Sekolah RSBI dirancang dengan salah satu tujuan agar lulusan bisa
mencapai standar internasional, atau setara dengan sekolah di luar negeri.
Ironisnya, anak-anak yang bersekolah SMP dan/atau SMA di luar negeri tidak bisa
dengan mudah diterima kembali bersekolah di tanah air, karena ijazahnya tidak
diakui. Salah satu alasannya adalah karena tidak punya nilai Unas.
Salah seorang teman bercerita tentang anaknya yang tidak bisa
masuk PT di Indonesia, sekembalinya sekolah SMA di Aussie, mengikuti ortu yang
juga studi. Koneksi ortu 'terpaksa' bermain sehingga akhirnya si anak masuk
melalui jalur non-regular (bukan SNMPTN). Seorang teman lain ingin mengirimkan
anaknya bersekolah dia Singapore. Saat itu si anak masih di kelas 10 salah satu
SMA RSBI terfavorit di Surabaya. Iseng-iseng sang ibu menanyakan kemungkinan
apakah si anak bisa kembali ke SMA di Sby bila ternyata tidak kerasan di
Singapore. Jawaban Kepala Sekolah, "tidak bisa bu, bahkan juga tidak bisa
di kelas yang setingkat." "lho kok bisa pak, kan sekolah ini juga
punya program pertukaran dengan sekolah di Singapore?" tanya si ibu.
Kepala Sekolah menjelaskan,"memang bu, tapi rencana ibu kan tidak menjadi
bagian dari program sekolah."
Ketika saya mengurus kepindahan Ganta, anak sulung saya, dari
SMA-nya di Surabaya, Wakasek juga mengingatkan akan kemungkinan nantinya Ganta
akan sulit masuk ke PTN, sekembalinya dari Aussie. Meski beliau heran juga
mengapa sistem pendidikan di Indonesia kok mbuletisasi seperti ini. Sekolah
sempat menemui kesulitan saat akan menerima seorang calon siswa yang lulusan
SMP di Amerika, dengan alasan yang sama, yakni Unas. Langkah yang sering
disarankan adalah mengambil Kejar Paket C, agar punya nilai Unas. Memang isunya
adalah nilai Unas. Ketika isu ini saya lemparkan ke milis keluarga Unesa, seorang
teman, mas Satria Dharma, yang juga Ketua IGI, menyatakan ketidak-percayaannya
atas aturan yang tidak memperbolehkan lulusan LN untuk sekolah di Indonesia
tanpa nilai Unas. Gayanya yang selalu kritis menggerakkan saya untuk mulai
mencari ada tidaknya dokumen tentang aturan ini. Menurut beliau, biasanya hal
ini terjadi karena Kepala Sekolah tidak menemukan dokumen aturan yang
memperbolehkan, sehingga kemudian diterjemahkan menjadi TIDAK BOLEH.
Dalam tataran lebih tinggi, sebenarnya yang sudah kuliah di luar
negeripun harus menyetorkan ijazahnya di Dikti untuk diakreditasi. Tanpa ini,
terutama yang PNS, ijazah tidak akan diakui (terutama utk urusan naik
pangkat/golongan). Aneh kan. Pemerintah Indonesia yang mengirimkan SDM-nya
untuk sekolah ke LN, begitu pulang ke Indonesia, ybs harus mendapatkan
pernyataan dari Dikti bahwa ijazahnya bukan dari universitas/sekolah yang
ecek-ecek. Itu yang harus saya lakukan tahun 2004 lalu, sepulang dari Amrik.
Gak peduli sekolahnya atas beasiswa Fulbright yang prestigious, ijazah tetap
harus diakreditasi dulu. Dan untuk urusan sertifikasi dosen 2 tahun lalu, saya
harus ke Jakarta (hanya) untuk memperoleh 5 lembar legalisir salinan pengesahan
ijazah LN. Itupun tidak bisa langsung jadi. Untung saya pas ada tugas ke
Jakarta, sehingga bisa nebeng transport. Bisa dibayangkan ribetnya teman dari
Papua, misalnya, untuk melakukan hal yang sama.
Di pihak lain, mendaftar ke sekolah LN malah tidak ribet sama
sekali. Hanya butuh nilai rapot 3 semester terakhir, ijazah, dan terjemahannya.
Ketika Ganta masih di Indonesia, proses pendaftaran tetap jalan, dan dalam
waktu 2 minggu sudah keluar nomor induk siswa dari Dinas Pendidikan setempat.
Surat penerimaan (dan bebas SPP bila ortu mahasiswa S2/S3 riset) bisa dipakai
untuk mendaftar ke sekolah terdekat. Perkara masuk kelas berapa dan berapa lama
program language upgrading akan menjadi urusan sekolah, sesuai dengan nilai
rapot dan tes bahasanya. Yang ditanya sebenarnya malah nilai rapot yang
cenderung angka dan tidak ada deskripsi kualitatifnya. Bagi mereka, rapot kita
kurang menjelaskan kompetensi apa yang telah dicapai siswa.
Melihat proses yang lancar ini, saya jadi berpikir, tanpa RSBI-pun
sebenarnya tiap anak Indonesia bisa sekolah di luar negeri. Peraturan di sini
mengharuskan anak berusia sekolah harus masuk ke sekolah sesuai dengan tingkat
usianya. Penerimaan dari Dinas Pendidikan setempat menjadi salah satu syarat
utama untuk memperoleh visa tinggal. Jadi sekali lagi, embel-embel RSBI tidak
penting bila ingin sekolah ke luar negeri. Bila saya melihat ke sekitar, berapa banyak sudah lulusan yang berijazah dari
alma mater saya tercinta, IKIP Surabaya/Universitas Negeri Surabaya, baik dari
program S1 maupun S2 yang bisa menembus berbagai program beasiswa berkelas
internasional atau bekerja di lingkungan global. Tak satupun dari mereka adalah
lulusan sekolah RSBI. Tinggal manusianya sendiri, PD apa gak? Karena sebenarnya
masih saja ada sebagian mahasiswa (bahkan dosen) Unesa yang kurang PD dengan
embel-embel Unesa di ijazahnya. Inferiority complex gitu loh!
Bagi mas Satria Dharma, sistem pendidikan di Indonesia kita tercinta
ini aneh sekali, kok tidak bisa compatible dengan sistem pendidikan di negara manapun.
Saya jadi ingat judul film, “Alangkah Lucunya Negeri ini.”
3 comments:
Saya sependapat dengan Bu Tiwi. Masih banyak contoh karut marut RSBI di Indonesia dan sistem pendidikan Indonesia itu sendiri. "Kalau di indonesian itu kan yang mudah selalu dibikin repot." Jadi, kita itu sukanya punya label (RSBI), tapi mindset-nya tidak dibentuk dulu. Dengan keadaan seperti ini mana percaya orang akan RSBI.
Bagaimanapun absurdnya, kita toh tetap melakukan "rebellion" agar lebih baik. Inilah pesan Camus dalam konsep absurditasnya.
saya suka kesimpulan bu Tiwi "Tinggal manusianya sendiri, PD apa gak? Karena sebenarnya masih saja ada sebagian mahasiswa (bahkan dosen) Unesa yang kurang PD dengan embel-embel Unesa di ijazahnya", itu membuka pikiran saya dan tentunya meningkatkan kecintaan terhadap kampus sendiri. UNESA tetap jaya, untuk bu Tiwi motto Indonesia "maju terus pantang mundur."
Post a Comment