms dan telpon. 'Adzra sudah tidur lelap dengan mbah
Uti,' 'iya bu, Ganta akan jaga shalat dan jaga adik,' dan 'hati-hati di jalan,
salam dari adik-adikmu.' Ini antara lain isi sms dari mas, Ganta, dan bapakku
yang bergantian kasih kabar.
23.55. Time to really say goodbye to
Indonesia. Kumatikan handphone, kusandarkan tubuhku di seat nomor 27 J, dalam
pesawat Airbus yang lapang dan nyaman. Seat di sebelahku tetap kosong. Seperti
kosongnya separuh hatiku yang sementara harus pergi. Separuh hati lainnya
melihat keluar jendela. "Melbourne .... I'm coming!
No comments:
Post a Comment