Aku baru saja mau
menyalakan kompor dan menaruh wajan Teflon di atasnya ketika kulihat ada yang
aneh di permukaan wajan.
“Marni, kenapa wajan
Teflonnya jadi putih begini? Ibu kan baru beli 1 bulan yang lalu?” teriakku
dari dapur.
Marni mematikan
setrika, dan bergegas mendekatiku.
“Ngapunten bu, itu tadi saya gosok. Saya
pikir... ehm niku kok warnanya hitam.
Jadi ya... saya bersihkan ... pakai sabut yang dari logam itu,” jawab Marni
terbata-bata.
“Waduh, Marni,
Marni. Teflon ya begini warnanya. Kalau sudah putih begini malah tidak bisa
dipakai lagi. Bahaya. Bisa sebabkan kanker,” ujarku.
“Aduh, aduh, nggih to Bu?. Ngapunten ingkang sanget, bu,” jawab Marni. “Mboten ngertos. Nggih, maklum, tiyang ndusun.”
“Ya, sudah, Mar. Gak
apa, wong ya sudah kadung. Maksudku itu lho, kamu mestinya tanya dulu kalau gak
tahu. Kamu kan lagi PKL disini. Belajar nyambut gawe di luar negeri. Lha nanti
kalau kamu buat kesalahan kayak gini, trus ... majikanmu gak begitu baik, lak
bisa gawat nasibmu.”
Marni merupakan
calon TKW yang kesekian kalinya bekerja di rumahku. Susah cari pembantu yang
bisa bertahan lama sekarang. Sementara aku harus segera kembali masuk kerja.
Sani, putri kecilku sudah menginjak 3 bulan usianya. Harus ada yang membantu
menjaga bayiku bila kutinggal kerja. Kebetulan mas Bagas, suamiku, punya teman
pengusaha PJTKI. Jadilah, tiap 3-6 bulan sekali, pembantuku berganti-ganti. Marni
baru saja ikut aku 1 minggu yang lalu. Dia sudah selesai pasporan. Sekarang dia
menjalani PKL di rumahku, sambil menunggu calling
visa-nya turun.
“Kamu mau
diberangkatkan kemana, Mar?” tanyaku. Ini pertanyaan standar yang kuberikan
setiap ada calon TKW baru di rumahku. Seperti sudah kuduga, jawabannya Malaysia.
Kadang-kadang saja Singapura.
“Kenapa mau jadi
TKW?” tanyaku lagi.
Setiap kali menanyakan hal yang satu
ini, perutku selalu mules tanpa sebab. Kalau bukan karena suami yang suka main
pukul, atau cerai, dan anak masih kecil-kecil, seringkali juga karena punya
hutang di kampung.
“Lha nggih niku bu, suami saya kena tipu.
Maunya usaha sama temannya, sampai jual sawah segala,” jawab Marni. “Eh, ternyata temannya membawa lari duitnya.
Sekarang suami saya jadi stress mikir utangnya,”
“Lha kok kamu yang
jadi TKW? Kenapa bukan suamimu yang daftar jadi TKI. Kan banyak job di
perkebunan atau konstruksi bangunan di Malaysia?” tanyaku setengah menyelidik.
“Leres bu, ning suami saya jadi sakit-sakitan. Jadi unfit waktu tes kesehatan. Akhirnya saya yang disuruh berangkat.”
***********
Aku sedang
mengoreksi tugas-tugas mahasiswaku ketika HP-ku berdering. Telpon dari Santi, teman
suamiku yang pengusaha PJTKI.
“Assalamu’alaikum
mbak, gimana kabarnya?” tanyanya merdu di seberang sana.
“Wa’alaikumsalam,
baik dik. Tumben telpon?” aku balik bertanya.
“Iya nih mbak, cuma
mau pesan. Tolong kalau Marni ijin pulang kampung, jangan diperbolehkan ya,”
kata Santi.
“Kenapa dik?” Ada
masalah ta?”
“Ya sedikit. Ini ada
calon TKW dari NTT yang lari dari penampungan,” Santi menjelaskan. “Arek-arek lagi berusaha cari kemana
kira-kira perginya.”
Oh gitu. Yah, jadi
repot juga ngurus yang beginian ya?”
“Ya gitulah mbak.
Yulia, anak NTT itu sebenarnya sudah mau berangkat. Calling visa-nya dah mau turun. Kantor dah keluar dana banyak kan
kalau sudah sampai sejauh ini prosesnya. Agent-ku
di Malaysia ngomel-ngomel nih.
“Ok deh dik, ntar
aku info kok kalau ada apa-apa. Sejauh ini, Marni baik-baik saja kok.”
Kututup gagang
telpon. Sedikit keheranan mampir di pikiranku. Tumben urusan TKW gini Santi
langsung telpon sendiri ke aku. Biasanya dia selalu titip pesan lewat suamiku. Lalu
aku jadi ingat kejadian yang hampir sama 9 bulan yang lalu. Yayuk, calon TKW
yang kerja di rumahku, meminta ijin pulang kampung. Alasannya, ibunya
kecelakaan, ditabrak sepeda motor. Sambil menangis-nangis, dia mohon untuk
menengok barang sehari-dua hari ke Kediri. Tidak tega aku melihatnya. Apalagi aku
sendiri yang menerima telpon dari keluarganya di Kediri. Akhirnya Yayuk pulang,
kuberi sangu 100 ribu untuk
perjalanan.
Sorenya, ketika
suamiku pulang, kuberitahu dia bahwa Yayuk kuijinkan pulang 2 hari.
“Kamu itu lho, kok
bisa ngasih ijin seenaknya, tanpa kasih tahu kantor Santi dulu.” tanya mas
Bagas.
“Walah mas, wong
cuma 2 hari aja. Toh Yayuk sudah ikut kita 3 bulan, dan dia baik-baik saja.
Rajin dan sopan banget malahan. Apalagi dia sudah pernah kerja di Singapura.
Kan dia sudah paham aturan PJTKI?” kucoba menjelaskan.
“Rasa empatimu yang
berlebihan itu kadang-kadang dimanfaatkan orang.”
“Huh, sebel aku, sama orang kok gampang
curiga,” grundelku dalam hati. Punya banyak teman di PJTKI nampaknya mulai melunturkan
kepekaanya.
“Coba cek kamarnya,
masih ada nggak baju-bajunya?” tanya mas Bagas lagi.
Tersentak aku lari ke kamar belakang. Kubuka
lemari kecil di ujung kamar. Kosong. Tak satu helai bajupun tertinggal. Di atas
sprei kasur, tergeletak salah satu novel koleksiku, Catatan Harian seorang Pramuwisma. Novel itu ditulis oleh mantan
TKW di Hongkong. Lemas rasanya badanku.
Tidak, tidak mungkin
Yayuk bohong padaku. Dia termasuk salah satu calon TKW yang banyak ngobrol tentang
keinginan-keinginannya. Setelah pulang dari Malaysia nanti, dia ingin kawin,
dan buka usaha. Makanya dia mau tabungkan gajinya setelah 7 bulan bekerja di
sana.
Dua hari kemudian,
suamiku membawa kabar tentang Yayuk.
“Pegawai di kantor
PJTKI-nya Santi sudah nelpon pak Ali, petugas lapangan di Kediri. Pak Ali cek
ke rumah Yayuk di tetangga desa. Tahu nggak? Rumah Ibu Yayuk kosong. Yayuk dan
Ibunya meninggalkan rumah 2 hari yang lalu. Tetangganya tidak ada yang tahu
kemana mereka pergi,” cerita mas Bagas panjang lebar.
“Masalahnya, calling visa Yayuk dan rekom-nya sudah turun. Dia mestinya
terbang 3 hari lagi. Tahu nggak berapa juta kerugian kantor PJTKI kalau ada TKW
kabur kayak gini?” Belum lagi turunnya kepercayaan agent di Malaysia,” suara suamiku mulai sedikit naik.
Aku terdiam, mencoba mencari
jawaban. Mencari pembenaran atas keteledoranku. Mencoba memahami kemarahan
suamiku. Mungkin dia sendiri habis didamprat temannya juga.
Aku teringat novel-novel para TKW
Hongkong yang ada di rak perpustakaan kecilku. Teringat wajah antusias Yayuk
ketika kuceritakan tentang para TKW yang sukses menjadi penulis. Terbayang mata
Yayuk yang cerdas saat menghabiskan waktu luangnya dengan membaca novel-novel
TKW itu. Dia suka duduk selonjor di karpet, sambil menemani aku mengetik di
depan laptop. Terbayang percakapan kami tentang Nirmala Bonat yang diberitakan
di koran beberapa waktu yang lalu.
***********
Penantian Marni akhirnya terbayar
sudah. Setelah 6 bulan ikut aku, lebih lama dibandingkan para calon TKW
sebelumnya, akhirnya calling visa-nya
turun. Dia pamit berangkat, minta doa restu agar semuanya lancar.
“Bu, matur nuwun sanget. Ibu sudah perlakukan
saya dengan baik. Saya sudah dianggap keluarga sendiri. Mugi-mugi saya dapat majikan kados
njenengan, bu.”
“Insha Allah, Mar. Ati-ati ya. Ini kukasih mukena, buat shalat
kamu selama di sana,” ujarku sambil memberikan bungkusan koran berisi mukena
baru.
“Oh, nggih bu. Matur nuwun. Ning, ngapunten
niki. Saya sudah dipeseni untuk tidak bawa mukena yang putih-putih gitu.
Katanya, nanti bisa dimarahi majikan. Saya dah bawa sarung kok, bu. Insha Allah saya tetap bisa cari cara untuk
tetap shalat,” Marni menjelaskan.
Aku ternganga
mendengar penjelasan Marni.
Geregetan dengan
masalah ini, kucari nomor telpon kantor PJTKI. Santi sendiri yang mengangkat
telpon.
“Edan, iki dik,”
ujarku lewat telpon. Tolong dong dik Santi. Kan njenengan dan lama di PJTKI.
Masak urusan shalat dipersulit. Apa gak bisa diomongkan dengan para agent di
Malaysia.”
Iya, iya, aku
ngerti. Ini masalah klasik, mbak. Aku sendiri juga resah. Tapi itu memang kalau
majikannya non-Melayu, kok, mbak,” jawab Santi.
“Iya... kalau gitu
ngirimnya TKW hanya ke majikan yang Melayu saja, dik. Kasihan kan. Masak
njenengan tega nasib bangsane dewe dibiarkan sengsara. Kenapa juga nasib TKW
non-formal di Malaysia tidak sebaik yang di Hongkong? Dik Santi pasti tahu
kenapa bisa beda peraturannya,” tanyaku panjang lebar. Novel-novel TKW Hongkong
nampaknya sudah mampu membuatkan sedikit lebih cerdas kali ini.
“Mbak, memangnya ini
perusahaan sampeyan sendiri. Gak semudah itu urusannya. Banyak yang
dikompromikan. Lha itu antrian TKW di penampungan itu kan ya cemas nunggu kapan
berangkat. Masalah gini mestinya nggak usah terlalu dibesar-besarkan lah.”
Suara Santi terdengar jengkel.
Terdengar gagang
telpon ditutup agak kasar di seberang sana. Gagang telpon masih kugenggam,
kaget dengan jawaban Santi.
************
Lima bulan
berselang. Aku tidak lagi mencari calon TKW untuk membantuku membereskan
pekerjaan di rumah. Sudah ada pembantu
yang menetap dari Madura. Sejauh ini, semua pekerjaan momong si kecil dan
membersihkan rumah berjalan dengan lancar.
Seusai Maghrib, aku dan suamiku ngobrol
di teras depan. “Aku kemarin ketemu Santi. Dia cerita, kalau Marni lari dari majikannya.
Sudah 2 bulan yang lalu. Sampai sekarang tak tahu dimana keberadaannya,” ujar
mas Bagas membuka percakapan.
“Ooh,” cuma itu yang
keluar dari mulutku. Membayangkan Marni berada di tengah hutan, menjauh dari
kejaran polisi imigrasi Malaysia yang mencari para TKI ilegal. Atau bisa saja
dia bersembunyi di perkampungan para TKI formal yang bekerja di perkebunan.
Lari dari majikan sudah mengubah status Marni menjadi TKW ilegal. Paspornya
pasti masih dipegang majikannya, atau barangkali agent-nya.
“Oh ya, dia juga
titip salam ke kamu,” mas Bagas menambahkan. “Khusus titip info, kalau PJTKI-nya
dia tidak lagi mengirim TKW non-formal ke Malaysia. Job-job dia tetap masih
banyak. Dia bahkan kewalahan menangani permintaan TKI untuk perkebunan. Dia
juga bilang kalau mau ajak aku ikut gabung ke PJTKI-nya. Boleh nggak?”
Kuraih koran hari
ini yang belum selesai kubaca. Mataku tertumbuk pada satu baris berita. “Pemerintah
Indonesia menghentikan pengiriman TKW non-formal sampai peraturan tentang
hak-hak TKW non-formal disepakati.”
Aku menoleh ke
suamiku. Dia masih menunggu jawabanku. Aku tersenyum lebar sambil menepuk
bahunya. Hidup bersama selama delapan tahun lebih sudah cukup baginya untuk
memaknai senyumku.
Surabaya, Mei 2011
Cerpen ini dimuat di Antologi Cerpen Alumni Unesa, Ndoro, Saya Ingin Bicara (IKA Unesa Publishing, 2011)
1 comment:
cerpen ini berdasarkan kisah nyata njenengan ya Bu? Menarik sekali :)
Post a Comment