Pernah merasakan sepi sendirinya tinggal di kota kecil di
Texas membuat saya tidak henti mensyukuri lika-liku hidup di kota metropolitan
seperti Melbourne sekarang ini. San Marcos memang tidak bisa dibandingkan
dengan Melbourne. Terlalu jauh bedanya. San Marcos hanyalah kota universitas
yang berpenduduk sekitar 30.000 orang saat itu. Di luar jumlah itu, sebagian
besar penghuninya adalah mahasiswa Texas State University. Jadi kota ini hanya
ramai saat perkuliahan. Saat liburan tiba, San Marcos tak ubahnya kota mati.
Suara saya pernah sangat serak karena tidak dipakai untuk bicara selama 3 hari.
Dua roommate saya, Darlene dari Filipina dan Jun Mei dari Cina sedang pulang kampung.
Saya baru membuka mulut saat tiba jadwal menelpon suami di tanah air.
Melbourne, sebaliknya, ditasbihkan sebagai kota budaya oleh
UNESCO. The most livable city in the
world. Sangat multikultural. Celotehan dalam bahasa Cina, India, Jepang,
Arab, Turki, dan bahkan bahasa Indonesia tidak akan sulit didengar di seputar
kota atau kampus. Saya malah tidak perlu menunggu lebih dari 1 hari untuk
menemui wajah-wajah Indonesia di sekitar tempat tinggal, di atas tram, dan
bahkan di seputar kampus. Jangankan mahasiswa, artis saja kemungkinan besar
bisa anda temukan di tram. Personil Nidji pernah bersantai menyusuri kota
dengan naik tram saat mereka manggung di Melbourne. Mungkin ingin merasakan
enaknya menjadi orang biasa. Naik transportasi umum, tanpa kejaran fans. Mungkin juga mereka sedang bernostalgia
masa-masa belajar di luar negeri.
Memiliki begitu banyak sahabat dari Indonesia di sekitar
saya tinggal memang menjanjikan lifeline
yang berbeda. Sapaan, ‘eh, mau ke mana?,’ ‘belanja mbak?,’ ‘nanti ke pengajian
bawa apa ya?’ menjadi sangat biasa bila kebetulan sedang berpapasan dengan
teman. Enaknya, kadang tidak terasa
bahwa saya sedang berada di luar negeri. Tapi kalau terlalu nyaman, bisa-bisa
malah lupa bahwa studi di luar negeri juga untuk belajar hidup dengan bahasa
dan budaya yang berbeda. Tak heran pak Munir pernah bilang bahwa bahasa Inggris
kita bisa stagnant meski hidup
bertahun-tahun di negeri orang. Saat dia bilang begitu, saya tidak terlalu paham maksudnya. Pengalaman hidup di Texas mengatakan yang sebaliknya. Sekarang saya baru paham dan mengamini pendapatnya. Ketika
di San Marcos dulu, praktis tiap hari bahasa Inggris saya terpakai. Mulai dari apartemen, saat kuliah di kelas, di supermarket, di mesjid, dan di manapun saya berada. Di Melbourne
ini, saya tidak lagi perlu duduk di kelas. Tugas saya ‘hanya’ membaca dan menulis.
Kesempatan untuk bertemu dengan supervisor hanya 2 minggu sekali. Maka secara
akademis, bahasa Inggris saya hanya terpakai saat itu. Di luar itu, kalau
kebetulan bertemu dengan teman dari negara lain, barulah kami ngobrol dalam
bahasa Inggris. Kesempatan yang ada setiap hari adalah untuk keperluan going shopping saja, atau untuk urusan
sekolah Ganta dan Adzra. Sekedar percakapan santai dengan kasir atau guru Adzra
menjadi ‘keharusan’ agar lidah tetap terlatih.
Kadang saya berpikir, mungkin ini bukan lagi masa saya untuk
mencari kesempatan belajar bahasa Inggris, setidaknya secara lisan. Yang harus
lebih intensif saya lakukan adalah menulis, menulis, dan menulis dalam bahasa
Inggris. Kali ini giliran masa emas bagi Ganta dan Adzra untuk belajar bahasa
dan budaya yang berbeda. Bukankah memang ini salah satu tujuan mengajak serta
anak-anak untuk tinggal di Melbourne? Maka saya perlu mulai membiasakan berbicara
dalam bahasa Inggris dengan mereka. Untuk inipun, nampaknya saya tidak perlu
terlalu khawatir. Kids pick up new words
very quickly. Putra-putri teman-teman yang sudah lebih dahulu bersekolah di
Melbourne bahkan sudah totally immersed
in English. Dengan Australian-English
pronunciation. Mengagumkan melihat bagaimana anak-anak usia 5-9 tahun sudah
bisa sangat lancar ngobrol dengan satu sama lain. Adzra sendiri dalam waktu 1 bulan sudah mulai bisa
menggunakan kata-kata kunci saat bercerita tentang kegiatan di sekolah. Kalimat-kalimat
pendek seperti toilet, please, I want
water, I’m hungry, I’m sleepy, I’m happy, it’s beautiful, look at this, don’t
do that, don’t hit me, I don't know, nothing sudah mulai spontan terdengar. Beberapa kata atau
kalimat lain bahkan tidak pernah saya ajarkan sebelumnya. She must have picked them up at school. Tiap hari dia bersenandung lagu-lagu baru dengan celotehan yang belum jelas, kecuali kata-kata di akhir yang bisa ditangkap. Bagi seorang guru Bahasa
Inggris seperti saya, adalah sebuah kenikmatan mengamati day-to-day progress pada Adzra. Betul-betul melihat bagaimana tahap
silent period, one-word stage, two-word
stage, dan simple sentence dalam Natural Approach dari Krashen and Terrel
memang bisa dibuktikan.
Akan halnya Ganta, saya lebih melihat perlunya mendampingi
dan mengawasi. Banyak hal yang membuat saya yakin dengan Ganta. Ngobrol dengan
temannya di telpon, aktif di football club di sekolah, jalan-jalan ke kota
dengan teman-temannya, membaca novel
yang dia pinjam di public library atas
inisiatif sendiri. Semua membutuhkan komunikasi dalam bahasa Inggris. Saya kira
Ganta sudah tahu bagaimana harus meningkatkan kemampuannya. Sebagai ibu, tugas
saya adalah mengarahkan agar kegiatan yang dia lakukan tetap berada pada
jalurnya.
1 comment:
Adzra gedenya pasti jadi anak keren Maaam :D
waaaaaaaahh
Post a Comment